PERKUMPULAN Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK Subud) sebagai organisasi memang baru lahir pada 1 Februari 1947. Belum terlalu tua, dibandingkan perkumpulan-perkumpulan spiritual besar lainnya di dunia, yang bahkan sudah ada sebelum abad pertengahan (dalam sejarah Eropa berlangsung dari abad ke-5 hingga ke-15). Meskipun demikian, PPK Subud memiliki sejarah, sebuah linimasa riwayat kaya cerita yang bukan omong kosong, alias pengalaman nyata dari pendirinya dan generasi pertama—yang menerima Latihan Kejiwaan sebelum organisasi PPK Subud berdiri.
Yang mengetahui segala sesuatu tentang Latihan Kejiwaan hanya Bapak, panggilan para anggota Subud yang dialamatkan, sebagai bentuk hormat dan cinta, kepada Raden Mas Mohammad Soeboeh Soemohadiwidjojo (22 Juni 1901-23 Juni 1987). Karena beliaulah yang pertama kali menerimanya melalui suatu pengalaman gaib. Walaupun tentang hal ini telah berkali-kali Bapak ceritakan, baik di otobiografi beliau maupun ceramah-ceramah beliau, gambaran sejatinya Latihan Kejiwaan belumlah menyeluruh bagi para anggota. Sehingga tak mengherankan bila generasi pasca Bapak mendapatkan penafsiran-penafsiran belaka mengenai Latihan Kejiwaan.
Bapak sendiri juga berulang kali menganjurkan “Latihan saja!” kepada para anggota, agar mereka berangsur-angsur mengerti apakah sejatinya Latihan Kejiwaan menurut kapasitas pengertian masing-masing. Sifat Latihan itu sendiri memang sangat luas, melampaui cakrawala pengetahuan akal pikir manusia. Yang dipahami seseorang pada suatu ketika akan berbeda pada masa yang berikutnya. Namun, perlu diketahui asasnya; dengan membaca sejarah turunnya wahyu Latihan Kejiwaan dapat diketahui mengapa Bapak menerimanya. Setidaknya, hal itu dapat menjadi tolok ukur bagi kita sekarang.
Tidak ada keharusan apa pun di Subud, termasuk mendengarkan rekaman audio/video atau membaca transkripsi ceramah Bapak. Tapi, kalau saya, saya berusaha menggali sebanyak-banyaknya informasi mengenai asal-usul Subud dan Latihan Kejiwaannya, melalui berbagai literatur. Karena bagi saya, dengan mengetahui asal usul sesuatu atau seseorang, bahkan diri kita sendiri, saya menjadi tahu ke mana kehidupan ini mengarah.
Saya menyadari betapa pentingnya membaca sejarah sejak masuk Subud. Membaca di sini bisa berarti “menggunakan mata lahir untuk menelusuri tulisan dalam sebuah naskah” atau “menggunakan mata batin untuk merefleksi diri terhadap orang dan peristiwa” (dalam bahasa Jawa disebut “niteni”) atau kedua-duanya. Walaupun saya pribadi merupakan seorang sarjana strata satu dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, kepedulian saya pada sejarah saya sendiri dipicu dan dipacu oleh kenyataan bahwa Latihan Kejiwaan memperkenalkan saya pada semua hal yang telah diwarisi leluhur saya, mulai dari orang tua saya sampai ke lapisan-lapisan di atas mereka.
Selain itu, saya juga dapat mengetahui apa maksud Bapak sebenarnya dengan sejumlah aspek dari Latihan Kejiwaan. Ada satu mekanisme di Subud yang disebut “testing”, yaitu merasakan baik atau buruknya, manfaat atau mudaratnya, suatu pemikiran atau perkataan, perbuatan atau perasaan. Sebagian pembantu pelatih bersikeras bahwa testing hanya boleh dilakukan dengan didampingi pembantu pelatih dan hanya bila anggota memiliki suatu keperluan—biasanya berupa masalah yang tidak mampu diatasi anggota dengan mengandalkan akal pikir semata.
Melalui memoar Varindra Vittachi dan Husein Rofé, contohnya, yang mengisahkan awal mula Subud, saya menemukan penjelasan asal usul kata “testing”. Pencetus kata itu sendiri adalah John Bennett, pemimpin Gurdjieff di Coombe Springs, Inggris, yang seorang poliglot (mampu menguasai banyak bahasa asing). Sebagai penerjemah Bapak ketika Bapak mengunjungi pertama kalinya Inggris pada tahun 1957, Bennett tidak menemukan padanan istilah yang tepat dalam bahasa Inggris untuk apa yang Bapak katakan sebagai “merasakan diri”, dan spontan menerjemahkannya sebagai “to test yourself” (menguji diri sendiri).
Husein Rofé menulis dalam The Path of Subud bahwa Bapak kerap mengatakan “terima” (receive) untuk apa yang kelak disebut sebagai “testing”. Kedua praktik tersebut, merasakan diri dan terima, telah dibiasakan ke saya oleh pembantu pelatih di PPK Subud Cabang Surabaya yang telaten mendampingi saya sejak saya dibuka. Kedua praktik tersebut telah menjadi otomatis bagi saya, tidak perlu ritual khusus dengan pendampingan pembantu pelatih. Karena, kata Bapak, anggota pada dasarnya harus mandiri, tidak bergantung pada Bapak, Ibu Rahayu atau pembantu pelatih.
Secara kejiwaan maupun dalam
kehidupan sehari-hari kita, kita harus terus-menerus membaca sejarah. Sejarah
itu penting bagi kita. Karena hidup tanpa sejarah adalah seperti tanaman tanpa
akar—tidak dapat tumbuh dan berkembang.©2021
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Desember 2021
No comments:
Post a Comment