Monday, October 11, 2010

Aturan Emas


“Sejarah dibuat bukan dengan mengikuti aturan, tetapi dengan melihat peluang.”

—Dr. Sebastian Caine (tokoh megalomaniak yang diperankan oleh Kevin Bacon dalam film The Hollow Man, 2000)


Pada tahun-tahun pertama saya berkarir sebagai penulis naskah iklan (copywriter), segudang aturan dicamkan di benak saya oleh para senior saya maupun pengarah kreatif (creative director), yang konon dapat membantu saya dalam menciptakan iklan yang bagus, tepat sasaran dan menjual.

Kepala naskah (headline, H/L) merupakan bagian dari penulisan naskah iklan (copywriting) yang paling tumpat dengan perdebatan mengenai aturannya. Ada yang bilang, sebaiknya H/L menggunakan huruf besar semua agar tampak tegas. Ada yang mengatur H/L itu huruf besarnya hanya pada awal kata agar kelihatan artistik. Ada yang tidak setuju kalau sebuah H/L diakhiri dengan titik, lantaran pembaca harus ‘diundang’ untuk membaca badan naskah (bodycopy). Rekannya sependapat dengan dia, tetapi mengusulkan tanda seru agar dianggap bahwa pernyataan dalam H/L serius. Saya memilih tidak menggunakan H/L jika saya harus menerapkan semua aturan itu.

Saya sempat dibingungkan dengan semua aturan itu. Belum lagi ditambah dengan kenyataan bahwa dalam praktiknya banyak iklan cetak, utamanya yang dari luar negeri justru tidak menerapkan salah satu dari aturan yang saya urai di atas. Bahkan ada H/L yang dalam tata letak desain iklan cetaknya tidak berada di kepala naskah sebagaimana istilah itu menjelaskannya (head = kepala), melainkan di kaki naskah – yang mestinya dinamai ‘footline’ atau ‘kaki naskah’ – seperti mengisyaratkan sebuah caption yang menjelaskan, baik secara langsung (straight) atau tidak langsung (bent) gambar yang terpampang di iklan. Saya pun berpikir, “Wah, headline-nya berupa visual. Bagus juga idenya!”

Sebuah buku klasik tentang copywriting karya Alastair Crompton, berjudul The Craft of Copywriting (1979), yang saya temukan terjepit di antara dua buku lainnya yang lebih baru di perpustakaan Matari Advertising, tempat saya pertama kali mengenal dunia periklanan pada tahun 1994, menyajikan satu aturan emas yang sebaiknya diterapkan jika saya (buku itu serasa berbicara kepada saya yang begitu terpukaunya ketika menemukan aturan emas itu): Lupakan semua aturan! Tiga kata itu seolah mengajarkan saya lebih banyak hikmah kebijaksanaan, yang kiranya bisa saya pakai untuk apa saja: “Jadilah diri sendiri, pakai gayamu atau apa pun yang kamu suka, biarkan karya mengungkapkan siapa dirimu sebenarnya!”

Satu hal pasti yang saya pelajari dalam hidup ini adalah bahwa tidak ada yang pasti dalam hidup ini. Segala sesuatu tampaknya berjalan menurut sebuah sistem hukum atau prinsip, padahal nyatanya masih terdapat anomali-anomali yang membuat kita berpikir mengapa kok bisa begitu. Artinya, dengan keteguhan prinsip yang kita coba pertahankan seolah itu alami, alam sendiri tidak selalu sepakat dengan kita. Banyak hal, yang atasnya diberlakukan aturan, nyatanya tak jarang melanggar aturan itu sendiri. Berarti ketidakaturan memang sesuatu yang alami!

Setelah enam belas tahun berkarir di industri komunikasi pemasaran, saya berani tandaskan bahwa pemasaran dan bisnis maupun komunikasinya bukanlah matematika, di mana satu ditambah satu sama dengan dua. Satu strategi bisa sukses besar untuk satu merek di satu kategori produk, namun belum tentu untuk merek lain di kategori produk yang sama. Saya membayangkan, seandainya pendekatan pemasaran dan komunikasi untuk laptop Apple MacBook sama dengan yang dipakai untuk menyukseskan laptop berbasis Windows, apakah konsumen akan pernah memilih untuk membeli MacBook yang harganya di atas rata-rata laptop berbasis Windows itu? Kalau sama saja, demikian pemikiran saya sebagai pemakai MacBook dan penggila Apple, saya tidak perlu repot-repot memilih. Dan ini melanggar kodrat bahwa hidup adalah pilihan.

Baru-baru ini, kawan saya yang sama-sama berkecimpung di organisasi mengemukakan sesuatu yang menurut rekan-rekan kami yang kelewat organisatoris merupakan gagasan yang bodoh. Tahun depan, organisasi ini akan menggelar kongres nasionalnya, dan dalam kerangka itu kawan tadi mengusulkan agar pemilihan ketua umum dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian digelar sidang-sidang dengan ketumbar (ketua umum baru) duduk sebagai pemimpinnya. Dengan demikian, dalihnya, banyak waktu yang bisa dihemat.

Rekan kami, seseorang dengan pengalaman organisasi yang banyak, mengungkapkan kepada saya bahwa itu adalah gagasan terbodoh yang pernah ia dengar dari mulut seseorang yang terpelajar. Saya membatin, “Apa salahnya dengan gagasan itu? Bukankah semua kemajuan yang dialami manusia bersumber dari kebodohannya sendiri?” Tanpa pernah bodoh, dan hanya orang bodohlah yang suka melanggar aturan, kita takkan pernah menjadi pandai. Dan itu berlaku bagi apa saja.

Untuk menjadi kreatif diperlukan menjadi bodoh terlebih dahulu. Orang pintar takkan mempertanyakan apa pun. Sebaliknya, orang bodoh tak henti-hentinya mempertanyakan: Mengapa begini? Mengapa begitu? Segala sesuatu perlu dipertanyakan. Apabila bertanya itu merupakan sesuatu yang menyiratkan kebodohan, pastilah National Geographic Channel dengan tema Everything Deserves a Why-nya merupakan saluran televisi terbodoh yang pernah dikenal!

Kebodohan mendorong penasaran (curiosity), penelusuran (exploration), lalu berakhir pada penemuan (discovery)*. Ban berjalan ini tidak mengharamkan aturan emas. Tahun 2002 lalu, dalam kapasitas sebagai pengarah kreatif di sebuah biro iklan papan atas di Surabaya, saya ditugasi mengarahkan kreatif iklan cetak berukuran setengah halaman majalah Cosmopolitan Indonesia. Ukurannya saya perkirakan tidak akan begitu berefek menyemburatkan kekuatan penghenti (stopping power) bagi pembaca, sehingga saya memutuskan untuk menerapkan aturan emas. Produk yang diiklankan adalah sebuah stasiun radio swasta di Surabaya yang disukai kaum wanita lantaran acara-acaranya yang menarik dan sajian lagu-lagunya yang memikat. Sayang bila diganti ke saluran lain.

Hasilnya, sebuah iklan cetak mungil dengan H/L yang mampu menghentikan pembaca majalah lantaran posisi tulisan H/L-nya yang terbalik (upside down), berbunyi: “Some things are better left unturned” (Beberapa hal sebaiknya dibiarkan tak terbalik). Secara harfiah, ‘unturned’ berarti ‘tidak dibalik’, tetapi bisa juga bermakna ‘tidak diganti’ dalam kaitannya dengan tombol saluran di radio. H/L itu juga menyindir pembaca secara halus dan simpatik, apabila ia membalik halaman majalahnya demi bisa membaca H/L-nya, yang malah membuatnya tidak mampu membaca badan naskah yang sesungguhnya menjelaskan mengapa posisi H/L tersebut dibalik. Tindakan itu akan membuat pembaca membatin, “Salah sendiri mengapa dibalik. Akibatnya kan sekarang kamu tidak bisa baca badan naskahnya!”

Pengalaman yang lumayan konyol dan bodoh ini memberitahu saya sejak itu betapa cemerlangnya aturan emas itu. Aturan emas berlaku bagi segala tindakan, tak terkecuali. Kawan saya, seorang pilot pada sebuah maskapai penerbangan swasta berbiaya rendah, lebih suka menyebut dirinya ‘penerbang’ (aviator) ketimbang ‘pilot’. Pilot bekerja menurut apa kata buku panduan (by the book), katanya, sedangkan pengalamannya bertutur, banyak hal yang ia hadapi ketika menerbangkan pesawat tidak ada panduannya di buku, sehingga ia tertuntut untuk berimprovisasi. Seorang aviator mempraktikkan seni terbang, bukan ilmu terbang. Bukankah demikian pula dengan hidup?(AD)


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 9 Oktober 2010.


*) Menurut Lionel Bender, dalam bukunya, Invention (2005), discovery beda dengan invention yang sama-sama diindonesiakan menjadi ‘penemuan’. Discovery mengacu pada penemuan sesuatu yang sudah diketahui atau sudah ada sebelumnya. Benua Amerika ditemukan (discovered by) Christopher Columbus sedangkan mesin uap merupakan penemuan (invented by) James Watt.

No comments: