Thursday, July 31, 2025

35 Tahun Kemudian

LIMA hari lalu, saya bermimpi saat tidur malam. Dalam mimpi itu, saya berada di dalam Kereta Rel Listrik (KRL) tujuan ke Jakarta atau Bogor dari Stasiun Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat. Bersama saya ada cewek hitam manis yang di kampus Fakultas Sastra/FS (sejak 2002 menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB) Universitas Indonesia merupakan mahasiswi Program Studi (Prodi) Jerman Angkatan 1985. Saya sendiri waktu itu (1987-1993) berstatus mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI Angkatan 1987. Dari segi usia, cewek itu 18 bulan lebih tua dari saya (dikonfirmasi di Riwayat Hidup dalam skripsinya, dia kelahiran Bogor, 2 Juni 1966). Dengan kata lain, di lingkungan FSUI dia adalah senior saya.

Mimpi yang menurut saya sangat aneh, karena saya dan cewek itu sudah putus kontak selama 35 tahun, dan bahkan teman seangkatan saya di Jurusan Sejarah yang bertetangga dengan si cewek tidak pernah mengabarkan apapun tentang dia.

Dalam mimpi itu, saya bersikap mesra terhadap cewek itu. Kami berdiri berhadapan, berpegangan pada tali di atas kami karena tidak mendapat tempat duduk. Tampaknya kami berpacaran dalam mimpi itu. Dalam kehidupan nyata, dulu, 35 tahun lalu, tepatnya tahun 1990, kami memang pernah sangat dekat. Dia selalu penuh perhatian dan saya pernah tak sengaja mencuri dengar dia bicara dengan teman seangkatan saya di Jurusan Sejarah, yang sama-sama dengan dia tinggal di Bogor, bahwa dia jatuh cinta pada saya. Tapi saya rasa, “sepasang kekasih” bukanlah kata yang tepat untuk mendefinisikan kedekatan kami. Kami tidak pernah saling terbuka mengungkapkan perasaan kami. Hanya tindak tanduk kami yang berbicara kenyataannya.

DN inisial nama lengkapnya, Tera panggilan akrabnya. Dia pernah bercerita ke saya di awal perkenalan kami bahwa selain berstatus mahasiswi Sastra Jerman FSUI, dia juga kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia kampus Cawang, Jakarta Timur, di Angkatan 1984.

Saya mengenal Tera ketika kami menjadi anggota panitia pelaksana penyelenggaraan Penataran 100 Jam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) bagi mahasiswa baru UI tahun 1990, yang Gugus 07-nya bertempat di kampus FSUI Depok, selama hampir sebulan. Tera muncul di kampus di hari kedua atau ketiga Penataran P4, untuk urusan skripsinya, tidak menyangka bahwa ia sebenarnya anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07. Adalah Annt, gadis kurus dan jangkung, berkacamata dan rambut panjangnya dikepang, yang memberi tahu Tera tentang hal itu. Annt teman seangkatan Tera di Prodi Jerman.

Setelah diberi tahu Annt, Tera pun bergabung dengan para anggota Panpel lainnya, yang berkumpul di teras Gedung I FSUI. Pos Koordinasi (Posko) Panpel Penataran P4 Gugus 07 menempati dua ruangan di sebelah Auditorium Gedung I. Saya sedang duduk di bangku kayu panjang di depan ruangan sebelah Auditorium; ruangan itu selama semester perkuliahan merupakan salah satu kelas yang digunakan untuk pertemuan interaktif dosen dan mahasiswa.

Tera duduk di sebelah saya dan memperkenalkan dirinya. Dari perjumpaan pertama itu saya sudah mendapat kesan bahwa gadis itu ramah ke semua orang dan supel. Sungguh kontras dengan saya yang pendiam dan pemalu, dan kerap dianggap sombong dan kaku. Dari perkenalan itu berkembanglah obrolan yang akrab antara saya dan Tera. Meski cantik, dengan model rambut bob layer sebahu, berkulit gelap, dan berkacamata, saya tidak segera naksir pada Tera. Perasaan saya biasa saja.

Obrolan kami kian akrab setelah dipicu oleh insiden lucu. Saat masih duduk di teras Gedung I, satu anggota Panpel, mahasiswa Sastra Prancis Angkatan 1987, yang saya lupa namanya, berteriak dari arah teras Gedung II. Gedung II adalah pusat Badan Administrasi Pendidikan (BAP) FSUI, dimana Dekan dan para Pembantu Dekan (Pudek) FSUI berkantor, serta loket-loket pengurusan segala keperluan akademik mahasiswa berada. Dia melambai-lambaikan sebuah amplop putih ke saya. “Surat cinta nih untuk lo, To!” teriaknya, lalu membaui amplop itu. “Hmmm, wangi!”

Saya pun bergegas ke teras Gedung II untuk mengambil amplop itu. Gedung I dan II terhubung dengan selasar pendek. Setelah menerima amplop itu, yang berisi surat dari pacar saya yang sedang kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, saya kembali ke teras Gedung I, dan duduk kembali di sebelah Tera. Dia bertanya mengapa surat buat saya dialamatkan ke kampus FSUI.

Saya pun bercerita kepadanya bahwa hubungan saya dengan pacar saya di Yogya, Evi namanya, ditentang orang tua saya, karena kami memiliki hubungan kekerabatan yang di adat Jawa Tengah tabu untuk menjalin asmara. Namun, kenyataan itu baru disampaikan ke saya ketika masa pacaran saya dengan Evi sudah berjalan dua tahun. Daripada bubaran, saya memilih untuk melanjutkan, tetapi secara backstreet.

Tera tampaknya terkesan dengan kejujuran saya. Ia terus mendengarkan cerita saya dengan penuh minat. Saya bercerita apa adanya tentang hubungan saya dengan Evi, sampai detail kelakuan saya menyimpan kondom di dompet sebagai persiapan kalau Evi mau saya “begitukan”. Hari itu menandai keakraban saya dan Tera. Tera berubah menjadi pribadi yang selalu tulus memberi perhatian kepada saya, misalnya mengambilkan kopi dan kue buat saya, tanpa saya minta, saat rehat kopi Penataran P4. Tindakannya memancing ES, rekan seangkatan saya di Jurusan Sejarah, untuk menggoda kami seolah kami sepasang kekasih. “Ter, lo pacaran ya sama Anto? Kok Anto doang lo bawain kopi dan kue? Gue kan tetangga lo, masak lo cuekin,” goda ES. Atau ketika Tera menderita sariawan di bibirnya, kontan digoda ES, “Makanya kalau ciuman sama Anto jangan kelewat hot.”

Digoda begitu, Tera tidak mengamuk, tapi malah menanggapi dengan balas meledek ES. ES dan Tera memang bertetangga di Jl. Pakuan, Bogor.

Secara terpisah, ES bilang ke saya bahwa Tera suka pada saya. “Lo itu blak-blakan, man, terus terang. Cewek suka sama cowok yang terbuka kayak lo.” Entah mengapa, perasaan saya biasa saja, tidak GR, mendengar ucapan ES mengenai perasaan Tera terhadap saya.

Selama sebulan menjalankan tugas sebagai anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07 FSUI, hubungan saya dan Tera menjadi kian akrab. Tidak pernah ada rasa tertarik terhadapnya muncul di diri saya, tetapi saya senang dan merasa nyaman dengan kehadirannya. Kami nyambung di segala topik obrolan. Dan Tera selalu tertawa dan suka bercanda, terlebih bila digoda ES bahwa dia dan saya berpacaran. Saat itu, saya merupakan pribadi yang pemalu, dan mudah segan terhadap para senior. “Berpacaran dengan kakak senior” tidak ada dalam kamus saya saat itu. Meskipun perbedaan usia bukan masalah bagi saya dalam hal asmara, tetapi ibu saya sangat menentang hal itu.

Pernah sekali waktu, ketika para peserta Penataran P4 Gugus 07 dipecah menjadi kelompok-kelompok diskusi, Tera spontan mengajak saya buat menemani dia bertugas di kelompok yang menempati Gedung VIII. Saat itu, Gedung VIII berada di paling belakang kampus FSUI, di pojok dekat hutan dan terpencil, terhubung dengan Gedung VII (Perpustakaan) oleh selasar yang panjang. Saya mengerti mengapa Tera minta saya menemaninya—karena banyak cerita horor beredar mengenai Gedung VIII. Dengan senang hati saya menerima ajakannya.

Keakraban kami makin kuat dan dalam di Gedung VIII. Tera sempat bilang ke saya bahwa dia belum punya pacar, tapi saya masih terlalu polos untuk mengerti bahwa itu kode keras buat saya, sehingga saya tidak terdorong untuk menyatakan cinta. Lha, karena memang saya tidak memiliki perasaan spesial terhadapnya, selain merasa nyaman jika berada di dekatnya.

Pasca menjadi anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07, saya masih sering berjumpa dengan Tera. Dia selalu menyapa saya, yang saya sambut dengan tersenyum. Tapi saya paling malu membalas sapaannya bila dia sedang bersama teman-teman seangkatannya. Saya merasa tatapan teman-temannya seolah menganggap saya yunior yang kurang ajar, berani-beraninya menyukai kakak senior.

Suatu hari, terjadi sesuatu yang membuat hati saya deg-degan. Saat itu, siang hari, saya baru tiba di kampus FSUI, dan saya berjalan dari arah pelataran parkir mobil di samping Gedung III (gedung yang mengatapi kantor jurusan dan program studi), menuruni tangga yang membawa saya ke emperan Gedung III, dan terus berjalan ke selasar tepat di seberang pintu akses Gedung III. Saya memergoki Tera sedang mengobrol dengan ES di tengah selasar dengan posisi memunggungi saya sehingga mereka tidak menyadari kehadiran saya. Jarak saya dengan mereka agak jauh tetapi saya dapat mendengar setiap ucapan mereka. Saya sengaja tidak mau mendekat dan menyapa mereka, terutama karena saya malu sekali jika dijadikan bahan candaan Edi bahwa saya dan Tera berpacaran. Saya berpura-pura melihat-lihat majalah dinding di sisi selasar.

Obrolan mereka saat itu adalah tentang saya dan bagaimana perasaan Tera terhadap saya. “Aduuh, E, lo jangan bikin Anto malu doong. Kasihan dia. Gue tuh sayang banget sama Anto. Gue kok jatuh cinta sama Anto ya, E. Gue bingung!” ucap Tera.

“Ah, lo biasa aja napa. Anto tuh santai aja kok, emang orangnya cuek banget, tapi gue tau si Anto... kayaknya dia suka juga sama lo, Ter. Jadiin aja,” kata ES menanggapi Tera.

Akhirnya, saya memberi tahu ES dan Tera akan keberadaan saya di selasar itu, namun saya memberi kesan ke mereka seolah saya baru tiba. Tera berbinar-binar melihat saya, dia blushing seperti gadis remaja yang terpergok pria pujaannya. “Hai Anto,” sapanya.

“Hai, Tera,” balas saya sambil melempar senyum. Saya tidak menyempatkan diri untuk berbicara lebih lama dengan dia di selasar itu, dan terus melangkah ke kantin di Gedung IV. Saya sempat mendengar ES menggoda lagi, “Udahlah, lo berdua emang jodoh.” Tera memukul bahu Edi, mungkin karena malu.

Perasaan saya senang ketika tak sengaja mencuri dengar pengakuan Tera ke ES di selasar Gedung III. Tetapi yang saya rasakan aneh, jika mengingat hal itu sekarang, hati saya tidak berbunga-bunga. Biasa saja. Lalu, mengapa saya memimpikan Tera dan saya berpacaran? Justru 35 tahun kemudian.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Agustus 2025

No comments: