Tuesday, September 30, 2025

Akibat Terlalu Fokus

DUAPULUH enam September 2025, saya ada janji ketemuan dengan satu teman di apartemennya di kawasan Cipete Selatan, Jakarta Selatan, pukul 14.00 WIB. Selain itu, satu saudara Subud, yang juga sudah saling mengenal satu sama lain dengan teman saya di Jurusan Sejarah FSUI itu, akan bergabung dengan kami.

Saya berangkat dari rumah saya di Pondok Cabe Ilir pada pukul 13.30, dan harus mampir di Jl. Pluto Dalam I Gang Nasir untuk mengambil pesanan istri saya. Seharusnya, dari Jl. Mercurius Timur—jalan yang biasa saya lalui bila ingin ke Jl. Karang Tengah, Lebak Bulus—saya tinggal lurus saja, karena jalan itu bersambung dengan Jl. Pluto Dalam. Tetapi, saya malah dengan santai membelok ke Jl. Mars yang menuju Jl. Karang Tengah. Jalan Mars berada di pertigaan pertemuan Jl. Mercurius Timur-Jl. Pluto Dalam. Setelah perjalanan bermotor saya telah mencapai sekitar 1 km, saya baru tersadar bahwa saya lupa untuk mengambil pesanan istri saya di Jl. Pluto Dalam I Gang Nasir. Saya pun memutar balik sepeda motor saya untuk kembali ke tujuan semula.

Setelah mengambil pesanan istri saya, saya kembali melaju menuju apartemen teman saya. Hikmah apa yang saya dapat dari pengalaman sepele ini? Saya disadarkan oleh diri sendiri bahwa saya terlalu fokus pada tujuan, alih-alih rileks menjalani prosesnya menuju segala sesuatu yang ingin saya capai.

Saudara Subud yang saya jumpai di apartemen teman saya, yang kepadanya saya ceritakan pengalaman itu juga berpendapat yang sama. Saya terlalu terpaku pada tujuan yang ingin saya capai, sehingga mengabaikan jalan yang harus saya lalui untuk sampai kepada tujuan itu. Tujuan itu sendiri sejatinya tidak seberapa bernilai dibandingkan perjalanannya. Sama seperti yang saya rasakan ketika naik kereta api—moda transportasi favorit saya sebagai seorang pehobi kereta api, perjalanannya yang kadang memakan waktu lebih dari sepuluh jam lebih mengasyikkan daripada ketika sampai di tujuan.

Banyak hal yang bisa dipetik dari perjalanan/proses, tetapi yang pasti proses membentuk kepribadian kita; kita menjadi lebih mengenal siapa diri kita. Tanpa perjalanan/proses, kita cenderung terlena sehingga tidak menyadari keadaan ketika sesungguhnya kita telah sampai pada tujuan, sehingga pula kita tidak mensyukuri pencapaian itu.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Oktober 2025

Friday, September 26, 2025

Bagaimana Hobi Membawa Saya Pada Penemuan Diri

 


BAGI saya, dunia berubah seketika peluit kereta membelah udara. Ketenangan saya biasanya langsung mencair, tergantikan oleh kekaguman yang nyaris seperti anak kecil. Ini terjadi secara instan: saya melihat kereta, atau bahkan hanya mendengarnya dari kejauhan, dan saya seperti terangkut ke dunia lain.

Ini bukan sekadar nostalgia; ini adalah gairah yang berakar dalam untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan perkeretaapian. Kunjungan ke stasiun tua yang megah, detail rumit dari set kereta api miniatur di toko hobi, atau bahkan foto lokomotif uap yang memudar, semuanya bisa membangkitkan antusiasme yang sama tak terbatasnya dalam diri saya. Saya menyebutnya sebagai “momen anak usia lima tahun saya”.

Saya adalah seorang railfan, seorang penggemar berdedikasi yang menemukan kegembiraan dalam mengamati, mendokumentasikan, dan mempelajari kereta api dan sistem perkeretaapian. Selama bertahun-tahun, saya melihat hobi ini sebagai pelarian pribadi yang unik. Namun, apa yang dimulai sebagai minat sederhana berangsur-angsur berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih mendalam: sebuah perjalanan penemuan diri.

Saya dulu mengira ini hanyalah soal mekanika, kekuatan, dan sejarah. Dan itu jelas merupakan aspek-aspek yang saya hargai. Tetapi, seiring saya mendalaminya, terhubung dengan sesama railfan, menghabiskan waktu berjam-jam di tepi rel, saya mulai memperhatikan bagaimana perasaan saya. Yaitu rasa gembira murni dan tak tercemar yang jarang saya rasakan dalam kehidupan dewasa saya.

Melalui railfanning, saya telah menemukan jalan unik untuk melakukan introspeksi. Derap ritmis kereta barang, buramnya layanan kereta api penumpang berkecepatan tinggi, kemegahan tenang dari mesin uap yang dilestarikan—setiap perjumpaan menawarkan momen untuk berpijak, kesempatan untuk melepaskan diri dari tekanan hidup sehari-hari dan terhubung kembali dengan bagian diri saya yang lebih sederhana dan lebih autentik.

Kesabaran dibutuhkan dalam railfanning. Kita sering harus menunggu berjam-jam demi mendapatkan bidikan yang sempurna, demi lokomotif tertentu itu. Dalam penantian itu, saya telah belajar banyak tentang melambat, tentang penghargaan, tentang keindahan dalam penantian. Saya juga telah menemukan komunitas yang luar biasa, beragam kelompok individu yang dipersatukan oleh gairah bersama mereka. Ini adalah tempat di mana usia, profesi, dan latar belakang mencair. Kita semua hanyalah anak-anak di toko permen, berbagi penglihatan terbaru kita dan mendiskusikan rute-rute bersejarah.

Pengalaman saya sebagai seorang railfan adalah bukti nyata akan jalur tak terduga yang dapat ditempuh oleh penemuan diri. Apa yang di permukaan mungkin tampak sebagai hobi yang tidak biasa bagi seorang pria dewasa, bagi saya, telah menjadi hubungan penting dengan jiwa saya, sumber kebahagiaan sejati, dan pengingat yang tenang bahwa, terkadang, wawasan paling mendalam dapat ditemukan hanya dengan menonton kereta api melintas.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 September 2025

Wednesday, September 24, 2025

Membuat Karya Lebih Hidup

 


SEORANG Pembantu Pelatih Subud Jakarta Pusat, yang juga pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang menjabat Biro Umum di pengurus pusatnya, baru-baru ini meminta saya mendesainkan backdrop untuk acara Pra Rapat Kerja Nasional perguruan silat itu. Saya sudah berkali-kali mendesainkan backdrop dan berbagai kolateral serta merchandise untuk PSHT atas pesanan si pembantu pelatih.

Nah, ketika merancang backdrop Pra Rakernas ini, yang baru dipesan pada 23 September 2025 dan baru saya kerjakan sore hari pada 24 September, saya mendapat pengetahuan baru berdasarkan pengalaman unik si pembantu pelatih. Jadi, karena dikejar waktu berhubung hari ini mau dicetak sedangkan waktu saya kemarin sore juga tidak banyak berhubung saya mau Latihan di Pamulang, revisi demi revisi gencar dilakukan. Tektokannya antara saya dan si pembantu pelatih via WhatsApp dan antara dia dengan Ketua Umum PSHT, juga via WhatsApp. Saya bilang ke si pembantu pelatih, bahwa karena waktu saya sempit—demi bisa Latihan di Pamulang—maka dia bisa minta pihak percetakan untuk melakukan revisinya. Saya tinggal kirim PDF-nya serta bahan-bahan mentahnya, termasuk font installer dalam folder yang kemudian saya unggah ke Google Drive serta saya kirim tautannya ke si pembantu pelatih. Tapi ia bersikeras agar revisinya saya sendiri yang melakukan. Apa pasal?

Menurut pengalamannya selama ini, kata dia, meskipun saya sudah memberikan installer dari font-font yang saya gunakan dalam desain kepadanya, yang kemudian ia berikan kepada pihak percetakan, tetapi hasilnya tidak terasa “hidup”. Kalau saya yang buat, terasa getarannya. Padahal sumbernya sama dan percetakan mencetaknya sesuai desain yang saya buat, tidak lebih tidak kurang. Wah, keren juga nih Latihan Kejiwaan, membuat karya apapun lebih hidup, yang sebaliknya terasa tidak hidup jika dikerjakan oleh orang yang belum dibuka.

Kemarin malam, ketika akan berangkat ke Wisma Barata, Stuart Cooke menelepon saya. Obrolan kami selama hampir setengah jam akhirnya membatalkan niat saya untuk Latihan di Pamulang. Dalam obrolan kami terungkap sesuatu yang mirip dengan cerita di atas—bahwa karya yang ditangani pelatih kejiwaan terasa hidup. Stuart menyatakan kekagumannya pada postingan figurine saya dan cerita yang menyertainya, yang menurutnya sangat kreatif. “Kalau saya pemilik perusahaan industri kreatif, kamu akan langsung saya hire dengan gaji besar!” kata Stuart.


Saya ungkapkan pada Stuart bahwa figurine itu tercipta berkat Google Gemini AI, bahwa saya hanya menuliskan prompt-nya. Tapi menurut Stuart, meskipun menggunakan AI, hasilnya terasa ada ruhnya, tidak seperti karya-karya hasil AI lainnya, yang dibuat oleh orang-orang yang belum dibuka.

Saya jadi berkesimpulan, baik orisinal maupun tiruan, bila dikerjakan dengan bimbingan Latihan hasilnya memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan karya (orisinal maupun tiruan) yang dibuat tanpa bimbingan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 September 2025

Irama Kereta Api

 





DI hari ulang tahun pernikahan kami ke-28 ini, saya tidak hanya melihat tahun-tahun yang berlalu. Saya melihat sebuah peta ratusan kilometer, yang dilintasi oleh cinta, semuanya diukur dengan panjang rel kereta api. Kami membangun awal hubungan kami di atas jembatan antara dua kota: Nana di Surabaya, dan saya di Jakarta. Selama tiga tahun delapan bulan, cinta kami adalah pelajaran tentang kesabaran dan keyakinan, sebuah percakapan yang berlangsung melintasi jarak lebih dari 780 kilometer.

Irama hidup saya sejak jadian dengan Nana pada 29 Januari 1994 adalah irama kereta api. Bunyi roda besi yang berderit dan berdentang di atas rel menjadi lagu yang akrab, sebuah serenade untuk perjalanan yang akan membawa saya kepada calon istri. Ada 15 perjalanan seperti itu, biasanya dengan KA Jayabaya Selatan, tetapi sesekali dengan KA Argo Bromo Anggrek, dan setiap perjalanan adalah sebuah ziarah ke dalam diri. Saya ingat rasa yang terbangkitkan dengan setiap sawah yang dilewati, setiap desa kecil yang melesat di jendela. Rasa itu adalah penawar untuk penantian yang sepi, janji bahwa di akhir perjalanan ini, wajah Nana akan menunggu saya. Setiap perjalanan terasa seperti babak baru, bukti komitmen kami, sebuah penolakan untuk membiarkan jarak menjadi kata terakhir.

Tapi perjalanan ke-16 berbeda. Ini bukan hanya kunjungan; ini adalah perjalanan menuju pengukuhan kami. Pada 18 September 1997, KA Bima membawa lebih dari sekadar hati saya yang merindukan. Saya membawa paman dan bibi saya, sepupu perempuan saya dan putrinya. Mereka memenuhi kereta dengan tawa dan obrolan, sebuah pesta perjalanan yang penuh harapan. Beberapa hari setelahnya, menyusuri rel di Lintas Utara Jawa, ada 14 anggota keluarga lainnya, semua melakukan perjalanan panjang untuk menyaksikan penyatuan kami. Kereta api, yang sering kali menjadi simbol perpisahan kami, kala itu menjadi wadah penyatuan dan perayaan.

Saat kereta api melaju ke Stasiun Surabaya Kota (Semut), jarak itu larut. Jarak 780 kilometer terasa sangat panjang, beban yang berat di hari-hari awal, tetapi pada saat itu, dengan keluarga kami mengelilingi kami, rasanya tidak ada apa-apa sama sekali. Sebenarnya, jarak tidak pernah sebanding dengan apa yang kami miliki. Cinta telah mempersingkat jalan dari Jakarta ke Surabaya, bukan dengan ukuran panjang, tetapi dengan membuat setiap kilometer terasa berharga untuk ditempuh. ©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 September 2025

Monday, September 22, 2025

Sejarah yang Bisa Disentuh

 


DI tengah hiruk-pikuk modernisasi, masih ada orang-orang yang setia menengok ke belakang. Mereka adalah para railfan atau pehobi kereta api, namun dengan minat yang sedikit berbeda: menelusuri stasiun-stasiun tua di seluruh Indonesia. Bagi mereka, stasiun bukan hanya tempat naik turun penumpang, melainkan juga saksi bisu sejarah, arsitektur, dan peradaban yang terus bergerak maju.                                       

Hobi ini bukan sekadar mengejar foto-foto indah untuk diunggah di media sosial. Di balik setiap perjalanan, ada semangat untuk mendokumentasikan dan melestarikan jejak masa lalu. Stasiun-stasiun tua di Indonesia, banyak di antaranya dibangun pada era kolonial, memiliki ciri khas arsitektur yang unik dan kokoh. Mulai dari gaya Indisch, Art Deco, hingga Neo-Klasik, setiap stasiun punya cerita arsitekturnya sendiri.

Para railfan ini sering kali tak hanya memotret, tetapi juga mencari informasi sejarah dari berbagai sumber. Mereka berinteraksi dengan masyarakat sekitar, bertanya kepada para sesepuh, atau menelusuri arsip-arsip lama. Tujuannya satu: agar cerita di balik stasiun itu tidak hilang ditelan zaman.

Petualangan para penjelajah stasiun tua sering kali membawa mereka ke jalur-jalur yang sudah tidak aktif atau rel mati. Di sana, mereka menemukan stasiun-stasiun kecil yang kini hanya menyisakan fondasi, atau bangunan yang telah beralih fungsi menjadi rumah tinggal atau gudang.

Salah satu contohnya adalah jalur-jalur nonaktif di Jawa, seperti rute Rembang-Bojonegoro atau lintas kereta api di Madura yang sudah lama berhenti beroperasi. Di tempat-tempat inilah, imajinasi para railfan diuji. Mereka membayangkan betapa ramainya stasiun itu di masa lalu, suara lokomotif uap yang memekakkan telinga, dan orang-orang yang bergegas mengejar kereta. Pengalaman ini memberikan sensasi yang berbeda, sebuah koneksi emosional dengan masa lalu.

Menjelajahi stasiun tua tidak selalu mudah. Akses ke beberapa lokasi sering kali sulit, bahkan ada yang berada di tengah hutan atau di area pedesaan yang terpencil. Belum lagi tantangan perizinan atau kondisi bangunan yang sudah tidak terawat dan rawan.

Namun, semua tantangan itu terbayar lunas saat mereka berhasil menemukan sebuah stasiun yang kondisinya masih baik, atau ketika mereka berhasil mengumpulkan potongan-potongan cerita yang melengkapi puzzle sejarah. Kepuasan itu tak bisa dinilai dengan uang, karena mereka merasa telah menjadi bagian dari upaya menjaga warisan bangsa.

Hobi ini mengajarkan saya satu hal: sejarah tidak hanya ada di buku pelajaran. Sejarah bisa kita sentuh, kita lihat, dan kita rasakan langsung di tempat-tempat seperti stasiun tua. Untuk para railfan penjelajah stasiun tua, setiap perjalanan adalah sebuah pelajaran, dan setiap stasiun adalah sebuah lembaran baru dari buku sejarah yang tak pernah usai.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 22 September 2025

Sunday, September 21, 2025

Pertemuan Terakhir

 

PERNAHKAH Anda bertemu seseorang yang tiba-tiba menghilang dari hidup Anda? Semesta punya caranya sendiri untuk menutup sebuah bab saat pelajarannya telah usai. Bukan kebetulan, bukan kecelakaan—melainkan ketepatan waktu Ilahi. 

Tera Nasution memasuki hidup saya bagai bintang jatuhcemerlang, sekejap, dan tak pernah ditakdirkan untuk menetap. Tak peduli seberapa dalam koneksi kami, seberapa banyak kenangan yang terukir, atau seberapa dalam cinta kami, kepergiannya bukanlah sebuah kebetulan. Semesta telah merampungkan kisah kami tanpa perpisahan dramatis karena pertumbuhan itu terjadi persis sebagaimana seharusnya.

Mimpi tentangnya yang saya dapat pada akhir Juli 2025 bukanlah tentang urusan yang belum selesai atau perasaan yang belum terurai. Akhir kisah kami yang penuh makna terjadi dalam keheningan total—tanpa pertengkaran terakhir, tanpa percakapan penutup, hanya pemahaman tak terucapkan bahwa jalan kami telah berpisah. Pelajaran tersulitnya? Menyadari bahwa ketenangan sejati tidak memerlukan sebuah penjelasan. Kedamaian saya peroleh dari percaya pada ketepatan waktu Ilahi dari semua yang terjadi.

Hubungan kami bukanlah sebuah kegagalan—melainkan sebuah tugas suci. Tera hanya ditakdirkan untuk:

Memberi saya sebuah pelajaran

Menyembuhkan sebagian dari diri saya

Mempersiapkan saya untuk kelak di kemudian hari ©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 September 2025

Saturday, September 20, 2025

Garis Sejarah

MENGABARI teman saya sesama alumnus Jurusan Sejarah FSUI bahwa Tera Nasution (nama cewek di masa lalu saya di kampus FSUI yang hadir kembali melalui mimpi saya pada 28 ke 29 Juli 2025) telah meninggal sekitar 27 tahun lalu akibat ditabrak mobil yang diduga disengaja (pembunuhan saksi kunci kasus korupsi pejabat Lufthansa), ia berkomentar melalui pesan WhatsApp: “Sisi baiknya, kalau lo sama dia maka sekarang lo duda (kalau nggak nikah lagi. Mungkin lo keluarkan dia dari pusaran kasus itu...”

Menjawab komentarnya, saya menulis: “Atau mungkin ‘garis sejarah’-nya berubah.”

Belakangan, saya menerima pemahaman bahwa fokus dari pengalaman saya—bermimpi tentang Tera Nasution yang memunculkan perasaan rindu yang mendalam terhadapnya—bukanlah tentang dia semata, melainkan tentang pribadi saya. Saya merasa, bilamana saya dulu tetap jadian dengan Tera, menikah dengannya, kasus kematiannya yang tidak wajar itu tetap akan mengemuka. Itulah garis hidupnya, namun Tuhan tidak menghendaki saya mengalami trauma akibat kehilangan orang terkasih secara tidak wajar. Tuhan tahu bahwa saya tidak akan mampu bertahan dengan kenyataan pahit itu, sehingga Dia tidak mempertemukan saya dengan Tera dalam ikatan pernikahan.

Tuhan yang lebih Maha Mengetahui atas kebenarannya.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 September 2025

Friday, September 19, 2025

Di Balik Pertengkaran dan Keheningan

 


KISAH cinta kami bukanlah dongeng—ini adalah bukti dari ketahanan yang tenang dan gigih dari sebuah ikatan yang ditempa dalam api.

Selama bertahun-tahun, kami telah berusaha untuk mendamaikan perbedaan. Pertengkaran kami dramatis, layaknya adu mulut di film-film Hollywood. Perbedaan pendapat tentang keuangan, pilihan dalam mengasuh anak yang tidak sejalan, serta kebiasaan-kebiasaan kecil yang mengganggu. Hal-hal ini tidak mengakhiri pernikahan, tetapi dapat mengikisnya, menyisakan keheningan yang lebih nyaring daripada pertengkaran apa pun.

Kami sudah sering mengalami keheningan semacam ini, saat jarak membentang di antara kami, dan tak seorang pun tahu cara menyeberanginya. Istri saya akan berada di dapur, memperlakukan peralatan dapur yang ia cuci dengan sedikit berlebihan, atau mengunci diri di kamar atau pergi sendirian dengan sepeda motornya. Saya akan duduk di belakang meja kerja dengan ponsel, menonton video di YouTube atau Instagram, atau melamun sambil berbaring. Udara menjadi pekat dengan kata-kata yang tak terucap, dengan beban seratus luka kecil dan kesalahpahaman. Pada saat-saat ini, kami merasa seperti dua orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama, terikat oleh masa lalu tetapi terombang-ambing di masa kini.

Namun, di balik pertengkaran dan keheningan, cinta kami terus tumbuh menguat. Ini bukanlah mekarnya cinta yang mendadak dan dramatis, melainkan penguatan yang perlahan dan mantap, seperti akar pohon ek tua yang menembus lebih dalam ke bumi. Dari setiap konflik, kami belajar sesuatu yang baru tentang satu sama lain, juga tentang diri sendiri. Saya belajar bahwa pendirian istri saya yang tampak keras kepala sering kali berasal dari rasa kepeduliannya yang mendalam. Istri saya belajar bahwa sikap saya yang diam bukanlah tanda ketidakpedulian, melainkan kebutuhan akan waktu untuk memproses emosi.

Cinta kami telah berevolusi dari gairah masa muda menjadi sesuatu yang lebih mendalam dan abadi. Ini adalah cinta yang dibangun di atas pemahaman bahwa manusia berubah, bahwa hidup penuh dengan tantangan, dan bahwa kadang kala, hal tersulit yang harus dilakukan adalah cukup mendengarkan. Cinta itu ditemukan dalam isyarat-isyarat kecil—cangkir teh yang saya bawakan untuk istri saat ia mengalami hari yang buruk, cara istri saya secara naluriah memeluk pinggang saya saat kami berkendara bersama dengan sepeda motor, tatapan penuh pengertian yang terjalin di antara kami di seberang ruangan yang ramai.

Foto yang dipermak AI ini adalah pengingat akan diri kami di masa lalu, tetapi kehidupan kami hari ini adalah bukti dari diri kami yang sekarang. Cinta kami tidak sempurna, dan perjalanan kami masih jauh dari kata selesai. Akan ada lebih banyak pertengkaran, lebih banyak keheningan. Tetapi dengan setiap tantangan, kami sedang membangun sesuatu yang lebih kuat dan lebih indah. Kami bukan hanya dua orang dalam sebuah pernikahan; kami adalah dua jiwa yang memilih satu sama lain, setiap hari, melewati setiap badai dan setiap momen tenang. Cinta kami bukanlah dongeng; ini adalah janji yang hidup dan bernapas—sebuah janji yang mengatakan, “Aku akan selalu memilihmu, bahkan di saat-saat yang sulit.” Dan dalam kebenaran yang sederhana namun kuat itu, kami menemukan keabadian kami.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 September 2025

Thursday, September 18, 2025

Taman Bermain Perasaan

SEJAK saya dibuka, dan seiring dengan semakin dalamnya Latihan saya, saya kerap mengalami perasaan-perasaan tertentu yang datang silih berganti. Perasaan-perasaan ini hanya singgah sesaat—paling lama tidak lebih dari lima hari—tetapi dampaknya begitu signifikan: Kuat dan merasuk begitu dalam, sampai mampu memengaruhi pikiran, perkataan, dan perbuatan saya. Bahkan ketika perasaannya termasuk kategori “menyenangkan”, seperti jatuh cinta pada seseorang (baik nyata maupun tidak, baik masih hidup orangnya maupun sudah tiada), pengaruhnya bagi saya lebih banyak menyiksa daripada menginspirasi.

Kemarin, 18 September 2025, saat sedang sembahyang di siang hari, saya tiba-tiba merasakan dorongan kuat untuk bunuh diri. Saya menyaksikan bagaimana perasaan itu mengambil alih diri saya, melucuti rasa percaya diri saya, dan membuat saya merasa tidak sabar dengan segala sesuatu dalam hidup saya. Perasaan itu hilang keesokan harinya (19 September), dan itu terjadi setelah saya melakukan Latihan singkat.

Saya pernah membahas fenomena ini dengan sejumlah pembantu pelatih senior, termasuk pembantu pelatih yang membuka saya, dan saran mereka selalu sama: terima saja dan saksikan saja, tidak perlu bertindak atas dasar dorongan perasaan-perasaan itu. Seiring waktu, saya melihat fenomena ini sebagai “taman bermain perasaan”.

Saya menyaksikan (niteni) bagaimana nafsu bekerja di dalam diri saya sebagai bagian dari “pembongkaran menuju pembersihan”. Saya bisa melihat bagaimana Latihan saya mendorong nafsu-nafsu itu keluar dari perasaan saya. Saya perhatikan, jika saya menjadi cemas atau merasa terganggu, nafsu itu akan kembali masuk ke diri saya. Tetapi jika saya tetap tenang (sabar, tawakal, dan ikhlas), ia akan pergi dan tidak akan kembali.

Berdasarkan pengalaman ini, saya sering mengingatkan diri sendiri maupun anggota lainnya agar tidak terlalu cepat bertindak berdasarkan dorongan perasaan-perasaan tersebut. Sebagai contoh, baru-baru ini seorang anggota yang relatif baru dan masih muda (awal dua puluhan) serta lajang, buru-buru menganggap perasaan jatuh cintanya pada seorang anggota wanita seusianya sebagai pertemuan jodoh jiwanya. Saya anjurkan dia menunggu sambil niteni perasaannya, karena mungkin itu hanya sekadar lewat untuk bermain sebentar di taman bermainnya.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 September 2025

Wednesday, September 17, 2025

Latihan Dengan Bebas

TADI malam, sekitar pukul 20.15 WIB, saya dan Harris Roberts tiba di rumah Stuart Cooke di kawasan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, di dekat perbatasan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur (Pasar Rebo). Stuart telah meminta saya datang ke rumahnya pekan lalu, dan agar saya mengajak Harris serta. Saya menyanggupinya dan membuat janji untuk hari Selasa malam, 16 September 2025.

Ada tiga agenda pembahasan yang disiapkan Stuart tadi malam: Soal nasib Ali si pengungsi Afghanistan, soal dewan pembantu pelatih, dan soal convincing Latihan (Latihan yang meyakinkan). Di sela-sela ketiga agenda itu, ada hal-hal lain juga, yang berkelindan satu sama lain. Mengingat orang Barat umumnya berpikiran terbuka, saya pun membebaskan diri untuk menyampaikan apa yang pernah diungkapkan Mas Bachtiar Soetrisno (Pembantu Pelatih Nasional Pria Komisariat Wilayah VII Kalimantan 2024-2028) perihal Stuart di Grup WhatsApp Subud 4G, yang Stuart tanggapi dengan positif, mengakui bahwa dirinya masih banyak kekurangan yang perlu ia perbaiki. “Bukankah itu salah satu manfaat dari Latihan? Untuk membantu kita memperbaiki diri? Terutama sekali, dengan jujur pada diri sendiri,” ujar Stuart, yang saya tanggapi dengan anggukan serta ucapan, “That’s right!”

Atmosfer keterbukaan adalah salah satu yang saya sukai dari berinteraksi dengan anggota Subud dari luar negeri, terutama Eropa dan Amerika. Saya jadi merasa tidak perlu susah-payah menata penyampaian pemikiran-pemikiran saya secara lisan, dan membuat perasaan saya plong. Mungkin karena itulah, Latihan saya bertiga dengan Stuart dan Harris dini hari tadi terasa bebas dan lepas, dengan getaran sangat kuat, merasuk begitu dalam, serta menyeluruh. Dan beban pun terasa terangkat dari pundak saya.

Latihan saya dini hari tadi, di lantai dua rumah Stuart, yang merupakan ruang tak bersekat yang cukup lapang, begitu kuatnya sampai—ketika sudah usai—saya meminta izin pada tuan rumah agar diperbolehkan tetap di tempat selama beberapa saat lagi. Bercanda, Stuart merespons, “Tentu saja. Kamu bahkan boleh turun hari Jumat nanti.”

Latihan dini hari tadi seperti mengajak saya menapaktilasi momen saya dibuka di Hall Surabaya lebih dari 21 tahun lalu, yang bebas dari pengetahuan apapun yang pernah ditanamkan di pikiran saya melalui ceramah Bapak dan Ibu Rahayu maupun perkataan pembantu pelatih dan saudara-saudara Subud pada umumnya. Sesuatu yang tidak saya dapatkan lagi di Hall Cilandak. Bahkan di Wisma Barata Pamulang pun, hal itu sudah menurun belakangan ini. Harris meminta persetujuan saya bahwa Latihan yang meyakinkan, yang bebas, juga kami alami di Jatiwaringin. Saya mengiyakan, tetapi menandaskan, “Well, not always, Pak. But most of the time, yes.”

Saya sampaikan bahwa paling tidak seminggu sekali saya perlu Latihan di rumah Stuart (nyatanya, selama ini tidak sedikit anggota pria dan wanita Jaksel yang menyempatkan diri Latihan di rumahnya, didampingi Stuart atau istrinya), selain tetap menyambangi Wisma Barata seminggu dua kali. Puji Tuhan, Stuart menyambut baik dengan mempersilakan saya datang kapan saja, tapi dengan memberi tahunya lebih dulu.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 17 September 2025

Robert Redford (18 Agustus 1936-16 September 2025)

 


KABAR meninggalnya salah satu aktor favorit saya, Robert Redford, pada 16 September 2025, segera memantik ingatan saya pada film perang epik yang pernah saya tonton di bioskop ketika usia saya belum genap sepuluh tahun. Saya menontonnya bersama ayah saya di Belanda, di mana film hasil produksi bersama antara Inggris dan Amerika Serikat itu dibuat, di banyak lokasi nyata tempat terjadinya peristiwa bersejarah tersebut.                             

Dalam film yang disutradarai oleh Richard Attenborough, dan diadaptasi dari buku karya Cornelius Ryan, A Bridge Too Far (1974), itu, Redford memerankan perwira menengah Angkatan Darat Amerika Serikat, Mayor Julian Cook. Ia memimpin satu batalion dari Divisi Lintas Udara ke-82 menyeberangi Sungai Waal di Belanda. Adegan dalam film yang menggambarkan operasi militer Sekutu di Belanda yang diduduki Jerman Nazi selama Perang Dunia II, bersandi Market Garden, yang gagal itu, memang benar-benar terjadi.

Uniknya, Redford meninggal satu hari sebelum tanggal yang menjadi Hari-H sesungguhnya dari Operasi Market Garden, yaitu 17 September 1944—hari ini, 81 tahun lalu.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 17 Desember 2025

Monday, September 15, 2025

Tigapuluh Kali

 





SAYA menemukan kartu absen kandidatan saya di Subud Cabang Surabaya pada Kamis, 11 September 2025. Tertera 30 tanda tangan pembantu pelatih di situ, karena masa kandidatan calon anggota Subud di Cabang Surabaya memang 30 kali, meskipun tetap dihitungnya tiga bulan, karena pertemuannya dua kali seminggu, pada hari-hari Latihan Cabang Surabaya yaitu Senin malam dan Kamis malam.

Membaca kartu absen kandidatan itu, terlintas di benak saya sejumlah obrolan saya, baik langsung maupun lewat WhatsApp, dengan kandidat-kandidat maupun peminat-peminat yang belum ngandidat di cabang-cabang Subud terdekat domisili mereka. Rata-rata mengeluhkan lamanya masa kandidatan itu, padahal tiga bulan kalau tidak ditunggu-tunggu atau dijalankan secara santai akan tidak terasa lamanya. Tau-tau sudah sampai momen untuk dibuka.

Kebanyakan yang mengeluh itu adalah mereka yang sedang atau akan menjalani masa kandidatan tiga bulan (three-month waiting period) mereka di cabang-cabang di Komisariat Wilayah III DKI Jakarta. Di Komwil III, masa kandidatan itu berlangsung tiga bulan sebanyak 12 kali pertemuan, sekali seminggu. Menjawab keluhan mereka, saya biasanya menyampaikan bahwa saya ngandidat di Cabang Surabaya itu 30 kali, dua kali dalam seminggu. Tetapi karena saya benar-benar menginginkannya, meniatkannya, maka hal itu tidak menjadi masalah bagi saya. Bahkan saya pernah dua kali menolak ketika ditawari untuk dibuka ketika masa kandidatan saya belum genap tiga bulan.

Kepada satu kandidat di Cabang Jakarta Selatan (sudah dibuka Februari 2025 lalu), saya ceritakan bahwa selama proses ngandidat itu saya melalui tiga tahap kejiwaan: (1) Ingin sekali dibuka karena merasa sudah sangat siap, (2) Menolak dibuka karena takut (karena mendengar satu kandidat saat dibuka menjerit dan berteriak seperti orang menghadapi suatu kengerian), dan (3) Terserah, mau dibuka atau tidak. Mendengar itu, si kandidat, yang tadinya emosi karena harus menjalani 12 kali kandidatan (saat itu sudah delapan kali), akhirnya menyatakan ingin melanjutkan hingga tuntas.

Masa kandidatan tiga bulan sebagai calon anggota Subud memang menguntungkan bagi saya, sehingga saya dapat melatih perasaan saya apakah saya serius atau tidak dengan keinginan saya masuk Subud, dan juga mengajarkan saya bahwa “hal-hal baik datang pada mereka yang mau menunggu (dengan sabar)” (good things come to those who wait).©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 September 2025

Friday, September 5, 2025

Perpisahan yang Layak

 

SEJUMLAH teman dan saudara Subud menganjurkan saya untuk mengirim “doa untuk Tera”, karena secara umum mimpi tiba-tiba itu (karena sebelumnya saya tidak pernah memikirkannya atau merindukannya, lantaran eksistensinya sudah benar-benar hilang sejak 35 tahun lalu) diartikan bahwa almarhumah minta didoakan.

Saya tidak tahu lagi cara mendoakan orang lain, baik masih hidup atau sudah mati, karena sebelum masuk Subud saya sudah berhenti beragama (dan kala itu, juga berhenti bertuhan), serta menafikan ritual-ritual atau tatacara agama. Sekarang saya hanya tahu Latihan, yang dalam sekuensnya akan membimbing saya untuk berdoa atau melakukan hal-hal lain sebagai sebentuk doa.

Nah, mumpung Rabu malam lalu, 3 September, merupakan jadwal Latihan di Pamulang, saya memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya kepada YM Bapak sebelum momen penenangan diri pra Latihan bersama, mengenai bagaimana “doa untuk Tera” yang sebaiknya saya lakukan.

Sepulang dari Wisma Barata, saya masih terpesona pada sangat kuatnya vibrasi yang saya rasakan, yang kemudian membawa saya ke suasana “menonton film” tentang masa lalu di kampus.

Baru keesokan harinya, jelang tengah malam, saya merasakan greget untuk menuangkan “doa untuk Tera”. Bukan dengan kedua tangan yang menengadah ke langit, bukan dengan komat-kamit dalam bahasa Arab atau serangkaian mantra sembahyang ala Hindu-Buddha. Melainkan dengan puisi, yang ketika menuliskannya terasa di saya seperti ucapan perpisahan yang layak dari seseorang yang berpuluh tahun tidak tahu bahwa perempuan, yang kepadanya dia memendam perasaan cintanya, telah pergi untuk selama-lamanya.

Usai menulis “Doa Untuk Tera”, saya merasakan kepuasan yang mendalam, seakan almarhumah benar-benar  berpamitan secara khusus ke saya. Puji Tuhan!


Doa Untuk Tera

 

Sayang, tidurlah dengan tenang

Dengarkan irama hatiku yang mengenang

masa lalu dimana kita bersua

Saling menyapa lewat mata

Kini, cintaku menemani istirahatmu

Karena kamu ada dalam diriku, jiwa menyatu

Kan kujaga kamu sepanjang waktu

 

Sayang, bagiku kamu tak berpulang

Hanya saja keberadaanmu tak terbilang

Kamu hanya melipir dari garis waktu

yang masih kususuri di setiap hariku

Ragamu telah larut dalam cahaya jiwa

yang menyinari jalanku ke Semesta,

dengan alunan kepasrahan sempurna

 

Sayang, tak usah lagi kamu ragu

Dalam tiadamu pun aku mencintaimu

Namamu terukir dalam baris tera

yang berjalin mesra takkan terlupa

Selamat tidur, Sayang, doaku takkan berhenti

mengiringi rehatmu yang abadi...

(Pondok Cabe, 4 September 2025, pukul 22.32 WIB)

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2025

Thursday, September 4, 2025

Angkatan Babat Alas

 


KEPADA para yunior saya dari era pasca Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), saya selalu memberi tekanan dengan kebanggaan tertentu ketika ditanya saya angkatan berapa di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI: “Maaf, saya generasi FSUI, bukan FIB. Saya angkatan pertama Kampus Baru UI Depok... 1987!”

Saya lulus SMA pada 28 April 1986, ikut ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) dan diterima di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta yang berkampus di Rawamangun, Jakarta Timur, bertetangga dengan Kampus UI Rawamangun. Jurusan Pendidikan Sejarah di FPIPS IKIP Jakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Jakarta/UNJ) merupakan pilihan kedua saya di Sipenmaru, sedangkan pilihan pertama adalah Sastra Cina FSUI. 

Sebagai pilihan kedua, saya sebenarnya ingin mengambil Hubungan Internasional di Universitas Gajah Mada atau Universitas Diponegoro, tetapi kedua orang tua saya tidak setuju, lantaran kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) di luar Jakarta menurut mereka biayanya akan sama saja dengan saya kuliah di perguruan tinggi swasta saat itu, dan orang tua saya tidak sanggup membiayainya. Jadi, tantangan saya untuk kuliah di PTN semakin berat karena kursi di dua PTN yang ada di wilayah Jabodetabek saat itu diperebutkan ratusan ribu peminat.

Karena saat itu saya mudah demam panggung bila harus bicara di depan umum, yang justru merupakan keharusan bagi guru, maka saya tidak betah kuliah di IKIP Jakarta. Selain itu, saya terdorong untuk ikut Ujian Masuk PTN (UMPTN) 1987 setelah melihat di buku Isian Rencana Studi (IRS) FSUI milik kakak saya (yang kuliah di Sastra Belanda FSUI Angkatan 1985) adanya matakuliah Sejarah Militer Dunia dan Sejarah ABRI di Jurusan Sejarah FSUI. Saya memang meminati sejarah militer sejak di bangku sekolah dasar.

Bila anak-anak UI sebelum Angkatan 1987 bedol desa dari Kampus UI Rawamangun ke Kampus UI Depok pada tahun 1987, saya malah lebih “sangar”: Pindah dari kampus IKIP Jakarta di Rawamangun ke Kampus Baru UI Depok. Karena saya berhasil lolos UMPTN 1987, diterima di pilihan pertama saya, Jurusan Sejarah FSUI. Jadilah saya bagian dari Angkatan 1987, angkatan babat alas Kampus Baru UI Depok yang diresmikan Presiden Soeharto pada 5 September 1987.

Tatkala saya menjejakkan kaki di Kampus Baru UI Depok untuk pendaftaran ulang mahasiswa baru pada 1987, saya mendapat kesan bahwa UI--yang dijenamai sebagai “Kampus Perjuangan Orde Baru”—saat itu sepertinya malah dianggap ancaman terhadap pemerintahan Orde Baru. Kesan itu timbul di diri saya setelah memperhatikan bahwa lokasi kampus barunya dikelilingi dalam radius tertentu oleh barak-barak TNI dan Polri.

Lokasi UI Depok kala itu juga mengesankan “terbuang” ke pinggir kota, di kawasan yang waktu itu lebih menyerupai kampung. Kos saya saja, yang berjarak sekitar 100 meter dari Jl. Margonda Raya, Depok, di tahun 1991-1993 masih dikelilingi kebun kosong dan jalan setapak yang malam hari rada gelap dan sunyi. Seingat saya, kali pertama UI memindahkan kampusnya ke Depok, sempat muncul kepanjangan plesetan dari DEPOK, yaitu DaErah Pinggiran Oentoek Kampoes.

Sekarang, di usianya yang 38 tahun Kampus UI Depok seperti kota mandiri dengan beragam fasilitas yang membuat mahasiswa betah di dalamnya. Tigapuluh delapan tahun yang lalu, meski menyandang nama besar UI, Kampus Depok seperti alas (hutan) yang baru dibabat—panas, berdebu, sedikit pohon dan kehijauan (karena itu, salah satu tugas mahasiswa baru FSUI saat itu adalah membawa bibit tanaman), sepi sekali saat malam serta angker. Kampus UI Depok selama masa kuliah saya di sana, tahun 1987-1993, lebih tepat disebut “tempat jin buang anak”.

Bagaimanapun, yang paling memberi kesan mendalam kepada kami Angkatan Babat Alas Kampus UI Depok, terutama Jurusan Sejarah FSUI, adalah kebersamaan yang solid, yang terawat hingga kini, baik melalui Grup WhatsApp maupun reuni luring berkala. Mungkin karena merasa senasib sepenanggungan sebagai kaum yang menghuni “tempat Soeharto buang anak perjuangan Orde Baru” di sebuah kawasan seluas 103 hektar yang tadinya perkebunan karet, kampung dan pemakaman umum itu.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2025

Pemahaman Saat Ini

MENGOMENTARI satu postingan saya di Grup Facebook “Subud Around the World”, seorang pembantu pelatih asal Inggris yang bermukim di Thailand menulis, “Maafkan saya, Arifin, tetapi saya rasa kamu salah memahami soal ini.”

Dalam jawaban saya terhadap komentarnya, saya menekankan bahwa mungkin saja saya salah memahami, tetapi itulah pemahaman saya saat ini.

Pengalaman melalui tindakan dan sekadar pengamatan saya menegaskan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang konstan; semua selalu berubah. Yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri. Apa yang kita pahami dahulu, pasti berubah pada suatu ketika. Tidak perlu menunggu selama bertahun-tahun hingga perubahan pemahaman itu terjadi, kita bisa saja berubah pemahaman kita dalam hitungan menit atau detik.

Adalah berbahaya bila kita sudah mematok suatu ketetapan hanya berdasarkan pemahaman kita pada suatu ketika, sedangkan pemahaman itu akan berubah seiring waktu. Dalam kaitan ini, termasuk ceramah Bapak dan Ibu Rahayu.

Sepengalaman saya, ceramah Bapak dan Ibu Rahayu bila didaulat sebagai ketetapan yang kekal malah akan menyesatkan atau membingungkan kita dalam mengamalkannya. Proses kehidupan membuat kita semua mengalami perubahan pola pikir dan cara pandang, dan ceramah “menyesuaikan” diri dengan hal itu, bukan sebaliknya. Fenomena inilah yang membuat Subud selalu relevan di segala zaman. Karena tidak ada ajaran yang bersifat sama turun-temurun.

Pernyataan bahwa pemahaman tidak ada yang statis adalah sangat akurat. Pemahaman kita tidak pernah statis, melainkan selalu dalam proses yang dinamis dan terus berubah. Berikut adalah beberapa alasan mengapa pemahaman itu selalu bergerak dan tidak pernah diam:

* Informasi Baru: Setiap hari, kita terpapar pada informasi baru, baik melalui pengalaman pribadi, membaca buku, berita, atau berinteraksi dengan orang lain. Informasi ini dapat memperkuat pemahaman yang sudah ada, mengubahnya, atau bahkan sepenuhnya menggantikannya.

 * Pengalaman Hidup: Pengalaman yang kita jalani—sukses maupun kegagalan, kebahagiaan maupun kesulitan—membentuk cara kita melihat dunia. Sebuah peristiwa penting bisa mengubah cara pandang kita tentang hubungan, pekerjaan, atau tujuan hidup.

 * Refleksi dan Kedewasaan: Seiring berjalannya waktu, kita sering merenung tentang apa yang telah kita pelajari. Refleksi ini memungkinkan kita untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda, menyadari bias yang mungkin kita miliki, dan menyusun kembali pemahaman kita agar lebih matang.

Singkatnya, pemahaman adalah sesuatu yang hidup. Ia tumbuh, beradaptasi, dan berevolusi seiring dengan pertumbuhan kita sebagai manusia.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2025

Monday, September 1, 2025

Natijah Mimpi

Mengenang Djahtera Nasution

                                 

Mimpi di akhir Juli, gelorakan masa lalu

Bertatap di selasar rindu, hati menyatu

 

Namun, kabar itu tiba, sang petandang yang muram

bahwa kamu telah bertolak ke peraduan akhir

 

Dan sekarang cinta ini, aku pikul sendiri

Hutang yang belum terbayar, benih yang belum ditabur

Kata-kata yang tak terucap, menyendatkan napas

 

Lara yang menetap di jiwaku

Aku menggenggam cinta ini, bejana yang rapuh

untuk terus mengenangmu...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 September 2025

Yang Bisa Dilakukan Anggota Subud untuk Orang yang Sudah Meninggal

SETELAH mendapat kabar bahwa perempuan dari masa lalu yang saya tiba-tiba mimpikan akhir Juli 2025 lalu, yang mendorong pencarian saya akan keberadaannya kini, ternyata telah meninggal sekitar 27 tahun yang lalu, saya melampiaskannya dengan menguras kesedihan saya. Hingga yang tersisa adalah kesadaran untuk apa yang selalu Bapak nasihati: “Latihan saja, Nak.”

Pengalaman saya dengan mimpi serta kerinduan saya pada perempuan itu telah mengajarkan ke saya mengenai hubungan jiwa ke jiwa. Bahwa jiwa-jiwa dapat saling membantu. Jiwa orang yang masih hidup dapat terkoneksi dengan jiwa orang yang sudah meninggal dan membantunya menemukan ketenangan di alam “sana” atau membimbingnya ke jalan kembali kepada Sang Pencipta.

Berikut tiga cuplikan dari ceramah-ceramah Bapak yang berbeda terkait apa yang bisa dilakukan anggota Subud untuk kerabat dan sahabat mereka yang sudah meninggal.


LATIHAN UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Cuplikan ceramah Bapak

“Tuan-tuan, nyonya sekalian. Memang tidak ada salahnya dan termasuk pekerjaan yang utama untuk menolong sesamanya. Tetapi perlu diingat, bahwa pertolongan yang diberikan kepada siapa yang diinginkan itu pertolongan apa sifatnya? Karena pertolongan yang diberikan—apa yang telah Bapak dengar di sini—ialah pertolongan, agar jiwa orang yang mati dapat naik ke atas atau dapat menemukan jalan yang utama. Itu tidak mungkin dapat dijalankan—dikerjakan—oleh seseorang yang dirinya sendiri belum sempurna. Sehingga pertolongannya kepada orang yang mati, yang diharapkan itu, tidak merupakan pertolongan malah merupakan kegelapan bagi yang mati itu. Jadi, mestinya menolong, malah sebaliknya membuntu jalannya, karena pertolongan yang diberikan itu belum pertolongan yang sempurna, belum pertolongan yang sunguh-sungguh diperlukan bagi menaikkan derajat jiwa manusia yang telah meninggal dunia itu. Hanya, dapat tidak merupakan memberi pertolongan, tetapi dimohonkan kepada Tuhan, entah bagaimana Tuhan akan kehendakNya tentang atas jiwa orang yang meninggal itu. Jadi, saudara hanya dapat memohonkan kepada Tuhan, agar Tuhan memurahi, memberi jalan kepada orang yang meninggal itu, agar dapat jalan yang baik, apabila Tuhan menghendakinya. Jadi, hanya memohonkan, bukan suatu pertolongan yang lancarkan kepada jiwa orang yang telah meninggal dunia itu. 

Dan dalam mengerjakan permohonan kepada Tuhan, juga sifatnya saudara-saudara berlatih, sehingga keputusan tentang diberkahi atau tidak itu tergantung kepada Tuhan sendiri. Dan saudara-saudara yang menjalankan Latihan yang demikian itu juga akan menerima sendiri bagaimana yang mesti diterima bagi dirinya sendiri. Artinya, meskipun dalam Latihannya itu tujuannya memohonkan ampun dosanya orang yang meninggal itu, tokh dengan sendirinya tidak akan merobah dirinya orang yang memohonkan itu, agar dirinya sendiri juga dapat menerima apa yang dibutuhkan bagi dirinya sendiri. Jadi, artinya, bukan hanya ke orang yang telah meninggal dunia saja, tetapi kepada dirinya sendiripun akan dapat menerima. Itu semuanya tergantung kepada kemurahan atau pemberian dari Tuhan sendiri. 

Dan itu dapat dikerjakan—umpamanya—tidak perlu dekat kepada jisim orang yang meninggal itu. Tidak perlu dekat, karena ke Tuhan dan dalam kejiwaan tidak ada batas tempat antara (tak jelas), sehingga meliputi seluruh—dapat dikatakan—seluruh dunia. Jadi, sifat yang demikian, artinya yang menyatakan kedekatan orang yang memohonkan kepada orang yang dimohonkan—yang meninggal itu—itu hanya untuk memperlihatkan kepada sesama manusia, untuk memperlihatkan kepada orang lain, bahwa yang dikerjakan itu sungguh-sungguh ditujukan kepada orang yang meninggal. Jadi, itu sifatnya hanya sifat di mata manusia, bukan di penglihatan Tuhan.”

Coombe Springs, Inggris, 27 Agustus 1959—59 CSP 15

 

MANUSIA TIDAK BISA MENGURANGI DOSA ORANG LAIN

Cuplikan ceramah Bapak

“Malahan ada pula, saudara, seorang pembantu pelatih yang bertanya kepada Bapak, bagaimana caranya berlatih untuk mengurangi dosanya fiancé -nya yang telah meninggal dunia sebelum dia kawin dengannya. Dan ada pula yang minta persetujuan Bapak, melatih dan berlatih untuk mengurangi dosanya suami yang telah meninggal dunia dan saudara yang telah meninggal dunia dan kawan-kawannya yang sehati ketika masih hidupnya, yang meninggal dunia. Yang demikian itu adalah sesuatu tindakan yang tidak pada tempatnya. Karena segala sesuatunya, seperti yang telah Bapak katakan tadi, harus dikiblatkan kepada Tuhan. Manusia tidak bisa, tidak dapat melakukan sesuatu sehingga mengurangi dosanya orang lain. Sedangkan dosanya sendiri-sendiri belum juga dapat diketahui apakah sudah diampuni apakah sudah dibersihkan dari rasa dirinya.

Karenanya, maka, apabila terjadi yang demikian, maka pesan Bapak atau anjuran Bapak, agar berlatih menyerahkan diri atau menyerahkan segala sesuatunya kepada kebesaran Tuhan. Jadi, terangnya, bahwa semuanya itu hanya Tuhan yang dapat melakukan. Dengan demikian sehingga caranya memohonkan pengurangan dosa dari siapa yang diingini, perlu dilanjutkan atau perlu diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jangan semata-mata saudara lantas berlatih untuk dapat mengurangi dosanya orang lain. Itu tidak mungkin terjadi. Karena saudara sendiri belum tahu bahwa saudara itu penuh dosa, dan dosa itu belum seluruhnya atau belum juga sudah dibersihkan dari rasa dirinya."

Auckland, Selandia Baru, 20 Mei 1968—68 AKL 4


CARA MENOLONG JIWA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Cuplikan ceramah Bapak

“Ada lagi soal yang, ya, Bapak rasa lucu sekali, tetapi ya memang biasa adalah menjadi persoalan hidup orang atau orang hidup di dalam dunia ini. Ada sesuatu wanita yang jatuh cinta kepada seorang pria dan pria itupun katanya juga cinta kepadanya. Sudah cinta begitu lama dan akhirnya belum sampai terjadi perkawinan, si laki-laki meninggal dunia. Ya, tentu saja saudara dapat merasakan sendiri, seorang yang kehilangan kecintaannya atau kehilangan seorang yang telah dicintai sungguh-sungguh, tentunya terasa benar-benar, sehingga menyurati kepada Bapak dan menanyakan: ‘Bagaimana caraku untuk dapat menolong jiwanya, karena aku cinta kepadanya, agar jiwanya bisa naik sorga dan tidak terkena dosa. Karena saya ini sudah masuk Subud, apa kiranya dengan Latihan Kejiwaan ini bisa mengangkat juga dia dari tempat yang tidak baik ke tempat yang baik?’

Ya, demikian saudara sehingga, ya, dapat saja Bapak jawab, dan jawaban Bapak kepada penanya itu tidak lain daripada: ‘Ya, segala sesuatu yang sukar dan sukar bagaimanapun, Tuhan dapat menyelesaikan, Tuhan dapat membikin baik. Karena itu, maka kalau sungguh-sungguh saudara memang cinta kepadanya, meskipun dia sudah meninggal dunia, baiklah saudara Latihan saja yang baik dan percaya kepada Tuhan, bahwa Tuhan mudah-mudahan dapat menolong kekasih saudara, sehingga kekasih saudara dapat terangkat dari tempat yang tidak baik.’”

Planegg, Jerman, 7 Agustus 1964—64 PLG 3

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 September 2025