Thursday, July 31, 2025

Mendidik Melalui Hukuman Fisik

Gagasan saya yang pernah saya posting di Linimasa Facebook saya, 1 Agustus 12 tahun lalu, ini muncul di Kenangan Facebook saya hari ini. Saya tulis ulang bersama dengan komentar Hannah Lee dari Subud Perth, Australia, dan komentar balik saya terhadapnya.


KEKERASAN dalam pelatihan dasar militer di Amerika Serikat dilarang; instruktur latihan sekarang hanya diperbolehkan membentak para rekrutan. Begitu pula dengan perpeloncoan di universitas-universitas di Indonesia, yang kini sudah dilarang (namun masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi).

Saya menyayangkan masyarakat saat ini yang tidak tegar menghadapi kesulitan hidup karena dimanjakan semasa kecil. Sebagai anak sekolah, saya dicambuk dengan penggaris kayu atau dijemur di lapangan karena tindakan indisipliner.

Tahukah Anda apa yang dialami rata-rata anak sekolah di Indonesia setelah mengalami nasib serupa? Mereka jatuh sakit, bahkan ada yang meninggal! Saya pikir sakit atau matinya bukan disebabkan oleh hukuman fisik, tapi lebih disebabkan oleh tekanan karena rasa malu.

Saya ingat suatu kejadian ketika saya masih menjadi mahasiswa senior di Universitas Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan, saat Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) bagi mahasiswa baru. Ada seorang anak muda laki-laki yang datang terlambat. Saya berteriak dan membentaknya di depan para mahasiswa baru lainnya dan menyuruhnya melakukan push-up sebanyak 25 kali. Yang mengejutkan saya adalah dia menangis dan menuduh saya telah mempermalukannya.

“Tidak seorang pun, bahkan orang tua saya tidak pernah memarahi saya!” katanya. Ya ampun! Apakah ini generasi sekarang? Tak heran jika semakin banyak remaja yang melakukan bunuh diri ketika mengalami kegagalan atau kekecewaan.

Meskipun demikian, diperlukan beberapa bentuk tindakan disipliner, namun harus ada batasannya agar tidak berlebihan, sehingga mudah menimbulkan kebingungan. Tapi kita sebagai orang tua, saya yakin, merasakan lebih banyak kesakitan daripada anak yang kita hukum, tapi itu perlu. Hal ini menanamkan cara kita memandang kehidupan dan juga membuat kita lebih tangguh! Tempatkan seorang remaja sekarang dan kita ketika kita remaja di pulau terpencil, menurut Anda siapa yang cenderung memimpin dan sintas?!

Anak-anak zaman sekarang lebih baik di sekolah dibandingkan di kehidupan nyata. Keponakan saya pernah mengejek saya karena saya tidak pandai matematika (dia mengetahuinya dari kakak saya yang adalah ibunya). Dia memberi saya soal matematika dengan rumus “n” (ini ditambah n sama dengan ini, berapa n?) dan yakin saya tidak bisa menyelesaikan soal tersebut. Dia tertawa terpingkal-pingkal ketika saya ternyata membuktikan apa yang dia yakini sebelumnya.

Kemudian tibalah giliran saya untuk memberinya soal: “Kamu berada di dalam pesawat yang jatuh ke hutan dimana tidak ada orang di sekitarnya dan ada hewan-hewan berbahaya yang akan memakanmu. Sekarang, jelaskan pada Om bagaimana kamu menggunakan ‘n’ untuk menyelamatkan dirimu!” Dia hanya mengangkat bahu dan mengatakan bahwa saya gila!©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Agustus 2013

35 Tahun Kemudian

LIMA hari lalu, saya bermimpi saat tidur malam. Dalam mimpi itu, saya berada di dalam Kereta Rel Listrik (KRL) tujuan ke Jakarta atau Bogor dari Stasiun Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat. Bersama saya ada cewek hitam manis yang di kampus Fakultas Sastra/FS (sejak 2002 menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB) Universitas Indonesia merupakan mahasiswi Program Studi (Prodi) Jerman Angkatan 1985. Saya sendiri waktu itu (1987-1993) berstatus mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI Angkatan 1987. Dari segi usia, cewek itu 18 bulan lebih tua dari saya (dikonfirmasi di Riwayat Hidup dalam skripsinya, dia kelahiran Bogor, 2 Juni 1966). Dengan kata lain, di lingkungan FSUI dia adalah senior saya.

Mimpi yang menurut saya sangat aneh, karena saya dan cewek itu sudah putus kontak selama 35 tahun, dan bahkan teman seangkatan saya di Jurusan Sejarah yang bertetangga dengan si cewek tidak pernah mengabarkan apapun tentang dia.

Dalam mimpi itu, saya bersikap mesra terhadap cewek itu. Kami berdiri berhadapan, berpegangan pada tali di atas kami karena tidak mendapat tempat duduk. Tampaknya kami berpacaran dalam mimpi itu. Dalam kehidupan nyata, dulu, 35 tahun lalu, tepatnya tahun 1990, kami memang pernah sangat dekat. Dia selalu penuh perhatian dan saya pernah tak sengaja mencuri dengar dia bicara dengan teman seangkatan saya di Jurusan Sejarah, yang sama-sama dengan dia tinggal di Bogor, bahwa dia jatuh cinta pada saya. Tapi saya rasa, “sepasang kekasih” bukanlah kata yang tepat untuk mendefinisikan kedekatan kami. Kami tidak pernah saling terbuka mengungkapkan perasaan kami. Hanya tindak tanduk kami yang berbicara kenyataannya.

DN inisial nama lengkapnya, Tera panggilan akrabnya. Dia pernah bercerita ke saya di awal perkenalan kami bahwa selain berstatus mahasiswi Sastra Jerman FSUI, dia juga kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia kampus Cawang, Jakarta Timur, di Angkatan 1984.

Saya mengenal Tera ketika kami menjadi anggota panitia pelaksana penyelenggaraan Penataran 100 Jam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) bagi mahasiswa baru UI tahun 1990, yang Gugus 07-nya bertempat di kampus FSUI Depok, selama hampir sebulan. Tera muncul di kampus di hari kedua atau ketiga Penataran P4, untuk urusan skripsinya, tidak menyangka bahwa ia sebenarnya anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07. Adalah Annt, gadis kurus dan jangkung, berkacamata dan rambut panjangnya dikepang, yang memberi tahu Tera tentang hal itu. Annt teman seangkatan Tera di Prodi Jerman.

Setelah diberi tahu Annt, Tera pun bergabung dengan para anggota Panpel lainnya, yang berkumpul di teras Gedung I FSUI. Pos Koordinasi (Posko) Panpel Penataran P4 Gugus 07 menempati dua ruangan di sebelah Auditorium Gedung I. Saya sedang duduk di bangku kayu panjang di depan ruangan sebelah Auditorium; ruangan itu selama semester perkuliahan merupakan salah satu kelas yang digunakan untuk pertemuan interaktif dosen dan mahasiswa.

Tera duduk di sebelah saya dan memperkenalkan dirinya. Dari perjumpaan pertama itu saya sudah mendapat kesan bahwa gadis itu ramah ke semua orang dan supel. Sungguh kontras dengan saya yang pendiam dan pemalu, dan kerap dianggap sombong dan kaku. Dari perkenalan itu berkembanglah obrolan yang akrab antara saya dan Tera. Meski cantik, dengan model rambut bob layer sebahu, berkulit gelap, dan berkacamata, saya tidak segera naksir pada Tera. Perasaan saya biasa saja.

Obrolan kami kian akrab setelah dipicu oleh insiden lucu. Saat masih duduk di teras Gedung I, satu anggota Panpel, mahasiswa Sastra Prancis Angkatan 1987, yang saya lupa namanya, berteriak dari arah teras Gedung II. Gedung II adalah pusat Badan Administrasi Pendidikan (BAP) FSUI, dimana Dekan dan para Pembantu Dekan (Pudek) FSUI berkantor, serta loket-loket pengurusan segala keperluan akademik mahasiswa berada. Dia melambai-lambaikan sebuah amplop putih ke saya. “Surat cinta nih untuk lo, To!” teriaknya, lalu membaui amplop itu. “Hmmm, wangi!”

Saya pun bergegas ke teras Gedung II untuk mengambil amplop itu. Gedung I dan II terhubung dengan selasar pendek. Setelah menerima amplop itu, yang berisi surat dari pacar saya yang sedang kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, saya kembali ke teras Gedung I, dan duduk kembali di sebelah Tera. Dia bertanya mengapa surat buat saya dialamatkan ke kampus FSUI.

Saya pun bercerita kepadanya bahwa hubungan saya dengan pacar saya di Yogya, Evi namanya, ditentang orang tua saya, karena kami memiliki hubungan kekerabatan yang di adat Jawa Tengah tabu untuk menjalin asmara. Namun, kenyataan itu baru disampaikan ke saya ketika masa pacaran saya dengan Evi sudah berjalan dua tahun. Daripada bubaran, saya memilih untuk melanjutkan, tetapi secara backstreet.

Tera tampaknya terkesan dengan kejujuran saya. Ia terus mendengarkan cerita saya dengan penuh minat. Saya bercerita apa adanya tentang hubungan saya dengan Evi, sampai detail kelakuan saya menyimpan kondom di dompet sebagai persiapan kalau Evi mau saya “begitukan”. Hari itu menandai keakraban saya dan Tera. Tera berubah menjadi pribadi yang selalu tulus memberi perhatian kepada saya, misalnya mengambilkan kopi dan kue buat saya, tanpa saya minta, saat rehat kopi Penataran P4. Tindakannya memancing ES, rekan seangkatan saya di Jurusan Sejarah, untuk menggoda kami seolah kami sepasang kekasih. “Ter, lo pacaran ya sama Anto? Kok Anto doang lo bawain kopi dan kue? Gue kan tetangga lo, masak lo cuekin,” goda ES. Atau ketika Tera menderita sariawan di bibirnya, kontan digoda ES, “Makanya kalau ciuman sama Anto jangan kelewat hot.”

Digoda begitu, Tera tidak mengamuk, tapi malah menanggapi dengan balas meledek ES. ES dan Tera memang bertetangga di Jl. Pakuan, Bogor.

Secara terpisah, ES bilang ke saya bahwa Tera suka pada saya. “Lo itu blak-blakan, man, terus terang. Cewek suka sama cowok yang terbuka kayak lo.” Entah mengapa, perasaan saya biasa saja, tidak GR, mendengar ucapan ES mengenai perasaan Tera terhadap saya.

Selama sebulan menjalankan tugas sebagai anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07 FSUI, hubungan saya dan Tera menjadi kian akrab. Tidak pernah ada rasa tertarik terhadapnya muncul di diri saya, tetapi saya senang dan merasa nyaman dengan kehadirannya. Kami nyambung di segala topik obrolan. Dan Tera selalu tertawa dan suka bercanda, terlebih bila digoda ES bahwa dia dan saya berpacaran. Saat itu, saya merupakan pribadi yang pemalu, dan mudah segan terhadap para senior. “Berpacaran dengan kakak senior” tidak ada dalam kamus saya saat itu. Meskipun perbedaan usia bukan masalah bagi saya dalam hal asmara, tetapi ibu saya sangat menentang hal itu.

Pernah sekali waktu, ketika para peserta Penataran P4 Gugus 07 dipecah menjadi kelompok-kelompok diskusi, Tera spontan mengajak saya buat menemani dia bertugas di kelompok yang menempati Gedung VIII. Saat itu, Gedung VIII berada di paling belakang kampus FSUI, di pojok dekat hutan dan terpencil, terhubung dengan Gedung VII (Perpustakaan) oleh selasar yang panjang. Saya mengerti mengapa Tera minta saya menemaninya—karena banyak cerita horor beredar mengenai Gedung VIII. Dengan senang hati saya menerima ajakannya.

Keakraban kami makin kuat dan dalam di Gedung VIII. Tera sempat bilang ke saya bahwa dia belum punya pacar, tapi saya masih terlalu polos untuk mengerti bahwa itu kode keras buat saya, sehingga saya tidak terdorong untuk menyatakan cinta. Lha, karena memang saya tidak memiliki perasaan spesial terhadapnya, selain merasa nyaman jika berada di dekatnya.

Pasca menjadi anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07, saya masih sering berjumpa dengan Tera. Dia selalu menyapa saya, yang saya sambut dengan tersenyum. Tapi saya paling malu membalas sapaannya bila dia sedang bersama teman-teman seangkatannya. Saya merasa tatapan teman-temannya seolah menganggap saya yunior yang kurang ajar, berani-beraninya menyukai kakak senior.

Suatu hari, terjadi sesuatu yang membuat hati saya deg-degan. Saat itu, siang hari, saya baru tiba di kampus FSUI, dan saya berjalan dari arah pelataran parkir mobil di samping Gedung III (gedung yang mengatapi kantor jurusan dan program studi), menuruni tangga yang membawa saya ke emperan Gedung III, dan terus berjalan ke selasar tepat di seberang pintu akses Gedung III. Saya memergoki Tera sedang mengobrol dengan ES di tengah selasar dengan posisi memunggungi saya sehingga mereka tidak menyadari kehadiran saya. Jarak saya dengan mereka agak jauh tetapi saya dapat mendengar setiap ucapan mereka. Saya sengaja tidak mau mendekat dan menyapa mereka, terutama karena saya malu sekali jika dijadikan bahan candaan Edi bahwa saya dan Tera berpacaran. Saya berpura-pura melihat-lihat majalah dinding di sisi selasar.

Obrolan mereka saat itu adalah tentang saya dan bagaimana perasaan Tera terhadap saya. “Aduuh, E, lo jangan bikin Anto malu doong. Kasihan dia. Gue tuh sayang banget sama Anto. Gue kok jatuh cinta sama Anto ya, E. Gue bingung!” ucap Tera.

“Ah, lo biasa aja napa. Anto tuh santai aja kok, emang orangnya cuek banget, tapi gue tau si Anto... kayaknya dia suka juga sama lo, Ter. Jadiin aja,” kata ES menanggapi Tera.

Akhirnya, saya memberi tahu ES dan Tera akan keberadaan saya di selasar itu, namun saya memberi kesan ke mereka seolah saya baru tiba. Tera berbinar-binar melihat saya, dia blushing seperti gadis remaja yang terpergok pria pujaannya. “Hai Anto,” sapanya.

“Hai, Tera,” balas saya sambil melempar senyum. Saya tidak menyempatkan diri untuk berbicara lebih lama dengan dia di selasar itu, dan terus melangkah ke kantin di Gedung IV. Saya sempat mendengar ES menggoda lagi, “Udahlah, lo berdua emang jodoh.” Tera memukul bahu Edi, mungkin karena malu.

Perasaan saya senang ketika tak sengaja mencuri dengar pengakuan Tera ke ES di selasar Gedung III. Tetapi yang saya rasakan aneh, jika mengingat hal itu sekarang, hati saya tidak berbunga-bunga. Biasa saja. Lalu, mengapa saya memimpikan Tera dan saya berpacaran? Justru 35 tahun kemudian.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Agustus 2025

Saturday, July 26, 2025

Soto Pak Jutek

 


KETIKA saya masih tinggal di rumah kontrakan di Jl. Petemon Barat, Surabaya, tahun 2001-2003, ada satu penjual soto ayam Lamongan langganan saya di Jl. Petemon V. Jualan secara gerobakan tapi mangkal di sudut perempatan Petemon V-VI di kawasan Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya.

Karena gerobaknya tidak memiliki nama, saya pribadi memviralkannya sebagai “Soto Pak Jutek”, karena tampang si bapak penjual soto Lamongan yang sangat enak dengan kuah kaldu bandengnya yang gurih selalu terlihat suntuk, jutek, tidak pernah tersenyum, bahkan ketika sudah menerima uang pembayaran soto yang saya pesan. Kadang saya minta tambah daging ayam suwirnya, atau kuahnya atau uritannya, dia menampakkan wajah yang kian jutek tapi tetap memenuhi permintaan saya.

Pak Jutek dengan wajah tak ramahnya bagaimanapun membuat saya kangen, terutama setelah saya kembali ke tanah kelahiran, Jakarta, Juli 2005. Ingatan akan penjual soto ayam Lamongan di Jl. Petemon V itu kembali mengisi kepala saya ketika menemukan depot soto Lamongan dengan nama “Pak Jutek”, di Jl. Cabe I, Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Juli 2025

Menyogok Nafsu

SEJAK pertengahan tahun lalu hingga saat ini, saya mulai merasakan “krisis paruh baya” dalam kehidupan Subud saya. Tandanya, saya kehilangan dorongan untuk Latihan yang rajin seminggu dua kali. Biasanya saya merasa rugi sekali kalau kehilangan satu kesempatan Latihan bersama di hall, kini saya “ah... peduli amat”. Dan kalau sebelum-sebelumnya, saya bisa tiga-empat kali Latihan dalam seminggu, kini tidak Latihan dalam seminggu saya merasa biasa saja. 

Sebelumnya, hujan badai saya terjang demi bisa ke Latihan terjadwal di hall manapun, kegelapan malam dan jarak yang jauh saya terobos meski mata hanya sanggup melihat sejauh 5 meter. Kini, saya hanya berpikir betapa gilanya saya kalau melakukan itu semua.

Bagaimanapun, saya tetap merasakan vibrasi Latihan dalam keseharian saya, bimbingan yang terus-menerus dalam segala hal yang saya lakukan, baik dalam wujud gerak, merasakan, maupun sekadar pengertian.

Baru-baru ini, di tengah sesi percakapan bahasa Inggris SPEC di Rumah Wing Bodies Subud Indonesia pada hari Selasa, 22 Juli 2025, saya ceritakan ke Pak Harris Roberts apa yang tengah saya alami. Beliau berbagi kiatnya, mengenai bagaimana tetap rajin datang Latihan bersama di hall. Beliau menyebutnya “bribe my nafsu” (menyogok nafsu saya). Pak Harris menyogok nafsunya dengan ketersediaan kopi dan rokok.

Saya pun blak-blakan merespons usulan beliau, “Really? That’s what I do almost all the time. That’s the sole reason why I do Latihan in Pamulang... For the food and the great tasting coffee!” (Benarkah? Itu yang saya hampir selalu saya lakukan. Itulah satu-satunya alasan mengapa saya Latihan di Pamulang... Demi makanannya dan kopinya yang berasa sangat nikmat!).©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Juli 2025

 

Thursday, July 24, 2025

Orisinalitas Ide

 



MELIHAT logo 80 tahun Indonesia Merdeka yang baru diluncurkan dan kemiripan dengan yang ada di koleksi VectorStock, saya teringat pengalaman pribadi saya ketika masih berkiprah sebagai Senior Copywriter di Rama & Grey (PT Rama Perwira) tahun 1995-1997.

Creative Director saat itu, seorang Australia peraih Clio Award untuk iklan Coca Cola ketika ia berkarir di Madison Avenue, New York, Amerika Serikat, Neal Weeks namanya, mengomentari salah satu dari lima alternatif ide saya untuk iklan televisi (television commercial/TVC) Wrigley Chewing Gum.

Ia bertanya ke saya apakah saya pernah melihat TVC dari minuman ringan bersoda “Big Cola”. Saya jawab, belum. Karena TVC-nya memang tidak ditayangkan di Indonesia. Namun saya jadi kecewa, karena merasa ide saya jadi tidak orisinal.

Neal Weeks pun menghibur saya: “Jangan kecewa, Anto. Tuhan menurunkan ide-ide ke semua copywriter di muka bumi, dan kadang ada ide-ide yang mirip satu sama lain. Kalau penggunaannya untuk produk yang sama, memang jadi tidak orisinal. Tapi dalam kasus kamu, idenya kan untuk permen karet, bukan minuman sejenis Big Cola. Ide kamu tetap orisinal, jangan khawatir.”©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Juli 2025


Anggukan Tersenyum

 


GRUP Jakarta Selatan memiliki lebih dari 540 anggota aktif—berdasarkan laporan pertanggungjawaban dari Ketua Grup pada Rapat Cabang Jakarta Selatan, 11 Mei 2025 lalu. Rata-rata kita tidak mungkin dapat mengenal mereka semua. Tetapi menjaga kebersamaan sekaligus kerukunan bukanlah hal yang sulit. Budaya Indonesia memiliki metode sapaan tertentu, yang saya kira bisa dilakukan semua orang, tak terkecuali latar belakangnya.

Sesama orang Indonesia, saling mengenal maupun tidak, akan memberi “anggukan tersenyum” jika berpapasan. Kadang ditambah dengan sapaan lisan “Dari mana?” atau “Mau ke mana?”, bila mereka saling mengenal. Sebuah pertanyaan yang sifatnya sekadar basa-basi, tidak memerlukan jawaban.

Saya sudah Latihan di Hall Cilandak selama lebih dari 19 tahun, saya bertemu dengan banyak sekali orang dengan berbagai perangai dan masalah. Mereka datang dan pergi di Subud. Yang saya jumpai belasan tahun lalu kadang tidak saya jumpai lagi saat ini, atau kalaupun saya menjumpainya bisa jadi dia tidak ingat saya atau sakit hati pada saya. Apapun alasannya, sekalinya berpapasan saya pasti akan memberi mereka anggukan tersenyum. Saya tidak mengharapkan balasan dengan sikap yang sama (biasanya mereka membuang muka atau “berwajah lempeng” seolah tidak melihat saya).

Saya pernah diajak seorang pakar komunikasi multibudaya ke pembekalan para ekspat yang bekerja di Indonesia. Di acara itu, sang pakar membagi sejumlah kiat tentang bagaimana orang-orang asing yang bekerja di Indonesia—semuanya di level manajerial atau direksi—dapat disukai oleh anak buah mereka. Penekanannya adalah pada bahasa tubuh. Sekadar tersenyum sambil mengangguk pelan dan sigap dapat berdampak sangat positif dalam hubungan atasan dengan bawahan.

Sang pakar komunikasi multibudaya tersebut juga menyarankan para peserta pembekalan agar tidak melipat kedua lengan di depan dada atau berkacak pinggang saat berbicara kepada bawahan, karena orang Indonesia menganggap sikap itu sebagai arogansi, yang dipengaruhi oleh trauma sejarah dengan orang-orang Eropa yang pernah menjajah Indonesia.

Berbicara mengenai budaya Indonesia tidak akan pernah ada habisnya. Indonesia bukan hanya dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak keanekaragaman suku, agama, dan pemandangan indah. Indonesia juga memiliki beragam budaya. Salah satu budaya Indonesia yang menonjol di mata dunia adalah keramahtamahan masyarakatnya. Jika berkunjung ke Indonesia, hal pertama yang menjadi perhatian semua orang dari berbagai belahan dunia adalah senyum dan sapa masyarakat. Bagi warga Indonesia sendiri, hal ini adalah hal lumrah yang biasa dilakukan. Namun, bagi orang yang memang bukan berlatar belakang budaya Indonesia, pasti terkejut saat pertama kali berkunjung.

Budaya tegur sapa di Indonesia memang menjadi salah satu alasan kuat mengapa negara ini dianggap sebagai salah satu negara paling ramah di dunia. Tegur sapa, yang dalam bahasa Jawa sering disebut “salam”, merupakan suatu tindakan sederhana yang dilakukan dengan menyapa atau menyambut orang lain dengan ramah dan sopan.

Di Indonesia, tegur sapa bukanlah hal yang asing. Bahkan sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, semua diajarkan untuk menyapa dengan ramah kepada siapa pun yang mereka temui. Tegur sapa ini tidak hanya dilakukan kepada keluarga dan teman-teman, tetapi juga kepada orang asing yang baru dikenal.

Nilai Kekeluargaan

TEGUR sapa menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Saat kita bertemu dengan orang yang belum kita kenal, kita akan menyapa dengan kata-kata seperti “selamat pagi”, “selamat siang”, atau “selamat malam”, tergantung pada waktu pertemuan. Selain itu, kita juga dapat menggunakan kata-kata seperti “apa kabar?” atau “bagaimana keadaanmu?” untuk menunjukkan minat kita terhadap keadaan orang tersebut.

Bukan hanya itu, tegur sapa di Indonesia juga melibatkan kontak fisik yang lembut. Misalnya, ketika kita bertemu dengan orang yang lebih tua, kita biasanya memberikan salam dengan merengkuh tangan mereka dan menempelkan tangan kita di dada sebagai tanda penghormatan. Hal ini menunjukkan rasa hormat dan penghargaan kita terhadap orang yang lebih tua.

Tegur sapa juga mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan yang kuat di Indonesia. Saat kita bertemu dengan saudara atau kerabat, kita tidak hanya menyapa dengan kata-kata, tetapi juga memberikan pelukan atau cium pipi sebagai tanda kasih sayang dan keakraban. Hal ini menunjukkan bahwa kita peduli dan menghargai hubungan keluarga yang erat. Di Subud Indonesia, kebiasaan seperti itu sudah lama dilakukan, biasanya di antara para anggota yang sudah saling mengenal.

Budaya tegur sapa di Indonesia juga berdampak positif pada sektor pariwisata. Banyak wisatawan yang datang ke Indonesia terkesan dengan keramahan dan kehangatan penduduk setempat. Mereka merasa diterima dengan baik dan merasa nyaman selama berada di Indonesia. Tidak jarang mereka kembali lagi untuk mengunjungi Indonesia karena kesan positif yang mereka dapatkan dari interaksi dengan penduduk setempat.

Percakapan Praktis

DALAM rangka mengembangkan kemampuan anggota Subud Indonesia, khususnya saat ini masih sebatas di Grup Jakarta Selatan, seorang anggota baru mengusulkan diadakannya sesi percakapan dalam bahasa Inggris, yang dipandu oleh seorang penutur asli. Sesi Subud Practical English Conversation (SPEC) tersebut, yang pertama kali digelar pada 8 Juli 2025, diadakan sesudah Latihan pada hari Selasa, mulai pukul 12.00 a.m., dan bertempat di Rumah Wing Bodies Subud Indonesia.




Ide mengenai SPEC tercetus dari Amir Hadad, anggota baru yang dibuka di Cilandak pada Februari 2025, karena keprihatinannya pada rendahnya keterlibatan anggota Subud Indonesia dalam interaksi-interaksi positif dengan kalangan anggota luar negeri yang bertempat tinggal di kompleks Wisma Subud Cilandak atau para tamu asing yang menginap di Wisma Subud. Jadi, bukan hanya berhenti pada anggukan tersenyum dan bersalaman, tetapi juga membangun komunikasi yang langgeng untuk memperkuat kerukunan antar anggota.

Objektif taktisnya adalah mempersiapkan anggota Indonesia yang ingin menghadiri Kongres Dunia Subud ke-17 di Fàtima, Portugal, pada 2028, tetapi tujuan utama penyelenggaraan SPEC (yang akan diasuh oleh SICA Indonesia) adalah untuk memperkuat eksposur internasional dari para anggota Subud Indonesia.

 


Dipandu Harris Roberts, warga kompleks Wisma Subud asal Amerika Serikat yang juga seorang helper dari Grup Jakarta Selatan, peminat SPEC ternyata cukup signifikan dan berdampak dengan orang-orang yang sebelumnya tidak mampu berkomunikasi aktif dalam bahasa Inggris menjadi tidak malu-malu lagi. Susasana sesi SPEC kondusif dengan imbauan agar siapapun, meski fasih berbahasa Inggris, tidak menertawakan atau mengejek mereka yang kurang fasih dan pengucapannya belepotan—yang, sayangnya, lumrah terjadi di masyarakat Indonesia—tapi sebaliknya ikut membimbing mereka.

Di setiap sesi, Harris dan para peserta berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang beragam budaya. Hal ini seringkali mengejutkan bagi sebagian anggota Indonesia yang masih memegang teguh ajaran dan adat istiadat agama mereka. Harapannya, melalui diskusi ini, gegar budaya tidak lagi menghalangi terjalinnya hubungan yang harmonis saat berinteraksi dengan orang asing.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 24 Juli 2025

Wednesday, July 23, 2025

Perbedaan Krusial: “Councillor” dan “Counselor” di Subud

PAGI ini, saya mendapat pertanyaan dari seorang pembantu pelatih di Madiun via WhatsApp: Apa bedanya WSA dan ISC?

Dalam penjelasan saya yang cukup panjang mengenai organisasi internasional Subud, saya tiba-tiba tersentak menyadari adanya dua kata dengan ejaan dan pengucapan hampir serupa, tetapi memiliki arti yang berbeda. Kesalahpahaman ini telah menimbulkan kekeliruan di kalangan anggota, pengurus, maupun pembantu pelatih. Kedua kata tersebut adalah councillor dan counselor. Karena kemiripannya, maknanya sering dianggap sama. Bahkan Google Translate pun menyamakannya, sehingga saya merasa perlu memberikan umpan balik agar diperbaiki. Untuk memastikan, saya memeriksa situs web World Subud Association (WSA), dan memang kata yang digunakan adalah councillor untuk konteks organisasi dan kejiwaan, bukan counselor. Terjemahan Indonesianya adalah “konsilor”.

Councillor merujuk pada “anggota dewan” atau “anggota majelis”. Sementara itu, counselor berarti “penasihat”, seperti dalam marriage counselor (penasihat perkawinan), atau “pejabat senior korps diplomatik”.

Konsilor-konsilor, baik Organisasi maupun Kejiwaan, adalah anggota Dewan Subud Dunia (World Subud Council/WSC). Mereka mewakili Pengurus Nasional masing-masing negara anggota WSA, layaknya seorang Menteri Luar Negeri. Oleh karena itu, cukup aneh jika seseorang yang tidak mampu berbahasa Inggris atau berbahasa asing secara aktif dijadikan Konsilor Organisasi. Tugas utama mereka adalah berkomunikasi dengan pihak luar negeri, yaitu dengan pengurus WSA (International Subud Committee/ISC), Perwakilan Zona (Zone Representatives), pengurus lembaga-lembaga (wing bodies), serta pengurus nasional dari setiap negara anggota WSA.

Saat ini, Konsilor Organisasi PPK Subud Indonesia justru lebih banyak mencampuri urusan organisasi dalam negeri. Kata “konsilor organisasi” inilah yang menyebabkan kesalahpahaman. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah committee councillor, atau “konsilor pengurus”, bukan organization councillor. Selain itu, di PPK Subud Indonesia, kata councillor juga disamakan dengan counselor yang berarti “penasihat”, sehingga yang terjadi adalah sang Konsilor Organisasi selalu tampil memberi nasihat dan masukan kepada kalangan pelaksana dan pelaksanaan kiprah organisasi Subud secara keseluruhan, bukan hanya pengurus.

Karena penasihat atau konsultan umumnya adalah orang yang berpengalaman panjang di bidangnya, “konsilor organisasi” versi salah kaprah ini sering kali dijabat oleh orang yang memiliki pengalaman profesional di organisasi di luar Subud. Padahal, Bapak sendiri menyatakan bahwa organisasi Subud berbeda dengan organisasi pada umumnya. Tidak mengherankan jika Perkumpulan Subud saat ini “ke sana ke mari”, kehilangan arah, dan cenderung menyimpang dari garis yang telah ditetapkan oleh Bapak.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Juli 2025

Tuesday, July 15, 2025

Lupa Nama, Tanda Rendahnya Interaksi Pembantu Pelatih dan Anggota

PADA tahun 2023, saya dimintai tolong oleh pembantu pelatih daerah Cabang Jakarta Selatan untuk menangani seorang anggota yang bersikeras melakukan Latihan dua kali seminggu di Hall Cilandak, meskipun ia telah melampaui batas Latihannya (di rumah ia melakukan Latihan setiap malam, membuat keributan yang mengganggu tetangganya). Tugas yang aneh bagi saya, karena saya bukan seorang pembantu pelatih, melainkan “dimintai bantuan” oleh seorang pembantu pelatih.

Karena saya merasa anggota tersebut seharusnya ditangani oleh seorang pembantu pelatih, saya bertanya padanya siapa pembantu pelatih yang membukanya. Ia dibuka pada tahun 2017, hanya enam tahun sebelumnya, tetapi ia tidak ingat nama-nama para pembantu pelatih yang hadir saat pembukaannya. Ia hanya ingat ada empat orang. Mengingat profesi anggota tersebut adalah dosen, saya rasa tidak masuk akal jika ia benar-benar lupa nama segelintir orang saja. Mungkin saja, sebelum dan/atau sesudah dibuka, ia tidak pernah berhubungan lagi dengan para pembantu pelatih tersebut, atau para pembantu pelatih tersebut mengabaikan tanggung jawab mereka untuk mengasuhnya.

Saya sering menjumpai anggota Subud, terutama di Jakarta, terutama yang baru dibuka pada tahun 2000-an, yang tidak ingat siapa saja para pembantu pelatih yang hadir menyaksikan pembukaan mereka. Ada beberapa anggota yang ingat nama dari setidaknya dua dari empat pembantu pelatihyang hadir, tetapi banyak juga yang tidak ingat siapa saja pembantu pelatih yang hadir.

Rata-rata jumlah pembantu pelatih yang hadir saat pembukaan anggota baru tidak lebih dari tiga atau empat orang. Hal ini bisa jadi karena calon anggota yang dibuka tidak pernah bertemu dengan para pembantu pelatih, yang menyaksikan pembukaannya, selama masa ngandidat-nya, atau hubungan mereka dengan para pembantu pelatih bersifat “sambil lalu”, tidak pernah intensif. Atau, rumor yang beredar memang benar, bahwa para pembantu pelatih dewasa ini tidak lagi tekun menjalankan tugas melayani anggota sejak masa kandidatan hingga mereka dibuka.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 16 Juli 2025

Monday, July 14, 2025

Forum Belajar Percakapan Bahasa Inggris di Wisma Subud Cilandak

MESKI berakar di Indonesia, Subud merupakan perkumpulan berskala internasional. Subud pun menjadi gerbang bagi orang-orang Indonesia untuk mendapatkan eksposur internasional, tetapi sayangnya hal itu belum maksimal. Penyebabnya adalah penguasaan bahasa asing, terutama Inggris, yang masih rendah di kalangan anggota Subud Indonesia.

Berawal dari obrolan santai seputar perbedaan budaya di grup WhatsApp “Subud 4G”, tercetuslah ide dari seorang anggota baru grup Jakarta Selatan untuk mengadakan forum pembelajaran bahasa asing yang dinamakan “Subud Practical English Conversation” (SPEC) yang bermula pada 8 Juli 2025. Objektif taktisnya adalah mempersiapkan anggota yang ingin menghadiri Kongres Dunia Subud ke-17 di Fàtima, Portugal, pada 2028, tetapi tujuan utama penyelenggaraan SPEC (yang akan diasuh oleh SICA Indonesia sebagai sebuah komunitas) adalah untuk memperkuat eksposur internasional dari para anggota Subud Indonesia.

 





Untuk sementara, karena keterbatasan ruangan, SPEC diadakan tiap hari Selasa pukul 12.00 di Rumah Wing Bodies Subud Indonesia (kompleks Wisma Subud Cilandak No. 22C) dengan asistensi dari seorang penutur asli, warganegara Amerika Serikat yang tinggal di kompleks yang juga pembantu pelatih Cabang Jakarta Selatan, Harris Roberts. Kepesertaan gratis, tetapi bila ingin menyumbang untuk kepentingan bersama dipersilakan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 Juli 2025

Friday, July 11, 2025

Subud Adalah Apapun Latar Belakang Budaya Anda

SAYA bersama empat saudara Subud Indonesia, satu orang kandidat dan satu non anggota Subud pada akhir bulan Mei 2025 menandatangani akte pendirian perseroan terbatas yang bisnis intinya adalah industri kreatif. Kami terkumpul bukan dengan rencana manusiawi kami, melainkan “tak sengaja”, secara terbimbing. Proyek percontohan kami adalah ingin membuat film dan penyertanya (novel dan lagu), yang melalui itu kami ingin menyampaikan nilai-nilai Subud dan Latihan Kejiwaan tanpa sama sekali menyebut kata-kata itu, dengan harapan masyarakat luas akan mempraktikkan sikap sabar, tawakal, ikhlas dan berani sebagai gaya hidup.

Meski bukan anggota (paling tidak, belum), seorang sutradara film Indonesia yang menjadi salah satu pemegang sahamnya, Agung Sentausa, memiliki seabrek pengalaman hidup yang menimbulkan ketakjuban di antara kami yang sudah dibuka, terutama terkait bimbingan dari kekuasaan Tuhan. Bagaimanapun, ia belum menunjukkan minat untuk masuk Subud, tetapi ia memperlihatkan betapa ia mengagumi Subud dan Bapak, terlebih setelah ia kami biarkan membaca Susila Budhi Dharma.

Salah satu ucapannya, saya kutip, adalah bahwa menurut dia Subud adalah satu-satunya perkumpulan spiritual yang tidak berakar pada budaya tertentu, terlepas dari fakta bahwa Bapak adalah orang Jawa. Saya membenarkan pernyataannya, karena saya pernah membaca ensiklopedia Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, yang menyajikan informasi mengenai 300 organisasi spiritual yang terdapat di seluruh Kepulauan Indonesia, salah satunya Subud. Dalam ensiklopedia tersebut memang tidak dicantumkan keterkaitan Subud dengan budaya atau suku apapun di Indonesia, meskipun Bapak berlatarbelakang kebudayaan Jawa yang kental. Dan Subud, tambah Agung berdasarkan pengamatannya, bukan sekte maupun sempalan dari agama-agama atau sistem-sistem kepercayaan yang ada di Indonesia.

Bagaimanapun, masyarakat Indonesia pada umumnya menganggap Subud sebagai Kejawen, sebuah sistem kepercayaan dan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa, yang secara sederhana dipandang sebagai perpaduan antara kepercayaan asli masyarakat Jawa (seperti animisme dan dinamisme) dengan pengaruh agama-agama besar yang masuk ke Jawa, terutama Hindu, Buddha, dan Islam. Kejawen menekankan pada nilai-nilai spiritual, kearifan lokal, dan praktik-praktik tradisional yang diwariskan dari leluhur. 

Kadang, telinga saya panas mendengar komentar orang-orang Indonesia sendiri yang mengatakan bahwa Subud adalah Kejawen, hanya karena Bapak berasal dari Jawa dan sebagian anggota melestarikan artefak-artefak budaya Jawa dalam event-event Subud. Tetapi, telinga saya kembali sejuk jika mengenang ucapan satu pembantu pelatih dari Cabang Jakarta Selatan, yang meninggal pada 2010 lalu, “Ya, Subud memang Kejawen... bagi orang Kejawen. Subud adalah Islam... bagi orang Islam. Subud adalah Kristen... bagi orang Kristen. Subud adalah apapun latar belakang budayamu.”©2025


Pondok Ranji, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, 12 Juli 2025

Wednesday, July 9, 2025

Hubungan Lagu Dengan Jiwa

SAAT melihat sebuah postingan berisi sederet foto dan video yang menggambarkan kegiatan kepemudaan di Musyawarah Wilayah Subud Indonesia Komisariat Wilayah VI Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, di akun Instagramnya @subudyouthindonesia pada hari ini, secara bersamaan saya menyalakan Youtube The Best of Relax Slow Rock Music untuk mengiringi waktu bekerja saya di depan komputer.

Video di akun Instagram itu kemungkinan ada ilustrasi musiknya juga, atau suara dari mereka yang tampak dalam video tersebut, tetapi entah mengapa tidak keluar. Saya pikir, mungkin ada gangguan di speaker komputer saya, tetapi kemudian saya ketahui bahwa bukan itu penyebabnya, karena nyatanya saya bisa mendengar dengan jelas musik dari akun Youtube yang saya kunjungi. Saat itulah, saya menyadari sesuatu yang indah: Musik dan lagu dari Youtube The Best Relax Slow Rock Music yang beriringan dengan video di akun Instagram @subudyouthindonesia yang “bisu”, memberi yang tersebut terakhir nuansa yang berbeda, atmosfer yang positif, membangun rasa kekaguman, semangat, bahkan kebahagiaan.

Seketika saya teringat pada pengalaman bertahun-tahun lalu. Saat itu, tahun 2001, saya bekerja di sebuah biro iklan papan atas di Surabaya, yang sedang menggarap proyek iklan televisi untuk minyak goreng berlabel “Ikan Mas”, yang pabriknya berlokasi di Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Sudah delapan kali tim kreatif biro iklan tersebut dan saya, sebagai pengarah kreatif dan copywriter-nya, mempresentasikan ide dan konsep untuk iklan TV-nya disertai papan cerita (storyboard)-nya, di kantor klien yang menyatu dengan pabriknya, namun klien—yang diwakili pasangan suami-istri pemilik perusahaan dan manajer personalianya—tetap belum berkenan.

Pada kesempatan kesembilan, kami mempresentasikan papan cerita yang tidak kami ganti—masih sama dengan saat kami mempresentasikannya pada kesempatan kedelapan, tetapi kali ini kami mempersilakan klien mempelajari frame demi frame pada papan cerita sambil mendengarkan lagu “Bunda” yang dibawakan Melly Goeslaw dari grup musik Potret dari tape yang sengaja kami bawa dari kantor.

Lagu “Bunda” menceritakan tentang rasa cinta yang diungkapkan seorang anak kepada ibunya, juga pengorbanan seorang ibu kepada anaknya. Lirik lagu tersebut dapat membuat kita teringat kepada sosok seorang ibu. Kebetulan, konsep kreatif iklan TV “Ikan Mas” menggambarkan seorang ibu yang menantikan kedatangan anak-anaknya yang telah meninggalkan rumah—karena bekerja di lain kota, kuliah di luar negeri, dan tinggal di tempat yang berbeda karena sudah menikah—dan untuk menyambut mereka sang ibu memasak hidangan yang istimewa, yang tercipta berkat “Ikan Mas”.

Perpaduan musik dan lagu dengan aktivitas mempelajari konsep kreatif iklan TV yang terpampang pada papan cerita tersebut rupanya mencetuskan suasana yang berbeda, suasana yang hangat, yang menghidupkan gambar-gambar pada papan cerita, memberi kesan khusus kepada istri pemilik perusahaan yang adalah seorang ibu dari dua anak yang beranjak dewasa. Kontan saja, klien menyetujui konsep kreatif yang kami presentasikan di kesempatan kesembilan kalinya itu. Begitu sukanya istri pemilik perusahaan pada konsep kreatifnya dan ilustrasi musiknya sampai ia minta agar iklan TV-nya tidak menggunakan suara apapun, termasuk efek suara (sound effects/SFX), selain suara merdu Melly Goeslaw membawakan lagu “Bunda” dan musik yang mengiringinya.

Setelah melakukan Latihan Kejiwaan selama bertahun-tahun, saya mulai menyadari satu hal: musik atau lagu memiliki efek khusus terhadap jiwa kita, baik yang datang dari luar ataupun dari dalam diri kita. Secara tidak sengaja (mungkin merupakan bimbingan buat saya), baru-baru ini saya menemukan ceramah Bapak mengenai pengertian saya itu, sebagai berikut cuplikannya:

“Saudara-saudara, sekedar penjelasan yang mengenai kesenian. Zaman dahulu, lahirnya kesenian yang disebut kebudayaan ialah dilahirkan karena jiwa. Jadi, bukan karena pelajaran, tapi karena jiwa. Karena itu, maka setiap melahirkan kebudayaan yang berupa kesenian—misalnya musik atau bersolah atau lagu-lagu atau menyanyi—seketika dapat menjadikan rasa diri atau hati seseorang tenteram dan bahagia. Karena itu, maka dalam agama, misalnya agama Kristen atau agama Islam atau agama Buddha, dalam memberi penuturan, nasihat kepada para orang-orang, selalu dilagukan, selalu dengan lagu-lagu. Jadi, terang, saudara sekalian, bahwa lagu-lagu atau kebudayaan, amat dekat sekali kepada jiwa, sehingga dengan mengucapkan atau melagukan lagu-lagu dan dapat membangkitkan diri dan membangkitkan rasa diri—sebagai halnya saudara kalau terlatih atau berlatih.” (Cilandak, Indonesia, 17 Februari 1970—70 TJK 1)

Musik dapat menjadi alat yang efektif untuk mengatur suasana hati, baik untuk meningkatkan energi, menenangkan diri, atau mengekspresikan emosi. Dengan memahami bagaimana musik dapat memengaruhi mood, kita dapat memanfaatkannya secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mental kita.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 10 Juli 2025

Selamat Ulang Tahun, Hyang

Di usiamu yang matang, berkah tak terbilang

Kini kau telah kembali dari berhaji,

jadikan hati berseri, jiwa pun suci

Usia terangkai sudah,

menjalin kisah hidupmu yang penuh makna dan anugerah

Langkahmu kini ringan dan bercahaya,

bekal suci dari Makkah dan Madinah

                                                  

Semoga tiap doamu terkabulkan,

Di setiap sujud, harapan menuju wujud.

Kebahagiaan abadi menaungi,

di dunia ini hingga akhir nanti

Dirgahayu, Hyang,

Semoga Allah limpahkan rahmatNya tak terhingga

Jalanmu terang, imanmu kokoh,

Dalam pasrah, hidupmu indah...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Juli 2025

Budaya Generalisasi

MASYARAKAT Indonesia itu suka salah kaprah terhadap nama-nama makanan yang berasal dari budaya-budaya yang berbeda, terutama karena kecenderungan menggeneralisasi. Generalisasi umumnya disebabkan oleh kemalasan memahami detail.

Seperti kasus Roti Canai vs Roti Maryam, misalnya—kedua jenis roti pipih yang berbeda asal budaya dan cara masaknya tapi dianggap sama. Begitu pula dengan Dimsum; masyarakat Indonesia menganggap Dimsum adalah hanya camilan berbentuk daging ayam giling berbumbu yang dibungkus kulit tepung yang dikukus. Padahal shumai (nama untuk jenis Dimsum itu) hanya salah satu dari lebih dari 950 jenis Dimsum. Dalam bahasa Kanton, dim sum berarti “makanan kecil”, dan nama itu mencakup segala jenis camilan khas Tiongkok, baik dikukus, digoreng, disetup, dibakar maupun dipanggang, termasuk onde-onde, kue ku (angku), bakcang, bakpia, bakpau, lumpia, ceker ayam, bakwan/bala-bala, kue lapis tepung beras, dan hoklopan (terang bulan/martabak manis).

Kasus lainnya adalah kebab. Di budaya asalnya, Timur Tengah, kebab secara etimologis berasal dari kata bahasa Arab kabāb yang artinya “daging bakar/panggang”. Dalam konteks budaya asalnya, kebab mengacu pada daging giling yang dibakar atau dipanggang, tapi ada pula kebab yang berwujud bola daging giling (meatball atau bakso) atau daging potong dadu yang disetup (stew). Kuliner khas Indonesia, sate, termasuk kategori kebab. Begitu tiba di Indonesia, kebab digeneralisasi sebagai “daging giling bakar yang dibungkus roti pipih”; yang tidak dibungkus roti pipih dianggap bukan kebab.

Kesalahkaprahan semacam ini juga berlaku untuk kuliner lokal Nusantara. Seperti, misalnya, tempe mendoan. Di budaya asalnya, Banyumas, mendoan mengacu pada tempe tipis yang dibungkus adonan tepung yang mengandung ketumbar dan daun bawang lalu digoreng setengah matang. Istilah setempat untuk “setengah matang” adalah mendho. Jadi, mendoan atau mendhoan seharusnya mengacu pada “gorengan setengah matang” atau “basah”, bukan “gorengan garing” atau “kering” yang disukai masyarakat di luar Banyumas, utamanya Jakarta dan Surabaya. Orang Banyumas akan terbengong-bengong mendapati camilan khas daerahnya disajikan kering di daerah lain tapi tetap pakai nama “tempe mendoan”.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Juli 2025

Saturday, July 5, 2025

Saya Ada di Mana Ketika Bapak Masih Ada?

SAYA sedang melihat postingan berjudul “Overlapping Timelines That Shouldn’t Have Happened” di akun Instagramnya Look Into History, dan menemukan slide pertamanya adalah gambar ini. Terbersit pemikiran yang mengasyikkan, yaitu “saya ada di mana ketika Bapak masih ada?” 




Ketika Bapak tutup usia pada 23 Juni 1987, saya sedang kelewat larut dalam belajar di kamar saya untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri kedua kalinya bagi saya. Saat itu, saya sebenarnya sudah kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta, sebuah perguruan tinggi bagi calon guru. Karena saat itu menjadi guru bukan cita-cita saya—terutama karena saya demam panggung bila berdiri di depan kelas, saya memutuskan untuk mulai kembali hit the books, mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri yang sangat kompetitif--jelas bukan ajang pertarungan yang mudah bagi seseorang dengan ranking terbawah di SMA seperti saya ketika itu. Terbersit pemikiran, seandainya saya sudah masuk Subud saat itu, mungkin menjadi agak mudah bagi saya untuk mengatur pikiran saya (yang selalu saya tuding sebagai penyebab utama ketertinggalan saya dalam pelajaran selama pendidikan dasar dan menengah saya).

Periode pendidikan saya, baik di sekolah dasar, menengah maupun ketika di universitas merupakan masa-masa yang sulit bagi saya secara psikologis. Saya menjadi pribadi yang tergolong sangat tertutup. Saya bukan saja mengalami kegagalan dalam kuliah, tetapi juga dalam pergaulan sosial dan asmara. Saya merasa terkucilkan, dan diri sendiri adalah sahabat saya. Mengenang masa-masa itu, kalau boleh, saya menyesalkan mengapa saya belum menemukan Subud. Periode pendidikan dasar, menengah hingga tinggi saya adalah saat Bapak masih ada, dan saya mungkin akan memaksimalkan bertanya jawab dengan beliau dan merajinkan Latihan demi mengatasi problema psikologis saya (rendah diri yang parah).

Tapi... ya, sudahlah, masa itu sudah lewat dan saya sintas melaluinya meski belum menerima Latihan. Bagaimanapun, saya mensyukuri kenyataan bahwa saya baru menerimanya sepuluh tahun setelah saya menamatkan kuliah sarjana saya, dan saya bertekad akan membiasakan anak saya dalam hal pasrah dengan sabar, tawakal dan ikhlas, agar ia tak perlu melalui apa yang telah saya lalui dulu.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 Juli 2025

Friday, June 27, 2025

Seni Memasak


KEMARIN, 27 Juni 2025, merupakan hari libur nasional, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah. Seminggu sebelumnya, saat Latihan di Pamulang, saya secara spontan menerima bahwa saya harus membuat roti canai untuk saudara, ipar, sepupu, dan keponakan-keponakan saya di rumah peninggalan mendiang kedua orang tua saya.

Roti canai adalah hidangan roti pipih asal India yang ditemukan di beberapa negara di Asia Tenggara, terutama Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand. Nama “canai” atau “cane” diyakini berasal dari Chennai, yang juga dikenal sebagai Madras, ibu kota dan kota terbesar Tamil Nadu, negara bagian paling selatan di India.

Dengan adonan yang sangat mudah dibuat, roti canai merupakan jenis makanan yang diwariskan dari leluhur saya dari Persia dan Gujarat di India. Lidah saya dan saudara-saudara kandung saya sudah akrab dengan budaya kuliner kedua daerah ini sejak kecil, yang bumbu-bumbunya dimodifikasi oleh ibu saya agar ayah saya yang berlatar belakang budaya Jawa pun bisa menikmatinya.

Orang Jawa Tengah seperti ayah saya menyukai masakan dengan rasa manis yang kuat, sedangkan ibu saya, sebagai orang Aceh, seperti kebanyakan orang Sumatera, menyukai makanan yang rasanya asin dan pedas. Ibu saya mampu memadukan kedua rasa tersebut untuk membahagiakan keluarganya yang memiliki selera yang berbeda-beda.

Karena itu adalah penerimaan dalam Latihan—apa pun yang mungkin dikatakan saudara-saudari Subud saya, bahwa itu mungkin hanya nafsu, saya tetap mewujudkannya, dan hari khusus untuk menyajikan roti canai adalah hari Jumat, 27 Juni.

Adonan roti canai terdiri dari—dalam resep pribadi saya—tepung, dua sendok makan minyak goreng, satu sendok makan mentega, sedikit gula dan garam, dan air. Adonan diremas, diratakan, diolesi minyak, dan dilipat berulang kali sebelum dipadatkan, sehingga terbentuk lapisan-lapisan. Bola adonan kemudian diratakan, dibentangkan hingga setipis kertas (biasanya dengan “membantingnya” di permukaan yang datar), dan dikumpulkan menjadi massa panjang seperti tali. “Tali” ini kemudian dililitkan menjadi simpul atau “konde” dan diratakan, sehingga terdiri dari serpihan adonan tipis saat dimasak. Kari ayam yang dibuat oleh kakak saya cocok untuk saat menyantap roti canai.

Ketika saya mengerahkan tenaga dan perhatian saat membuat roti canai, alih-alih merasa lelah, saya justru merasa gembira seperti saat menulis puisi atau melukis gambar yang indah. Alhasil, seluruh anggota keluarga, tua dan muda, ikut merasakan kegembiraan saya saat menikmati masakan saya. Saya teringat nasihat Bapak agar selalu memiliki perasaan positif, gembira, atau penuh cinta saat bekerja. Dan bekerja yang dilandasi kegembiraan atau cinta akan melahirkan karya seni. “Karena itu, maka setiap melahirkan kebudayaan yang berupa kesenian—misalnya musik atau bersolah atau lagu-lagu atau menyanyi—seketika dapat menjadikan rasa diri atau hati seseorang tenteram dan bahagia.(70 TJK 1)©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 28 Juni 2025 

Sunday, June 22, 2025

Keunggulan Manusia

HARI Minggu malam, 22 Juni 2025, karena internet Indihome di rumah saya mati, saya mencoba menghubungi provider-nya via MyTelkomsel, karena aplikasi MyIndihome kabarnya sudah terintegrasi dengan Telkomsel. Karena baru ganti ponsel, saya belum memasang aplikasi MyTelkomsel di ponsel yang sekarang, sehingga harus mengunduhnya terlebih dahulu dari Google Playstore. Gila! Ukurannya besar sekali, 140 megabyte, untuk aplikasi yang bagi saya tidak terlalu urgen, namun demi bisa mengajukan keluhan ke Indihome menyangkut internet di rumah saya, dengan berat hati saya pun mengunduh aplikasi itu.

Nyatanya, yang membuat saya sangat sebal, menu Pengaduan tidak tersedia di aplikasi tersebut, melainkan hanya frequently asked questions (FAQ) atau soal sering ditanya (SSD) yang menawarkan solusi kepada pelanggan jika ada masalah dengah layanan Indihome. Akhirnya, saya mengirim pesan WhatsApp kepada teknisi Indihome yang pernah beberapa kali ke rumah saya untuk melakukan perbaikan.

Dijawab oleh si teknisi bahwa kemarin dia sedang libur dan menawarkan, jika saya mau, dia bisa ke rumah saya pada pagi hari berikutnya. Tapi istri saya sedang membutuhkan internet untuk jualan daring dia, sehingga saya memaksa si teknisi untuk memberi solusi. Dia menginformasikan saya agar menelepon ke 188, yang segera saya lakukan dan mendapat pelayanan segera dari manusia (bukan robot atau mesin penjawab yang terprogram).

Kemarin malam, dua teknisi mendatangi rumah saya dan segera melakukan perbaikan. Pagi ini, saya uninstall MyTelkomsel yang kelihatan canggih tapi tidak banyak berguna dalam hal melayani keluhan pelanggan. Dan memakan banyak memori penyimpanan internal ponsel saya.

Puji Tuhan, masalah internet di rumah saya teratasi dengan baik. Terserah, saya dibilang jadul atau ketinggalan zaman, tapi bagi saya pelayanan oleh manusia tetap jauh lebih unggul daripada versi artifisialnya.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Juni 2025

Aksi Kehumasan

BARU-baru ini, sejumlah portal berita mewartakan adanya kapal perang asing di perairan Indonesia, dan menimbulkan kesan seolah hal itu baru terjadi dalam sejarah maritim Indonesia pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Kontan saja muncul komentar-komentar pedas dari netizen, yang menganggap pemerintah Indonesia lemah dalam mengantisipasi hal ini, serta takut menghadapi tekanan adidaya.

Kapal perang asing, terutama Angkatan LautAmerika Serikat, bukan sekali ini melintas di perairan Indonesia. Di zaman Orde Baru saja sudah menjadi pemandangan lazim. Kapal bendera Armada VII AS, USS Blue Ridge, pernah mengalami kerusakan akibat badai sehingga harus singgah di Surabaya untuk perbaikan di dok PT PAL Indonesia (Persero). Indonesia memiliki beberapa Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang bisa diakses kapal-kapal asing dan diatur oleh hukum internasional.

ALKI adalah jalur laut yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai rute pelayaran dan penerbangan internasional, yang memungkinkan kapal dan pesawat asing—sipil maupun militer—untuk melintas di wilayah perairan dan udara Indonesia. ALKI dirancang untuk memastikan keamanan dan kelancaran pelayaran, serta untuk menegaskan kedaulatan Indonesia atas wilayah perairannya. 

Terdapat tiga ALKI yang telah ditetapkan, yaitu:

·       ALKI I: Melintasi Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda

·       ALKI II: Melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok

·       ALKI III: Melintasi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu

Saya pernah melihat sendiri dari pesawat Garuda yang saya tumpangi dari Jayapura ke Jakarta tahun 2009, ketika akan mendarat di Denpasar untuk transit, sebuah kapal induk AS sedang menikung memasuki Selat Lombok. Pemandangannya begitu jelasnya—karena pesawat terbang dalam ketinggian rendah lantaran akan mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar—sampai saya dapat melihat angka 68 dalam warna putih di platform penerbangannya. Itu nomor USS Nimitz (CVN-68). Kapal itu sendirian, tidak bersama Carrier Battle Group-nya, yang kelak—ketika menjadi vendor bagi Dinas Penerangan Markas Besar TNI Angkatan Laut (Dispenal Mabesal) untuk penggarapan majalah The Horizon tahun 2019-2021—saya ketahui hal itu dikarenakan perjanjian antar negara bahwa Carrier Battle Group harus memutar lewat perairan Filipina dan bergabung kembali dengan kapal induk di Laut Cina Selatan.

Kapal induk USS Nimitz (CVN-68) di lepas pantai San Diego, California, Amerika Serikat, pada Juli 2009. 


Saya curiga berita-berita yang seliweran di dunia maya baru-baru ini hanya public relation stunt (aksi kehumasan) dari Mabesal saja.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Juni 2025