BEBERAPA waktu lalu, saya membagi di sebuah grup WhatsApp Subud Indonesia tentang pengalaman dengan apa yang Bapak sebut sebagai “Ilmu Pisah”. Istilah dari Bapak ini diterjemahkan sebagai “chemistry” (ilmu kimia) dalam versi berbahasa Inggris dari ceramah-ceramah Bapak mengenai itu, jadi saya menduga “Ilmu Pisah” kemungkinan merupakan terjemahan pribadi Bapak dari kata berbahasa Belanda “scheikunde” (schei = pisah, kunde = ilmu), istilah orang Belanda untuk “ilmu kimia”.
Tidak mengetahui bahwa istilah itu memang aslinya dari Bapak, satu saudara Subud menolak penyebutan “ilmu” karena menurut dia Subud bukan ilmu. Menurut dia, ilmu mengacu pada pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa, dan ada aturan-aturan yang harus diterapkan untuk sampai pada suatu pengertian. Sedangkan Subud tidak mengenal aturan-aturan, dan kita hanya harus menerima dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Kami sepakat pada satu hal: Bahwa sebagai anggota Subud kita tidak “bisa”, melainkan “dibisakan” oleh suatu Kenyataan Maha Tinggi. Untuk menghindari perdebatan, saya ikuti saja maunya dia.
Terkait “keterpisahan”, saya pernah mengalami fenomena yang aneh. Kira-kira sebulan setelah saya dibuka, dalam Latihan saya tidak bisa mengucapkan “Allah” dengan benar; ucapan saya selalu meleset karena mulut saya meleyot-leyot tidak karuan. Karena takut (merasa berdosa), saya menghentikan Latihan saya, mulai merencanakan dalam pikiran saya untuk berucap secara benar dan memantapkan pikiran itu. Bagaimanapun, meski saya terus memantapkan pikiran saya, ucapan saya tetap meleset.
Di situlah saya memahami bahwa dalam bimbingan Latihan pikiran tidak selalu harus sejalan dengan ucapan. Ada suatu Kekuasaan yang melampaui eksistensi saya yang memisahkan dua hal itu tanpa saya kehendaki!
Baru-baru ini, saya memenuhi janji bertemu dengan satu calon mitra bisnis yang akan menjembatani saya, dalam kapasitas saya sebagai konsultan branding, dengan seorang politisi Indonesia yang ingin personal branding-nya memiliki dampak yang lebih luas. Calon mitra bisnis itu adalah seorang wanita berusia paruh baya yang cantik dan tampaknya suka berpakaian yang mengundang minat laki-laki.
Ketika bertemu dengan saya di sebuah restoran kelas atas di dekat Wisma Subud Cilandak, ia mengenakan blus putih dengan dada rendah yang menampakkan belahan dadanya. Saya duduk berhadapan dengan dia di meja, dan penampilannya yang sedemikian rupa serta sikapnya yang manja dan cenderung menggoda memecah konsentrasi saya. Saya berdoa agar saya dapat menjaga integritas profesional saya, namun apa daya, mata dan pikiran saya sulit diajak bekerja sama. Mereka berfokus pada penampilan si wanita, dan pikiran saya dipenuhi fantasi liar yang tidak pantas.
Yang mengherankan saya saat itu adalah kenyataan bahwa pikiran kotor saya tidak mengendalikan ucapan saya. Secara lisan, saya tetap mengucapkan kata-kata yang relevan dengan apa yang si wanita ingin konsultasikan ke saya: Perihal kompleksitas strategi personal branding, lengkap dengan teori-teori implementasi yang sangat saintifik. Dengan kata lain, saya berpikir tanpa berpikir, terbimbing oleh Latihan, sementara mata dan pikiran jasmaniah saya mengembara ke “hal-hal memalukan”.
Mendengarkan penjelasan saya yang dianggapnya
berintegritas secara profesional, si wanita mengira saya tidak tergoda oleh
penampilannya sehingga ketika saya selesai memberikan masukan ia segera membenahi
blusnya agar tidak mengekspos bagian tubuhnya. Saya, di lain pihak, selama
beberapa jenak terdiam, menikmati setrum Latihan di sekujur tubuh saya serta
meresapi pengalaman sebelumnya dengan Ilmu Pisah.©2024
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 27 Juli 2024
No comments:
Post a Comment