Monday, September 15, 2025

Tigapuluh Kali

 





SAYA menemukan kartu absen kandidatan saya di Subud Cabang Surabaya pada Kamis, 11 September 2025. Tertera 30 tanda tangan pembantu pelatih di situ, karena masa kandidatan calon anggota Subud di Cabang Surabaya memang 30 kali, meskipun tetap dihitungnya tiga bulan, karena pertemuannya dua kali seminggu, pada hari-hari Latihan Cabang Surabaya yaitu Senin malam dan Kamis malam.

Membaca kartu absen kandidatan itu, terlintas di benak saya sejumlah obrolan saya, baik langsung maupun lewat WhatsApp, dengan kandidat-kandidat maupun peminat-peminat yang belum ngandidat di cabang-cabang Subud terdekat domisili mereka. Rata-rata mengeluhkan lamanya masa kandidatan itu, padahal tiga bulan kalau tidak ditunggu-tunggu atau dijalankan secara santai akan tidak terasa lamanya. Tau-tau sudah sampai momen untuk dibuka.

Kebanyakan yang mengeluh itu adalah mereka yang sedang atau akan menjalani masa kandidatan tiga bulan (three-month waiting period) mereka di cabang-cabang di Komisariat Wilayah III DKI Jakarta. Di Komwil III, masa kandidatan itu berlangsung tiga bulan sebanyak 12 kali pertemuan, sekali seminggu. Menjawab keluhan mereka, saya biasanya menyampaikan bahwa saya ngandidat di Cabang Surabaya itu 30 kali, dua kali dalam seminggu. Tetapi karena saya benar-benar menginginkannya, meniatkannya, maka hal itu tidak menjadi masalah bagi saya. Bahkan saya pernah dua kali menolak ketika ditawari untuk dibuka ketika masa kandidatan saya belum genap tiga bulan.

Kepada satu kandidat di Cabang Jakarta Selatan (sudah dibuka Februari 2025 lalu), saya ceritakan bahwa selama proses ngandidat itu saya melalui tiga tahap kejiwaan: (1) Ingin sekali dibuka karena merasa sudah sangat siap, (2) Menolak dibuka karena takut (karena mendengar satu kandidat saat dibuka menjerit dan berteriak seperti orang menghadapi suatu kengerian), dan (3) Terserah, mau dibuka atau tidak. Mendengar itu, si kandidat, yang tadinya emosi karena harus menjalani 12 kali kandidatan (saat itu sudah delapan kali), akhirnya menyatakan ingin melanjutkan hingga tuntas.

Masa kandidatan tiga bulan sebagai calon anggota Subud memang menguntungkan bagi saya, sehingga saya dapat melatih perasaan saya apakah saya serius atau tidak dengan keinginan saya masuk Subud, dan juga mengajarkan saya bahwa “hal-hal baik datang pada mereka yang mau menunggu (dengan sabar)” (good things come to those who wait).©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 September 2025

Friday, September 5, 2025

Perpisahan yang Layak

 

SEJUMLAH teman dan saudara Subud menganjurkan saya untuk mengirim “doa untuk Tera”, karena secara umum mimpi tiba-tiba itu (karena sebelumnya saya tidak pernah memikirkannya atau merindukannya, lantaran eksistensinya sudah benar-benar hilang sejak 35 tahun lalu) diartikan bahwa almarhumah minta didoakan.

Saya tidak tahu lagi cara mendoakan orang lain, baik masih hidup atau sudah mati, karena sebelum masuk Subud saya sudah berhenti beragama (dan kala itu, juga berhenti bertuhan), serta menafikan ritual-ritual atau tatacara agama. Sekarang saya hanya tahu Latihan, yang dalam sekuensnya akan membimbing saya untuk berdoa atau melakukan hal-hal lain sebagai sebentuk doa.

Nah, mumpung Rabu malam lalu, 3 September, merupakan jadwal Latihan di Pamulang, saya memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya kepada YM Bapak sebelum momen penenangan diri pra Latihan bersama, mengenai bagaimana “doa untuk Tera” yang sebaiknya saya lakukan.

Sepulang dari Wisma Barata, saya masih terpesona pada sangat kuatnya vibrasi yang saya rasakan, yang kemudian membawa saya ke suasana “menonton film” tentang masa lalu di kampus.

Baru keesokan harinya, jelang tengah malam, saya merasakan greget untuk menuangkan “doa untuk Tera”. Bukan dengan kedua tangan yang menengadah ke langit, bukan dengan komat-kamit dalam bahasa Arab atau serangkaian mantra sembahyang ala Hindu-Buddha. Melainkan dengan puisi, yang ketika menuliskannya terasa di saya seperti ucapan perpisahan yang layak dari seseorang yang berpuluh tahun tidak tahu bahwa perempuan, yang kepadanya dia memendam perasaan cintanya, telah pergi untuk selama-lamanya.

Usai menulis “Doa Untuk Tera”, saya merasakan kepuasan yang mendalam, seakan almarhumah benar-benar  berpamitan secara khusus ke saya. Puji Tuhan!


Doa Untuk Tera

 

Sayang, tidurlah dengan tenang

Dengarkan irama hatiku yang mengenang

masa lalu dimana kita bersua

Saling menyapa lewat mata

Kini, cintaku menemani istirahatmu

Karena kamu ada dalam diriku, jiwa menyatu

Kan kujaga kamu sepanjang waktu

 

Sayang, bagiku kamu tak berpulang

Hanya saja keberadaanmu tak terbilang

Kamu hanya melipir dari garis waktu

yang masih kususuri di setiap hariku

Ragamu telah larut dalam cahaya jiwa

yang menyinari jalanku ke Semesta,

dengan alunan kepasrahan sempurna

 

Sayang, tak usah lagi kamu ragu

Dalam tiadamu pun aku mencintaimu

Namamu terukir dalam baris tera

yang berjalin mesra takkan terlupa

Selamat tidur, Sayang, doaku takkan berhenti

mengiringi rehatmu yang abadi...

(Pondok Cabe, 4 September 2025, pukul 22.32 WIB)

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2025

Thursday, September 4, 2025

Angkatan Babat Alas

 


KEPADA para yunior saya dari era pasca Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), saya selalu memberi tekanan dengan kebanggaan tertentu ketika ditanya saya angkatan berapa di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI: “Maaf, saya generasi FSUI, bukan FIB. Saya angkatan pertama Kampus Baru UI Depok... 1987!”

Saya lulus SMA pada 28 April 1986, ikut ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) dan diterima di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta yang berkampus di Rawamangun, Jakarta Timur, bertetangga dengan Kampus UI Rawamangun. Jurusan Pendidikan Sejarah di FPIPS IKIP Jakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Jakarta/UNJ) merupakan pilihan kedua saya di Sipenmaru, sedangkan pilihan pertama adalah Sastra Cina FSUI. 

Sebagai pilihan kedua, saya sebenarnya ingin mengambil Hubungan Internasional di Universitas Gajah Mada atau Universitas Diponegoro, tetapi kedua orang tua saya tidak setuju, lantaran kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) di luar Jakarta menurut mereka biayanya akan sama saja dengan saya kuliah di perguruan tinggi swasta saat itu, dan orang tua saya tidak sanggup membiayainya. Jadi, tantangan saya untuk kuliah di PTN semakin berat karena kursi di dua PTN yang ada di wilayah Jabodetabek saat itu diperebutkan ratusan ribu peminat.

Karena saat itu saya mudah demam panggung bila harus bicara di depan umum, yang justru merupakan keharusan bagi guru, maka saya tidak betah kuliah di IKIP Jakarta. Selain itu, saya terdorong untuk ikut Ujian Masuk PTN (UMPTN) 1987 setelah melihat di buku Isian Rencana Studi (IRS) FSUI milik kakak saya (yang kuliah di Sastra Belanda FSUI Angkatan 1985) adanya matakuliah Sejarah Militer Dunia dan Sejarah ABRI di Jurusan Sejarah FSUI. Saya memang meminati sejarah militer sejak di bangku sekolah dasar.

Bila anak-anak UI sebelum Angkatan 1987 bedol desa dari Kampus UI Rawamangun ke Kampus UI Depok pada tahun 1987, saya malah lebih “sangar”: Pindah dari kampus IKIP Jakarta di Rawamangun ke Kampus Baru UI Depok. Karena saya berhasil lolos UMPTN 1987, diterima di pilihan pertama saya, Jurusan Sejarah FSUI. Jadilah saya bagian dari Angkatan 1987, angkatan babat alas Kampus Baru UI Depok yang diresmikan Presiden Soeharto pada 5 September 1987.

Tatkala saya menjejakkan kaki di Kampus Baru UI Depok untuk pendaftaran ulang mahasiswa baru pada 1987, saya mendapat kesan bahwa UI--yang dijenamai sebagai “Kampus Perjuangan Orde Baru”—saat itu sepertinya malah dianggap ancaman terhadap pemerintahan Orde Baru. Kesan itu timbul di diri saya setelah memperhatikan bahwa lokasi kampus barunya dikelilingi dalam radius tertentu oleh barak-barak TNI dan Polri.

Lokasi UI Depok kala itu juga mengesankan “terbuang” ke pinggir kota, di kawasan yang waktu itu lebih menyerupai kampung. Kos saya saja, yang berjarak sekitar 100 meter dari Jl. Margonda Raya, Depok, di tahun 1991-1993 masih dikelilingi kebun kosong dan jalan setapak yang malam hari rada gelap dan sunyi. Seingat saya, kali pertama UI memindahkan kampusnya ke Depok, sempat muncul kepanjangan plesetan dari DEPOK, yaitu DaErah Pinggiran Oentoek Kampoes.

Sekarang, di usianya yang 38 tahun Kampus UI Depok seperti kota mandiri dengan beragam fasilitas yang membuat mahasiswa betah di dalamnya. Tigapuluh delapan tahun yang lalu, meski menyandang nama besar UI, Kampus Depok seperti alas (hutan) yang baru dibabat—panas, berdebu, sedikit pohon dan kehijauan (karena itu, salah satu tugas mahasiswa baru FSUI saat itu adalah membawa bibit tanaman), sepi sekali saat malam serta angker. Kampus UI Depok selama masa kuliah saya di sana, tahun 1987-1993, lebih tepat disebut “tempat jin buang anak”.

Bagaimanapun, yang paling memberi kesan mendalam kepada kami Angkatan Babat Alas Kampus UI Depok, terutama Jurusan Sejarah FSUI, adalah kebersamaan yang solid, yang terawat hingga kini, baik melalui Grup WhatsApp maupun reuni luring berkala. Mungkin karena merasa senasib sepenanggungan sebagai kaum yang menghuni “tempat Soeharto buang anak perjuangan Orde Baru” di sebuah kawasan seluas 103 hektar yang tadinya perkebunan karet, kampung dan pemakaman umum itu.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2025

Pemahaman Saat Ini

MENGOMENTARI satu postingan saya di Grup Facebook “Subud Around the World”, seorang pembantu pelatih asal Inggris yang bermukim di Thailand menulis, “Maafkan saya, Arifin, tetapi saya rasa kamu salah memahami soal ini.”

Dalam jawaban saya terhadap komentarnya, saya menekankan bahwa mungkin saja saya salah memahami, tetapi itulah pemahaman saya saat ini.

Pengalaman melalui tindakan dan sekadar pengamatan saya menegaskan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang konstan; semua selalu berubah. Yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri. Apa yang kita pahami dahulu, pasti berubah pada suatu ketika. Tidak perlu menunggu selama bertahun-tahun hingga perubahan pemahaman itu terjadi, kita bisa saja berubah pemahaman kita dalam hitungan menit atau detik.

Adalah berbahaya bila kita sudah mematok suatu ketetapan hanya berdasarkan pemahaman kita pada suatu ketika, sedangkan pemahaman itu akan berubah seiring waktu. Dalam kaitan ini, termasuk ceramah Bapak dan Ibu Rahayu.

Sepengalaman saya, ceramah Bapak dan Ibu Rahayu bila didaulat sebagai ketetapan yang kekal malah akan menyesatkan atau membingungkan kita dalam mengamalkannya. Proses kehidupan membuat kita semua mengalami perubahan pola pikir dan cara pandang, dan ceramah “menyesuaikan” diri dengan hal itu, bukan sebaliknya. Fenomena inilah yang membuat Subud selalu relevan di segala zaman. Karena tidak ada ajaran yang bersifat sama turun-temurun.

Pernyataan bahwa pemahaman tidak ada yang statis adalah sangat akurat. Pemahaman kita tidak pernah statis, melainkan selalu dalam proses yang dinamis dan terus berubah. Berikut adalah beberapa alasan mengapa pemahaman itu selalu bergerak dan tidak pernah diam:

* Informasi Baru: Setiap hari, kita terpapar pada informasi baru, baik melalui pengalaman pribadi, membaca buku, berita, atau berinteraksi dengan orang lain. Informasi ini dapat memperkuat pemahaman yang sudah ada, mengubahnya, atau bahkan sepenuhnya menggantikannya.

 * Pengalaman Hidup: Pengalaman yang kita jalani—sukses maupun kegagalan, kebahagiaan maupun kesulitan—membentuk cara kita melihat dunia. Sebuah peristiwa penting bisa mengubah cara pandang kita tentang hubungan, pekerjaan, atau tujuan hidup.

 * Refleksi dan Kedewasaan: Seiring berjalannya waktu, kita sering merenung tentang apa yang telah kita pelajari. Refleksi ini memungkinkan kita untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda, menyadari bias yang mungkin kita miliki, dan menyusun kembali pemahaman kita agar lebih matang.

Singkatnya, pemahaman adalah sesuatu yang hidup. Ia tumbuh, beradaptasi, dan berevolusi seiring dengan pertumbuhan kita sebagai manusia.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2025

Monday, September 1, 2025

Natijah Mimpi

Mengenang Djahtera Nasution

                                 

Mimpi di akhir Juli, gelorakan masa lalu

Bertatap di selasar rindu, hati menyatu

 

Namun, kabar itu tiba, sang petandang yang muram

bahwa kamu telah bertolak ke peraduan akhir

 

Dan sekarang cinta ini, aku pikul sendiri

Hutang yang belum terbayar, benih yang belum ditabur

Kata-kata yang tak terucap, menyendatkan napas

 

Lara yang menetap di jiwaku

Aku menggenggam cinta ini, bejana yang rapuh

untuk terus mengenangmu...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 September 2025

Yang Bisa Dilakukan Anggota Subud untuk Orang yang Sudah Meninggal

SETELAH mendapat kabar bahwa perempuan dari masa lalu yang saya tiba-tiba mimpikan akhir Juli 2025 lalu, yang mendorong pencarian saya akan keberadaannya kini, ternyata telah meninggal sekitar 27 tahun yang lalu, saya melampiaskannya dengan menguras kesedihan saya. Hingga yang tersisa adalah kesadaran untuk apa yang selalu Bapak nasihati: “Latihan saja, Nak.”

Pengalaman saya dengan mimpi serta kerinduan saya pada perempuan itu telah mengajarkan ke saya mengenai hubungan jiwa ke jiwa. Bahwa jiwa-jiwa dapat saling membantu. Jiwa orang yang masih hidup dapat terkoneksi dengan jiwa orang yang sudah meninggal dan membantunya menemukan ketenangan di alam “sana” atau membimbingnya ke jalan kembali kepada Sang Pencipta.

Berikut tiga cuplikan dari ceramah-ceramah Bapak yang berbeda terkait apa yang bisa dilakukan anggota Subud untuk kerabat dan sahabat mereka yang sudah meninggal.


LATIHAN UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Cuplikan ceramah Bapak

“Tuan-tuan, nyonya sekalian. Memang tidak ada salahnya dan termasuk pekerjaan yang utama untuk menolong sesamanya. Tetapi perlu diingat, bahwa pertolongan yang diberikan kepada siapa yang diinginkan itu pertolongan apa sifatnya? Karena pertolongan yang diberikan—apa yang telah Bapak dengar di sini—ialah pertolongan, agar jiwa orang yang mati dapat naik ke atas atau dapat menemukan jalan yang utama. Itu tidak mungkin dapat dijalankan—dikerjakan—oleh seseorang yang dirinya sendiri belum sempurna. Sehingga pertolongannya kepada orang yang mati, yang diharapkan itu, tidak merupakan pertolongan malah merupakan kegelapan bagi yang mati itu. Jadi, mestinya menolong, malah sebaliknya membuntu jalannya, karena pertolongan yang diberikan itu belum pertolongan yang sempurna, belum pertolongan yang sunguh-sungguh diperlukan bagi menaikkan derajat jiwa manusia yang telah meninggal dunia itu. Hanya, dapat tidak merupakan memberi pertolongan, tetapi dimohonkan kepada Tuhan, entah bagaimana Tuhan akan kehendakNya tentang atas jiwa orang yang meninggal itu. Jadi, saudara hanya dapat memohonkan kepada Tuhan, agar Tuhan memurahi, memberi jalan kepada orang yang meninggal itu, agar dapat jalan yang baik, apabila Tuhan menghendakinya. Jadi, hanya memohonkan, bukan suatu pertolongan yang lancarkan kepada jiwa orang yang telah meninggal dunia itu. 

Dan dalam mengerjakan permohonan kepada Tuhan, juga sifatnya saudara-saudara berlatih, sehingga keputusan tentang diberkahi atau tidak itu tergantung kepada Tuhan sendiri. Dan saudara-saudara yang menjalankan Latihan yang demikian itu juga akan menerima sendiri bagaimana yang mesti diterima bagi dirinya sendiri. Artinya, meskipun dalam Latihannya itu tujuannya memohonkan ampun dosanya orang yang meninggal itu, tokh dengan sendirinya tidak akan merobah dirinya orang yang memohonkan itu, agar dirinya sendiri juga dapat menerima apa yang dibutuhkan bagi dirinya sendiri. Jadi, artinya, bukan hanya ke orang yang telah meninggal dunia saja, tetapi kepada dirinya sendiripun akan dapat menerima. Itu semuanya tergantung kepada kemurahan atau pemberian dari Tuhan sendiri. 

Dan itu dapat dikerjakan—umpamanya—tidak perlu dekat kepada jisim orang yang meninggal itu. Tidak perlu dekat, karena ke Tuhan dan dalam kejiwaan tidak ada batas tempat antara (tak jelas), sehingga meliputi seluruh—dapat dikatakan—seluruh dunia. Jadi, sifat yang demikian, artinya yang menyatakan kedekatan orang yang memohonkan kepada orang yang dimohonkan—yang meninggal itu—itu hanya untuk memperlihatkan kepada sesama manusia, untuk memperlihatkan kepada orang lain, bahwa yang dikerjakan itu sungguh-sungguh ditujukan kepada orang yang meninggal. Jadi, itu sifatnya hanya sifat di mata manusia, bukan di penglihatan Tuhan.”

Coombe Springs, Inggris, 27 Agustus 1959—59 CSP 15

 

MANUSIA TIDAK BISA MENGURANGI DOSA ORANG LAIN

Cuplikan ceramah Bapak

“Malahan ada pula, saudara, seorang pembantu pelatih yang bertanya kepada Bapak, bagaimana caranya berlatih untuk mengurangi dosanya fiancé -nya yang telah meninggal dunia sebelum dia kawin dengannya. Dan ada pula yang minta persetujuan Bapak, melatih dan berlatih untuk mengurangi dosanya suami yang telah meninggal dunia dan saudara yang telah meninggal dunia dan kawan-kawannya yang sehati ketika masih hidupnya, yang meninggal dunia. Yang demikian itu adalah sesuatu tindakan yang tidak pada tempatnya. Karena segala sesuatunya, seperti yang telah Bapak katakan tadi, harus dikiblatkan kepada Tuhan. Manusia tidak bisa, tidak dapat melakukan sesuatu sehingga mengurangi dosanya orang lain. Sedangkan dosanya sendiri-sendiri belum juga dapat diketahui apakah sudah diampuni apakah sudah dibersihkan dari rasa dirinya.

Karenanya, maka, apabila terjadi yang demikian, maka pesan Bapak atau anjuran Bapak, agar berlatih menyerahkan diri atau menyerahkan segala sesuatunya kepada kebesaran Tuhan. Jadi, terangnya, bahwa semuanya itu hanya Tuhan yang dapat melakukan. Dengan demikian sehingga caranya memohonkan pengurangan dosa dari siapa yang diingini, perlu dilanjutkan atau perlu diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jangan semata-mata saudara lantas berlatih untuk dapat mengurangi dosanya orang lain. Itu tidak mungkin terjadi. Karena saudara sendiri belum tahu bahwa saudara itu penuh dosa, dan dosa itu belum seluruhnya atau belum juga sudah dibersihkan dari rasa dirinya."

Auckland, Selandia Baru, 20 Mei 1968—68 AKL 4


CARA MENOLONG JIWA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Cuplikan ceramah Bapak

“Ada lagi soal yang, ya, Bapak rasa lucu sekali, tetapi ya memang biasa adalah menjadi persoalan hidup orang atau orang hidup di dalam dunia ini. Ada sesuatu wanita yang jatuh cinta kepada seorang pria dan pria itupun katanya juga cinta kepadanya. Sudah cinta begitu lama dan akhirnya belum sampai terjadi perkawinan, si laki-laki meninggal dunia. Ya, tentu saja saudara dapat merasakan sendiri, seorang yang kehilangan kecintaannya atau kehilangan seorang yang telah dicintai sungguh-sungguh, tentunya terasa benar-benar, sehingga menyurati kepada Bapak dan menanyakan: ‘Bagaimana caraku untuk dapat menolong jiwanya, karena aku cinta kepadanya, agar jiwanya bisa naik sorga dan tidak terkena dosa. Karena saya ini sudah masuk Subud, apa kiranya dengan Latihan Kejiwaan ini bisa mengangkat juga dia dari tempat yang tidak baik ke tempat yang baik?’

Ya, demikian saudara sehingga, ya, dapat saja Bapak jawab, dan jawaban Bapak kepada penanya itu tidak lain daripada: ‘Ya, segala sesuatu yang sukar dan sukar bagaimanapun, Tuhan dapat menyelesaikan, Tuhan dapat membikin baik. Karena itu, maka kalau sungguh-sungguh saudara memang cinta kepadanya, meskipun dia sudah meninggal dunia, baiklah saudara Latihan saja yang baik dan percaya kepada Tuhan, bahwa Tuhan mudah-mudahan dapat menolong kekasih saudara, sehingga kekasih saudara dapat terangkat dari tempat yang tidak baik.’”

Planegg, Jerman, 7 Agustus 1964—64 PLG 3

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 September 2025

 

Sunday, August 31, 2025

Menghadirkan Wajah Masa Lalu Dengan AI

 


SAYA pernah punya teman cewek, berpuluh tahun yang lalu, yang kemudian putus kontak sampai sekarang. Djahtera Nasution namanya, Tera panggilannya. Sudah 35 tahun kami tidak bersua, dan keberadaannya seperti hilang ditelan bumi. Tidak ada jejak digitalnya; saya mengubek-ubek Google, dan semua platform media sosial saya telusuri tapi hasilnya nihil. Fotonya pun tidak ada.

Sejumlah teman saya, yang saya perkirakan pernah berada di lingkaran kegiatan yang sama dengan dia dulu, saya tanya mengenainya. Sebagian besar merasa tidak pernah mendengar namanya, ataupun lupa. Ada yang familiar dengan namanya tetapi tidak ingat wajahnya. Tetapi mereka semua tidak tahu mengenai keberadaannya sekarang.

Selain kebaikan hatinya, perhatiannya yang tulus, keramahannya terhadap semua orang, bahkan yang baru dikenalnya (seperti saya saat saya bertemu dengannya dan diperkenalkan padanya pertama kali), yang saya ingat adalah sebagian wujud fisiknya, terutama di bagian kepalanya.

Karena fotonya tidak ada, saya buat prompt di Google Gemini AI hanya berdasarkan ingatan saya mengenai dia. Hasilnya membuat saya sampai terlonjak dari kursi yang saya duduki. Mendekati 100% mirip dengan dia saat berumur 24 tahun!©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 31 Agustus 2025

Jiwa-Jiwa yang Saling Membantu

PADA akhir Juli 2025 lalu, saya bermimpi. Mimpi yang “mempertemukan” kembali saya dengan perempuan cantik yang pernah dekat dengan saya dalam suatu hubungan dengan kandungan unsaid love. Sebuah mimpi yang indah sekaligus membuat saya kelabakan akibat rindu yang begitu kuat terhadap perempuan itu. Kejadiannya diceritakan dalam artikel blog ini yang saya posting pada 1 Agustus 2025, berjudul “35 Tahun Kemudian”.

Mimpi itu mendorong saya untuk melakukan pencarian tentang keberadaan perempuan bernama Djahtera Nasution itu. Pencarian saya lakukan melalui internet. Aneh bin ajaib, tidak ada jejak digitalnya sama sekali, kecuali satu yaitu skripsinya di Program Studi (Prodi) Sastra Jerman Fakultas Sastra Universitas Indonesia atau FSUI (kini bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIBUI), berjudul “Pembentukan Konsep Ditinjau Dari Segi Psikolinguistik” (1991). Saya juga bertanya pada beberapa alumni FSUI, yaitu kakak saya yang alumnus Prodi Sastra Belanda seangkatan dengan Tera (1985), dan dua alumni Sejarah FSUI Angkatan 1986.


Kakak saya merasa tidak pernah mendengar nama itu, padahal Prodi Sastra Jerman dan Sastra Belanda dipayungi jurusan yang sama; Jurusan Germania sebutannya di FSUI. Tetapi dia ingat beberapa alumni Sastra Jerman Angkatan 1985. Satu alumnus Sejarah FSUI Angkatan 1986 pernah menjadi panitia Penataran P4 bagi mahasiswa baru UI di Gugus 07 (FSUI) tahun 1990, sama halnya dengan Tera—demikian panggilan akrabnya—dan saya, tetapi ia tidak ingat adanya anggota panitia bernama Tera Nasution. Alumnus Sejarah Angkatan 1986 lainnya ingat ia sering mengobrol dengan Tera dan satu temannya dari Sastra Jerman Angkatan 1985, tetapi ia lupa yang mana orangnya.

Saya sempat frustrasi dengan pencarian itu, tetapi dikuatkan lagi dengan curhat ke dua pembantu pelatih dan beberapa saudara dan saudari Subud. Salah satu pembantu pelatih, berkebangsaan Amerika, yang paling senior dan dulu dekat dengan Bapak serta sangat Bapak-minded, mengatakan bahwa pengalaman saya lumrah di Subud; tidak sedikit anggota yang pernah mengalaminya.

Di saat frustrasi itu, saya bahkan pernah meluapkan amarah saya kepada Tuhan serta minta petunjuk kepada YM Bapak dengan perasaan gregetan. “Kalau dia sudah tiada, mengapa Engkau hadirkan lagi dalam hidupku, ya Tuhan?!” ucap saya di kamar tidur yang saya tempati sendirian. “Berikanlah aku petunjuk apakah dia masih ada di dunia ini atau sudah meninggalkannya.”

Pada dini hari 25 Agustus, sepulang dari nongkrong bersama lima saudara Subud di Nasi Kulit Ayam Gokskin, Jl. Caringin Barat No. 13, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, saya melakukan Latihan di kamar tidur saya. Usai Latihan, saya melanjutkan dengan testing kejiwaan, yang dua di antara pertanyaan-pertanyaannya terkait keberadaan Tera dan apa yang harus saya lakukan. Saya menerima dengan sangat jernih bahwa Tera sudah tidak ada di dunia ini—suatu penerimaan yang sulit saya tolak tetapi tidak pula ingin saya akui! Saya juga mendapat petunjuk, agar saya cukup mendoakannya saja atau “menyerap jiwanya” untuk melakukan Latihan “bersama”.

Pada 30 Agustus 2025, saya memposting foto wajah Tera hasil rekonstruksi artificial intelligence (AI) Google Gemini yang memiliki kemiripan mendekati 100% di linimasa Facebook saya, disertai cerita bahwa saya kehilangan jejak keberadaannya tetapi tidak menyebutkan namanya. Postingan itu dikomentari satu alumnus Sastra Jerman FSUI Angkatan 1986 bahwa ia akan membantu saya mencarinya. Ia minta saya memberi tahu lewat inbox Facebook Messenger.

Kepada Indah, demikian namanya, saya kirim pesan FB Messenger saya yang berbunyi: “Cewek Jerman ‘85 itu namanya Tera Nasution. Lengkapnya Djahtera Nasution. Si Edi Sudarjat (Sejarah ‘87) pernah saya tanya bertahun-tahun lalu, dia jawabnya, ‘Ah, lupakan Tera, dia sudah mati.’ Entah meninggal dunia atau Edi minta saya melupakannya.”

Tigapuluh dua menit kemudian, Indah menjawab pesan saya dengan informasi yang merontokkan hati saya, membuat saya galau dan akhirnya ditohok perasaan sedih yang teramat kuat, sebagai berikut: “Lho, kan dia sudah lama meninggal? Dibunuh orang. Dia dulu kerja di Lufthansa lalu dia menjadi saksi kasus korupsi salah satu pejabat Lufthansa. Satu hari sebelum bersaksi, dia ditabrak orang dan meninggal. Tak banyak yang tahu masalah ini. Saya kebetulan tahu. Kalau nggak salah saya ikut melayat ke Bogor.”

Indah agak lupa kapan Tera meninggal—apakah tahun 1997 atau 1998. Tapi yang jelas, masih kurun waktu 1990an. Almarhumah lulus UI tahun 1991. Artinya, enam atau tujuh tahun setelah meninggalkan kampus UI Depok ia meninggalkan dunia ini untuk selamanya.

Bila dihitung dari tahun 2025, kejadiannya 27 atau 28 tahun lalu. Saya di Subud baru 21 tahun, sedangkan pengalaman mimpi dan/atau tiba-tiba merasa rindu pada Tera terjadi dua kali dalam kurun waktu sejak saya dibuka di Subud. Tetapi, yang terjadi sebulan belakangan ini jauh lebih kuat mempengaruhi diri saya.

Saking galaunya, saya kemudian berkonsultasi ke pembantu pelatih senior yang orang Amerika itu. Dia bercerita tentang banyaknya anggota Subud, baik di Indonesia maupun luar negeri, yang mengalami konektivitas spiritual dengan jiwa dari orang-orang yang sudah meninggal, termasuk yang tidak mereka dikenal.

Saya menangis hampir sepanjang tengah malam. Menangis sesenggukan karena kesedihan yang mendalam. Bagaimanapun, saya ditegur oleh jiwa saya, yang mengingatkan saya bahwa saya pernah minta Tuhan dan YM Bapak agar saya mendapat petunjuk segera mengenai Tera dan bahwa saya akan ikhlas menerima bilamana ia sudah tiada. Informasi dari Indah, nyatanya, merupakan pukulan yang berat bagi saya. Tera sudah tiada justru ketika saya merasakan cinta dan kerinduan yang kuat kepadanya—yang seharusnya saya sampaikan kepadanya 35 tahun yang lalu.

Usai menangis, saya terdiam, merasakan diri. Ada secercah perasaan bahagia di sana, bersela dengan kesedihan saya. Saya kemudian menenangkan diri, sambil berbaring di matras tidur saya, merasakan vibrasi Latihan. Saat itulah, Latihan meluruhkan kesedihan saya dan dengan jernih saya terbimbing untuk berucap, “Tera, aku minta maaf kalau dulu aku tidak mempedulikan perasaanmu padaku, karena dulu aku masih labil, nggak mampu berkomitmen. Dulu itu, aku juga mencintaimu tapi aku nggak jujur pada diriku sendiri. Aku akan selalu merindukanmu, Tera, dan akan selalu mendoakanmu. Aku mencintaimu, Tera.”

Setelah itu, saya menerima vibrasi Latihan yang kuat, merasakan penyatuan jiwa saya dengan jiwanya. Selepas itu, saya baru bisa tidur dengan pulas.

Saya bersyukur mendapat pengalaman ini. Pengalaman yang oleh pembantu pelatih senior asal Amerika itu disimpulkan: “Wow! Ya, jadi jelas koneksinya adalah jiwa ke jiwa. Jadi, kita tidak perlu memikirkannya. Bersyukur kan bahwa kita bisa melakukan hal itu. Bahwa jiwa-jiwa saling membantu dan mempertahankan hubungan-hubungan.” ©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 31 Agustus ke 1 September 2025

Friday, August 29, 2025

Biarkan Waktu yang Bercerita

 


FEBRUARI 1993, saya menyatakan cinta pada seorang cewek yang kepadanya saya telah melakukan pendekatan selama hampir dua tahun. Begitu memang sifat saya, tidak setengah-setengah bila memperjuangkan sesuatu/seseorang. Dia menolaknya dengan alasan “belum mau pacaran”.

Jawabannya yang terasa ganjil tersebut membuat saya tidak menyerah pada penolakannya. Saya terus mengejarnya, terutama karena ingin tahu alasan sebenarnya. Bagaimanapun, melengkapi penolakannya, dia minta saya tidak menghubunginya lagi maupun datang ke rumahnya—yang justru sering saya sambangi sebelum saya mendapatkan keberanian untuk menyatakan isi hati.

Saya mengutus sahabat saya untuk menyampaikan kado ulang tahun dari saya buat si cewek, yang tanggalnya bertepatan dengan Hari Valentine. Saya menunggu di pos keamanan keliling (Poskamling) di kompleks perumahan di mana cewek itu beralamat. Saya menunggu sampai lebih dari satu jam, hingga sahabat saya muncul. Dia mengajak saya pulang dan menolak menceritakan apa yang terjadi, meski saya mendesaknya.

“Nggak mungkin lo satu jam di rumahnya kalau nggak terjadi apa-apa. Masak ngasih kado doang sampai lama gitu?!” desak saya. Lokasi Poskamling itu hanya sekitar 200 meter dari rumah si cewek, sehingga tidak masuk akal bila sahabat saya membutuhkan waktu lama untuk berjalan kaki dari Poskamling ke rumah si cewek pergi-pulang.

Sahabat saya menunda hingga sekitar tiga hari kemudian untuk menceritakan ke saya apa yang sebenarnya terjadi di rumah si cewek. Dia menceritakannya ketika saya berada di kamar kos saya di Gang Stasiun UI (kini bernama Jl. Sawo), di kawasan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, sekitar 20 meter dari Stasiun Universitas Indonesia. Saat itu, saya sendirian menempati kamar kos itu, semenjak teman sekamar saya yang juga senior saya di Jurusan Sejarah FSUI pindah ke Aceh dalam rangka pekerjaannya.

Apa yang dipaparkan sahabat saya membuat hati saya benar-benar patah hingga hancur berkeping-keping. Bila itu dikatakan si cewek, maka dia adalah makhluk paling kejam di dunia. “Anto orangnya baik... sangat baik malah. Tapi dia nggak punya masa depan, dia nggak ada tanggung jawab... nggak jelas,” kata sahabat saya menirukan kata-kata si cewek.

Kontan saya histeris dan mengamuk, membanting barang-barang yang ada di kamar kos itu. Saya juga menyatakan ingin bunuh diri. Sahabat saya berusaha keras mencegah saya. Dia juga mengajak sahabat saya lainnya menemani saya malam itu di kamar kos saya. Semua benda tajam mereka singkirkan untuk menghindari kemungkinan saya akan menggunakannya untuk mengakhiri hidup saya.

Seperti psikolog, kedua sahabat saya memberi penghiburan kepada saya, yang sepanjang malam hingga dini hari terjaga untuk mencurahkan semua isi hati saya. Marah, menangis, marah lagi, menangis lagi, begitu terus. Saya bahkan mendiskusikan rencana saya untuk memakai jasa dukun untuk menyantet si cewek. Kedua sahabat saya mendengarkan dengan sabar. Mereka mengiyakan semua yang saya katakan.

Ketika akan ke kamar mandi, yang terletak terpisah dari bangunan yang mengatapi deretan lima kamar kos, satu sahabat saya mengawal saya—dia khawatir saya akan bunuh diri di kamar mandi. Saat itu, hujan deras disertai badai petir. Keluar dari kamar mandi, saya berdiri mematung cukup lama di bawah guyuran hujan. Saya berharap disambar petir, bila bunuh diri itu dosa. Tetapi sahabat saya keburu menarik saya ke bawah atap bangunan kamar kos.

Keesokan harinya, kedua sahabat saya berhasil membujuk saya untuk pulang ke rumah orang tua saya. Nenek saya dari Medan (ibunya ibu saya) sedang berada di Jakarta, menginap di rumah orang tua saya, sehingga suasananya lumayan ramai. Tetapi di tengah keramaian itu saya hanya duduk diam, diajak bicara pun saya merespons seadanya. Mata saya memandang kosong.

Lalu saya tergerak untuk menelepon teman kuliah saya yang spesialis perdukunan. Saya menyampaikan niat saya untuk menyantet si cewek. Teman saya bilang, itu mudah sekali tetapi ia mengingatkan bahwa saya akan menanggung konsekuensi yang berat dari perbuatan menyantet orang. Masih tersambung dengan teman saya, dan masih memegang gagang telepon, saya kemudian histeris, karena kehabisan akal untuk membalas sakit hati saya. Dalam keadaan itu barulah saya minta pertolongan dari ibu saya. Saya berteriak di antara derai air mata, “Ma! Tolong saya, Ma! Saya nggak kuat!”

Malam itu, ibu dan nenek saya menguatkan saya dengan nasihat-nasihat. Intinya, saya harus menjadi orang yang sukses dalam apapun yang saya lakukan dan lebih mencintai diri sendiri. “Jangan beri 100% cinta kamu ke orang lain. Beri 99% untuk kamu sendiri, sisanya untuk orang lain,” kata nenek saya, menasihatkan. “Supaya nggak ada yang bisa menyakiti kamu lagi.”

Seiring waktu, saya melupakan kejadian menyakitkan itu, terutama karena saya dihadapkan pada tanggung jawab terkait penyelesaian kuliah saya di Jurusan Sejarah FSUI. Tahun 1993, saya telah memasuki semester terakhir masa kuliah saya, sehingga perhatian saya total terfokus ke urusan perkuliahan. Di bulan Juli saya menghadapi sidang skripsi, dan diwisuda pada 28 Agustus 1993. Dengan bantuan dari sahabat pena saya di Surabaya, pada Oktober tahun itu saya diperkenalkan ke sahabatnya, yang segera membuat saya jatuh cinta. Sahabatnya itulah yang kini menjadi istri saya. Kami resmi jadi kekasih pada 29 Januari 1994 dan menikah tiga tahun dan delapan bulan kemudian.

Ketika Facebook mulai marak, pada tahun 2009, saya bertemu kembali dengan cewek yang sempat membuat saya nyaris bunuh diri 16 tahun sebelumnya. Selain saling menyapa biasa, dia meminta alamat email saya, karena dia ingin menceritakan apa yang seharusnya ia sampaikan ke saya 16 tahun yang lalu.

Dalam emailnya, ia menyatakan bahwa ia tahu betapa sakitnya hati saya pasca penolakan itu, dan bahwa ia menyesali kenyataan mengapa ia tidak jujur memberi tahu saya apa alasan sebenarnya. Dia minta maaf berkali-kali ke saya dalam email itu dan bahwa ia juga memohon ampunan Tuhan Yang Maha Esa karena telah menyakiti perasaan orang yang begitu baik ke dia.

Jadi, alasan sebenarnya adalah bahwa dia dalam posisi bermusuhan dengan orang tuanya karena sesuatu dan lain hal (dia berpesan ke saya agar saya tidak menceritakan detailnya ke orang lain), sehingga merasa bahwa siapapun cowok yang jadi pacarnya atau bahkan suaminya akan mengalami hal yang merugikan hubungan dia dan pacarnya/suaminya ke depannya. Ia terlalu mengasihi saya sehingga ia takkan membiarkan saya mengalami kerugian itu, dan yang pasti orang tua saya tidak akan menyetujui calon anaknya adalah pribadi yang memusuhi orang tuanya sendiri. Saya selalu mengingat nasihat ibu saya: “Jangan berhubungan dengan perempuan yang tidak menghormati orang tuanya sendiri. Dia pasti juga tidak akan menghormati orang tua kamu.”

Email yang sangat panjang itu saya balas dengan beberapa baris kalimat saja: “Sudahlah, tidak perlu minta maaf. Itu masa lalu... sudah 16 tahun yang lalu. Saya sudah memaafkan masa lalu dan melanjutkan perjalanan hidup saya, bersama wanita yang ditakdirkan menjadi jodoh saya.”

Moral dari kisah ini: Tidak perlu berkecil hati dengan apapun yang kita hadapi di suatu ketika. Waktu yang akan bercerita mengapa kita harus melaluinya.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 30 Agustus 2025

Wednesday, August 27, 2025

Hari Ini, 32 Tahun yang Lalu

 


UNIVERSITAS Indonesia (UI) dulu benar-benar kawah candradimuka cendekia. Seleksi masuknya sangat kompetitif, membuat orang yang biasa-biasa saja, yang Nilai Ebtanas Murni (NEM)nya di bawah rata-rata, seperti saya, ibarat pungguk merindukan bulan kalau berkhayal kuliah di UI.

Ketika mendaftar untuk menjadi peserta Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) 1987, saya bahkan sempat ditolak oleh panitianya lantaran nilai NEM saya yang di bawah standar. Padahal tahun 1986 saya diterima di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Jakarta/UNJ) juga melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru atau Sipenmaru (sampai 1986 masih bernama Sipenmaru, sedangkan tahun berikutnya dinamai UMPTN). Saya tunjukkan kartu mahasiswa IKIP Jakarta saya dan menggugat panitia UMPTN 1987 yang menolak saya, bahwa saya nyatanya bisa ikut Sipenmaru 1986 dan diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) pula.

Hebohlah para anggota panitia UMPTN 1987 yang pendaftaran area Jakartanya di SMA Negeri 68, Jl. Salemba Raya No. 18, Jakarta Pusat, itu. Mereka berunding dan memutuskan bahwa saya merupakan “kasus khusus” yang akhirnya diperbolehkan mendaftar kepesertaan UMPTN 1987.

Singkat cerita, saya lolos UMPTN 1987, diterima di pilihan pertama saya, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; tahun 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI/FIBUI). Karena saya mahasiswa biasa-biasa saja, dengan tingkat intelektualitas rata-rata, masa kuliah saya di UI selama 12 semester (enam tahun) berlangsung seperti “merangkak di jalan berbatu yang tajam”. Berdarah-darah! Saya dua kali terancam dropout (DO) karena Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saya di Semester I (1,71) dan III (1,72) di bawah rata-rata (1,75), sehingga di Semester II dan IV saya merelakan waktu luang saya untuk belajar dan belajar. Untungnya, saya didampingi beberapa sahabat yang tidak bosan menyemangati saya.

Momok paling menakutkan bagi mahasiswa FSUI saat itu adalah Ujian Komprehensif (populer disebut “kompre” saja), yaitu ujian lisan seluruh matakuliah jurusan. Tidak sedikit teman-teman saya dari berbagai jurusan dan angkatan di FSUI yang bertumbangan saat menghadapi kompre. Jika tiga kali gagal kompre, mahasiswa masih diberi kesempatan satu kali lagi lewat presentasi makalah. Bila kali keempat gagal juga, si mahasiswa terpaksa harus dropout.

Nah, yang meruntuhkan mental saya adalah kenyataan bahwa beberapa teman saya yang pintar-pintar justru berguguran saat kompre, dan harus dropout. “Lha, bagaimana dengan saya yang ‘kecerdasannya di bawah rata-rata’ ini bila yang sangat pintar saja gagal?!” pikir saya.

Satu-satunya jalan, ya memperkuat ibadah saya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, di samping belajar sungguh-sungguh di bawah bimbingan dari dua sahabat saya yang sudah lolos lubang jarum kompre. Mereka menggembleng saya, yang hanya mempunyai waktu dua minggu untuk menuntaskan 57 bacaan wajib kompre. Meski melelahkan dan membuat saya stres, tetapi saya pantang menyerah, karena bayangan di benak saya betapa kecewanya orang tua saya bila tidak jadi menyaksikan saya diwisuda sarjana.

Alhasil, meski nilainya tergolong minim, saya berhasil lulus kompre pada kesempatan pertama. Salah satu dosen penguji, Pak Soetopo Soetanto (alm.) melihat bahwa saya telah menangis saat menunggu hasil pengujian saya di luar ruangan kompre. Saya menangis karena saya merasa tidak maksimal dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan para dosen penguji yang mencecar saya. Hari itu, 11 November 1992, menjadi hari yang takkan pernah saya lupakan.

Setelah kompre, saya beristirahat sebulan untuk meredakan ketegangan mental akibat ujian lisan itu. Januari 1993, saya mulai menyusun skripsi saya, di bawah bimbingan Kolonel Inf. Drs. Saleh A. Djamhari (alm.). Skripsi saya bertema sejarah militer sehingga pembimbingnya pun seorang perwira TNI Angkatan Darat yang sehari-harinya berdinas di Pusat Sejarah (Pusjarah) ABRI (kini TNI) sebagai Kepala Dinas Penelitian dan Penulisan (Kadislitsan), yang bangunan kantornya bersebelahan dengan Museum Satria Mandala di Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Sebagian besar momen bimbingan skripsi saya berlangsung di Pusjarah ABRI.

Penyusunan skripsi saya relatif mulus, terutama karena pengumpulan dan penelitian bahan-bahannya telah saya lakukan dua tahun sebelumnya. Untuk itu, saya harus blusukan ke Purwokerto dan Yogya, karena topik skripsi saya adalah tentang aksi-aksi gerilya dan anti gerilya di Jawa Tengah bagian barat selama Agresi Militer Belanda II (1948-1949).

Skripsi saya disidangkan pada 7 Juli 1993 dan saya dinyatakan lulus dengan nilai B. Saya bisa saja mendapat nilai A, tetapi ada pernyataan di dalam skripsi saya bahwa Letnan Kolonel Soeharto (kelak menjadi Presiden RI) terlibat dalam PKI Musso, sedangkan saat saya sidang skripsi masih di era Orde Baru, dan salah satu penguji juga berstatus pengajar di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Si penguji memberi saya peringatan keras agar pernyataan itu, yang berdasarkan wawancara saya dengan mantan komandan pasukan Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta pasca Perjanjian Renville 17 Januari 1948, dihapus saat perbaikan skripsi.

Saya benar-benar lega pada 7 Juli 1993 itu, karena saya utamanya telah memenuhi harapan orang tua saya—yang telah pontang panting dalam usaha mereka untuk membiayai kuliah saya, dan bahwa khayalan saya mengenai kebanggaan orang tua saya saat menyaksikan saya diwisuda sarjana di Balairung UI Depok akan menjadi kenyataan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 28 Agustus 2025

Gampang Dibohongi

SEPULUH tahun lalu, seorang konsultan kehumasan (public relations/PR) dikenalkan ke saya selaku konsultan kreatif. Si konsultan PR ini rupanya kehabisan ide untuk personal branding seorang pensiunan jenderal yang saat itu sedang mengetuai sebuah organisasi masyarakat (ormas). Tujuan personal branding itu adalah untuk memperkuat posisi sang purnawirawan seolah dia memang mumpuni dalam memimpin ormas tersebut.

Saat itu, saya sedang mempelajari Teori Memetika, sehingga saya membuatkan rekomendasi strategi branding yang intinya adalah diseminasi isu berplatform inovasi terbaru di bidang yang dinaungi ormas tersebut. Tujuannya adalah menciptakan meme (replikasi gagasan) di benak publik bahwa sejak dipimpin sang purnawirawan, ormas tersebut lebih inovatif dan bersumbangsih bagi kemajuan bangsa.


Si konsultan PR berkomentar bahwa dia khawatir kalau strategi yang saya rekomendasikan itu dijalankan akan ketahuan bahwa itu tidak benar. “Sekarang kan masyarakat sudah pintar, Mas. Nggak gampang dibohongin,” kata dia.


Saya ngotot, bahwa strategi itu akan berhasil, entah bagaimana. Tapi si konsultan tidak mau ambil risiko. Ya sudah, take it or leave it!


Pada 27 Agustus 2015, saya terkoneksi lagi dengan si konsultan PR. Dia tanya kabar saya, dan saya jawab, “Sangat baik, Mbak. Apalagi saya jadi punya kesempatan untuk nyampein ke Mbak, bahwa masyarakat ternyata nggak jadi lebih pintar sekarang. Buktinya, itu berita-berita miring alias bohong di social media dengan gampangnya diterima sebagai kebenaran umum. Coba tujuh tahun lalu Mbak terima rekomendasi saya...”©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Agustus 2025

Monday, August 25, 2025

Sifat Kura-Kura

 


SAYA kemarin, Minggu siang, 24 Agustus 2025, bertemu Stuart Cooke di selasar Hall Latihan Cilandak dan mengobrol hingga tiba waktunya Latihan. Stuart bercerita perihal kunjungannya ke rumah mendiang Ruslan Moore di Florida bertahun-tahun lalu. Ruslan memberitahu Stuart kalau daya hewan yang mengisi dirinya adalah jenis antelop—hewan yang suka melompat dan berlari, yang berarti Stuart suka tinggal dan Latihan di tempat yang luas, karena lebih bebas.


Stuart kemudian bertanya ke saya, menurut saya apa jenis daya hewan yang mengisi diri saya. Saya sekonyong-konyong menjawab, “Kura-kura.”


Saya sendiri kaget dengan jawaban saya yang tak terrencana itu, tapi kemudian dimengertikan dari dalam bahwa kura-kura, meskipun jalannya pelan, tetapi ia mampu beradaptasi di lingkungan baru. Persis sifat pribadi saya yang, meskipun aslinya pemalu dan pendiam, dapat cepat beradaptasi dengan orang-orang baru tanpa saya harus mengusahakannya—karena Latihan yang membuat saya begitu.


Ketika Stuart masuk ke dalam Hall, saya masih duduk di tempat semula, berbagi cerita dengan dua anggota. Saat itulah, saya menerima pengertian lainnya tentang sifat kura-kura terkait dengan tempat Latihan saya: “Seperti kura-kura yang pergi ke mana-mana selalu membawa rumahnya, kamu pun membawa ‘tempat Latihan’ kamu ke mana saja kamu pergi. Hall Latihan kamu adalah di mana saja kamu berada.”©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Agustus 2025

Thursday, August 21, 2025

SENJA UNTUK IRANIA - Sebuah Cerita Pendek


Catatan: Cerita ini hanya fiksi belaka, meskipun menampilkan beberapa hal nonfiksi terkait kehidupan saya. Cerita ini merupakan ekspresi kreatif saya saat brainstorming dengan diri sendiri, semacam pelatihan untuk saya yang saat ini tengah menulis sebuah novel.


AKU melihatnya pertama kali di peron Stasiun MRT Bendungan Hilir. Duduk sendirian dalam balutan cod overall denim dengan kaus dalaman hitam, memanggul ransel biru tua yang tampaknya membebani punggungnya. Aku menebak-nebak apa gerangan yang mengisi ranselnya itu. Tapi kemudian kutepis pikiran itu, dan beralih memfokuskan perhatianku pada sosok mungil dengan rambut ponytail itu.

Aku memperkirakan usianya sekitar 25 atau 27 tahun. Ia berkacamata dan kulitnya jenis olive skin, yang membuat wajahnya memancarkan kecantikan yang eksotik.

Aku memberanikan diri duduk di bangku yang ia duduki sendirian, dalam jarak tidak menempel tapi juga tidak terlalu jauh, agar suaraku tidak tenggelam dalam hiruk-pikuk para calon penumpang MRT yang tumpang tindih dengan suara announcer stasiun dari pengeras suara. “Ke Blok M, Mbak?" tanyaku dengan suara agak tercekat, tertahan oleh perasaan waswas kalau ia tidak akan menanggapiku.

Ia menoleh ke arahku dan senyumnya memunculkan lesung pipi yang membuat kecantikannya semakin membuat napasku sesak. “Oh, nggak, Mas. Saya turun Lebak Bulus,” ucapnya dengan suara yang renyah. “Kalau Masnya ke mana?”

“Lebak Bulus?! Wow, sama doong,” kataku. Waswasku sudah sirna ditelan senyum gadis itu. “Kabarnya ada gangguan listrik di Bundaran HI, keretanya nggak bisa jalan.”

“Oh gitu? Kok nggak diumumin ya?” tanyanya lagi, kembali menoleh kepadaku.

“Sudah tadi diumumin... sebelum Mbaknya datang.”

Gadis itu mengembuskan napas panjang, pipinya mengembang saat ia melakukannya. “Wah, bakal kemaleman deh sampai rumah.”

Aku melirik jam di layar ponsel cerdasku. Jam 19.15. Aku sudah hampir dua jam menunggu MRT Bundaran HI-Lebak Bulus di peron Bendungan Hilir. Gadis itu lumayan baru beberapa belas menit. Aku harus berusaha agar kehadiranku di sebelahnya tidak membuat ia bosan menanti momen keberangkatannya.

“Maaf, kalau saya kepo,” kataku kemudian. “Mbak kerja di mana?”

“Kantorku di Sahid Sudirman Center,” jawabnya, tak memerinci di perusahaan apa.

“Lhoo, satu bangunan dengan kantor saya doong,” kataku. “Saya di lantai enam, perusahaan tambang batu bara.”

“Aku di lantai empat, Mas,” ucapnya lagi. Setiap kali ia berbicara kepadaku, ia menoleh ke arahku. Tanda bahwa ia menaruh minat untuk mengobrol denganku. “Masnya engineer?”

“Oh bukan, saya di divisi CSR... Dikontrak dua tahun sebagai konsultan sustainability communications,” jelasku. “Wah, kita satu bangunan tapi ketemunya kok di peron ini.”

Gadis itu tertawa, kali ini tidak menoleh ke arahku, tapi dapat kulihat dari samping deretan gigi putihnya dan sepasang bibirnya yang indah. Tawanya lepas dan renyah.

Sesaat obrolan kami menjeda. Aku menenangkan diri, mencoba merasakan energi gadis itu. Aku merasakan bahwa ia ingin mengobrol lebih lama. Maka kucoba pendekatan yang lebih akrab.

“Mbak... Mbak siapa, namanya? Mau nggak kalau kita nunggu di Tomoro sambil ngopi?”

“Irania... Nama saya Irania. Mas?”

Dia tak menjawab ajakanku untuk menunggu di Tomoro Coffee yang ada di area Stasiun MRT Bendungan Hilir, membuatku agak kecewa. Tapi kemudian ia menoleh kepadaku dan mengangguk dengan mimik lucu.

“Boleh, Mas... Mas siapa?”

“Saya Arifin,” jawabku sambil bangkit dari atas bangku peron. Hatiku bersorak. Gadis itu ramah, bukan tipe yang gampang berprasangka buruk terhadap kenalan baru, tapi sikap dan perilakunya justru membuatku menaruh respek padanya.

Irania kemudian perlahan bangkit dari duduknya. Berdiri di hadapanku dengan badan tegak, baru aku tahu bahwa tingginya sedikit di atas dadaku. Kami kemudian berjalan beriringan ke Tomoro Coffee.

Vibe di stasiun ini benar-benar rush hour, orang lalu lalang dengan cepat, ada yang lari-lari. Sedangkan aku sendiri selalu berusaha lebih cepat tiba agar tidak terburu-buru dan bisa lebih santai. Dan spot Tomoro Coffee di dalam stasiun MRT ini betul-betul membuat saya lebih santai di antara pejuang-pejuang rupiah yang commute melalui stasiun ini. Untuk kopinya sendiri konsisten, rasanya enak seperti di gerai-gerai lainnya, cappuccino-nya memang sudah menjadi favoritku.

Kami memilih meja di dalam Tomoro Coffee yang berpendingin udara serta tidak terlalu berisik. Aku memesan dua gelas minuman panas--cappuccino untukku dan kopi gula aren untuk Irania.

Sambil sesekali menyeruput minuman masing-masing, kami larut dalam obrolan ringan. Irania mengesankan pribadi yang humoris sekaligus cerdas. Sesuai pekerjaannya sebagai Junior Assistant Manager di Departemen General Affairs sebuah perusahaan penyedia layanan solusi data dan informasi.

Obrolan kami terpotong oleh pengumuman bahwa MRT Bundaran HI-Lebak Bulus akan memasuki Stasiun MRT Bendungan Hilir. Kami pun meninggalkan Tomoro Coffee dan kembali berjalan beriringan ke peron. Sambil melangkah, kami masih bertukar cerita. Salah satu ceritanya, entah sengaja atau keceplosan, mengungkapkan bahwa ia berumur 28 tahun—tidak jauh beda dari dugaanku—dan merupakan anak sulung dari dua bersaudara dengan adiknya adalah laki-laki.

Di dalam MRT yang mulai berjalan, dengan gerbong dijejali banyak penumpang yang membuat kami hanya bisa berdiri dalam jarak cukup rapat, kami masih terus mengobrol. Aku menawarkan diri untuk membawakan ranselnya yang tampaknya cukup berat, tetapi Irania menolak dan sebaliknya ia memindahkan ranselnya ke depan dadanya, mungkin khawatir jadi sasaran pencopet.

Ketika ia memindahkan ranselnya ke depan dadanya, gerakannya sempat menyingkapkan kalung yang ia kenakan di balik cod overall-nya, yang memberitahuku bahwa ia beragama Katolik. Aku Islam, tapi golongan yang tidak taat alias Islam KTP. Aku memilih untuk mengidentifikasi diriku sebagai “anggota Subud yang inklusif”, alih-alih muslim. Kalung salib yang dikenakan Irania, karena itu, tidak menyurutkan tekadku untuk mengenal lebih jauh gadis itu. Bahkan aku tidak akan menarik diriku jika Tuhan menghendaki aku berjodoh dengannya. Agama tidak menjadi pertimbanganku dalam memilih calon pendamping hidupku.

Turun di Stasiun MRT Lebak Bulus, Irania segera mengeluarkan ponselnya, hendak memesan ojek daring. Tetapi kemudian ia tampak ragu, karena kawasan Lebak Bulus sedang diguyur hujan. Sambil mengeluarkan ponselku sendiri, aku bertanya pada Irania, “Pulangnya ke arah mana?”

Ia menoleh padaku dengan wajahnya yang agak memucat, mungkin lelah. “Cireundeu, Mas.”

“Lho, kok satu jalan dengan saya!” kataku dengan nada tersentak dan kuperlihatkan tampilan pesanan taksi daring di layar ponselku. “Saya Pondok Cabe.”

Wajah Irania sekejap berseri-seri, menghapus pucatnya. Tatapan matanya penuh harap—mengharap ajakanku untuk bareng di taksi daring pesananku, mungkin. “Mau bareng?” tanyaku.

“Wah, saya nggak mau merepotkan Mas Arifin,” katanya. “Nanti saya ikut bayar setengahnya ya.”

Aku menegaskan padanya, diiringi senyum dan mimik kesungguhanku, bahwa keikutsertaannya sama sekali tidak merepotkan dan bahwa ia tidak perlu membayar setengahnya.

“Sebagai sesama warga Tangsel harus saling membantu,” candaku.

Irania duduk di jok tengah taksi daring pesananku, pas di sebelahku. Pendingin udara di dalam taksi sangat dingin, membuatku berkhayal mendekap erat gadis itu. Bukan sebagai ekspresi seksual, tapi lebih sebagai kepedulianku kepada sesama manusia.

Obrolan kami semakin akrab dan hangat selama perjalanan menembus hujan deras di dalam taksi daring. Jalanan cukup macet, tetapi untungnya sopir taksi tidak mengeluh apalagi mengumpat—semacam tanda bahwa ia menghendaki penumpangnya segera memutuskan untuk turun, sehingga tidak mengusik keakraban kami.

Menyadari keakraban itu, aku memberanikan diri meminta nomor WhatsAppnya. “Siapa tahu kita bisa pulang bareng lagi kayak tadi,” gurauku sembari memberi alasan mengapa aku menanyakan nomor WhatsAppnya. Irania dengan ramah memberinya padaku, dan aku misscall ponselnya untuk memberinya nomorku.

“Arifin siapa lengkapnya, Mas?” tanya Irania. Dia beralasan bahwa di daftar Kontak di ponselnya ada beberapa nama Arifin. “Biar nggak ketuker.”

“Arifin Dwi Slamet,” jawabku. Aku mengeja “Dwi Slamet” untuknya. Giliran aku ingin meminta nama lengkapnya, ternyata nomor yang diberikannya tadi sudah ada identitasnya: E. Irania Andari. Karena gadis itu Katolik, aku menerka dalam hati bahwa “E” mengacu pada “Elizabeth”. Mungkin benar, mungkin juga salah. Bisa juga Ellen atau Elena, seperti beberapa teman perempuanku di masa lalu yang beragama Kristen. Tapi, ah sudahlah, nanti-nanti juga ketahuan apa kepanjangan “E” di depan nama Irania Andari.

Satu jam setelah naik dari depan Stasiun MRT Lebak Bulus, taksi daring yang mengangkut kami tiba di depan sebuah rumah. Rumah yang tidak terlalu besar, bertembok warna pink pastel. Irania membuka pintu mobil dan hendak turun ketika aku mencegahnya, “Masih hujan, Ir. Pakai topi saya nih.”

“Gerimis, Mas. Nggak apa-apa, aku bisa lari sebentar ke teras,” kata Irania bersikukuh. Ia tetap turun dari mobil, menggunakan ranselnya untuk melindungi kepalanya dari terjangan air hujan. Ia mengucapkan terima kasih dan menyampaikan sebuah pesan singkat yang membuat dadaku bergemuruh: “Keep in touch, ya Mas Arifin!”

Aku melongo melihat gadis itu menutup pintu mobil dan bergegas memasuki pekarangan rumahnya serta berjinjit dalam langkah-langkah cepat ke teras. Ia masih sempat membalikkan badannya untuk memberi lambaian yang manis kepadaku. Oh my, mengapa rasaku kini melambung?

“Pacarnya, ya, Mas?” kata sopir taksi daring diiringi tawa yang lucu.

“Bukan... Teman kerja,” jawabku. Tapi batinku lantas melantunkan doa, semoga... Entahlah, aku belum berani sejauh itu.

Sampai di rumah, aku mandi dan siap-siap terjun ke kasur. Bayangan wajah Irania mengisi benakku malam ini. Aku melalui pergolakan sejenak: Apakah Irania sudah punya pacar? Mana mungkin gadis secantik dia belum punya pacar? Aku mengafirmasi diriku bahwa dia masih jomblo. Entah mengapa, kebanyakan teman perempuanku yang non muslim berstatus jomblo. Mungkin mendapatkan jodoh laki-laki muslim lebih mudah daripada laki-laki yang seagama, tapi sebaliknya laki-laki muslim mensyaratkan pacarnya harus muslim atau, kalau non muslim, paling tidak bersedia masuk Islam ketika akan menikah.

Dan kebanyakan perempuan Katolik yang kukenal, secinta apapun dia pada pacarnya, tidak akan menomorduakan Tuhannya. “Ah,” batinku, “beruntunglah perempuan Katolik yang mendapatkan aku sebagai pacar atau calon suami, karena aku bukan tipe laki-laki muslim yang mengutamakan agama dalam perjodohan. Sebagai anggota Subud, aku terbiasa dalam lingkungan yang multikultural dan lintas agama. Di ranah rasa, toh semua terasa sama saja.”

Lelah membuatku akhirnya lelap. Tidur pulas yang sempat diwarnai mimpi indah bersama Irania Andari.

*********

PAGI, aku bergegas siap-siap berangkat kerja. Pikiranku yang dipenuhi harapan untuk bisa bertemu Irania, entah di Stasiun MRT Lebak Bulus, Bendungan Hilir, atau lobi Sahid Sudirman Center, mengalahkan keinginanku untuk sarapan terlebih dulu. Tak seperti biasa, aku menggunakan sepeda motorku sendiri ke Stasiun MRT Lebak Bulus, dimana kuparkir di penitipan motor.

Aku tak melihat Irania di peron keberangkatan MRT arah Bendungan Hilir. Harapanku belum pupus, masih ada kemungkinan aku berjumpa dia di Stasiun MRT Bendungan Hilir atau lobi Sahid Sudirman Center. MRT pagi itu, jam 06.03, sudah dijejali penumpang, tapi aku beruntung mendapat kursi kosong sebelah pintu. Kupejamkan mataku, sebuah kebiasaan sejak aku dibuka di Subud. Dengan memejamkan mata aku dapat meraih keheningan, meski di luar diriku berisik. Sebuah tepukan di lututku membuatku membuka mata. Senyumku melebar, menyaksikan gadis berlesung pipi dengan senyum yang sampai ke matanya yang ditamengi kaca itu. “Irania!” kataku, nyaris berseru keras.

“Aku mencari Mas tadi di Lebak Bulus,” katanya polos. “Kupikir masih di rumah.”

Kepolosannya membuatku tidak menahan diri untuk bercerita yang sebenarnya. “Aku juga tadi mencari-cari kamu, Ir. Aku susuri sepanjang peron, siapa tau kamu ada di situ.”

Irania tersenyum dengan keterusteranganku. Tampaknya ia terkesan dengan usahaku untuk bertemu dengannya. Aku sontak berdiri dan mempersilakan Irania mengambil kursiku. Awalnya ia menolak, namun aku memaksanya. Apalagi ia tampak kerepotan membawa ransel berat di depan dadanya.

Sepanjang perjalanan MRT itu, kami mengobrol dan tak sadar saling menatap. Ada perasaan damai di diriku dengan hanya menatap mata gadis itu. Aku menawarkannya untuk nanti makan siang bareng di Sahid Food StrEAT. Irania menyambut tawaranku dengan senang.

*********

MINGGU demi minggu berlalu, tak terasa sudah dua bulan berjalan sejak pertemuan dan perkenalan pertama kami. Hampir tiap hari kerja kami bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus atau Bendungan Hilir atau lobi Sahid Sudirman Center, atau sama sekali tak berjumpa seharian, tetapi obrolan-obrolan singkat mewarnai layar ponsel kami melalui pesan WhatsApp.

Obrolan kami akrab dan selalu hangat, berbagi cerita kehidupan kami masing-masing. Irania tak segan bercerita bahwa tiap Minggu pagi ia bersama orang tuanya dan adiknya serta tantenya pergi ke gereja. Akupun tak menutupi bahwa aku aktif di Subud, dan hari Minggu pagi kadang aku ke Wisma Subud di Jl. RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Irania sepertinya sangat nyaman dengan aku. Begitu pula aku.

Suatu hari, sebelum berangkat kerja aku mengirim pesan WhatsApp kepada Irania. Lama sejak terkirim, pesan itu hanya centang satu. Aku mulai gelisah, berpikir macam-macam, yang menurunkan antusiasmeku untuk segera berangkat kerja. Tapi aku paksakan diri. Mungkin ponsel Irania ketinggalan di rumah, pikirku, tapi jam masih terlalu pagi untuk dia berangkat kerja. Mungkin dia sudah bosan berteman denganku... Ah, tidak mungkin, selama ini hubungan kami baik-baik saja.

Aku tidak menjumpainya di peron Stasiun MRT Lebak Bulus maupun Bendungan Hilir. Dengan langkah gontai bercampur rasa kecewa, kuberjalan memasuki lobi Sahid Sudirman Center dan menunggu sejenak hingga sepuluh menit sebelum jam kerja dimulai. Sosok Irania tak tampak, suara khasnya pun tak terdengar di antara para karyawan yang mulai ramai lalu lalang di lobi.

Di sela-sela jam kerja, aku permisi kepada manajer CSR perusahaan tambang, yang mengontrakku sebagai konsultan, bahwa aku mau membeli kopi. Aku melontarkan berbagai alasan ketika sang manajer mengusulkan agar office boy saja yang kusuruh untuk membelikan. Padahal sebenarnya aku turun ke lantai empat, melangkah ke lobi kantornya Irania.

Resepsionis di meja penerima tamu tersenyum ramah padaku. Tampaknya ia ingat siapa aku, karena aku pernah beberapa kali mengantar Irania kembali ke kantornya usai makan siang bersamaku. “Nyari Irania, ya?” kata si resepsionis.

“Iya, Mbak,” kataku. “Maaf kalau mengganggu di jam kerja, tapi saya ingin tanya, apakah dia masuk kerja?”

“Oh, belum tau, ya?” kata si resepsionis, memperlihatkan mimik mengasihani diriku. “Irania masuk rumah sakit... Infeksi lambung, kata dokternya.”

Aku tak menutupi keterkejutanku. “Hah?! Masuk rumah sakit?! Kenapa dia nggak ngabari saya?” Sesaat aku sempat merasa malu, karena merasa diriku seolah berhak diberi tahu. “Memangnya kamu siapanya dia, Arifin?!” batinku.

“HP-nya rusak, Mas. Nggak sengaja jatuh ke got depan rumahnya,” jelas si resepsionis. “Lagi ultah, lha kok HP rusak dan masuk rumah sakit pula!”

“Irania ultah hari ini, Mbak?” tanyaku, kaget.

“Iya. Lho, Masnya nggak dia kasih tau?”

Lagi-lagi aku membatin, “Memangnya siapa aku sampai dia harus memberi tahuku tanggal ulang tahunnya?”

Aku minta informasi lebih lanjut kepada si resepsionis perihal di rumah sakit mana, kamar nomor berapa, Irania dirawat. Resepsionis menuliskannya di secarik kertas Post-It yang kemudian ia sodorkan kepadaku. Aku mengucapkan terima kasih padanya berkali-kali sambil menyeret diriku meninggalkan lobi kantor itu.

Aku kemudian turun ke lobi Sahid Sudirman Center, kupesan ojek daring menuju ke toko Erafone di Plaza Semanggi untuk membeli ponsel Samsung Galaxy A16, seperti yang dipakai Irania selama ini. Setelahnya, aku menuju toko Hallmark untuk memesan bungkus kado yang cantik serta kartu ucapan yang manis. Setelah itu, aku kembali ke kantorku, melanjutkan pekerjaanku hingga tiba jam pulang.

Aku memesan taksi daring menuju RS Puri Cinere di mana Irania dirawat. Jantungku berdebar setibanya aku di depan pintu kamar rawatnya. Aku mengintip melalui jendela persegi panjang vertikal pada daun pintu kamar rawat, kulihat sesosok perempuan paruh baya bergaun sederhana duduk di kursi di samping ranjang pasien yang tertutup tirai. Aku tidak bisa melihat Irania—mungkin ialah yang berbaring di ranjang itu.

Kugeser pintu kamar rawat, terdengar sedikit deritan pelan, yang membuat perempuan paruh baya itu menoleh kepadaku. Sebelum sempat ia berucap, aku mendahuluinya, “Maaf, Bu. Benar ini kamarnya Irania Andari?”

Perempuan paruh baya itu mengangguk sambil tersenyum dan kemudian berdiri dengan kedua tangannya menyambut jabatan tanganku. Ia mengajakku menemui Irania, yang sedang duduk di ranjang pasien dengan kedua kakinya berselonjor. Wajahnya pucat tetapi kecantikannya tak sirna. Ia terkejut melihatku. “Mas Arifin?!” ucapnya dengan suara serak.

Aku tersenyum dan menyalaminya. Irania terus menatapku sambil melongo. Ia tak menyangka aku akan menjenguknya, karena ia tak sempat memberi tahuku perihal sakitnya maupun kenyataan bahwa ia harus dirawat di rumah sakit sebagai akibatnya.

Perempuan paruh baya itu, yang ternyata adalah ibu dari Irania, mempersilakan aku duduk dan ia permisi untuk meninggalkan kamar karena mau membeli makan malam untuk dirinya sendiri. Aku sempat menawarkan diri untuk membelikannya, tetapi ia menolak dengan halus dan berkata, “Irania akan lebih senang kalau Mas yang menemaninya.”

“Mama apa siiih!” sahut Irania dengan muka memerah. Aku tertawa, begitu pula ibunya.

Sepeninggal ibunya, kami lama terdiam, saling memandang. Kami tak sanggup berkata-kata, tapi aku tak tahan dengan kebekuan itu, mengingat selama ini kami selalu saling bercerita ceplas-ceplos. Aku pun memecah kebekuan itu, “Aku dapat info dari resepsionis kantor kamu, Ir. Aku tadi pagi WA kamu, tapi centang satu terus. Dan aku cari-cari kamu di Stasiun Lebak Bulus dan Bendungan Hilir. Kok kamu nggak ada. Aku cemas... mikirin kamu, Irania.”

Irania kemudian menceritakan kronologisnya hingga ia akhirnya masuk rumah sakit. Aku mendengarkan dengan saksama hingga mendapat kesimpulan dari ceritanya bahwa ia seharian lupa makan lantaran begitu banyak pekerjaan yang menuntut penyelesaian segera serta dua kali berturut-turut menghadiri rapat dengan klien yang memakan waktu lama.

“Masak sih kamu sampai lupa makan?!” kataku berkomentar. Ada tekanan pada nada bicaraku, yang mengesankan aku marah sekaligus cemas. Aku sangat peduli padanya, entah itu tanda aku mencintainya atau bagaimana. Irania pun memandangku dengan jenis pandangan seorang perempuan yang terpesona pada perlakuan laki-laki pujaannya.

“Nggak ada yang ingetin sih,” gurau Irania, tapi aku menangkap nada menggoda di sana. Suatu kode keras yang masih harus kupecahkan artinya.

Aku pun tidak rikuh untuk membalas godaannya. “Oh, mau aku ingetin setiap hari? Setiap jam? ‘Irania, jangan lupa makan!’. Hanya pacar yang mau kayak gitu...”

Irania tertawa kecil, merasa geli. Matanya mengerut. Hatiku berdebar. Ada dorongan kuat di dalam diriku untuk menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Irania. Ya, aku yakin... aku yakin aku mencintainya. Tapi aku takut, jika ia tak merasakan hal yang sama, pertemanan hangat yang selama ini kurasakan bersamanya akan berakhir. Aku memang bukan tipe orang yang lantas menjauh manakala cintanya ditolak, tapi aku yakin hubungan pertemanan kami tidak akan sama lagi.

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya sayup-sayup. Kupejamkan mataku untuk menenangkan diri dan menerima Latihan Kejiwaan, agar keberanianku, perasaan nothing-to-lose, terpumpun. Sesudah itu, seketika mulutku berucap dalam kalimat yang tertata rapi—seperti selama ini bila aku berbicara dalam keadaan terbimbing, “Irania... Aku nggak tau kenapa aku begitu peduli kamu... Maafkan aku... aku nggak ingin pertemanan kita rusak karena apa yang akan kukatakan ini...”

Aku mengambil sela, mencoba menyerap reaksi Irania. Dia hanya diam terpaku, mendengarkan dengan saksama. Dia menanti ucapanku dengan khusyuk.

“Aku mencintai kamu...,” kataku pelan, menelan ludah dan teriring ragu. “Mungkin itu yang menjelaskan mengapa aku begitu sedih begitu tau kamu sakit sampai harus dirawat di rumah sakit... Ingin aku ingetin kamu setiap hari untuk jaga kesehatan, jaga diri... tapi siapalah aku ini.”

Aku merasakan tangan Irania yang hangat menyentuh lembut lenganku yang kutaruh di kasur ranjang pasien, di sebelah badannya. Punggung tangan Irania yang menyentuhku dibalut plester yang menahan erat jarum infus. “Mas Arifin... Aku pengen nangis dengernya... Belum pernah ada cowok yang begitu perhatian padaku. Perhatian Mas bahkan melebihi pacar...”

“Bo... bo... bolehkah aku jadi orang yang ingetin kamu setiap hari untuk jaga kesehatan, jangan telat makan, jaga diri...?” ucapanku terbata-bata tapi perasaanku kuat.

“Mas, kalau nggak ngrepotin, bolehkah aku juga punya perasaan yang sama terhadap Mas?” kata Irania pelan. Ia sepertinya yakin pada perasaannya sendiri. Aku menatap matanya yang mulai berkilau. Aku menyentuh pipinya perlahan dan kucondongkan kepalaku ke depan, hingga bibirku mengecup lembut keningnya.

Setelah kujauhkan wajahku, aku dapat melihat pancaran matanya mewakili rasa bahagianya. Kurasa kesembuhan pun mulai menjalari tubuhnya.

Malam itu, aku dan Irania resmi menjadi sepasang kekasih.

“Tapi HP-ku rusak gegara kecebur got,” kata Irania. “Nanti gimana Mas Arifin WA aku?”

Aku menggenggam tangan Irania yang tidak ditusuk jarum infus. Kutatap matanya dan kuucap dengan pasti, “Selamat ulang tahun, Yanya.” Panggilan “Yanya” begitu saja terlintas di benakku, yang membuatku memastikan bahwa itulah panggilan sayangku untuk Irania. “Semoga usia 29 membuat Yanya makin sehat lahir dan batin.”

Sebelum Irania sempat berkata apa-apa, aku merogoh ranselku, dan mengeluarkan paper bag mungil. Kuulurkan paper bag itu kepada Irania, yang memperlihatkan wajah tercengang. Ia membukanya dan mengeluarkan sebuah kotak dalam bungkus kado bermotif ilustrasi anak perempuan berrambut ponytail dan berkacamata dengan ukuran yang kebesaran. Aku memilih bungkus kado itu karena gambar sosok anak perempuan dengan kacamata kebesaran itu mengingatkanku pada Irania. “Apa nih, Mas Arifin?”

“Buka aja, Yan...”

Ia membuka bungkus kadonya dengan sangat hati-hati. Wajahnya tiba-tiba ceria. “Ya Tuhan... Mas nggak perlu repot-repot, kan bukan salah Mas kalau HP-ku rusak.”

“Gimana lagi aku bisa ingetin Yanya supaya jangan lupa makan, kalau Yanya nggak ada HP?” kataku, tergelak.

Irania menjulurkan satu lengannya, tanpa kata menyatakan keinginannya agar aku memeluknya. Aku memeluknya perlahan, badan kami tidak sampai bersentuhan, dan kucium lembut keningnya. “Cepat sembuh ya, Yan,” kataku begitu melepas pelukannya. “Yan”, dari Yanya, terdengar seperti “Yang” dari Ayang, panggilan mesra kepada pacar. “Aku pulang dulu ya... Yanya istirahat yang cukup, minum obatnya dan patuhi kata dokternya. Besok sore, pulang kerja, aku akan ke sini lagi.”

Irania menyentuh pipiku tanpa berkata-kata, tapi tatapan matanya dalam. Pada saat aku hendak meninggalkan kamar rawatnya, pintu sudah duluan membuka. Ibunya masuk, menenteng kantong kresek, mungkin berisi makanan. Ia menampakkan wajah memohon dengan iba ketika aku minta diri. Sepertinya ia senang dengan hadirnya aku dalam hidup putrinya.

*********

IRANIA lahir di Jakarta pada 9 Mei 1997, duapuluh tahun setelah aku turun ke dunia. Ayahnya, seorang pelaut yang bekerja di sebuah maskapai pelayaran niaga, sedang mengarahkan kapal tanker yang dinakhodainya melalui Selat Hormuz di sisi pesisir Iran, ketika ia mendapat kabar mengenai kelahiran putri pertamanya. Nama negara di mana bagian dari Selat Hormuz berada adalah yang pertama muncul di benaknya ketika memikirkan, di sela kesibukannya mengarahkan kapal, nama buat bayi yang lahir dari rahim istrinya. Ditambah “ia” yang dicomot dari nama negara asalnya. Andari adalah kata dari bahasa Italia yang bermakna “perjalanan”, terinspirasi dari perjalanan melalui laut yang sedang dilakukan ayahnya.

“Irania mendapat nama baptis Elizabeth,” tutur ibunya kepadaku ketika aku mengantar pacarku dan keluarganya ke gereja. Benar dugaanku ketika kami baru berkenalan, bahwa inisial “E” di depan namanya mengacu pada Elizabeth.

Irania diperbolehkan pulang dari rumah sakit seminggu setelah malam aku menyatakan cinta padanya. Ia terlihat lebih sehat, enerjik dan ceria, pasti oleh energi cinta kami. Sejak resmi berpacaran, rute perjalananku ke dan dari kantor mencakup jalan di mana rumah pacarku beralamat. Kini kami tak perlu lagi saling mencari dengan harap-harap cemas di peron Stasiun MRT Lebak Bulus, Bendungan Hilir atau lobi Sahid Sudirman Center. Kini kami berjalan beriringan, saling menguatkan.

Pola pacaran kami bernuansa kakak-adik, sahabat, teman berbagi cerita dan canda. Kedekatan kami sedemikian biasanya hingga teman-temannya maupun teman-temanku tidak mengira kami pacaran. Aku pun memperlakukan Irania dengan respek dan santun. Kami jarang berpegangan tangan atau saling merangkul layaknya sepasang kekasih jika di depan umum. Ciuman pertama kami juga terjadi ketika usia pacaran kami genap satu tahun. Hanya sekali itu, selanjutnya amat jarang terjadi. Ciuman itu meneguhkan keseriusan kami dalam menjalani hubungan yang kami cita-citakan untuk berlanjut hingga ke pelaminan.

Suatu hari, Irania mengajakku makan malam di sebuah kafe yang bersuasana romantis. Saat itu malam Minggu, jadwal tetap aku mengapelinya. Kami tergolong jarang bermalam Minggu di luar rumahnya, karena aku senang melewati malam khusus bagi para kekasih itu justru bersama keluarganya. Ayah-ibunya menyambut baik hubunganku dengan putri mereka, meski mereka tahu bahwa agamaku berbeda dari agama mereka. Tampaknya mereka yakin kalau aku takkan menuntut putri mereka berpindah ke agamaku. Mereka juga tahu kalau aku anggota Subud, sebuah perkumpulan spiritual yang inklusif, walau mereka tak paham benar apakah Subud itu.

Sejak berangkat dari rumah, selama perjalanan ke kafe di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, itu, Irania tampak murung, sedikit bicara, menekan perasaannya, seperti memendam sesuatu. Begitu tiba di kafe, kami memesan minum dulu. Irania ingin membicarakan sesuatu yang tampaknya serius, dan ingin momen itu tidak diusik oleh kesibukan menikmati makanan.

“Mas Arifin...,” mulai Irania dengan nada datar. Ia menahan tangis, terlihat dari raut wajahnya. “Sudah lebih dari setahun kita jalan ya. Sayangku pada Mas sudah sangat kuat, aku nggak... nggak... nggak sanggup kalau harus kehilangan kamu, Mas.”

Aku tersentuh dengan sikapnya. Aku pun tak sanggup menanggung beban kehilangan perempuan yang sangat kucintai ini. Mungkin aku akan mati perlahan atau bunuh diri jika Irania hilang dari kehidupanku. Aku menggenggam kedua tangannya erat dan melepasnya sejenak ketika pelayan datang menghidangkan minuman pesanan kami. Di usianya yang kini 30, Irania terlihat lebih dewasa dan matang daripada umumnya perempuan-perempuan seusianya. Selain itu, pertama kali kukenal dia, Irania memang merupakan pribadi yang bijaksana, yang dapat dengan baik mengimbangiku yang lebih tua duapuluh tahun darinya.

Irania selanjutnya mencurahkan keresahan hatinya yang belakangan mendadak muncul, melihat perkembangan hubungan kami yang kian mendalam. Ia rupanya khawatir apabila kami harus berpisah lantaran perbedaan agama. Air matanya berlinang saat ia menyatakan isi hatinya yang resah, membuatku semakin erat menggenggam tangannya sebagai sebentuk penglipuran.

“Yanya,” ucapku ketika Irania tak sanggup lagi berkata-kata. Pipinya dibasahi air mata, dan ia menggigit bibir bawahnya sebagai upaya menahan isakan tangis. “Aku ingin Yanya tau... Sejak pertama aku menyatakan cintaku pada Yanya, aku sudah memastikan diriku bahwa pada akhirnya kita akan menikah. Aku... aku... aku ingin menikahi Yanya, kapanpun Yanya siap. Dan sementara itu, mungkin Yanya nggak tau kalau aku mempersiapkan segalanya untuk itu sejak kita jadian. Aku sudah mempertimbangkan banyak hal, termasuk menabung khusus untuk kita pergi ke Singapura atau Hongkong di mana pernikahan beda agama diakui. Aku ingin Yanya tau itu... dan juga bahwa aku nggak akan meninggalkan Yanya untuk alasan apapun juga.”

“Gimana dengan orang tua Mas, apa mereka mau nerima putra mereka menikah dengan cewek beda agama?” kata Irania di sela isakannya.

“Di agamaku, laki-laki tidak perlu izin dari orang tuanya untuk menikah. Aku hanya perlu restu, tapi kalaupun tidak direstui aku... aku nggak ragu untuk melanjutkan niatku menikah sama Yanya.”

“Aku nggak mau Mas dalam posisi sulit karena aku,” kata Irania, menyeka matanya yang masih terus meneteskan air. “Tapi... tapi... aku nggak bakal kuat kalau Mas ninggalin aku.”

Aku mengelus tangan kanan Irania, dengan harapan akan memberinya kekuatan. “Sayang... lihat aku... Jangan menangis ya, Sayang. Yanya cukup meyakini cinta kita. Yanya nggak perlu meresahkan gimana-gimananya aku nanti dengan keluargaku. Biarlah itu menjadi tanggung jawabku. Tuhan Maha Tahu bahwa niatku untuk menikah dengan Yanya adalah untuk tujuan yang baik. Tuhan nggak pernah mengotak-ngotakkan ciptaanNya dalam agama. Dia adalah Yang Maha Pengasih dan Dia selalu memberi jalan kepada manusia yang berserah diri, dengan perasaan sabar, tawakal, ikhlas dan berani.”

Irania menatapku lama. Ia takjub dengan kata-kataku. Aku sendiri tidak memikirkan kata-kata itu, mereka terucap sendiri melalui mulutku yang tidak dikendalikan akal pikirku. Aku merasakan ucapanku itu layaknya aku saat melakukan Latihan Kejiwaan Subud. “Pejamkan mata Yanya, tarik napas dalam-dalam dan embuskan perlahan, Sayang,” bisikku kepadanya.

Pacarku itu melakukan persis yang kupinta darinya. Mataku memandanginya lekat-lekat. Aku merasakan getaran halus, seperti aliran listrik berkekuatan rendah, mengarus dari diri Irania ke diriku melalui tangan kami yang saling menggenggam. Aliran listrik itu terasa bergerak bolak-balik, dari Irania ke aku dan kembali ke dia. Ketika ia membuka matanya, air mata telah reda, wajahnya bercahaya, dan bibir ranumnya tampak segar.

“Apa yang Yanya rasakan sekarang?” tanyaku berbisik. Aku segera tersadar bahwa aku mungkin telah membuka keinsafan dirinya, suatu proses yang di Subud disebut “pembukaan”, yang seharusnya dilakukan orang yang disebut helper yang berjenis kelamin yang sama dengan orang yang dibukanya.

“Kok aku merasa... ber... beda. Seperti dilahirkan kembali...,” ucap Irania lirih.

“Puji Tuhan... Kurasa, Yanya telah disentuh kasih sayangNya,” gumamku. Kuperhatikan Irania yang sekarang berbeda dengan Irania beberapa belas menit lalu. Ia kini lebih tenang, lebih meresap semua rasa jiwa, rasa hati dan rasa pikiranku. Ia telah menyatu denganku. “Aku mencintaimu, Yanya. Hanya itu yang penting untuk Yanya rasakan!”

*********

HARI Minggu pagi itu, kuantar Irania ke gereja. Hanya dia, sedangkan orang tua, adik dan tantenya sudah ke sana lebih dulu dan sudah pulang. Selama misa, aku menunggu di luar, meskipun aku tidak keberatan jika dipersilakan menemani pacarku mengikuti prosesi doa dan ritual-ritual lainnya dari agamanya. Manusia Subud bisa cepat beradaptasi di berbagai lingkungan yang berbeda dari lingkungan asalnya. Tetapi hari itu, Irania minta pengertianku untuk tidak menemaninya selama misa, karena ia ingin khidmat berdoa.             

Usai misa, pacarku keluar dari bangunan gereja dengan wajah sumringah. Ia menghampiriku yang sedang duduk di bangku kayu yang biasanya diduduki tukang parkir di pekarangan gereja. Ia mengusap-usap kepalaku dengan gemas. “Sekarang, aku pengen ke tempat Mas biasa datengin kalau Minggu,” ujarnya.

Sudah sejak pekan lalu, tiba-tiba Irania menyatakan keinginannya menemaniku ke Wisma Subud. Apakah ia mau ngandidat atau tidak, Irania tidak memastikannya, dan aku juga tidak mau memaksanya. Anggota Subud tidak boleh memaksa atau menuntut siapapun juga untuk masuk Subud, sebagaimana lazim dilakukan oknum-oknum dalam agama-agama.

“Yanya tunggu sini dulu ya,” kataku ketika kami tiba di kompleks Wisma Subud. Kuajak pacarku ke sebuah kafe di dalam kompleks, memesan untuknya minuman dingin dan camilan, dan kutinggal dia untuk pergi melakukan Latihan terjadwalku. Baru saja aku melangkah keluar pekarangan di muka kafe, kulihat Irania sudah mengobrol akrab dengan dua wanita paruh baya yang juga sedang nongkrong di kafe itu. Aku tersenyum simpul, merasa bangga memiliki pacar cantik yang pandai bergaul dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.

Sekembalinya di kafe itu, pasca Latihanku, aku menemui Irania sedang mencamil kentang goreng yang ia cecah ke wadah kecil berisi mayonaise. Belum sempat aku duduk di hadapannya di meja kafe, salah satu dari dua wanita yang duduk di meja lainnya dan yang tadi sempat bercengkerama dengan Irania saat aku hendak Latihan, berseru, “Mas Arifin, ajak tuh pacarnya ke WI. Dia pengen ngandidat!”

Wanita yang berseru kepadaku itu mengenalku dan aku mengenalnya pula. Dia sudah lebih lama di Subud daripada aku, dan memiliki kepekaan rasa diri yang tajam. Dia sepertinya telah menerawangi Irania ketika tadi mereka mengobrol. Aku menoleh ke Irania. “Sayang, beneran mau ngandidat?”

“Menurut Mas gimana?” tanya pacarku balik. “Aku sih siap.”

Aku menatapnya lama. Entah apa yang aku pertimbangkan. Aku senang kalau pacarku masuk Subud, sehingga kencan kami bukan hanya saat perjalanan ke dan dari kantor, saat mengapelinya malam Minggu, tetapi merambah pula ke bagian paling penting dari kehidupanku sebagai individu: Latihan Kejiwaan Subud!

“Oke deh,” kataku kemudian, dengan suara yang mengandung keyakinan. "Ayo, ikut aku ke Wisma Indonesia di belakang sana."

Tak ragu, Irania langsung berdiri, mengikuti langkahku setelah sebelumnya permisi kepada kedua wanita di meja yang lain, dan mengucapkan terima kasih atas saran mereka agar pacarku itu masuk Subud.

*********

“AKU merasa dilahirkan kembali!” seru Irania begitu keluar dari ruangan di mana ia dibuka. Pipinya basah oleh air mata. Salah satu helper wanita yang mengikuti pacarku di belakangnya berucap, “Selamat ya, Liz. Ini baru awal dari sebuah perjalanan. Semoga Liza rajin Latihannya.”

Irania mengangguk sambil tersenyum lebar kepada helper wanita itu. Tiga helper lainnya hanya menyalami pacarku. Aku tertegun saat mendengar mereka semua menyebut nama baptis pacarku. “Liz? Liza?” ucapku heran. "Memang pernah ada yang manggil Yanya dengan nama baptis Yanya?"

Ya, ada doong. Guru-guru SMA-ku manggil aku Elizabeth. Teman-teman SMA-ku semuanya manggil aku Liz,” kata pacarku sambil membenahi pakaiannya yang agak kusut, mungkin disebabkan oleh gerakan-gerakan dinamis saat ia dibuka. “Tapiii... Mas Arifin aja yang boleh manggil aku Yanya.”

Iya, deeehh,” gurauku seraya mencubit pelan lengan atas pacarku. Aku lalu mengajaknya meninggalkan Wisma Subud menuju gerai Dunkin’ Donuts di dekatnya, di Jl. RS Fatmawati. Minggu siang yang panas mendorong kami untuk memuaskan dahaga dengan minuman dingin dan empat bomboloni khas Dunkin’.

Saat sudah duduk berhadapan di salah satu meja yang tersedia di gerai Dunkin’ Donuts, dan setelah masing-masing kami menenggak minuman, aku mencegah Irania mengambil sepotong bomboloni. “Tunggu dulu, Sayang. Aku ingin Yanya baca ini dulu.”

Aku mengulurkan kertas pink dari bahan daur ulang dalam keadaan terlipat kepada pacarku. Ia membuka lipatannya dan membaca isinya dengan tatapan mata yang mengisyaratkan kecermatan. Sebuah puisi, ciptaanku sendiri, terbaca olehnya...

Senja Untuk Irania

Untukmu, Elizabeth Irania Andari,

Kutemukan puisi ini dalam bingkai senja,
sama seperti cahaya yang memeluk hangat punggungmu di sana
Begitulah caramu masuk dan menerangi jiwa

Di balik kacamata bening itu, kulihat dunia,
penuh tawa yang renyah dan harapan yang nyata
Jemarimu yang menyisir pelan ujung rambutmu
adalah isyarat sederhana yang menenangkan kalbuku

Duapuluh tahun mungkin menjadi bentang waktu,
angka yang menjadikanmu adik, dan aku kakakmu
Namun di antara peran itu, kita adalah sahabat,
dua jiwa setara yang terikat erat
Aku membimbing bukan karena lebih tua,
aku hanya berjalan di sisimu, menjaga nyala cinta

Tangan kita mungkin menengadah pada waktu yang tak sama
Doaku mengalun di heningnya sajadah,
sembahyangmu teduh di bawah naungan salibNya
Kita menatap langit yang satu, dari dua jendela iman yang berbeda
Namun di ujung setiap pinta, bibir kita sama-sama mengucap kata “Amin”,
menyatukan harapan pada Tuhan yang sama-sama kita yakini Maha Pengasih

Maka biarlah cinta kita menjadi bukti,
bahwa hormat adalah fondasi sejati
Kita tak saling meminta untuk berubah, hanya saling menerima seutuhnya,
membangun istana di tengah perbedaan yang indah

Teruslah tersenyum seperti ini, Irania
Karena dalam satu senyummu itu, kutemukan alasan dan arah,
untuk percaya pada masa depan yang kita eja bersama
Rumah kita, yang atapnya adalah kasih dan tiangnya adalah penghargaan...

- ADS –

Irania mengangkat wajahnya dan menatapku dengan pandangan yang menyiratkan ketakjuban. Namun, sebelum ia sempat berucap, kutampilkan di hadapannya sebuah kotak mungil berlapis beludru biru muda—warna kesukaan pacarku. Kubuka tutup kotak itu, yang menyuguhkan sesuatu yang membuat Irania menaruh telapak tangan kanannya di depan mulutnya sebagai ungkapan keterpesonaan. Sebuah cincin berwarna rose gold dengan potongan yang sempurna nan indah. 

“Elizabeth Irania Andari... maukah kamu menjadi istriku?” ucapku pelan tapi bernada kuat.

Sepasang mata indah di balik kacamata itu meneteskan air mata bahagia. Senyum manis yang menunjukkan lesung di pipinya mengiringi anggukan kepalanya.©2025

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21-22 Agustus 2025