TANGGAL 2 Juli 2024 lalu, saya ditelepon oleh satu saudari Subud dari Cabang Batang, Jawa Tengah. Saya mengenalnya pertama kali pada 1 September 2007, saat kami sama-sama menghadiri acara Konsolidasi Pemuda Subud Indonesia di Bandungan, Ungaran, Jawa Tengah. Lama tak bersua, obrolan via telepon WhatsApp yang berlangsung akrab selama tiga jam, 16 menit, itu mendorong saya untuk membagi pengalaman kejiwaan saya dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini.
Salah satu pengalaman yang bagi saya fenomenal adalah manifestasi gaib dari sosok wanita muda yang merupakan anggota Subud Cabang Jakarta Selatan, yang datang ke saya. “Manifestasi gaib” adalah dua kata yang sesungguhnya saling berlawanan. Manifestasi berarti perwujudan bentuk-bentuk yang lebih konkret dari hal-hal abstrak, seperti pikiran, perasaan, gagasan, norma, konsep, dan sebagainya, sedangkan gaib adalah sesuatu yang keberadaannya tidak dapat dijangkau oleh indra manusia, terutama mata lahir.
Kami membicarakan tentang kemungkinan jiwa-jiwa terhubung satu sama lain, yang penyatuannya melampaui cinta biasa. Jiwa-jiwa itu bukan dari masa kini, melainkan dari leluhur di masa yang sangat lampau yang ditakdirkan untuk bertemu dalam lintas kehidupan melalui keturunan masing-masing. Ikatan ini dalam dunia parapsikologi dikenal sebagai “api kembar” (twin flame). Konon, terjadi perpaduan jiwa, menjangkau dari yang halus hingga yang nyata.
Saya kembali dulu ke insiden yang memercikkan api dalam kehidupan saya setahun belakangan ini. Ada orang asing—seorang anggota baru Subud Cabang Jakarta Selatan (saat itu belum genap dua tahun sejak dibuka)—yang kehadirannya (pertama kali via Instagram) menyulut api cinta dalam hati saya; perasaan yang begitu mendalam namun begitu membingungkan karena bertentangan dengan semua preferensi logis saya. Ketertarikan yang sulit saya jelaskan ini tidak didasarkan pada fisik atau rasional; seolah jiwa saya mengenali pasangannya dalam diri orang lain. Cinta itu muncul dari lubuk hati saya, seolah memanggil untuk bersatu dengan orang itu. Kelak, melalui komentar satu pembantu pelatih wanita Subud Cabang Yogya kepada postingan saya di Facebook, saya mengenalnya sebagai twin flame.
Getaran yang saya rasakan melampaui parameter ketertarikan yang biasa, mengisyaratkan ikatan yang dijalin ke dalam jalinan jiwa saya. Cinta yang terasa kuno, namun baru, sebuah paradoks yang hanya bisa dipahami oleh jiwa.
Pengalaman kejiwaan ini menantang saya, mendorong saya keluar dari zona nyaman, dan tampaknya membimbing saya lebih dekat pada kembaran jiwa saya. Saya selalu memandang setiap orang atau peristiwa yang hadir dalam hidup saya membawa pelajaran penting untuk pertumbuhan saya, sebuah potongan puzzle dalam skema besar perjalanan hidup saya. Mengenali orang-orang atau peristiwa-peristiwa dan pelajaran yang mereka bawa tampaknya mengisyaratkan bahwa saya sedang dipersiapkan, dibentuk oleh tangan alam semesta untuk hubungan mendalam yang menanti dengan api kembar saya. Seolah-olah setiap pertemuan adalah batu loncatan, yang menuntun saya melewati labirin pertumbuhan menuju penyatuan.
Tanggal 8 Juli 2024 lalu, saya baca di Memories Facebook saya bahwa pada 8 Juli 2018 saya memposting “7 Juli 25 tahun lalu, saya sidang skripsi di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI”. FSUI sejak tahun 2002 berubah namanya menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIBUI). Rupanya, pada 7 Juli 2018 itu si anggota wanita Subud Jakarta Selatan itu menghadapi sidang skripsinya di Prodi Arkeologi FIBUI. Arkeologi adalah “saudara kandung” dari Sejarah, kantor Prodinya di Gedung III FIBUI pun berhadapan di lantai tiga.
Saya kerap memperhatikan rangkaian angka tertentu yang muncul berulang kali dalam hidup saya. Ini bukan sekadar kebetulan; selama ini saya menyaksikan rangkaian angka-angka dipenuhi dengan energi dan pesan tertentu. Pola numerik berupa tanggal yang memiliki makna tertentu itu ibarat kedipan kosmik, yang menandakan keselarasan jalan saya (dan dia).
Nah, seperti yang saya share kepada saudari Subud Cabang Batang pada 2 Juli 2024 lalu, hubungan saya dan si anggota Jakarta Selatan, yang merenggang pasca saya mendapat teguran dari seorang pembantu pelatih pria, agar tidak mengganggu dia lagi lewat WhatsApp, meskipun lima hari sebelumnya saya dan dia telah berrekonsiliasi, tampaknya berbagi ikatan spiritual yang mendalam yang melampaui jarak fisik. Saya merasakan manifestasi gaib dirinya, kehadiran yang tidak diwakili secara fisik. Saya merasakan sensasi hangat dan nyaman, kadang berupa kesadaran tiba-tiba bahwa jiwanya ada di dekat saya, berjumbuh dengan jiwa saya.
Saudari Subud Cabang Batang itupun membagi
pengalaman yang mirip dengan saya. Ia menyampaikan ke saya apa yang ia dengar
dari penjelasan pembantu pelatih senior Cabang Semarang yang kepada beliau ia
berkonsultasi: Dengan memikirkan seseorang saja, tidak tertutup kemungkinan
jiwa kita mendatangi orang tersebut.©2024
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 11 Juli 2024
No comments:
Post a Comment