Tuesday, October 19, 2010

Sadar Mengenai Kesadaran


"Dunia ini bukanlah masalah; yang jadi masalah adalah ketidaksadaran Anda.”

—Bhagwan Shree Rajneesh, pemimpin spiritual India (1875-1955)




Seorang lelaki di usia akhir dua puluhan berniat belajar tasawuf pada seorang mursyid (guru tasawuf) yang tinggal di pegunungan. Pergilah si lelaki tadi ke rumah sang mursyid. Lantaran hujan deras sedang turun dan medan yang dilaluinya berbatu serta mendaki, si lelaki membawa tongkat kayu dan berpayung.


Setibanya di rumah sang mursyid, si lelaki menaruh tongkat dan payungnya di masing-masing sisi pintu. Ia pun dipersilakan masuk oleh sang mursyid. Setelah si lelaki menyampaikan maksud kedatangannya, sang mursyid bertanya, “Di sisi sebelah mana pintu engkau taruh tongkatmu dan di sisi mana pula payungmu?”


Si lelaki kebingungan. Ia juga heran, mengapa sang mursyid menanyakan hal itu; apa relevansinya dengan niatnya untuk belajar tasawuf?


“Esensi dari tasawuf,” kata sang mursyid dengan tegas, “adalah kesadaran! Engkau belum sadar. Pulang sana, latih kesadaranmu!”


Sebagian besar dari kita pasti akan protes bila dibilang tidak sadar. Eits, jangan terburu-buru mengklaim diri sadar. Sadar beda dari tahu. Orang yang karena suatu musibah kehilangan kesadaran dapat tetap melihat dan tahu bahwa dirinya tahu, tetapi ia tidak sadar, tidak mengenali lingkungannya, di mana ia berada, dan sedang apa ia. Menurut Wikipedia, kesadaran adalah keadaan atau kemampuan untuk memahami, merasakan, atau menjadi sadar akan peristiwa, obyek atau pola sensorik. Dalam psikologi biologi, kesadaran diartikan sebagai sebagai persepsi dan reaksi kognitif dari manusia atau hewan terhadap suatu kondisi atau peristiwa.


Tahu adalah sekadar melihat dan mengerti, tetapi pengertian tersebut didasari oleh ilmu yang dipelajari dari sesama manusia atau literatur. Anda melihat pohon jati dan langsung mengerti bahwa itu pohon jati lantaran Anda pernah membaca di buku atau diterangkan seseorang bahwa pohon jati itu bentuknya begini dan begini.


Tetapi, apakah Anda dapat mengidentifikasi pohon jati di tengah kerumunan pepohonan yang beragam jenis, sedangkan Anda tengah berada dalam kendaraan yang melaju cepat melewati deretan pepohonan itu? Pasti tidak bisa.


Mengapa tidak bisa? Karena kesadaran Anda tidak difokuskan pada pepohonan tadi, melainkan, mungkin, pada perjalanan yang sedang Anda tempuh, atau pada kegiatan Anda mengemudi mobil.


Jadi, kesadaran bermakna pengetahuan yang melampaui ilmu yang dapat dipelajari dari buku atau guru. Kesadaran merefleksikan kemampuan memahami sesuatu secara luas dan tak berbatas, melampaui pengetahuan yang baku. Kalau Anda menyadari eksistensi sebuah pohon, misalnya, Anda akan menangkap makna hakiki dari manfaat dan tujuan dari keberadaannya, misalnya untuk memberi keteduhan. Kalau Anda sadar, Anda takkan menebang pohon tersebut, kan? Sekarang, berapa banyak orang yang tahu mengenai keberadaan pohon, tetapi toh menebangnya? Itu bedanya sadar dengan tahu.


Sang Buddha pernah ditanya seseorang, apa yang dilakukannya bersama murid-muridnya. “Kami makan, kami tidur, belajar, bekerja, berjalan,” jawab Siddhartha, sang Buddha Shakyamuni.


Lho, bukankah itu sama saja dengan apa yang dilakukan orang pada umumnya?” tanya orang itu lagi, keheranan. Sambil tersenyum, Siddhartha mengatakan, “Oh tidak. Tidak sama. Kami melakukannya dengan sadar.”


Pernyataan sang Buddha itu menegaskan adanya perbedaan antara melakukan sesuatu dengan sadar dan yang tidak diiringi kesadaran. Coba Anda fokuskan perhatian pada napas Anda selama lima menit. Lama-kelamaan Anda akan menyadari napas Anda. Dengan menyadari napas, kita akan menyadari kehadiran diri saat ini, dan di sini. Banyak orang justru menyadari napasnya ketika napasnya sudah tersengal-sengal, megap-megap, di penghujung nyawanya.


Coba Anda mulai belajar menyadari segala sesuatu yang Anda miliki, lakukan, dapatkan dan yang telah hilang. Anda akan segera mengetahui betapa banyak yang telah Anda sia-siakan—dan beberapa di antaranya bahkan sudah terlambat untuk digapai kembali. Meditasi merupakan cara untuk menggapai kesadaran itu. Meditasi bukan hanya duduk bersimpuh atau bersila, memejamkan mata dan mengonsentrasikan pikiran. Itu merupakan anggapan yang salah-kaprah. Meditasi (atau padanannya dalam praktik agama Islam disebut tafakur, atau jhana/semadi dalam Buddhisme) sesungguhnya bermakna mengerahkan segenap perhatian pada apa yang dilakukan, menjiwainya, memberinya arti dan manfaat.


Ada orang-orang tua yang selama melahirkan, merawat hingga membesarkan anak tidak benar-benar mengerahkan perhatian mereka pada tindakan-tindakan itu. Ketika si anak sudah besar, tiba-tiba saja mereka tersadar bahwa belum banyak yang mereka berikan pada si anak.


Sebaliknya dengan anak-anak juga demikian. Ketika ibu saya mengembuskan napas terakhir, dalam sekejap bergulung bak ombak samudra di benak saya kesadaran bahwa belum banyak yang telah saya persembahkan untuk membalas budi baik beliau, kesabaran dan cinta kasih beliau dalam merawat dan membesarkan saya. Kesadaran yang terlambat itu hingga kini mendera saya, sampai saya kerap berharap agar waktu dapat diputar kembali ke masa ibu saya masih berada di dunia ini bersama saya.


Latihan seni bela diri apa pun selalu diawali dengan meditasi, mengumpulkan benih-benih kesadaran akan manfaat dan tujuan dari latihan itu. Ada beberapa murid Taekwondo saya yang secara teknis amat menguasai jurus-jurus tendangan. Kaki-kaki mereka lentur dan gemulai namun kuat menghantam ketika melancarkan tendangan. Namun, saya perhatikan, mereka tak dapat menerapkannya ketika bertarung menghadapi lawan, dan selalu kalah. Masalah mereka terletak pada kenyataan bahwa mereka tidak menyadari manfaat dari jurus-jurus tendangan yang mereka kuasai.


Coba, deh, mulai sekarang Anda mengaktifkan kesadaran akan apa pun yang Anda kerjakan atau tidak kerjakan. Hidup Anda akan terasa bedanya—Anda akan menyaksikan lewat mata dan rasa betapa indah hidup ini. Bernapas dengan sadar, memberi dengan sadar, menerima dengan sadar, mencintai dan dicintai dengan sadar. Mudah-mudahan Anda bisa secepatnya sadar mengenai kesadaran. (AD)



Jakarta Selatan, 19 Oktober 2010.

No comments: