Sunday, May 10, 2020

Apalah Arti Sebuah Nama?


“APALAH arti sebuah nama?" tanya Shakespeare. Bagi sastrawan mashur kelas dunia asal Inggris ini, sebuah nama mungkin hanyalah sesuatu yang sepele. Mawar jika tidak dinamai “mawar” tidak akan hilang keharumannya, demikian kilahnya. Saya kira, tidak sesimpel itu. Mungkinkah nama Shakespeare akan mendunia lewat karya-karya sastranya andaikata namanya bukan “Shakespeare”?

Dalam bidang penjenamaan (branding), nama memainkan peran penting. Penamaan menempati posisi teratas dalam rangkaian jenjang ekuitas merek (brand equity), karena nama mewakili identitas dari sesuatu yang hendak dijenamakan. Bila nama yang diberi pada sesuatu tidak merepresentasi kekhasan sesuatu yang dijenamakan, dijamin upaya penjenamaannya akan tersendat-sendat.

Sebuah merek tidak bisa serta-merta diberi sebuah nama, semata karena nama tersebut terdengar indah atau baik. Nama yang diberi harus mengandung nilai-nilai tertentu dari budaya di mana merek tersebut lahir. Begitu pun, tidak menjamin merek tersebut dapat langgeng di tengah budaya lainnya, yang berkontradiksi dengan budaya asal si merek.

Ambil contoh minuman dalam kemasan berjenama Pocari Sweat. Minuman itu diproduksi oleh sebuah perusahaan farmasi asal Jepang, yang juga memproduksi cairan infus, bernama Otsuka Pharmaceutical Co., Ltd. Nama Pocari Sweat mungkin terdengar gagah, dan mewakili kegunaannya, yaitu mengganti ion tubuh yang hilang bersama keringat (sweat). Namun kesuksesan merek tersebut sempat tersendat-sendat begitu beredar di tengah masyarakat Amerika yang melihat cairan isotonik di dalam kemasannya keruh, yang dipersepsikan konsumen Amerika sebagai air perasan keringat, sehingga menimbulkan rasa jijik.

Nama memiliki makna yang signifikan di sejumlah budaya, termasuk Jawa. Tapi bukan karena Subud berakar di Jawa, sehingga ada kebiasaan mengganti nama lahir anggota Subud dengan “nama jiwa”. Selain sebagai identitas seorang manusia di dalam masyarakat, nama dipercaya sebagai doa atau harapan, bukan hanya bagi masyarakat Jawa, melainkan di berbagai budaya lainnya. Saya menamai putri saya, contohnya, “Nuansa Biru Oceania”, karena makna filosofisnya mewakili harapan saya terhadapnya: Semoga “cantik di bawah (dalam) maupun di permukaannya (luar)”.

Nama Subud saya, “Arifin”, bisa jadi mewakili harapan banyak orang terhadap diri saya, agar saya tidak lagi berkelakuan layaknya anak-anak—yang diwakili nama lahir saya, “Anto”, yang merupakan derivasi dari kata “ananda”—dan terbimbing menuju pribadi yang arif dan bijaksana. Percaya atau tidak, kebetulan atau tidak, sejak menyandang nama Arifin, Latihan Kejiwaan menuntun transformasi diri saya secara bertahap ke arah saya yang lebih arif dan bijaksana dalam pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan.

Bagaimanapun, sebuah nama tidak serta-merta atau dalam sekejap mengubah sikap dan perilaku seseorang. Serangkaian proses tetap harus dilalui seseorang agar dirinya dapat sejalan dengan nama yang disandangnya.

Jadi, di Subud, perubahan nama bukan sesuatu yang “asal terima langsung jadi”; perubahan nama berkonsekuensi dengan tanggung jawab yang juga harus disesuaikan dengan nama tersebut. Saya ingat pada sebuah insiden saat saya duduk di bangku SMA dahulu. Seorang kawan sekelas bernama Syarif Hidayatullah, panggilannya “Bob” (barangkali dia merasa terbebani dengan nama aslinya). Sebuah tanggung jawab besar dipikul si pemilik nama, karena nama Syarif Hidayatullah dipersepsikan khalayak sebagai tokoh Islam salah satu dari sembilan wali (wali sanga) yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, dan tentunya memiliki karakter berkualitas terbaik.

Nyatanya, kawan saya ini tidak mencerminkan hal itu: di kelas dia terkenal nakal, berani melawan guru, dan suka membuat kegaduhan. Suatu hari, seorang guru baru berwujud perempuan muda terpancing amarahnya oleh kelakuan Bob yang menyebalkan, hingga si guru berkomentar, “Nama kamu Syarif Hidayatullah tapi kelakuan kamu nggak pas untuk nama itu!”

Nah kaan, terbukti nama tidak boleh sembarangan diberi. Bagaimanapun, bertahun-tahun kemudian, Bob yang saya jumpai kembali lewat Facebook beberapa tahun lalu ini telah bertransformasi menjadi pribadi yang alim, taat beragama, dan berkelakuan sekualitas nama tokoh Islam yang disandangnya.

Tuuh kaan, nama adalah segalanya, Tuan Shakespeare!©2020


GPR, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Mei 2020


No comments: