“Sebab memang bagi
seseorang yang belum mengalami kepuasan di dalam kejiwaan mudah sekali
menyamakan ini dengan lainnya, karena lainnya banyak juga yang menampakkan di
dalam latihannya serupa dengan kita.”
—Mohammad
Soeboeh, Eindhoven, Belanda, 11 Oktober 1957
BEBERAPA bulan lalu, seorang berkebangsaan Melayu yang tinggal di Malaysia menghubungi saya via Telegram. Ia mendapat informasi nomor kontak saya dari satu saudari Subud di Malaysia – seorang wanita Inggris beragama Islam yang sudah menjadi warganegara Malaysia.
Orang Melayu Malaysia itu ingin dapat mengandidat di Subud, tetapi masalahnya sulit mengakses Subud di Malaysia, yang center-nya hanya ada di Kuala Lumpur, yang cukup dekat dengan tempat tinggalnya di Subang Jaya, Selangor, tetapi karena sedang lockdown ia tak dapat bepergian. Selain itu, warga muslim Malaysia dilarang ikut Subud atau perkumpulan-perkumpulan yang dipandang pemerintah sana merupakan sekte atau bagian dari sebuah jalan yang “tidak sejalan” dengan agama Islam.
Dalam obrolan kami, terungkap bahwa ia seorang praktisi qigong, yang sudah cukup lama menekuni sistem kuno dari Tiongkok yang bermanfaat untuk menjaga atau meningkatkan kondisi kesehatan dengan cara mengintegrasikan sikap tubuh, teknik pernafasan dan pemfokusan pikiran itu. Ia menyatakan bahwa, menurutnya, Latihan Kejiwaan, sama dengan sistem Tiongkok yang dianutnya itu.
Saya pun merasakan bimbingan untuk merespons pernyataannya – dalam bahasa Inggris: “Kalau qigong sama dengan Latihan Kejiwaan, mengapa Anda masih ingin Latihan Kejiwaan?”
Si pria Malaysia itu lama tidak menjawab, sehingga saya rasa ia kena skakmat dengan jawaban saya, yang saya sendiri tidak menduganya. Tetapi ia tetap memberi jawaban, dan jawabannya adalah bahwa qigong tidak memiliki aspek spiritual. Dari jawaban itu, saya jadi tahu bahwa ia tampaknya kurang memahami apakah itu “spiritualitas”. Berdasarkan pengalaman saya ketika mempelajari taichi dan meditasi, sebelum saya ikut Subud, “seharusnya” qigong juga merupakan teknik pengembangan spiritualitas, di samping untuk kesehatan. Karena dalam pengertian saya, seseorang yang secara spiritual baik, baik pula kualitas kesehatannya.
Menyama-nyamakan sesuatu yang kita miliki atau bahkan diri kita sendiri dengan apa yang dipunyai atau diri orang lain menunjukkan ketiadaan integritas kita. Bila kita memiliki integritas diri yang tinggi, orang-orang di sekitar kita dapat melihatnya melalui tindakan, kata-kata, keputusan, metode yang kita lakukan, serta hasil yang kita dapatkan. Kita menjadi pribadi yang utuh dan konsisten, sehingga di mana pun dan apa pun kondisinya, diri kita hanya ada satu. Kita menjadi tidak sama dengan orang lain. Di Subud, saya belajar melalui bimbingan kekuasaan Tuhan, untuk menjadi diri sendiri, yaitu menjadi pribadi yang konsisten sepanjang waktu, tidak ikut-ikutan atau meniru gaya hidup orang lain.
Saya pernah beberapa kali ditanya sejumlah orang yang ingin mengetahui tentang Subud. Rata-rata merasa “galau” dengan pernyataan – entah dari mana mereka mendengar atau di mana mereka membacanya – bahwa Subud adalah jalan yang paling benar. Lagi-lagi, saya terbimbing untuk menjawab sebagai berikut: “Kalau Anda merasa Subud adalah jalan yang paling benar, silakan masuk Subud. Kalau Anda tidak merasa begitu, ya tidak usah masuk Subud. Simpel saja kan?!”
Nah, kebanyakan yang bertanya itu minta pendapat saya sendiri bagaimana. Saya menjawab, “Pendapat saya tidak penting. Yang penting itu pendapat Anda sendiri. Jadilah diri sendiri, yakinilah apa yang menurut Anda benar. Hiduplah dengan keyakinan Anda, bukan dengan apa yang menurut orang lain benar.”
Menurut saya, mengapa kita perlu berbeda adalah karena Tuhan menciptakan makhlukNya juga berbeda-beda. Masing-masing orang dibekali sistem hidup yang hanya untuk dirinya. Sistem kesintasan (survival system) yang berlaku bagi satu orang tidak selalu bisa digunakan oleh orang lainnya. Bagi saya, Latihan Kejiwaanlah yang baik dan tepat, namun belum tentu bagi orang lain, meskipun nilai-nilai prinsipal dari susila, budhi, dan dharma mungkin bersifat universal dan baik bagi semua umat manusia.©2021
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 10 Desember 2021
No comments:
Post a Comment