Sunday, October 17, 2010

Untuk Apa Semua Itu?


“Dunia akan berubah menjadi baik ketika orang memutuskan mereka sudah muak dan jemu menjadi muak dan jemu dengan dunia ini, dan memutuskan untuk mengubah diri mereka sendiri.”

—Sidney Madwed

“Kerja keras tidak pernah membunuh siapa pun, tetapi mengapa harus ambil risiko?”

—Edgar Bergen (1903-1978)



Hari ini, saya menemui teman semasa kuliah di Jurusan Sejarah FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia; sekarang bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, FIBUI) dahulu di kantornya, sebuah perusahaan konstruksi dan pengembangan properti berskala internasional, di mana ia duduk sebagai manajer produktivitas karyawan, yang bernaung di bawah departemen sumber daya manusia.


Saya menemuinya atas permintaannya sendiri, karena ia ingin tahu lebih banyak tentang dan belajar BEP (Bio Energy Power). Kebetulan pada saat itu, saya memang sedang memenuhi janji untuk bertemu dengan manajer promosi perusahaan itu, untuk presentasi kredensial. Teman saya itu sudah terkena penyakit tifus sebanyak dua kali dalam setahun; suatu gejala yang secara medis perlu mendapat perhatian khusus.


Teman saya itu tergolong sangat sibuk. Bahkan, seperti tuturnya, “Pekerjaan gue di sini adalah menciptakan pekerjaan.” Saya perlu energi ekstra kalau berbicara dengan dia, utamanya energi berpikir, lantaran cara bicaranya ‘melebihi kecepatan suara’; berpindah dari satu topik ke topik lainnya tanpa alur yang jelas.


Toh, untungnya, dia ingat apa tujuan saya menemuinya: tanya-jawab soal BEP. Sehingga waktu dan energi dicurahkan ke topik itu. Tetap saja saya harus mengerahkan energi berpikir dan berbicara, karena pada saat saya belum selesai menjawab satu pertanyaan dia sudah melompat ke pertanyaan berikutnya. Matanya tidak selalu tertuju ke saya, melainkan ke jam dinding, ke telepon selulernya untuk memeriksa pesan singkat, atau ke luar dinding kaca ruang kerjanya, dari mana ia mengawasi anak buahnya.


Ia berbicara dengan napas tersengal-sengal dan lemah. Ia memang baru pulih dari tifus babak keduanya. Dalam keadaan tidak sakit (saya tidak menyatakan ‘sehat’ lantaran ia sebenarnya tidak pernah benar-benar sehat secara fisik maupun psikis; paling pol hanya sedang ‘tidak sakit’), ia berbicara cepat, tetap dengan napas tersengal-sengal, tetapi kuat.


Selesai saya menjelaskan soal BEP, pada saat yang sama dia ditelepon sekretarisnya, yang memberitahunya bahwa kehadirannya dikehendaki di ruang rapat direksi. Memanfaatkan sedikit waktu yang tersisa, yang sebaliknya digunakan teman saya untuk menyiapkan segala sesuatu yang mesti dibawanya untuk menghadap direksi, saya bertanya: “Untuk apa semua itu? Capeknya, sakitnya, pekerjaan lu? Untuk apa? Coba lu luangkan waktu malam ini, di rumah, untuk merenungkan pertanyaan gue ini!”


Dia tertegun dan kemudian duduk di kursi kebesarannya, melihat sekeliling ruang kerjanya yang dipersempit oleh berbagai merchandise, buku, poster dan tumpukan kertas kerja. Ketika datang tadi, saya bahkan sempat berkomentar, “Ini ruang kerja atau toko suvenir, sih?”


Untuk pertama kalinya, saya melihatnya duduk terpaku, bingung, tidak bicara. “Untuk apa semua itu?” katanya, mengulang pertanyaan saya. “Hmmm, untuk apa ya?”


Saya mengangguk pelan. “Iya-ya, kok gue nggak pernah kepikiran itu. Iya, iya... Gue nggak tau juga, untuk apa semua itu,” ujarnya lirih.


Saya cerita ke dia kalau saya pribadi hanya mengoptimalkan potensi yang saya miliki; tak merancang tujuan, rencana atau harapan yang terlalu muluk. Ia sempat mendebat hal itu, menganggap sikap itu fatalistik, dan sesaat kemudian ia beralih topik lagi, mengenai buku ‘sukses dengan gagal’ yang sedang saya garap (sebagai ghostwriter) untuk seorang pengusaha properti sukses di Jawa Timur. Saya cerita ke dia, bahwa buku itu saya juduli Horee, Saya Gagal! – Cerita Sukses Pengusaha Properti.


Lha, si Bob Sadino juga nulis buku kayak gitu,” kata teman saya spontan, seraya memperlihatkan buku pengusaha eksentrik itu, berjudul Belajar Goblok Dari Bob Sadino, setelah menyingkirkan sejumlah kertas dan laptop dari atas meja kerjanya. Tampaknya dia tidak membaca detil buku itu secara seksama, karena di subjudul pada kulit buku tertulis kata-kata saya yang tadi didebatnya: Tanpa Tujuan, Tanpa Rencana, Tanpa Harapan. Saya segera tunjukkan subjudul itu padanya, membuatnya diam tak berkutik. “So, my friend, untuk apa semua itu?”


Saya senang dan hobi menulis, dan ketika menyadari, masih di bangku kuliah ketika tulisan-tulisan saya dimuat di media massa, bahwa menulis merupakan bakat saya, saya berdoa semoga hobi inilah yang dapat menjadi sumber nafkah saya. Sampai taraf mana? Sampai taraf di mana pekerjaan itu tidak lagi membangkitkan hasrat dan mendatangkan kepuasan bagi saya.


Tahun 2009 lalu, contohnya, sebuah proyek penulisan laporan tahunan harus saya batalkan di tengah jalan karena tidak ditunjang kerja sama tim yang solid dari agensi yang memakai jasa saya, klien yang tidak konsisten dengan pernyataan-pernyataannya, yang mengakibatkan banyak waktu terbuang percuma, lalu tiba-tiba saya dituntut agar menyelesaikan pekerjaan sesuai tenggat waktunya. Saya sempat menderita stres klinis, diiringi diare yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari dua minggu. “Untuk apa semua itu? Itu tidak sepadan!” teriak saya dalam hati saat itu.


Walau semula khawatir – takut tidak mendapat uang, saya akhirnya memutuskan untuk membatalkan kontraknya dan menawarkan agar saya tidak usah dibayar saja, kecuali untuk waktu dan tenaga yang telah saya kerahkan saat masih menulis draftnya.


Seminggu kemudian, diare saya pulih dan hidup saya secara keseluruhan menjadi terasa ringan dan sehat. Wajah saya tampak selalu berseri-seri, mengundang minat sejumlah perusahaan untuk memakai jasa saya selaku penulis naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat. “Saya senang dengan orang yang optimis kayak, Mas Anto!” kata salah seorang klien saya. Hilang satu (pekerjaan), tumbuh seribu lainnya! Jadi, untuk apa semua kesusahan itu? (AD)




Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 15 Oktober 2010.






No comments: