Sunday, May 30, 2010

TUHAN, HUTAN, HANTU, TAHUN

Siapa pikir dirimu kau tahu kehendak Tuhan?

Ketika engkau serasa dalam kegelapan, bisa saja kau menghuni lebatnya Hutan di mana kau melewati semadi

Awas, begitu dia muncul seperti pintamu, kau akan mengiranya Hantu

Di mana dia yang berkuasa, mencipta, hidup dan menghancurkan?

Di mana dia yang katamu menyalurkan cinta, menanamkannya, dan kamu menerima buahnya?

Tunggulah dalam Tahun dan masa-masa yang panjang,

yang kau kira adalah kenyataan alami,

padahal hanya ilusi pikiran yang nyata-nyata menipu dengan kata-kata yang membolak-balik hati



Kau tidak tahu apa-apa tentang Tuhan -- dengan kehendaknya,

yang kau katakan menuntunmu setiap waktu,

yang membuatmu merasa berkuasa atas yang lain yang tidak berkontak dengannya

Bahkan kau memusuhi Hantu yang bergentayangan dalam kusutnya Hutan pikiranmu

Mengabaikan pikiran adalah dusta yang kau buat untuk dirimu

dan kau tandaskan Rahsa yang berdiri di atas semua

Padahal dengan pikiran pula kau memilikinya...



Permenungan -- Wisma Subud Cilandak, Jakarta Selatan, 30 Mei 2010

SEDETIK KEMUDIAN

“Ketika kita melihat jauh ke dalam, kita memahami keseimbangan sempurna kita. Tidak ada ketakutan akan siklus kelahiran, kehidupan dan kematian. Karena bila Anda berada di saat ini, Anda pun abadi.”
—Rodney Yee, instruktur Yoga dari Amerika Serikat



Waktu baru menjadi mahasiswa di Jurusan Sejarah FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang sekarang menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, FIB), saya dan teman-teman kuliah saya diberitahu oleh salah seorang dosen dalam suatu kuliah pengantar, bahwa sedetik yang lalu pun sudah bisa disebut ‘masa lalu’, alias sejarah. Dalam tata bahasa Inggris, penyebutan kata kerja yang baru lewat sedetik sudah menggunakan bentuk lampau (past tense).

Dengan kata lain, kajian sejarah sebenarnya bukan cuma peristiwa kehidupan yang telah lapuk termakan zaman dan berdebu, yang dikenal sebagai Tempo Doeloe. Peristiwa kehidupan yang masih kinclong pun, bila sudah lewat, walau cuma sedetik, sudah bisa disebut sejarah.

Sementara itu, menurut kepahaman saya, sedetik kemudian adalah masa depan, yang kita tidak punya pengetahuan tentangnya. Kawan saya suatu ketika mengungkapkan kekhawatirannya terkait apa yang bakal dialaminya atau dihadapinya lima sampai sepuluh tahun dari hari itu. “Kenapa lu cemasin apa yang bakal terjadi ama lu di masa depan? Lha, sekarang aja lu kagak tau kan sedetik kemudian lu bakal ngalamin apa?” kata saya. Kawan saya tertegun mendengar pernyataan saya. Saya sendiri ngeri membayangkan ‘sedetik kemudian’ itu. Pikiran bahwa sedetik kemudian nyawa saya dicabut, misalnya, ternyata cukup mengganggu saya. Saya tidak bisa lain daripada berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal menghadapi ‘waktu di depan’ yang tidak bisa saya perkirakan apa maunya.

Pengalaman nyeleneh itu membawa pengertian pada diri saya mengenai petuah bijak Sang Buddha untuk hidup pada saat ini, hadir sepenuhnya untuk hari ini, bukan mempermasalahkan masa lampau atau merisaukan masa depan. Hidup pada saat ini artinya kita tidak berangan-angan, atau hidup pada masa lampau berdasarkan pengalaman dan kejadian-kejadian yang sudah berlalu. Bila kita pernah melewati pengalaman indah, itu sudah terjadi dan sudah kita nikmati (kalau belum pun, tidak usah disesali). Lebih baik mensyukuri saat ini. Tetapi banyak dari kita yang memilih untuk menutup pandangan kita dan memilih untuk hidup di masa lalu atau hidup di masa depan yang penuh ilusi.

Pesan dasar dari buku Eckhart Tolle, The Power of Now – Pedoman Menuju Pencerahan Spiritual (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007) adalah bahwa modus kesadaran kita dapat ditransformasikan. Kunci untuk terbebaskan dari pikiran yang egois, dengan segala konsekuensinya, adalah dengan menjadi sangat sadar akan saat ini, atau, seperti sering disebut oleh Tolle, ‘Saat Sekarang’.

Tolle menganjurkan agar kita memberlakukan tiga hal pada diri kita agar dapat mencapai Saat Sekarang, yaitu Keterhubungan (connectedness) dua arah antara diri kita dengan Eksistensi (atau Tuhan, atau apa pun yang Anda yakini) serta dengan makhluk-makhluk lainnya;Penerimaan (acceptance) akan kehidupan sebagaimana adanya pada saat ini, tanpa disertai penlabelan atau penghakiman. Tolle juga menganjurkan penyerahan diri kepada keadaan Saat Sekarang – berserah diri adalah menerima saat ini tanpa syarat dan tanpa penolakan. Berserah diri, kata Tolle, murni merupakan fenomena batin, yang dapat mengubah sikap kita sehingga kita dapat menerima keadaan-keadaan sebenarnya saat ini. Maka kita akan dapat bertindak secara positif untuk mengubah situasi yang sedang berjalan, dan tindakan positif semacam itu cenderung lebih efektif daripada jika dilakukan dengan amarah, frustrasi atau resistensi yang penuh keputusasaan; Kegembiraan Mengada (the joy of being) – alih-alih menderita terdapat kedamaian, keheningan dan kegembiraan. “Segera setelah Anda menghargai Saat Sekarang, seluruh rasa tidak bahagia dan perjuangan luruh, dan hidup mulai mengalir dengan kegembiraan dan ketentraman,” tulis Tolle dalam bukunya.

Masa lalu adalah pembelajaran untuk memandu perjalanan kita di masa sekarang. Sedangkan masa depan seyogianya menjadi sekadar arah harapan kita, yang harus disikapi dengan bijaksana, diperkuat oleh kesadaran untuk menyerah dengan sabar, ikhlas dan tawakal. Kita takkan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, meski kita dibekali dengan ramalan yang dijamin kejituannya. Merupakan kegiatan yang buang-buang waktu dan energi saja memikirkan kita menjadi apa atau akan mengalami bertahun-tahun ke depan, sedangkan untuk menebak apa yang akan terjadi sedetik kemudian saja kita tak mampu. “Lu bisa jamin sedetik dari sekarang lengan lu nggak digigit nyamuk?” imbuh saya, memberi contoh kepada kawan tadi. Meski saat itu ruangan di mana kami berada banyak nyamuknya, lengan kiri kawan saya yang saya jadikan contoh tidak dihinggapi nyamuk. Sebaliknya, ia malah menempeleng pipinya sendiri, lantaran menjadi landasan empuk bagi satu nyamuk gemuk.

Kejadian itu mengisyaratkan bahwa apa yang terjadi di waktu yang belum tiba berada di luar jangkauan kita. Jadi, mengapa harus dirisaukan? Hidup saja untuk saat ini, detik ini. Nikmati yang diterima, seiring rasa syukur lantaran napas Anda masih berembus saat ini.©



Memperingati Hari Tri Suci Waisak 2554 BE/28 Mei 2010

CINTA, Yang Membuat Semua Ada

Buat dia yang padanya kutanamkan cinta:


Dengan cinta
aku bisa membangun dunia

Dengan cinta terbuka mata
untukku berkarya melampaui raga

Dengan cinta, menggetar rasa pada cipta,
menggelar karsa pada cita

Dengan cinta, mimpi-mimpi tak pernah usai
walau badan tak lagi terbuai

Dengan cinta bisa kujangkau yang jauh, tanpa jenuh

Dengan cinta dapat kudekap yang dekat, terasa nikmat

Dengan cinta, deret syair tak berhenti mengada

Dengan cinta, sungai puisi mengalir tak dilekangi masa

Dengan cinta pula aku mampu membendungnya,
agar kau punya waktu meresapi kekuatan cinta yang kupunya...




Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 27 Mei 2010

Wednesday, May 26, 2010

Rumah yang Bisa Dibawa ke Mana-Mana

“Pikiran, seperti rumah, diisi oleh pemiliknya, sehingga jika hidup seseorang dingin dan hampa ia tidak bisa menyalahkan siapa pun kecuali dirinya.”
—Louis L’Amour (1908-1988), Bendigo Shafter



Setiap kali mendapat penugasan keluar kota atau keluar Pulau Jawa, seperti yang dua tahun belakangan ini saya terima, tak jarang saya membawa kopor besar, atau bila bukan kopor saya bawa satu tas ransel dan satu tas perjalanan (travel bag). Rasanya, saya ingin bawa banyak, yang saya pikir dapat membuat saya serasa di rumah di mana pun saya berada. Jika memungkinkan, ingin saya rasanya saya membawa rumah saya. Bagaimanapun, itu tidak mungkin, kecuali saya memang berniat pindah rumah.

Persoalan ketergantungan pada tempat menghinggapi siapa saja, saya kira. Orang-orang yang mudah dijangkiti kerinduan akan rumah (home-sick) sudah tentu akan mengalami masa yang sulit ketika mereka menjalani pekerjaan serupa saya, yang sebagai penulis wisata (travel writer) mesti sering berada jauh dari rumah demi merekam sudut-sudut indah dari tempat-tempat kunjungan wisata.

Ketergantungan pada tempat untuk melakukan sesuatu, atau sekadar menghuninya, bukan hanya simtom yang menyerang ‘orang rumahan’, melainkan juga para umat beragama dan pejalan spiritual. Umat beragama memang membutuhkan rumah ibadah dalam wujud lahiriahnya, meski itu tidaklah terlalu mengikat, mengingat tidak semua daerah di dunia ini mengakomodasi berbagai agama dengan rumah ibadah, sehingga para pemeluk agama diharapkan dapat bersikap fleksibel dalam hal ‘sembahyang di rumah ibadah yang berupa bangunan’.

Tetapi, para pejalan spiritual seharusnya sudah menafikan rumah/tempat khusus yang spesifik diperuntukkan bagi praktik latihan spiritual mereka. Nyatanya, tidak demikian. Seorang saudara Subud pernah bertanya dengan bingung pada saya, yang dari cerita saya ia tahu bahwa saya dapat melakukan Latihan Kejiwaan, praktik spiritualnya Subud, di mana saja, tanpa keterikatan ruang dan waktu. “Saya hanya bisa di Wisma Subud, Mas. Sulit berserah diri di luar Wisma,” ujar saudara ini. Dengan bercanda, saya menimpali, “Nggak apa-apa kok. Saya hanya bertanya-tanya, apa Tuhan hanya ada di Wisma Subud?”

Saya pernah menandai suami dari teman istri saya, yang dengan setengah memaksa mengajak saya salat di masjid di kompleks perumahan tempat tinggalnya. Bagi saya tidak jadi masalah, mau sembahyang di mana, tetapi bagi laki-laki itu, katanya, salat di masjid lebih afdol – lebih baik salat berjamaah, katanya, ketimbang sendirian. Hal itu menyebabkan saya mencari tahu apa alasannya. Rupanya, sebagaimana diisyaratkan oleh sahabat Umar ibn Khattab, salat berjamaah bertujuan untuk mempererat persaudaraan muslim serta melestarikan kerukunan. Nyatanya, sang suami dari teman istri saya itu usai salat tidak beramah-tamah dengan para peserta salat lainnya. Ia begitu saja meninggalkan masjid setelah menyalami orang-orang di sisi kanan dan kirinya, tanpa minat sama sekali untuk mengetahui kabar mereka, atau siapa mereka.

Di tengah kehidupan yang kian individualistis sekaligus terkotak-kotak serta tersebar (cluttered), upaya melestarikan kerukunan tidaklah mudah. Salah satu solusinya adalah mengumpulkan umat di tempat-tempat di mana mereka biasa berkumpul dan bertemu muka, yaitu rumah ibadah. Namun, daerah sekeliling (neighborhood) dewasa ini tidak sama dengan berabad-abad yang lalu, di mana manusia cenderung hidup di lingkungan bersama sejenisnya (dalam hal budaya dan tradisi). Kini, lingkungan tempat tinggal kita umumnya lebih majemuk penduduknya, dan belum tentu kita kenal dengan orang yang tinggal di blok yang berbeda walaupun di lingkungan yang sama. Momen untuk bertemu dengan banyak tetangga kita sekaligus, kalau bukan pada saat merayakan hari-hari besar keagamaan atau peringatan hari-hari nasional, ya di rumah ibadah.

Berkumpul di rumah ibadah dewasa ini seringnya dilakukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban bahwa beribadah di bangunan yang diperuntukkan bagi hal itu merupakan hal yang baik dan afdol, sementara cita-cita akan kerukunan yang selaras sekadar dikantongi di benak. Orang yang merasa dirinya pembesar atau tokoh masyarakat tidak sudi jika duduk di barisan belakang; ia rela menyerobot hak orang lain demi duduk di barisan terdepan. Itu pun pilih-pilih siapa gerangan yang duduk di sisi kanan-kirinya; apabila tidak ‘setaraf’, ia tidak mau. Ia melakukan itu di rumah ibadah lahiriah, tak menyadari bahwa perbuatan semacam itu sama saja dengan mengotori rumah ibadah di dalam dirinya, yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya kekuasaan sejati yang melampaui kehidupan makhluk.

Rumah itu adalah rumah yang bisa dibawa ke mana-mana, tanpa susah-payah, tanpa beban sama sekali. Yang kebanyakan bagi kita menjadi beban justru adalah upaya untuk menjaganya agar tetap bersih. Rumah itu pula yang sejatinya menjadi tempat beribadah kita (baca: mengingat Tuhan). Ajahn Brahmavamso dalam salah satu ceramahnya yang terkompilasi dalam buku Hidup Senang, Mati Tenang (Jakarta: Ehipassiko Foundation, 2009) menganjurkan agar setiap kita (dalam ceramah itu ia berbicara kepada para penganut Buddhisme) mempunyai ruangan di dalam rumah kita di mana kita taruh semua arca Buddha, buku-buku serta cakram-cakram padat bermuatan ceramah, dan ruangan itu tidak dipakai untuk apa pun selain untuk bermeditasi.

Namun, kata bhiksu kelahiran Inggris yang aslinya bernama Peter Betts itu, ruangan-ruangan semacam itu berisiko menciptakan kemelekatan. Adalah lebih baik, sarannya, kita membangun rumah semadi di dalam diri kita sendiri, di hati kita. Artinya, kita bisa semadi di mana saja tanpa terikat pada ruang dan waktu, sebagaimana diajarkan para nabi dari agama-agama samawi, bahwa mengingat Tuhan mestilah menjadi bagian terpadu dari diri kita yang tak dibatasi oleh waktu maupun tempat. Kalaupun ada yang namanya ‘tempat’, yaitu di dalam diri kita yang merupakan rumah yang bisa dibawa ke mana-mana.©

Tunjukkan ke Mana Jari Telunjuk itu Menunjuk

Jari telunjukmu yang telah kau pakai untuk menuding,

pakailah untuk menunjuk kebenaran seperti yang kau dengung-dengungkan

Tunjukkan kebahagiaan yang begitu bernafsu kau cari di luar dirimu –

Di mana dia berada?

Tunjukkan penderitaan yang begitu sering kau perlihatkan dalam hidupmu –

Dari mana dia berasal?

Di dan dari pikiran, katamu

Tunjukkan di mana pikiran itu,

wahai engkau yang selalu menegaskan agar jangan menggunakan pikiran –

Kau berkutat dengan yang berasal dari dalam; mengharamkan yang lahir dari akal pikiran

Sekarang, tunjukkan padaku di mana yang dalam itu, dan mana yang luar?

Tunjukkan padaku ke mana jari telunjukmu menunjuk

Kalau kau diminta menunjuk di mana pikiran itu –

agar kau tahu semua itu hanya ilusi…



Permenungan – Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 22 Mei 2010

Tersesat ke Jalan yang Lurus

“Ilmu pengetahuan hanya dapat mengusulkan sebuah kebenaran, tetapi tidak akan pernah dapat mengklaim kebenaran.”
—Ajahn Brahm, bhiksu Buddhis dan sarjana Fisika Teori dari Universitas Cambridge, penulis buku laris Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya(Jakarta: Yayasan Karaniya, 2005)



Saya suka sekali melakukan perjalanan jarak pendek maupun jauh. Sebelum jalan, saya biasanya berkonsultasi pada peta, mencari alamat yang akan saya tuju. Itu pun tidak selalu banyak membantu. Selain nama jalan yang dicari tidak ditemukan, kadang ada nama jalan yang sama tetapi berada di dua wilayah yang berbeda. Bila sudah demikian, saya nekad meneruskan tekad saya untuk melakukan perjalanan itu. Bagi saya, melangkah dalam kegelapan ada serunya: saya jadi bisa mereguk banyak pelajaran-pelajaran berharga dan pengalaman yang bernilai.

Baru-baru ini, saya bahkan mendapatkan dari salah satu klien saya – yang merasa sangat berterima kasih atas arahan saya, sehingga ia memperoleh keuntungan dari pemasaran produknya – sebuah telepon seluler canggih yang dilengkapi kompas digital dan GPS (global positioning system). Meski begitu, saya tidak pernah memanfaatkannya. Saya lebih suka ‘bersesat-sesat dahulu, melesat pesat kemudian’, lantaran ketersesatan memberi saya banyak pengalaman berharga yang dapat menjadi petunjuk ke arah kelurusan.

Sebagai orang yang berkecimpung di bidang kreatif, saya mewajibkan diri saya sendiri untuk senantiasa waspada terhadap hal-hal di sekeliling saya, di mana pun saya berada. Saya tidak memasang kaca mata kuda atau bahkan menutup mata terhadap kenyataan-kenyataan yang ada. Setiap momen menjadi pembelajaran berharga jika kita mampu melihat dengan sadar serta hadir sepenuhnya saat itu. Inilah yang disebut cara hidup yang meditatif menurut tataran Buddhisme.

Saya ‘nyemplung’ ke dalam ranah Buddhisme sejak dua tahun belakangan ini. Tak sedikit cercaan dan hujatan yang saya terima dari saudara-saudara (yang tadinya) seagama (saya tidak menyebut ‘seiman’, karena iman adalah urusan hati yang hanya kita sendiri yang tahu) dengan saya. Mereka yang mengklaim agama mereka menjunjung tinggi toleransi beragama justru yang paling keras memurtadkan saya. Beruntung saya telah terbimbing oleh kekuatan dari kerelaan yang, pada gilirannya, memperjernih kesadaran saya serta kesediaan saya untuk memaafkan.

Banyak yang bilang bahwa saya telah tersesat. Iya, memang saya telah tersesat. Tetapi, itulah nikmatnya perjalanan itu; saya jadi memperoleh banyak hal di berbagai tingkatan. Hidup saya kian kaya dengan perolehan (gain) spiritual, intelektual maupun material. Iya, saya telah tersesat, tetapi tersesat ke jalan yang lurus, yaitu jalan yang meningkatkan kesadaran kita.

Seorang ustadz di Surabaya yang pernah saya temui dalam pencarian spiritual saya mengatakan bahwa yang dimaksud ‘jalan lurus’ mengacu pada lurusnya hati dan pikiran kita hanya kepada Allah semata. Persoalannya, sebagaimana dinyatakan dalam QS 2: 115, wajah Allah ada di arah ke mana kita menghadap, sehingga lurus dalam hal ini bukanlah seperti obyek elementer dalam geometri, yaitu garis yang menghubungkan dua titik dengan jarak yang terdekat dengan gradien yang sejajar, melainkan kelurusan secara mental kepada sasaran yang dituju, meski jalannya sendiri bisa berkelok-kelok, bergelombang atau menyerong.

Tak banyak yang menyadari bahwa dalam melakukan apa pun, termasuk menegakkan agama, kesadaran adalah jauh lebih utama daripada sekadar ikut-ikutan. Justru perilaku ikut-ikutan itulah yang dapat menyebabkan kita terpuruk ke dalam jurang kesesatan, di mana mata kita terbutakan oleh dogmatisme dan fanatisme tanpa tedeng aling-aling. Agama Islam saja mengajarkan umatnya untuk tahqiq (sadar, insaf) tinimbang terus-menerus taqlid (ikut-ikutan). Hilang agama Anda, jika Anda hanya tahu siapa yang Anda ikuti, tetapi tidak menyadari ke mana perjalanan atau sebuah proses yang Anda tempuh itu mengarah. Jadilah diri Anda sendiri, jangan jadi orang lain, begitulah kira-kira yang ditekankan ajaran yang mementingkan kesadaran di atas perilaku ikut-ikutan.

Saya menandai bahwa orang-orang yang telah berani menapaki kesesatan, menjejak jalan tanpa rambu, yang penuh onak dan wajah kehidupan yang menakutkan yang pada akhirnya menemukan jalan lurus mereka. Ada sebuah ungkapan anonim yang berbunyi: “Agama adalah untuk mereka yang tidak mau masuk neraka. Spiritualitas adalah untuk mereka yang telah melaluinya (neraka).” Pengalaman saya maupun sejumlah orang lainnya bertutur, memang kedalaman batin dapat disentuh oleh mereka yang telah melewati penderitaan berat bak neraka di dunia.

Kawan saya, seorang mantan pecandu narkoba, menemukan kasih Tuhan setelah sepuluh tahun mengakrabi narkoba. Ketika nyawanya akan meregang, ia memohon kepadaNya agar diberi kesempatan untuk bertobat. Kesempatan itu ia dapatkan dan kini ia rajin mendalami agama, bukan hanya untuk mengajak mereka yang masih terpikat narkoba untuk meninggalkannya, tetapi juga untuk menantang para ulama agar jangan sok tahu mengharamkan narkoba, tetapi tidak tahu di mana letak haramnya.

Semua ilmu – tak terkecuali ilmu agama – adalah laksana sebidang tanah yang menuntut untuk terus digali. Pada lapisan pertama, kita mungkin menemukan air. Di lapis kedua, bukan tak mungkin kita temukan minyak. Pada lapisan berikutnya mungkin ada emas. Jangan berhenti pada lapisan itu, karena siapa tahu di bawahnya kita akan menjumpai lapisan yang kaya unsur logam tertentu yang bisa membuat kita kaya-raya.

Tidak ada kebenaran yang mutlak; yang ada adalah kebenaran yang kita yakini secara pribadi dan subyektif (esoterik), yang tidak bisa dipaksakan pada orang lain. Semua manusia terlahir dengan sifat-sifat sekala (kasat mata) maupun niskala (tankasat mata) yang berbeda-beda, sehingga merupakan tindakan yang melawan hukum alam jika perbedaan-perbedaan itu dicoba untuk diberangus, dan manusia serta proses-proses kehidupannya dipaksa untuk diseragamkan.

Proses tumbuh-kembang kita merupakan perjalanan yang tidak selalu lurus (dalam konteks geometri) dan mulus. Justru dengan begitulah kita dapat mengenal kesejatian kita. Ketika kita mengklaim kebenaran, seketika itu pula kebenaran berhenti mengada! Kita akan berhenti mencari, ilmu pengetahuan akan berhenti berkembang, dan diri kita akan berhenti tumbuh. Jalan lurus yang menghampar di muka secara geometris akan mendorong kita berjalan di atasnya dengan kaca mata kuda, yang membuat kita lupa wajahNya ada di mana pun kita menghadap.©

Hujan di Bulan Mei 2010

Meresap dingin di tengah damai hijau berbukit,

ku belai lembut cahayamu yang memancarkan kasih tak sedikit

Dan tak lupa menebar senyum berbalut kerudung putih,

beraroma hujan rintik menyertai isak lirih

Lenyap kesedihan merangkul kabut menyelimuti hijau pebukitan,

menyentak bahagia hati melihat hati berteduh kerudung putih yang tak rentan

Melagukan irama cantik keberadaan dirimu berbaju hitam

laksana hari yang memesrai malam

Luruh aku dalam dirimu yang menengadah sepuhan hujan di bulan Mei,

ketika tubuh berkalang tanah tak lagi menderita

Merah pipi mengemuka,

malu disapa Cinta

Kala aku tak sungkan memberimu sembah, kedua telapak mengapit di dada

Diri-yang-tiada meningkahi semadi berbahasa dharma

Dengan senang membuka gerbang nirwana

Mengecup keningmu yang berbasuh cahaya

Wahai Siddhartha, damai senyummu menuntunku

Menyisihkan tabir abadi kau dan aku adalah satu.



Puncak, Bogor, 16 Mei 2010

Memukul Angin

“Demikianlah halnya dengan aku. Aku tidak berlari tanpa tujuan,
dan sebagaimana dalam pertandingan tinju, aku tidak memukul angin.”
—1 Korintus 9:26



Mengharapkan semua orang menyukai kita tentu tidak mungkin. Setiap orang punya preferensi sendiri-sendiri terhadap orang lain yang dipilihnya sebagai teman atau relasi. Dan preferensi itu, biasanya, didasarkan atas sejumlah kriteria, yang tak jarang bersifat subyektif, atau bahkan tanpa alasan sama sekali.

Betapa pun kita berusaha keras menjadi orang yang memenuhi ‘kriteria standar kebaikan dan kesalehan’ tidak dengan sendirinya menjamin kita bakal disukai atau diterima semua orang. Itu adalah kenyataan hidup yang harus kita terima. Keuntungannya, hal itu dapat mendorong kita untuk senantiasa menerapkan sikap rendah hati. Sikap ini, yang dapat memampukan kita untuk merengkuh nilai-nilai welas asih, dapat membuat kita laksana angin yang hanya membuat orang-orang yang melayangkan kemarahan atau kebenciannya kelelahan menyerang kita, lantaran hanya mengenai angin.

Sepanjang lima belas tahun karir saya di industri komunikasi pemasaran tak sedikit saya menghadapi makian dari klien-klien yang tidak puas dengan pekerjaan saya atau sekadar mencari-cari kesalahan saya, atau sikap antipati rekan-rekan kerja yang mengincar kedudukan saya, atau semata tidak menyukai saya tanpa alasan yang jelas. Kalau saya menanggapi itu semua dengan emosi tentu hati saya bakal termakan habis. Makan hati sangat menyakitkan sekaligus melelahkan. Biarlah saya menjadi angin, yang bergeming ketika disandung dan nggak ngaruh saat disanjung. Semua menjadi tiada seiring saya menjadi angin. Biarkan cacian maupun pujian bablas saat menerobos angin. Saya tetap bergeming.

Saya pernah menjadi seperti orang-orang seperti itu – para pemukul angin. Benar-benar pengalaman yang melelahkan, karena orang yang menjadi sasaran saya, baik saat bertatap muka maupun di belakangnya, melenggang santai saja, seolah tak peduli dirinya dihantam kritik, cacian, gosip, fitnah, dan hal-hal buruk lainnya. Toh, akhirnya, dia lebih sukses (apa pun makna kata tersebut) daripada saya dan bahagia. Di situlah saya menginsafi bahwa dengan menjadi angin, yang tidak bisa digenggam apalagi dipukul, jauh lebih menyejukkan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Saya pernah bekerja dalam satu tim dengan seorang pengarah seni (art director) yang sangat pendiam dan kaku, nyaris tidak pernah tersenyum. Status sebagai freelancer memaksa saya harus bekerja sama dengan siapa saja, tanpa pilih-pilih. Masa kerja tim yang dibatasi hanya selama berlangsungnya pekerjaan membuat saya tak punya waktu untuk menjalin pertemanan atau mengakrabkan diri dengannya. Saya lebih mementingkan pekerjaan itu dapat tuntas, klien puas, dan bayaran saya impas. Saya tidak terlalu terusik dengan sikap si pengarah seni yang sedemikian rupa.

Namun, di luar keadaan semacam itu, sikap-sikap ‘yang bertentangan’ dengan kehendak saya mendorong saya untuk melakukan introspeksi diri. Tidak selalu keburukan yang sejatinya kita miliki kita sadari. Seringnya malah kita harus bercermin pada sikap dan perilaku orang lain terlebih dahulu untuk menyadari sikap dan perilaku kita sendiri. Melalui introspeksi yang kontemplatif, kita dapat menerima kenyataan diri kita dengan besar hati, legawa dan ridha.

Tak jarang saya menjumpai orang-orang yang betapa pun saya berusaha melunakkan hati mereka, menyenangkan mereka, tetapi mereka tetap tidak mau berelasi dengan saya. Sejumlah teman saya masa sekolah dahulu, atau bekas rekan kerja, atau bahkan saudara Subud sekali pun (saya tidak tahu, apakah lantaran itu mereka masih layak disebut ‘saudara’), misalnya, menolak mengkonfirmasi saya sebagai teman Facebook mereka. Ada yang mungkin merasa dirinya tidak se-level dengan saya lagi, atau pura-pura tidak kenal, atau bahkan jual mahalgara-gara salah mengartikan move saya (dianggap naksir; uniknya, saya justru lebih sering mengalaminya dengan perempuan Indonesia, sedangkan dengan wanita Barat biasa-biasa sajatuh).

Saya menjadi angin saja; apa pun yang menjadi alasan mereka, saya tetap menghormati mereka dan tidak perlu saya risaukan. Menjadi angin yang mengalir lancar, mengarus mulus, mengembuskan kedamaian di hati. Biasanya, sikap angin menjadikan kita sosok yang bersinar di tengah dunia yang kelam dilalap konflik dan kebencian yang mengada dalam hubungan antar-manusia.©

RODA KEHIDUPAN

Hidupku memutari tiga hal:

Buku,

Pena,

Cinta



Cintaku berputar antara tiga hal:

Cinta pada Sumber Cinta,

Cinta pada diri sendiri,

Cinta pada sesama



Cintaku pada sesama mengitari tiga hal:

Pria,

Wanita,

dan diri yang tiada



Diri yang tiada berputar kekal

mengitari wilayah netral

di mana tak ada lagi prosa dan puisi menemani

roda kehidupan yang berputar tiada henti...



Permenungan siang bolong -- Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 10 Mei 2010

Wednesday, May 5, 2010

TERANG DALAM GELAP

Ku putus rupa dari dunia

saat gelap membingkai mata

menyemburatkan Cahaya melingkupi sekujur diri

yang menggetar lirih merasuk pori

Dalam hamparan sembah yang mengabdi

perjalanan diri yang mencari-cari

kesadaran hakiki yang memenuhi diri

dengan vibrasi lamat yang mengarus dalam sungai hening

yang menghamba setiap tarikan napas ringan

laksana Shakyamuni menghambur sambutan Terang sempurna

ketika dalam menyadari jati diri terilhami:

Hidup adalah semadi selaras budi...




Permenungan jam 3.30 pagi -- Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 5 Mei 2010

BEWARE OF COPYWRITERS, BECAUSE...

  • They’re good at saying 1 thing in 101 different ways.
  • They can make deadlines totally lifeless.
  • They’re superb in making you feel special; they’re outstanding in making you think you’re the only one who stands out of a crowd of people who think alike.
  • They’re able to make Blackberry users think BB Messenger is exclusively far-off better than the more flexible, widely-used Yahoo Messenger.
  • They’re talented in making you believe Coca Cola tastes better than Pepsi (a market research made for fun came off with big Coca Cola fans loving the Pepsi that had been poured earlier into Coca Cola-branded carton cups without their knowledge).
  • They’re superior at making inferior products/services perceived as superior, and vice versa.
  • They’re great at stirring your emotions.
  • They’re talented at making fiction representing reality in an accurate way.
  • They’re excellent at twisting the logic.
  • They’re capable of tossing and turning words to downgrade or otherwise upgrade things.
  • They’re the cocks of the walk when it comes to making inveterate movie-goers out of home-grown geeks.
  • They’re able to flatter without any intention, and give out gifts with no pretention whatsoever.
  • They like to praise (usually by means of prose or poetry), fall in love with, or worship the beauty of their opposite sex only to constantly nurture their creative mindset.

Beware of ANTO DWIASTORO.

He’s a copywriter and especially good at making you buy these.©

BERCERMIN PADA SENYUMMU

Satu yang kutandai pada dirimu:

Kau punya senyum yang jadi cerminku

Senyummu menghias dunia yang berduka

Senyummu mempercantik hidup yang terluka

Senyummu menyelimuti anak-anak kecil yang kedinginan karena rumah tak lagi punya hati

Senyummu mengguyur kerongkongan kerontang yang berdahaga cinta

Senyummu mengisi kepala-kepala yang mengerangkan asmara

Senyummu menggubah alam yang berpohonkan puisi, berlautkan lagu, berlangitkan drama

Senyummu menjawab teka-teki tentang yang sejati

Senyummu meluruhkan letih perjuangan

Senyummu adalah ibu penciptaan karya-karya yang menggugah rasa

Senyummu memanduku meniti perjalanan melewati ruang dan waktu

Senyummu memantulkan cermin --

Cermin tempatku memandang

betapa hidup ini begitu cantik dengan senyummu yang tak pernah berhenti

Ingin aku seperti kamu, yang tak peduli

untuk tersenyum kepada wajah-wajah yang tak memahami

ada keindahan walau dalam duka tak terperi...




Permenungan jam 3 pagi -- Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 3 Mei 2010

Tanda Tanya BESAR

“Anak-anak mulai bersekolah sebagai tanda tanya dan keluar sebagai titik.”
Neil Postman (1931-2003), ahli teori media, kritikus budaya dan pendidik


Semasa masih kelas satu sekolah menengah pertama (SMP), saya memendam pertanyaan tentang siapakah sebenarnya setan itu sehingga ia mendapat konsesi dari Tuhan: alih-alih dibuang ke neraka lantaran tak mau sujud kepada Nabi Adam ia malah diperkenankan menggoda manusia sampai hari kiamat. Pertanyaan itu tetap saya pendam, tidak pernah saya lontarkan baik kepada guru agama (Islam) di sekolah maupun guru mengaji yang seminggu sekali datang ke rumah untuk mengajar saya dan saudara-saudara saya membaca Al Qur’an – dengan tekanan bahwa membaca Al Qur’an saja sudah cukup untuk membuka pintu surga.

Saya tidak pernah melontarkan pertanyaan yang cukup sensitif itu mengingat teman-teman saya saja diperintahkan untuk menerima mentah-mentah apa yang diajarkan guru. Tepat kata Roger von Oech dalam halaman 16-17 dari bukunya, Whack: Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008): “Banyak sistem pendidikan kita merupakan ‘tebak apa yang dipikirkan guru’. Banyak di antara kita yang telah diajar bahwa gagasan terbaik ada dalam benak orang lain.”

Tidak saja dalam agama, dalam lain-lain bidang kehidupan kita cenderung memilih ‘cara yang mudah dan aman’ dalam melakoninya. Akibatnya, kita menjadi pribadi yang sukanya ikut-ikutan, alih-alih merengkuh kesadaran. Kesadaran dalam berpikir dan bertindak penting untuk membuat kita paham makna dan tujuan/manfaat dari apa yang kita pikirkan atau kerjakan.

Kesadaran tidak lahir serta-merta dan dalam sekejap. Ia ditelurkan melalui proses pengembangan pengetahuan yang berawal dari tidak tahu, lalu bertanya, kemudian dipraktikkan, jika perlu ditanyakan lagi, barulah diperoleh pengetahuan. Tetapi prosesnya sendiri tidak sekali jalan, melainkan seperti siklus yang terus berputar-putar, sehingga pengetahuan yang kita peroleh akan senantiasa terbarui (up-to-date).

Pikiran dan tindakan yang berlandaskan pengetahuan itu membuahkan kebenaran. Tetapi kebenaran tidak bisa diberlakukan secara merata ke semua orang. Dan kebenaran adalah air yang mengalir, bukan air yang dibendung di dalam waduk, hingga diyakini sebagai sesuatu yang mutlak dan kekal. Keyakinan adalah penjara, kata filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900). Keyakinan beku atas suatu kebenaran menghentikan pencarian kita akan yang Sejati. Kita berhenti berproses dan akhirnya mati dalam kebodohan.

Dalam beberapa kasus, kita perlu menantang aturan, ujar Roger von Oech dalam bukunya tadi. Kebenaran dan kemapanan yang melingkupinya juga perlu didobrak. Itulah bagian dari proses pertumbuhan kita secara mental dan spiritual. Jangan menerima apa pun mentah-mentah, biarpun yang menyampaikan adalah orang (yang dianggap) suci, yang mengaku pernah menyentuh wajah Tuhan. Para utusan Tuhan di masa lalu saja merupakan sosok-sosok pendobrak kemapanan agar dapat percaya sepenuhnya, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Musa.

Kemapanan harus ditantang, karena kemapanan menciptakan keterlenaan, memunculkan orang-orang yang terbuai di zona kenyamanan. Kritisisme kita akan mati dibuatnya. Wawasan sulit berkembang dan kita akan jalan di tempat. Dengan mudah, kita akan berpelukan dengan sikap diri yang fatalistik (yang sangat pasrah dalam segala hal, merasa dikuasai oleh nasib dan tidak bisa mengubahnya). Semua kemajuan dalam peradaban merupakan ‘akibat’ dari orang-orang kreatif yang berani meruntuhkan tembok-tembok kukuh kemapanan, baik kemapanan dalam berpikir maupun dalam tindakan.

Waktu saya pertama kali masuk Subud, kepada saya diterangkan bahwa Latihan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (Subud) berasal dari Tuhan. Jika saya terima perkataan itu mentah-mentah, saya malah akan berhenti tumbuh. Dalam prosesnya, sebagaimana orang kreatif yang mengembangkan kemampuan kreatifnya dengan menantang aturan, kebenaran dan bahkan keyakinan dirinya sendiri, saya pertanyakan, apakah benar Latihan Kejiwaan Subud berasal dari Tuhan? Bilamana Tuhan tidak benar-benar ada? Bagaimana saya (atau para anggota Subud lainnya) tahu apakah Muhammad Subuh (pendiri perkumpulan persaudaraan kejiwaan Subud) berkata benar atau tidak? Seandainya saya tidak percaya Tuhan, apakah saya masih layak berlatih kejiwaan? Dan lain-lain.

Intinya, pertanyakan segala sesuatu, jangan terpenjara oleh keyakinan, apalagi keyakinan yang dibangun oleh pihak lain. Jadilah tanda tanya besar setiap saat. Itu membuat kita tidak saja menjadi kreatif tetapi juga lebih bijaksana dalam menyikapi hidup. Filsuf Jerman lainnya, Arthur Schopenhauer (1788-1860), yang terkenal dengan pesimisme ateistiknya, mengatakan, “Sebuah kebenaran harus melewati tiga tahap: 1) ditertawakan, 2) ditentang habis-habisan, dan yang 3) diterima.” Berpegang teguh pada kemapanan, tanpa pernah mempertanyakannya, akhirnya bisa saja membawa kita ke jalan buntu.©

BOLEHKAH AKU MENCINTAIMU?

Senyum yang selalu menghias rias cantikmu

di kala hidup sedang sendu

membuatku bertanya:

Bolehkah aku mencintaimu?



Makhkota indahmu yang lurus tergerai melambai

tertiup angin yang membuai

saat langit tak ingin membiru,

membuatku bertanya:

Bolehkah aku mencintaimu?



Langkah-langkah kecil yang dibuat kaki-kaki lencir

membawa serta bersamamu hembusan semilir

Sehelai kabar tentang sejuk di hatimu,

meski mawar sedang enggan merekah

Dan surya yang tak bawa berkah,

memendar sinar rada jemu

yang membuatku bertanya:

Bolehkah aku mencintaimu?



Dirimu yang sering bisu

membuat lidahku kelu saat mau bicara rindu

Doa dalam hati yang membeku karena malu

berpadu dengan tanya:

Bolehkah aku mencintaimu?



Kepadamu tak patut kata yang pasti,

tak ada tanya dengan jawab abadi

Aku bertekuk dalam sembah serendah hati

yang menyerah tunduk, meraih dirimu

yang meralat tanyaku:

Maukah kau mencintaiku

walau kasihku juga ada dalam derita,

dalam payah dan duka,

dalam hidup yang enggan ceria?





Permenungan jam 3 pagi -- Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 29 April 2010

TANPA DIRIMU

Tanpa dirimu, lagu kehilangan nada

Tanpa dirimu, puisi sirna makna

Tanpa dirimu, mimpi pupus warna

Tanpa dirimu, makan tak punya selera

Tanpa dirimu, prosa miskin kata

Tanpa dirimu, bunga tak punya karunia

Tanpa dirimu, matahari tak bercahaya, bulan tak menyala

Tanpa dirimu, aku kehilangan daya

Cinta kehilangan cita

Keheningan tak lagi menjelma

Embun hati berhenti mengada

Harum dupa melupa

Suara diri putus menggema



Aku lalu jadi siapa?

Tenggelamkan aku dalam kolam teratai

Tangan menengadah, menggapai

Bening air cermin belahan jiwa

Yang dalam namamu menyatupadu segera

Terpujilah Buddha,

Terpujilah Dharma,

Terpujilah Sangha

Demikian hendaknya...




Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 28 April 2010