Wednesday, July 10, 2024

Kenyataan Hidup

SUBUD adalah tentang menerima. Menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya dengan senantiasa berperasaan sabar, tawakal, dan ikhlas. Menjadi Subud bukanlah untuk menjadi orang yang baik menurut nilai-nilai buatan manusia (produk budaya), melainkan menjadi manusia yang berbudi pekerti yang utama sejalan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Menerima sebagaimana adanya kenyataan hidup, itulah kunci untuk hidup dengan nyaman. Agama-agama mengajarkan untuk mengalihkan perhatian kita dari keburukan orang atau keadaan. Tidak demikian dengan Subud. Subud bukan agama, bukan pula aliran kepercayaan/kebatinan, tetapi penerimaan akan kenyataan hidup dengan sabar, tawakal dan ikhlas berserah diri kepada kehendakNya. “Mengalihkan perhatian” malah mengingkari ke-Subud-an kita agar tidak lari dari kenyataan.

Saya menuangkan tulisan ini terinspirasi oleh satu saudara Subud, seorang pengungsi Afghanistan yang telah sepuluh tahun tinggal di Indonesia namun kemampuan berbahasa Indonesianya sangat terbatas. Ia tak pernah berminat belajar bahasa Indonesia lantaran di benaknya hanya tersimpan keinginan kuat untuk pindah ke Amerika Serikat (AS).

Sebut saja namanya Shalifi. Dibuka di Subud Ranting Pamulang pada 18 November 2023, Shalifi mengenal Subud lewat kawannya sesama pengungsi Afghanistan yang telah dibuka satu tahun sebelumnya. Kawannya itu telah bermigrasi ke Australia; ia berangkat kira-kira dua minggu setelah Shalifi dibuka.

Kemarin malam, 10 Juli 2024, Shalifi menyusul saya dan Kadariah Trúc Đào Nguyên, saudari Subud Vietnam yang datang ke Indonesia untuk menghadiri Kongres Dunia Subud ke-16 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ke Gokskin di Jl. Caringin Barat, Jakarta Selatan, usai Latihan di Wisma Barata Pamulang. Baru kenal Shalifi malam itu di Wisma Barata Pamulang, Kadariah tak segan untuk bertanya kepadanya apakah ia kecewa dengan kenyataan hidupnya sebagai pengungsi. Kadariah mengharapkan jawaban yang jujur dari Shalifi.

Pria yang telah menjalani hidup selama 45 tahun sebagai pengungsi—35 tahun di Iran, sepuluh tahun di Indonesia—itu menyatakan bahwa ia kecewa. Tetapi Shalifi lebih kecewa lagi dengan kenyataan yang ia dapat di Subud. Ia menyangka bahwa dengan berserah diri kepada Tuhan seseorang harusnya sudah “berperilaku baik”. Pikiran Shalifi rupanya terkontaminasi persepsi publik yang ditanamkan ajaran agama bahwa Tuhan itu “makhluk kebaikan”, “makhluk yang santun”, “makhluk yang beradab”. Tuhan yang diajarkan agama, menurut saya, adalah entitas gaib buatan manusia, yang disusun dari kerangka nilai-nilai yang diproduksi akal pikir manusia yang sejalan dengan tujuan duniawi manusia.

Shalifi mencontohkan satu saudara Subud yang beberapa kali ia jumpai di Wisma Barata Pamulang, yang mengacuhkan permintaan tolongnya untuk mendapatkan lima orang sponsor sebagai syarat dari pemerintah AS bagi mereka yang ingin bermigrasi ke negara itu dan menjadi warga negara. Shalifi juga mengungkapkan kekecewaannya atas respons negatif dari Subud AS dan Susila Dharma AS terhadap emailnya yang meminta bantuan untuk kepindahannya ke Amerika Serikat.

Saya katakan kepadanya bahwa itulah kenyataan hidup. Subud itu apa adanya, tidak menyelubungi hidup dan kehidupan dengan kepura-puraan, supaya terlihat manis atau keren agar makin banyak orang yang masuk Subud. Bila ia rajin dan tekun dalam berlatih kejiwaan, niscaya ia akan terbimbing untuk menerima kenyataan itu dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Tidak bisa kita mengharapkan semua orang seragam dalam perilaku baik berdasarkan nilai-nilai yang kita anut. Saya kira, Tuhan menciptakan semua makhlukNya berbeda satu sama lain, sekalipun dalam golongan yang sama.

Kadariah dan saya terus menekankan kepada Shalifi agar ia “memperdalam” Latihannya, agar ia rajin dan tekun melakukan Latihan, total berserah diri tanpa memikirkan terus cara untuk bisa pergi ke Amerika Serikat. Kadariah merasakan ia masih terpusat di akal pikirannya, sehingga menutup penglihatannya dari berbagai kemungkinan lebih baik.

Menutup cengkerama kami di Gokskin, karena Shalifi harus pulang, saya mengutarakan ide iseng saya untuk motto hidupnya ke depan: “Before going to the US (United States), do the US (unconditional surrender).”©2024

                                 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Juli 2024

No comments: