Catatan:
Cerita ini hanya fiksi belaka, meskipun menampilkan beberapa hal nonfiksi
terkait kehidupan saya. Cerita ini merupakan ekspresi kreatif saya saat brainstorming dengan diri sendiri,
semacam pelatihan untuk saya yang saat ini tengah menulis sebuah novel.
AKU melihatnya pertama kali di
peron Stasiun MRT Bendungan Hilir. Duduk sendirian dalam balutan cod overall denim dengan kaus dalaman
hitam, memanggul ransel biru tua yang tampaknya membebani punggungnya. Aku
menebak-nebak apa gerangan yang mengisi ranselnya itu. Tapi kemudian kutepis
pikiran itu, dan beralih memfokuskan perhatianku pada sosok mungil dengan
rambut ponytail itu.
Aku memperkirakan usianya sekitar
25 atau 27 tahun. Ia berkacamata dan kulitnya jenis olive skin, yang membuat wajahnya memancarkan kecantikan yang
eksotik.
Aku memberanikan diri duduk di
bangku yang ia duduki sendirian, dalam jarak tidak menempel tapi juga tidak
terlalu jauh, agar suaraku tidak tenggelam dalam hiruk-pikuk para calon
penumpang MRT yang tumpang tindih dengan suara announcer stasiun dari pengeras suara. “Ke Blok M, Mbak?"
tanyaku dengan suara agak tercekat, tertahan oleh perasaan waswas kalau ia
tidak akan menanggapiku.
Ia menoleh ke arahku dan senyumnya
memunculkan lesung pipi yang membuat kecantikannya semakin membuat napasku
sesak. “Oh, nggak, Mas. Saya turun Lebak Bulus,” ucapnya dengan suara yang
renyah. “Kalau Masnya ke mana?”
“Lebak Bulus?! Wow, sama doong,”
kataku. Waswasku sudah sirna ditelan senyum gadis itu. “Kabarnya ada gangguan
listrik di Bundaran HI, keretanya nggak bisa jalan.”
“Oh gitu? Kok nggak diumumin ya?”
tanyanya lagi, kembali menoleh kepadaku.
“Sudah tadi diumumin... sebelum
Mbaknya datang.”
Gadis itu mengembuskan napas
panjang, pipinya mengembang saat ia melakukannya. “Wah, bakal kemaleman deh
sampai rumah.”
Aku melirik jam di layar ponsel
cerdasku. Jam 19.15. Aku sudah hampir dua jam menunggu MRT Bundaran HI-Lebak
Bulus di peron Bendungan Hilir. Gadis itu lumayan baru beberapa belas menit.
Aku harus berusaha agar kehadiranku di sebelahnya tidak membuat ia bosan
menanti momen keberangkatannya.
“Maaf, kalau saya kepo,” kataku
kemudian. “Mbak kerja di mana?”
“Kantorku di Sahid Sudirman
Center,” jawabnya, tak memerinci di perusahaan apa.
“Lhoo, satu bangunan dengan kantor
saya doong,” kataku. “Saya di lantai enam, perusahaan tambang batu bara.”
“Aku di lantai empat, Mas,”
ucapnya lagi. Setiap kali ia berbicara kepadaku, ia menoleh ke arahku. Tanda
bahwa ia menaruh minat untuk mengobrol denganku. “Masnya engineer?”
“Oh bukan, saya di divisi CSR...
Dikontrak dua tahun sebagai konsultan sustainability
communications,” jelasku. “Wah, kita satu bangunan tapi ketemunya kok di
peron ini.”
Gadis itu tertawa, kali ini tidak
menoleh ke arahku, tapi dapat kulihat dari samping deretan gigi putihnya dan
sepasang bibirnya yang indah. Tawanya lepas dan renyah.
Sesaat obrolan kami menjeda. Aku
menenangkan diri, mencoba merasakan energi gadis itu. Aku merasakan bahwa ia
ingin mengobrol lebih lama. Maka kucoba pendekatan yang lebih akrab.
“Mbak... Mbak siapa, namanya? Mau
nggak kalau kita nunggu di Tomoro sambil ngopi?”
“Irania... Nama saya Irania. Mas?”
Dia tak menjawab ajakanku untuk
menunggu di Tomoro Coffee yang ada di area Stasiun MRT Bendungan Hilir,
membuatku agak kecewa. Tapi kemudian ia menoleh kepadaku dan mengangguk dengan
mimik lucu.
“Boleh, Mas... Mas siapa?”
“Saya Arifin,” jawabku sambil
bangkit dari atas bangku peron. Hatiku bersorak. Gadis itu ramah, bukan tipe
yang gampang berprasangka buruk terhadap kenalan baru, tapi sikap dan
perilakunya justru membuatku menaruh respek padanya.
Irania kemudian perlahan bangkit
dari duduknya. Berdiri di hadapanku dengan badan tegak, baru aku tahu bahwa
tingginya sedikit di atas dadaku. Kami kemudian berjalan beriringan ke Tomoro
Coffee.
Vibe di stasiun ini benar-benar rush hour, orang lalu lalang dengan
cepat, ada yang lari-lari. Sedangkan aku sendiri selalu berusaha lebih cepat
tiba agar tidak terburu-buru dan bisa lebih santai. Dan spot Tomoro Coffee di
dalam stasiun MRT ini betul-betul membuat saya lebih santai di antara pejuang-pejuang
rupiah yang commute melalui stasiun
ini. Untuk kopinya sendiri konsisten, rasanya enak seperti di gerai-gerai
lainnya, cappuccino-nya memang sudah menjadi
favoritku.
Kami memilih meja di dalam Tomoro
Coffee yang berpendingin udara serta tidak terlalu berisik. Aku memesan dua
gelas minuman panas--cappuccino
untukku dan kopi gula aren untuk Irania.
Sambil sesekali menyeruput minuman
masing-masing, kami larut dalam obrolan ringan. Irania mengesankan pribadi yang
humoris sekaligus cerdas. Sesuai pekerjaannya sebagai Junior Assistant Manager di Departemen General Affairs sebuah perusahaan penyedia layanan solusi data dan
informasi.
Obrolan kami terpotong oleh
pengumuman bahwa MRT Bundaran HI-Lebak Bulus akan memasuki Stasiun MRT
Bendungan Hilir. Kami pun meninggalkan Tomoro Coffee dan kembali berjalan
beriringan ke peron. Sambil melangkah, kami masih bertukar cerita. Salah satu
ceritanya, entah sengaja atau keceplosan, mengungkapkan bahwa ia berumur 28
tahun—tidak jauh beda dari dugaanku—dan merupakan anak sulung dari dua
bersaudara dengan adiknya adalah laki-laki.
Di dalam MRT yang mulai berjalan,
dengan gerbong dijejali banyak penumpang yang membuat kami hanya bisa berdiri
dalam jarak cukup rapat, kami masih terus mengobrol. Aku menawarkan diri untuk
membawakan ranselnya yang tampaknya cukup berat, tetapi Irania menolak dan
sebaliknya ia memindahkan ranselnya ke depan dadanya, mungkin khawatir jadi
sasaran pencopet.
Ketika ia memindahkan ranselnya ke
depan dadanya, gerakannya sempat menyingkapkan kalung yang ia kenakan di balik cod overall-nya, yang memberitahuku
bahwa ia beragama Katolik. Aku Islam, tapi golongan yang tidak taat alias Islam
KTP. Aku memilih untuk mengidentifikasi diriku sebagai “anggota Subud yang
inklusif”, alih-alih muslim. Kalung salib yang dikenakan Irania, karena itu,
tidak menyurutkan tekadku untuk mengenal lebih jauh gadis itu. Bahkan aku tidak
akan menarik diriku jika Tuhan menghendaki aku berjodoh dengannya. Agama tidak
menjadi pertimbanganku dalam memilih calon pendamping hidupku.
Turun di Stasiun MRT Lebak Bulus,
Irania segera mengeluarkan ponselnya, hendak memesan ojek daring. Tetapi
kemudian ia tampak ragu, karena kawasan Lebak Bulus sedang diguyur hujan.
Sambil mengeluarkan ponselku sendiri, aku bertanya pada Irania, “Pulangnya ke
arah mana?”
Ia menoleh padaku dengan wajahnya
yang agak memucat, mungkin lelah. “Cireundeu, Mas.”
“Lho, kok satu jalan dengan saya!”
kataku dengan nada tersentak dan kuperlihatkan tampilan pesanan taksi daring di
layar ponselku. “Saya Pondok Cabe.”
Wajah Irania sekejap berseri-seri,
menghapus pucatnya. Tatapan matanya penuh harap—mengharap ajakanku untuk bareng
di taksi daring pesananku, mungkin. “Mau bareng?” tanyaku.
“Wah, saya nggak mau merepotkan
Mas Arifin,” katanya. “Nanti saya ikut bayar setengahnya ya.”
Aku menegaskan padanya, diiringi
senyum dan mimik kesungguhanku, bahwa keikutsertaannya sama sekali tidak
merepotkan dan bahwa ia tidak perlu membayar setengahnya.
“Sebagai sesama warga Tangsel
harus saling membantu,” candaku.
Irania duduk di jok tengah taksi
daring pesananku, pas di sebelahku. Pendingin udara di dalam taksi sangat
dingin, membuatku berkhayal mendekap erat gadis itu. Bukan sebagai ekspresi
seksual, tapi lebih sebagai kepedulianku kepada sesama manusia.
Obrolan kami semakin akrab dan
hangat selama perjalanan menembus hujan deras di dalam taksi daring. Jalanan
cukup macet, tetapi untungnya sopir taksi tidak mengeluh apalagi mengumpat—semacam
tanda bahwa ia menghendaki penumpangnya segera memutuskan untuk turun, sehingga
tidak mengusik keakraban kami.
Menyadari keakraban itu, aku
memberanikan diri meminta nomor WhatsAppnya. “Siapa tahu kita bisa pulang
bareng lagi kayak tadi,” gurauku sembari memberi alasan mengapa aku menanyakan
nomor WhatsAppnya. Irania dengan ramah memberinya padaku, dan aku misscall ponselnya untuk memberinya
nomorku.
“Arifin siapa lengkapnya, Mas?”
tanya Irania. Dia beralasan bahwa di daftar Kontak di ponselnya ada beberapa
nama Arifin. “Biar nggak ketuker.”
“Arifin Dwi Slamet,” jawabku. Aku
mengeja “Dwi Slamet” untuknya. Giliran aku ingin meminta nama lengkapnya,
ternyata nomor yang diberikannya tadi sudah ada identitasnya: E. Irania Andari.
Karena gadis itu Katolik, aku menerka dalam hati bahwa “E” mengacu pada
“Elizabeth”. Mungkin benar, mungkin juga salah. Bisa juga Ellen atau Elena,
seperti beberapa teman perempuanku di masa lalu yang beragama Kristen. Tapi, ah
sudahlah, nanti-nanti juga ketahuan apa kepanjangan “E” di depan nama Irania Andari.
Satu jam setelah naik dari depan
Stasiun MRT Lebak Bulus, taksi daring yang mengangkut kami tiba di depan sebuah
rumah. Rumah yang tidak terlalu besar, bertembok warna pink pastel. Irania membuka pintu mobil dan hendak turun ketika aku
mencegahnya, “Masih hujan, Ir. Pakai topi saya nih.”
“Gerimis, Mas. Nggak apa-apa, aku
bisa lari sebentar ke teras,” kata Irania bersikukuh. Ia tetap turun dari
mobil, menggunakan ranselnya untuk melindungi kepalanya dari terjangan air
hujan. Ia mengucapkan terima kasih dan menyampaikan sebuah pesan singkat yang
membuat dadaku bergemuruh: “Keep in touch,
ya Mas Arifin!”
Aku melongo melihat gadis itu
menutup pintu mobil dan bergegas memasuki pekarangan rumahnya serta berjinjit
dalam langkah-langkah cepat ke teras. Ia masih sempat membalikkan badannya
untuk memberi lambaian yang manis kepadaku. Oh
my, mengapa rasaku kini melambung?
“Pacarnya, ya, Mas?” kata sopir
taksi daring diiringi tawa yang lucu.
“Bukan... Teman kerja,” jawabku.
Tapi batinku lantas melantunkan doa, semoga... Entahlah, aku belum berani
sejauh itu.
Sampai di rumah, aku mandi dan
siap-siap terjun ke kasur. Bayangan wajah Irania mengisi benakku malam ini. Aku
melalui pergolakan sejenak: Apakah Irania sudah punya pacar? Mana mungkin gadis
secantik dia belum punya pacar? Aku mengafirmasi diriku bahwa dia masih jomblo.
Entah mengapa, kebanyakan teman perempuanku yang non muslim berstatus jomblo.
Mungkin mendapatkan jodoh laki-laki muslim lebih mudah daripada laki-laki yang
seagama, tapi sebaliknya laki-laki muslim mensyaratkan pacarnya harus muslim
atau, kalau non muslim, paling tidak bersedia masuk Islam ketika akan menikah.
Dan kebanyakan perempuan Katolik
yang kukenal, secinta apapun dia pada pacarnya, tidak akan menomorduakan
Tuhannya. “Ah,” batinku, “beruntunglah perempuan Katolik yang mendapatkan aku
sebagai pacar atau calon suami, karena aku bukan tipe laki-laki muslim yang
mengutamakan agama dalam perjodohan. Sebagai anggota Subud, aku terbiasa dalam
lingkungan yang multikultural dan lintas agama. Di ranah rasa, toh semua terasa
sama saja.”
Lelah membuatku akhirnya lelap.
Tidur pulas yang sempat diwarnai mimpi indah bersama Irania Andari.
*********
PAGI, aku bergegas siap-siap
berangkat kerja. Pikiranku yang dipenuhi harapan untuk bisa bertemu Irania, entah
di Stasiun MRT Lebak Bulus, Bendungan Hilir, atau lobi Sahid Sudirman Center,
mengalahkan keinginanku untuk sarapan terlebih dulu. Tak seperti biasa, aku
menggunakan sepeda motorku sendiri ke Stasiun MRT Lebak Bulus, dimana kuparkir
di penitipan motor.
Aku tak melihat Irania di peron
keberangkatan MRT arah Bendungan Hilir. Harapanku belum pupus, masih ada
kemungkinan aku berjumpa dia di Stasiun MRT Bendungan Hilir atau lobi Sahid
Sudirman Center. MRT pagi itu, jam 06.03, sudah dijejali penumpang, tapi aku
beruntung mendapat kursi kosong sebelah pintu. Kupejamkan mataku, sebuah
kebiasaan sejak aku dibuka di Subud. Dengan memejamkan mata aku dapat meraih
keheningan, meski di luar diriku berisik. Sebuah tepukan di lututku membuatku
membuka mata. Senyumku melebar, menyaksikan gadis berlesung pipi dengan senyum
yang sampai ke matanya yang ditamengi kaca itu. “Irania!” kataku, nyaris
berseru keras.
“Aku mencari Mas tadi di Lebak
Bulus,” katanya polos. “Kupikir masih di rumah.”
Kepolosannya membuatku tidak
menahan diri untuk bercerita yang sebenarnya. “Aku juga tadi mencari-cari kamu,
Ir. Aku susuri sepanjang peron, siapa tau kamu ada di situ.”
Irania tersenyum dengan
keterusteranganku. Tampaknya ia terkesan dengan usahaku untuk bertemu
dengannya. Aku sontak berdiri dan mempersilakan Irania mengambil kursiku.
Awalnya ia menolak, namun aku memaksanya. Apalagi ia tampak kerepotan membawa
ransel berat di depan dadanya.
Sepanjang perjalanan MRT itu, kami
mengobrol dan tak sadar saling menatap. Ada perasaan damai di diriku dengan
hanya menatap mata gadis itu. Aku menawarkannya untuk nanti makan siang bareng
di Sahid Food StrEAT. Irania menyambut tawaranku dengan senang.
*********
MINGGU demi minggu berlalu, tak
terasa sudah dua bulan berjalan sejak pertemuan dan perkenalan pertama kami.
Hampir tiap hari kerja kami bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus atau Bendungan
Hilir atau lobi Sahid Sudirman Center, atau sama sekali tak berjumpa seharian,
tetapi obrolan-obrolan singkat mewarnai layar ponsel kami melalui pesan
WhatsApp.
Obrolan kami akrab dan selalu
hangat, berbagi cerita kehidupan kami masing-masing. Irania tak segan bercerita
bahwa tiap Minggu pagi ia bersama orang tuanya dan adiknya serta tantenya pergi
ke gereja. Akupun tak menutupi bahwa aku aktif di Subud, dan hari Minggu pagi
kadang aku ke Wisma Subud di Jl. RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Irania
sepertinya sangat nyaman dengan aku. Begitu pula aku.
Suatu hari, sebelum berangkat
kerja aku mengirim pesan WhatsApp kepada Irania. Lama sejak terkirim, pesan itu
hanya centang satu. Aku mulai gelisah, berpikir macam-macam, yang menurunkan
antusiasmeku untuk segera berangkat kerja. Tapi aku paksakan diri. Mungkin
ponsel Irania ketinggalan di rumah, pikirku, tapi jam masih terlalu pagi untuk
dia berangkat kerja. Mungkin dia sudah bosan berteman denganku... Ah, tidak
mungkin, selama ini hubungan kami baik-baik saja.
Aku tidak menjumpainya di peron
Stasiun MRT Lebak Bulus maupun Bendungan Hilir. Dengan langkah gontai bercampur
rasa kecewa, kuberjalan memasuki lobi Sahid Sudirman Center dan menunggu
sejenak hingga sepuluh menit sebelum jam kerja dimulai. Sosok Irania tak
tampak, suara khasnya pun tak terdengar di antara para karyawan yang mulai ramai
lalu lalang di lobi.
Di sela-sela jam kerja, aku
permisi kepada manajer CSR perusahaan tambang, yang mengontrakku sebagai
konsultan, bahwa aku mau membeli kopi. Aku melontarkan berbagai alasan ketika
sang manajer mengusulkan agar office boy
saja yang kusuruh untuk membelikan. Padahal sebenarnya aku turun ke lantai
empat, melangkah ke lobi kantornya Irania.
Resepsionis di meja penerima tamu
tersenyum ramah padaku. Tampaknya ia ingat siapa aku, karena aku pernah
beberapa kali mengantar Irania kembali ke kantornya usai makan siang bersamaku.
“Nyari Irania, ya?” kata si resepsionis.
“Iya, Mbak,” kataku. “Maaf kalau
mengganggu di jam kerja, tapi saya ingin tanya, apakah dia masuk kerja?”
“Oh, belum tau, ya?” kata si
resepsionis, memperlihatkan mimik mengasihani diriku. “Irania masuk rumah
sakit... Infeksi lambung, kata dokternya.”
Aku tak menutupi keterkejutanku. “Hah?!
Masuk rumah sakit?! Kenapa dia nggak ngabari saya?” Sesaat aku sempat merasa
malu, karena merasa diriku seolah berhak diberi tahu. “Memangnya kamu siapanya
dia, Arifin?!” batinku.
“HP-nya rusak, Mas. Nggak sengaja
jatuh ke got depan rumahnya,” jelas si resepsionis. “Lagi ultah, lha kok HP rusak
dan masuk rumah sakit pula!”
“Irania ultah hari ini, Mbak?”
tanyaku, kaget.
“Iya. Lho, Masnya nggak dia kasih
tau?”
Lagi-lagi aku membatin, “Memangnya
siapa aku sampai dia harus memberi tahuku tanggal ulang tahunnya?”
Aku minta informasi lebih lanjut
kepada si resepsionis perihal di rumah sakit mana, kamar nomor berapa, Irania
dirawat. Resepsionis menuliskannya di secarik kertas Post-It yang kemudian ia sodorkan kepadaku. Aku mengucapkan terima
kasih padanya berkali-kali sambil menyeret diriku meninggalkan lobi kantor itu.
Aku kemudian turun ke lobi Sahid
Sudirman Center, kupesan ojek daring menuju ke toko Erafone di Plaza Semanggi untuk
membeli ponsel Samsung Galaxy A16, seperti yang dipakai Irania selama ini. Setelahnya,
aku menuju toko Hallmark untuk memesan bungkus kado yang cantik serta kartu
ucapan yang manis. Setelah itu, aku kembali ke kantorku, melanjutkan
pekerjaanku hingga tiba jam pulang.
Aku memesan taksi daring menuju RS
Puri Cinere di mana Irania dirawat. Jantungku berdebar setibanya aku di depan
pintu kamar rawatnya. Aku mengintip melalui jendela persegi panjang vertikal
pada daun pintu kamar rawat, kulihat sesosok perempuan paruh baya bergaun
sederhana duduk di kursi di samping ranjang pasien yang tertutup tirai. Aku
tidak bisa melihat Irania—mungkin ialah yang berbaring di ranjang itu.
Kugeser pintu kamar rawat,
terdengar sedikit deritan pelan, yang membuat perempuan paruh baya itu menoleh
kepadaku. Sebelum sempat ia berucap, aku mendahuluinya, “Maaf, Bu. Benar ini
kamarnya Irania Andari?”
Perempuan paruh baya itu
mengangguk sambil tersenyum dan kemudian berdiri dengan kedua tangannya
menyambut jabatan tanganku. Ia mengajakku menemui Irania, yang sedang duduk di
ranjang pasien dengan kedua kakinya berselonjor. Wajahnya pucat tetapi
kecantikannya tak sirna. Ia terkejut melihatku. “Mas Arifin?!” ucapnya dengan
suara serak.
Aku tersenyum dan menyalaminya.
Irania terus menatapku sambil melongo. Ia tak menyangka aku akan menjenguknya,
karena ia tak sempat memberi tahuku perihal sakitnya maupun kenyataan bahwa ia
harus dirawat di rumah sakit sebagai akibatnya.
Perempuan paruh baya itu, yang
ternyata adalah ibu dari Irania, mempersilakan aku duduk dan ia permisi untuk
meninggalkan kamar karena mau membeli makan malam untuk dirinya sendiri. Aku
sempat menawarkan diri untuk membelikannya, tetapi ia menolak dengan halus dan
berkata, “Irania akan lebih senang kalau Mas yang menemaninya.”
“Mama apa siiih!” sahut Irania
dengan muka memerah. Aku tertawa, begitu pula ibunya.
Sepeninggal ibunya, kami lama
terdiam, saling memandang. Kami tak sanggup berkata-kata, tapi aku tak tahan
dengan kebekuan itu, mengingat selama ini kami selalu saling bercerita
ceplas-ceplos. Aku pun memecah kebekuan itu, “Aku dapat info dari resepsionis
kantor kamu, Ir. Aku tadi pagi WA kamu, tapi centang satu terus. Dan aku
cari-cari kamu di Stasiun Lebak Bulus dan Bendungan Hilir. Kok kamu nggak ada.
Aku cemas... mikirin kamu, Irania.”
Irania kemudian menceritakan
kronologisnya hingga ia akhirnya masuk rumah sakit. Aku mendengarkan dengan
saksama hingga mendapat kesimpulan dari ceritanya bahwa ia seharian lupa makan
lantaran begitu banyak pekerjaan yang menuntut penyelesaian segera serta dua
kali berturut-turut menghadiri rapat dengan klien yang memakan waktu lama.
“Masak sih kamu sampai lupa
makan?!” kataku berkomentar. Ada tekanan pada nada bicaraku, yang mengesankan
aku marah sekaligus cemas. Aku sangat peduli padanya, entah itu tanda aku
mencintainya atau bagaimana. Irania pun memandangku dengan jenis pandangan
seorang perempuan yang terpesona pada perlakuan laki-laki pujaannya.
“Nggak ada yang ingetin sih,”
gurau Irania, tapi aku menangkap nada menggoda di sana. Suatu kode keras yang
masih harus kupecahkan artinya.
Aku pun tidak rikuh untuk membalas
godaannya. “Oh, mau aku ingetin setiap hari? Setiap jam? ‘Irania, jangan lupa
makan!’. Hanya pacar yang mau kayak gitu...”
Irania tertawa kecil, merasa geli.
Matanya mengerut. Hatiku berdebar. Ada dorongan kuat di dalam diriku untuk
menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Irania. Ya, aku yakin... aku yakin
aku mencintainya. Tapi aku takut, jika ia tak merasakan hal yang sama,
pertemanan hangat yang selama ini kurasakan bersamanya akan berakhir. Aku memang
bukan tipe orang yang lantas menjauh manakala cintanya ditolak, tapi aku yakin
hubungan pertemanan kami tidak akan sama lagi.
Aku menarik napas panjang dan
mengembuskannya sayup-sayup. Kupejamkan mataku untuk menenangkan diri dan
menerima Latihan Kejiwaan, agar keberanianku, perasaan nothing-to-lose, terpumpun. Sesudah itu, seketika mulutku berucap
dalam kalimat yang tertata rapi—seperti selama ini bila aku berbicara dalam
keadaan terbimbing, “Irania... Aku nggak tau kenapa aku begitu peduli kamu...
Maafkan aku... aku nggak ingin pertemanan kita rusak karena apa yang akan
kukatakan ini...”
Aku mengambil sela, mencoba menyerap
reaksi Irania. Dia hanya diam terpaku, mendengarkan dengan saksama. Dia menanti
ucapanku dengan khusyuk.
“Aku mencintai kamu...,” kataku
pelan, menelan ludah dan teriring ragu. “Mungkin itu yang menjelaskan mengapa
aku begitu sedih begitu tau kamu sakit sampai harus dirawat di rumah sakit...
Ingin aku ingetin kamu setiap hari untuk jaga kesehatan, jaga diri... tapi
siapalah aku ini.”
Aku merasakan tangan Irania yang
hangat menyentuh lembut lenganku yang kutaruh di kasur ranjang pasien, di
sebelah badannya. Punggung tangan Irania yang menyentuhku dibalut plester yang
menahan erat jarum infus. “Mas Arifin... Aku pengen nangis dengernya... Belum
pernah ada cowok yang begitu perhatian padaku. Perhatian Mas bahkan melebihi
pacar...”
“Bo... bo... bolehkah aku jadi
orang yang ingetin kamu setiap hari untuk jaga kesehatan, jangan telat makan,
jaga diri...?” ucapanku terbata-bata tapi perasaanku kuat.
“Mas, kalau nggak ngrepotin,
bolehkah aku juga punya perasaan yang sama terhadap Mas?” kata Irania pelan. Ia
sepertinya yakin pada perasaannya sendiri. Aku menatap matanya yang mulai berkilau.
Aku menyentuh pipinya perlahan dan kucondongkan kepalaku ke depan, hingga
bibirku mengecup lembut keningnya.
Setelah kujauhkan wajahku, aku
dapat melihat pancaran matanya mewakili rasa bahagianya. Kurasa kesembuhan pun
mulai menjalari tubuhnya.
Malam itu, aku dan Irania resmi
menjadi sepasang kekasih.
“Tapi HP-ku rusak gegara kecebur
got,” kata Irania. “Nanti gimana Mas Arifin WA aku?”
Aku menggenggam tangan Irania yang
tidak ditusuk jarum infus. Kutatap matanya dan kuucap dengan pasti, “Selamat
ulang tahun, Yanya.” Panggilan “Yanya” begitu saja terlintas di benakku, yang
membuatku memastikan bahwa itulah panggilan sayangku untuk Irania. “Semoga usia
29 membuat Yanya makin sehat lahir dan batin.”
Sebelum Irania sempat berkata
apa-apa, aku merogoh ranselku, dan mengeluarkan paper bag mungil. Kuulurkan paper
bag itu kepada Irania, yang memperlihatkan wajah tercengang. Ia membukanya
dan mengeluarkan sebuah kotak dalam bungkus kado bermotif ilustrasi anak
perempuan berrambut ponytail dan
berkacamata dengan ukuran yang kebesaran. Aku memilih bungkus kado itu karena
gambar sosok anak perempuan dengan kacamata kebesaran itu mengingatkanku pada
Irania. “Apa nih, Mas Arifin?”
“Buka aja, Yan...”
Ia membuka bungkus kadonya dengan
sangat hati-hati. Wajahnya tiba-tiba ceria. “Ya Tuhan... Mas nggak perlu
repot-repot, kan bukan salah Mas kalau HP-ku rusak.”
“Gimana lagi aku bisa ingetin
Yanya supaya jangan lupa makan, kalau Yanya nggak ada HP?” kataku, tergelak.
Irania menjulurkan satu lengannya,
tanpa kata menyatakan keinginannya agar aku memeluknya. Aku memeluknya
perlahan, badan kami tidak sampai bersentuhan, dan kucium lembut keningnya. “Cepat
sembuh ya, Yan,” kataku begitu melepas pelukannya. “Yan”, dari Yanya, terdengar
seperti “Yang” dari Ayang, panggilan mesra kepada pacar. “Aku pulang dulu ya...
Yanya istirahat yang cukup, minum obatnya dan patuhi kata dokternya. Besok
sore, pulang kerja, aku akan ke sini lagi.”
Irania menyentuh pipiku tanpa
berkata-kata, tapi tatapan matanya dalam. Pada saat aku hendak meninggalkan
kamar rawatnya, pintu sudah duluan membuka. Ibunya masuk, menenteng kantong
kresek, mungkin berisi makanan. Ia menampakkan wajah memohon dengan iba ketika
aku minta diri. Sepertinya ia senang dengan hadirnya aku dalam hidup putrinya.
*********
IRANIA lahir di Jakarta pada 9 Mei
1997, duapuluh tahun setelah aku turun ke dunia. Ayahnya, seorang pelaut yang
bekerja di sebuah maskapai pelayaran niaga, sedang mengarahkan kapal tanker
yang dinakhodainya melalui Selat Hormuz di sisi pesisir Iran, ketika ia
mendapat kabar mengenai kelahiran putri pertamanya. Nama negara di mana bagian
dari Selat Hormuz berada adalah yang pertama muncul di benaknya ketika
memikirkan, di sela kesibukannya mengarahkan kapal, nama buat bayi yang lahir
dari rahim istrinya. Ditambah “ia” yang dicomot dari nama negara asalnya.
Andari adalah kata dari bahasa Italia yang bermakna “perjalanan”, terinspirasi
dari perjalanan melalui laut yang sedang dilakukan ayahnya.
“Irania mendapat nama baptis
Elizabeth,” tutur ibunya kepadaku ketika aku mengantar pacarku dan keluarganya
ke gereja. Benar dugaanku ketika kami baru berkenalan, bahwa inisial “E” di
depan namanya mengacu pada Elizabeth.
Irania diperbolehkan pulang dari
rumah sakit seminggu setelah malam aku menyatakan cinta padanya. Ia terlihat
lebih sehat, enerjik dan ceria, pasti oleh energi cinta kami. Sejak resmi
berpacaran, rute perjalananku ke dan dari kantor mencakup jalan di mana rumah
pacarku beralamat. Kini kami tak perlu lagi saling mencari dengan harap-harap
cemas di peron Stasiun MRT Lebak Bulus, Bendungan Hilir atau lobi Sahid
Sudirman Center. Kini kami berjalan beriringan, saling menguatkan.
Pola pacaran kami bernuansa
kakak-adik, sahabat, teman berbagi cerita dan canda. Kedekatan kami sedemikian
biasanya hingga teman-temannya maupun teman-temanku tidak mengira kami pacaran.
Aku pun memperlakukan Irania dengan respek dan santun. Kami jarang berpegangan
tangan atau saling merangkul layaknya sepasang kekasih jika di depan umum.
Ciuman pertama kami juga terjadi ketika usia pacaran kami genap satu tahun.
Hanya sekali itu, selanjutnya amat jarang terjadi. Ciuman itu meneguhkan
keseriusan kami dalam menjalani hubungan yang kami cita-citakan untuk berlanjut
hingga ke pelaminan.
Suatu hari, Irania mengajakku
makan malam di sebuah kafe yang bersuasana romantis. Saat itu malam Minggu,
jadwal tetap aku mengapelinya. Kami tergolong jarang bermalam Minggu di luar
rumahnya, karena aku senang melewati malam khusus bagi para kekasih itu justru
bersama keluarganya. Ayah-ibunya menyambut baik hubunganku dengan putri mereka,
meski mereka tahu bahwa agamaku berbeda dari agama mereka. Tampaknya mereka
yakin kalau aku takkan menuntut putri mereka berpindah ke agamaku. Mereka juga
tahu kalau aku anggota Subud, sebuah perkumpulan spiritual yang inklusif, walau
mereka tak paham benar apakah Subud itu.
Sejak berangkat dari rumah, selama
perjalanan ke kafe di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, itu, Irania tampak
murung, sedikit bicara, menekan perasaannya, seperti memendam sesuatu. Begitu
tiba di kafe, kami memesan minum dulu. Irania ingin membicarakan sesuatu yang
tampaknya serius, dan ingin momen itu tidak diusik oleh kesibukan menikmati
makanan.
“Mas Arifin...,” mulai Irania
dengan nada datar. Ia menahan tangis, terlihat dari raut wajahnya. “Sudah lebih
dari setahun kita jalan ya. Sayangku pada Mas sudah sangat kuat, aku nggak... nggak...
nggak sanggup kalau harus kehilangan kamu, Mas.”
Aku tersentuh dengan sikapnya. Aku
pun tak sanggup menanggung beban kehilangan perempuan yang sangat kucintai ini.
Mungkin aku akan mati perlahan atau bunuh diri jika Irania hilang dari
kehidupanku. Aku menggenggam kedua tangannya erat dan melepasnya sejenak ketika
pelayan datang menghidangkan minuman pesanan kami. Di usianya yang kini 30,
Irania terlihat lebih dewasa dan matang daripada umumnya perempuan-perempuan
seusianya. Selain itu, pertama kali kukenal dia, Irania memang merupakan pribadi
yang bijaksana, yang dapat dengan baik mengimbangiku yang lebih tua duapuluh
tahun darinya.
Irania selanjutnya mencurahkan
keresahan hatinya yang belakangan mendadak muncul, melihat perkembangan
hubungan kami yang kian mendalam. Ia rupanya khawatir apabila kami harus
berpisah lantaran perbedaan agama. Air matanya berlinang saat ia menyatakan isi
hatinya yang resah, membuatku semakin erat menggenggam tangannya sebagai
sebentuk penglipuran.
“Yanya,” ucapku ketika Irania tak
sanggup lagi berkata-kata. Pipinya dibasahi air mata, dan ia menggigit bibir
bawahnya sebagai upaya menahan isakan tangis. “Aku ingin Yanya tau... Sejak
pertama aku menyatakan cintaku pada Yanya, aku sudah memastikan diriku bahwa
pada akhirnya kita akan menikah. Aku... aku... aku ingin menikahi Yanya,
kapanpun Yanya siap. Dan sementara itu, mungkin Yanya nggak tau kalau aku
mempersiapkan segalanya untuk itu sejak kita jadian. Aku sudah mempertimbangkan
banyak hal, termasuk menabung khusus untuk kita pergi ke Singapura atau
Hongkong di mana pernikahan beda agama diakui. Aku ingin Yanya tau itu... dan
juga bahwa aku nggak akan meninggalkan Yanya untuk alasan apapun juga.”
“Gimana dengan orang tua Mas, apa
mereka mau nerima putra mereka menikah dengan cewek beda agama?” kata Irania di
sela isakannya.
“Di agamaku, laki-laki tidak perlu
izin dari orang tuanya untuk menikah. Aku hanya perlu restu, tapi kalaupun
tidak direstui aku... aku nggak ragu untuk melanjutkan niatku menikah sama Yanya.”
“Aku nggak mau Mas dalam posisi
sulit karena aku,” kata Irania, menyeka matanya yang masih terus meneteskan air.
“Tapi... tapi... aku nggak bakal kuat kalau Mas ninggalin aku.”
Aku mengelus tangan kanan Irania,
dengan harapan akan memberinya kekuatan. “Sayang... lihat aku... Jangan
menangis ya, Sayang. Yanya cukup meyakini cinta kita. Yanya nggak perlu
meresahkan gimana-gimananya aku nanti dengan keluargaku. Biarlah itu menjadi
tanggung jawabku. Tuhan Maha Tahu bahwa niatku untuk menikah dengan Yanya adalah
untuk tujuan yang baik. Tuhan nggak pernah mengotak-ngotakkan ciptaanNya dalam
agama. Dia adalah Yang Maha Pengasih dan Dia selalu memberi jalan kepada
manusia yang berserah diri, dengan perasaan sabar, tawakal, ikhlas dan berani.”
Irania menatapku lama. Ia takjub
dengan kata-kataku. Aku sendiri tidak memikirkan kata-kata itu, mereka terucap
sendiri melalui mulutku yang tidak dikendalikan akal pikirku. Aku merasakan
ucapanku itu layaknya aku saat melakukan Latihan Kejiwaan Subud. “Pejamkan mata
Yanya, tarik napas dalam-dalam dan embuskan perlahan, Sayang,” bisikku
kepadanya.
Pacarku itu melakukan persis yang
kupinta darinya. Mataku memandanginya lekat-lekat. Aku merasakan getaran halus,
seperti aliran listrik berkekuatan rendah, mengarus dari diri Irania ke diriku
melalui tangan kami yang saling menggenggam. Aliran listrik itu terasa bergerak
bolak-balik, dari Irania ke aku dan kembali ke dia. Ketika ia membuka matanya,
air mata telah reda, wajahnya bercahaya, dan bibir ranumnya tampak segar.
“Apa yang Yanya rasakan sekarang?”
tanyaku berbisik. Aku segera tersadar bahwa aku mungkin telah membuka keinsafan
dirinya, suatu proses yang di Subud disebut “pembukaan”, yang seharusnya
dilakukan orang yang disebut helper
yang berjenis kelamin yang sama dengan orang yang dibukanya.
“Kok aku merasa... ber... beda.
Seperti dilahirkan kembali...,” ucap Irania lirih.
“Puji Tuhan... Kurasa, Yanya telah
disentuh kasih sayangNya,” gumamku. Kuperhatikan Irania yang sekarang berbeda
dengan Irania beberapa belas menit lalu. Ia kini lebih tenang, lebih meresap
semua rasa jiwa, rasa hati dan rasa pikiranku. Ia telah menyatu denganku. “Aku
mencintaimu, Yanya. Hanya itu yang penting untuk Yanya rasakan!”
*********
HARI Minggu pagi itu, kuantar
Irania ke gereja. Hanya dia, sedangkan orang tua, adik dan tantenya sudah ke
sana lebih dulu dan sudah pulang. Selama misa, aku menunggu di luar, meskipun
aku tidak keberatan jika dipersilakan menemani pacarku mengikuti prosesi doa
dan ritual-ritual lainnya dari agamanya. Manusia Subud bisa cepat beradaptasi
di berbagai lingkungan yang berbeda dari lingkungan asalnya. Tetapi hari itu,
Irania minta pengertianku untuk tidak menemaninya selama misa, karena ia ingin
khidmat berdoa.
Usai misa, pacarku keluar dari
bangunan gereja dengan wajah sumringah. Ia menghampiriku yang sedang duduk di
bangku kayu yang biasanya diduduki tukang parkir di pekarangan gereja. Ia
mengusap-usap kepalaku dengan gemas. “Sekarang, aku pengen ke tempat Mas biasa
datengin kalau Minggu,” ujarnya.
Sudah sejak pekan lalu, tiba-tiba
Irania menyatakan keinginannya menemaniku ke Wisma Subud. Apakah ia mau ngandidat atau tidak, Irania tidak
memastikannya, dan aku juga tidak mau memaksanya. Anggota Subud tidak boleh
memaksa atau menuntut siapapun juga untuk masuk Subud, sebagaimana lazim
dilakukan oknum-oknum dalam agama-agama.
“Yanya tunggu sini dulu ya,”
kataku ketika kami tiba di kompleks Wisma Subud. Kuajak pacarku ke sebuah kafe
di dalam kompleks, memesan untuknya minuman dingin dan camilan, dan kutinggal
dia untuk pergi melakukan Latihan terjadwalku. Baru saja aku melangkah keluar
pekarangan di muka kafe, kulihat Irania sudah mengobrol akrab dengan dua wanita
paruh baya yang juga sedang nongkrong di kafe itu. Aku tersenyum simpul, merasa
bangga memiliki pacar cantik yang pandai bergaul dan mudah beradaptasi dengan
lingkungan baru.
Sekembalinya di kafe itu, pasca
Latihanku, aku menemui Irania sedang mencamil kentang goreng yang ia cecah ke
wadah kecil berisi mayonaise. Belum sempat aku duduk di hadapannya di meja
kafe, salah satu dari dua wanita yang duduk di meja lainnya dan yang tadi
sempat bercengkerama dengan Irania saat aku hendak Latihan, berseru, “Mas
Arifin, ajak tuh pacarnya ke WI. Dia pengen ngandidat!”
Wanita yang berseru kepadaku itu
mengenalku dan aku mengenalnya pula. Dia sudah lebih lama di Subud daripada aku,
dan memiliki kepekaan rasa diri yang tajam. Dia sepertinya telah menerawangi
Irania ketika tadi mereka mengobrol. Aku menoleh ke Irania. “Sayang, beneran
mau ngandidat?”
“Menurut Mas gimana?” tanya
pacarku balik. “Aku sih siap.”
Aku menatapnya lama. Entah apa
yang aku pertimbangkan. Aku senang kalau pacarku masuk Subud, sehingga kencan
kami bukan hanya saat perjalanan ke dan dari kantor, saat mengapelinya malam
Minggu, tetapi merambah pula ke bagian paling penting dari kehidupanku sebagai
individu: Latihan Kejiwaan Subud!
“Oke deh,” kataku kemudian, dengan
suara yang mengandung keyakinan. "Ayo, ikut aku ke Wisma Indonesia di
belakang sana."
Tak ragu, Irania langsung berdiri,
mengikuti langkahku setelah sebelumnya permisi kepada kedua wanita di meja yang
lain, dan mengucapkan terima kasih atas saran mereka agar pacarku itu masuk
Subud.
*********
“AKU merasa dilahirkan kembali!”
seru Irania begitu keluar dari ruangan di mana ia dibuka. Pipinya basah oleh
air mata. Salah satu helper wanita
yang mengikuti pacarku di belakangnya berucap, “Selamat ya, Liz. Ini baru awal
dari sebuah perjalanan. Semoga Liza rajin Latihannya.”
Irania mengangguk sambil tersenyum
lebar kepada helper wanita itu. Tiga helper lainnya hanya menyalami pacarku.
Aku tertegun saat mendengar mereka semua menyebut nama baptis pacarku. “Liz?
Liza?” ucapku heran. "Memang pernah ada yang manggil Yanya dengan nama
baptis Yanya?"
“Ya, ada doong.
Guru-guru SMA-ku manggil aku Elizabeth. Teman-teman SMA-ku semuanya manggil aku
Liz,” kata pacarku sambil membenahi pakaiannya yang agak kusut, mungkin
disebabkan oleh gerakan-gerakan dinamis saat ia dibuka. “Tapiii... Mas Arifin
aja yang boleh manggil aku Yanya.”
“Iya, deeehh,”
gurauku seraya mencubit pelan lengan atas pacarku. Aku lalu mengajaknya meninggalkan
Wisma Subud menuju gerai Dunkin’ Donuts di dekatnya, di Jl. RS Fatmawati.
Minggu siang yang panas mendorong kami untuk memuaskan dahaga dengan minuman
dingin dan empat bomboloni khas Dunkin’.
Saat sudah duduk berhadapan di
salah satu meja yang tersedia di gerai Dunkin’ Donuts, dan setelah
masing-masing kami menenggak minuman, aku mencegah Irania mengambil sepotong
bomboloni. “Tunggu dulu, Sayang. Aku ingin Yanya baca ini dulu.”
Aku mengulurkan kertas pink dari bahan daur ulang dalam keadaan
terlipat kepada pacarku. Ia membuka lipatannya dan membaca isinya dengan
tatapan mata yang mengisyaratkan kecermatan. Sebuah puisi, ciptaanku sendiri,
terbaca olehnya...
Senja Untuk Irania
Untukmu, Elizabeth Irania Andari,
Kutemukan puisi ini dalam bingkai
senja,
sama seperti cahaya yang memeluk hangat
punggungmu di sana
Begitulah caramu masuk dan menerangi jiwa
Di balik kacamata bening itu,
kulihat dunia,
penuh tawa yang renyah dan harapan yang nyata
Jemarimu yang menyisir pelan ujung rambutmu
adalah isyarat sederhana yang menenangkan
kalbuku
Duapuluh tahun mungkin menjadi
bentang waktu,
angka yang menjadikanmu adik, dan aku kakakmu
Namun di antara peran itu, kita adalah sahabat,
dua jiwa setara yang terikat erat
Aku membimbing bukan karena lebih tua,
aku hanya berjalan di sisimu, menjaga nyala
cinta
Tangan kita mungkin menengadah
pada waktu yang tak sama
Doaku mengalun di heningnya sajadah,
sembahyangmu teduh di bawah naungan salibNya
Kita menatap langit yang satu, dari dua jendela
iman yang berbeda
Namun di ujung setiap pinta, bibir kita
sama-sama mengucap kata “Amin”,
menyatukan harapan pada Tuhan yang sama-sama
kita yakini Maha Pengasih
Maka biarlah cinta kita menjadi
bukti,
bahwa hormat adalah fondasi sejati
Kita tak saling meminta untuk berubah, hanya
saling menerima seutuhnya,
membangun istana di tengah perbedaan yang indah
Teruslah tersenyum seperti ini,
Irania
Karena dalam satu senyummu itu, kutemukan alasan
dan arah,
untuk percaya pada masa depan yang kita eja
bersama
Rumah kita, yang atapnya adalah kasih dan
tiangnya adalah penghargaan...
- ADS –
Irania mengangkat wajahnya dan
menatapku dengan pandangan yang menyiratkan ketakjuban. Namun, sebelum ia
sempat berucap, kutampilkan di hadapannya sebuah kotak mungil berlapis beludru
biru muda—warna kesukaan pacarku. Kubuka tutup kotak itu, yang menyuguhkan
sesuatu yang membuat Irania menaruh telapak tangan kanannya di depan mulutnya
sebagai ungkapan keterpesonaan. Sebuah cincin berwarna rose gold dengan potongan yang sempurna nan indah.
“Elizabeth Irania Andari... maukah
kamu menjadi istriku?” ucapku pelan tapi bernada kuat.
Sepasang mata indah di balik
kacamata itu meneteskan air mata bahagia. Senyum manis yang menunjukkan lesung
di pipinya mengiringi anggukan kepalanya.©2025
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 21-22 Agustus 2025