Saturday, May 9, 2020

Ambil Alih Kendalinya!


“KENAPA lo keto?” tanya saya pada salah seorang kawan yang saya ketahui menjalani diet ketofatosis. Kawan ini menjawab bahwa beberapa teman sekantornya dan kerabatnya menganjurkannya agar ia melakukan metode diet tersebut untuk memelihara kebugaran tubuhnya. Dia percaya pada anjuran mereka dan menjalaninya tanpa mempertimbangkan apa yang sejatinya ia butuhkan.

Di lain kesempatan, seorang kawan lainnya bercerita bahwa ia terusik dengan postingan-postingan dari satu teman Facebooknya, yang dirasakannya sebagai sindiran terhadap atau persaingan melawan dirinya. Ia pun memosting balasan dengan pendekatan yang sama: Sinisme! Saya diam saja mendengar penuturan dirinya mengenai semua rencana pembalasannya.

Kawan lainnya lagi, yang sudah lama lost contact dengan saya, ketika bertemu lagi, saya lihat penampilan dirinya berbeda 180 derajat dari yang terakhir kalinya kami berjumpa beberapa tahun lalu. Ia mengenakan atribut-atribut yang dipersepsikan sebagai identitas agama tertentu. “Gue hijrah, Fin. Sudah saatnya, menurut teman-teman gue di pengajian.”

Saya kasihan pada orang-orang seperti ini. Mudah sekali mereka dikontrol oleh lingkungan mereka, tak menyadari bahwa sesungguhnya mereka dapat mengatasinya sejalan dengan apa yang sejatinya mereka butuhkan. Ingin sekali saya berteriak lekat-lekat di telinga mereka: “Ambil alih kendalinya!”

Yang tahu diri kita hanya kita sendiri dan Tuhan. Atau, menurut pengertian saya, hanya Tuhan yang Maha Tahu apa yang dibutuhkan diri kita. Orang lain boleh saja dijadikan acuan, tapi jangan sebagai alasan utama untuk berubah. Alasan utama dan paling penting dalam keputusan kita untuk melakukan atau tidak melakukan haruslah diri kita sendiri. Jangan sampai apa yang kita pilih untuk kita lakukan atau tidak lakukan malah mencelakai kita di kemudian hari.

Namun, memang, tidak semua orang mau menyadarinya. Banyak orang tidak percaya diri, dan mengandalkan apa yang dikatakan orang lain. Kebanyakan alasan untuk ini adalah kekhawatiran bilamana pilihan atau keputusan mereka sendiri ternyata salah atau keliru. Banyak orang men-switch off suara diri (inner voice) mereka sendiri, sering bahkan untuk hal-hal yang penting bagi hidup mereka.

Banyak orang membiarkan diri mereka larut dalam suatu keadaan yang diciptakan orang lain. Tak sedikit orang yang secara tak sadar mengaplikasikan citra-citra tertentu pada diri mereka, yang sebenarnya bukan aslinya mereka, melainkan merepresentasi kehendak orang lain. Ingat, tidak akan ada yang peduli bila keadaan itu malah menjauhkan kebahagiaan sejati kita! Kita mungkin merasa senang diterima oleh orang lain, dicintai orang banyak. Tapi apa artinya penerimaan atau cinta, jika kesejatian kita terkikis karenanya?

Hakikatnya, manusia diberi bekal tuntunan atau bimbingan melalui apa yang disebut sebagai suara diri. Suara diri, yang terdengar hanya di tengah ketenangan rasa diri, menyuarakan kebenaran. Kebenaran yang bersifat pribadi, hanya mutlak bagi si pemilik diri. Suara itu hanya “membacakan ulang” kitab pedoman yang telah dituliskan di dalam diri setiap orang.

Orang-orang yang mendengarkan suara diri mereka adalah orang-orang yang memegang kendali atas hidup mereka; atas bagaimana mereka seharusnya menjalani hidup sejalan kepribadian masing-masing. Dan tidak ada orang yang tidak memiliki suara diri; yang ada adalah orang yang menolak suara dirinya.

Saran orang lain, sebaik apa pun itu, tidak selalu baik atau berguna bagi kita. Meniru plék (seperti mesin fotokopi atau pemindai) tak jarang mencelakai peniru, biarpun yang ditirunya adalah sesuatu yang baik. Baiknya, lakukan pertimbangan yang masak, perenungan dengan menggunakan akal pikir, lalu rasakan diri kita tentang bagaimana baiknya, kemudian serahkan apa pun keputusan kita kepada Tuhan. Dia yang akan memperbaiki apabila kita salah memilih atau mengisi kekurangan kita dalam menjalankan apa yang kita pilih untuk kita tuju. Jangan takut, kendali ada di tangan kita!©2020


GPR, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 10 Mei 2020

No comments: