Wednesday, October 22, 2025

Keinginan yang Sudah Luntur

 

Sumber: Instagram Universitas Indonesia  @univ_indonesia

SEPTEMBER tahun 2016 lalu, saat reuni Jurusan/Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra (FS)/Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) di kampus FIB UI Depok, saya berjumpa dengan yunior saya yang lulusan S2 di Pascasarjana Kajian Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Dia menganjurkan saya ambil S2 juga di Pascasarjana Kajian Ilmu Lingkungan UI, dimana kebetulan salah satu peminatannya sesuai pengalaman pekerjaan saya sejak 2012, yaitu Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan.

Saya tertarik dan mulai menabung dan mencari dukungan dana untuk itu. Tapi Tuhan berkehendak lain. Dia membimbing saya ke lebih banyak proyek komunikasi keberlanjutan (sustainability communications), yaitu bidang komunikasi dan branding dengan penekanan pada program-program corporate social responsibility (CSR) Community Development (Comdev) berbasis pengelolaan lingkungan, yang otomatis mempertemukan saya dengan banyak praktisi pembangunan berkelanjutan di lapangan yang mumpuni dalam praktik di atas teori, dan juga memberi saya kesempatan blusukan ke daerah-daerah binaan program pembangunan berkelanjutan dari perusahaan-perusahaan. Begitu banyak yang saya dapat dari mereka yang mungkin tidak akan saya dapatkan di bangku kuliah.

Kini, UI meningkatkan kajian pembangunan berkelanjutan dari sekadar peminatan menjadi Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan. Sayangnya, minat belajar terstruktur saya sudah luntur.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2025

Mimpi Melayat Ulama yang Meninggal

TADI malam, saya bermimpi, dimana saya bersama Pak Wardhana (saat ini Pembantu Pelatih Nasional Komisariat Wilayah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta) dan Pak Moel (Moelyono Hardjopramono, Pembantu Pelatih Cabang Jakarta Selatan yang wafat pada 2010) pergi melayat seorang anggota Subud yang meninggal. Dari luar, rumah dukanya tampak kecil, reyot dan sempit, tetapi bagian dalamnya ternyata sangat luas, yang ketika saya jelajahi tidak habis-habis ruangannya.

Di dalam banyak sekali anggota Subud, tetapi terutama dari Komisariat Wilayah VI Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, tetapi dari Surabaya hanya dari Kelompok Latihan Margodadi, sedangkan dari Cabang Surabaya di Manyar Rejo tidak ada yang datang. Terdengar suara-suara yang bertanya tentang anggota-anggota Manyar, dan ada suara-suara yang menjawab, “Manyar nggak ada yang datang!”

Saya disalami Adi Suhendro (wajahnya seperti di-Zoom in ke hadapan saya) tetapi saya lupa namanya, dan bertanya ke beberapa anggota lain; mereka menjawab, “Oh itu Mas Hendro, Subud Surabaya Margodadi.”

Kemudian saya mengambil makanan dan camilan, yang jumlahnya banyak sekali. Kemudian barulah saya memasuki kamar di mana jenazah disemayamkan. Kamarnya dipenuhi orang tetapi ranjang jenazahnya gelap, saya tidak bisa melihat jenazahnya. Yang kemudian muncul malah seorang kyai tua yang mengajak saya keluar kamar. Kyai itu mengatakan bahwa yang meninggal itu beliau sendiri, tetapi sebenarnya beliau tidak meninggal. Beliau menggiring saya keluar kamar dan menutup pintunya.

Lalu saya duduk di ruangan yang sangat luas yang lantainya beralaskan karpet hijau mirip rumput yang lembut. Banyak santri duduk di tepi ruangan. Pak Wardhana duduk di sebelah saya. “Rumahnya luas sekali ya, Pak,” kata saya. Pak Wardhana merespons, “Iya, Mas Arifin, almarhum itu kyai terkenal, ulama besar.”

Kemudian muncul Pak Moel yang mengajak saya dan Pak Wardhana pulang. Selesailah mimpi saya di situ.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2025

Monday, October 20, 2025

Kata Pengantar Skripsi

Berikut isi Kata Pengantar pada naskah asli skripsi (sebelum direvisi pasca sidang skripsi pada 7 Juli 1993) saya, yang saya salin dan memberikan sedikit perbaikan.


PUJI dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Betapapun skripsi ini secara tidak langsung merupakan hasil dari jerih payah penulis dalam mengenyam pendidikan sejarah di perguruan tinggi; hasil dari perasan otak yang terkadang melewati batas kemampuan, hasil dari membanjirnya keringat, air mata, dan tidak jarang pula kekecewaan di hati, serta hasil dari tempaan fisik yang meletihkan, adalah mustahil skripsi ini menjadi ujud yang konkret tanpa bantuan materiel dan dorongan moril dari banyak pihak, individu maupun kelompok. Paling sedikit, mereka menjadi tongkat penuntun bagi penulis untuk menelusuri garis panjang mencapai titik terang dalam karir kemahasiswaan penulis yang berawal dari sosok mahasiswa ingusan yang tidak tahu apa-apa hingga sosok calon sarjana yang dihadapkan ke “meja hijau” untuk mempertahankan skripsinya di hadapan penguji.

Oleh karena itu, adalah layak bagi penulis untuk mencurahkan balasan kepada pihak-pihak itu dalam ujud terima kasih dan penghargaan penulis kepada mereka. Pertama-tama dalam hal ini, terima kasih yang sedalam-dalamnya patut penulis persembahkan kepada dosen-dosen Jurusan Sejarah FSUI yang telah membimbing dan membentuk kepribadian ilmiah penulis hingga dapat menyelesaikan studi pada waktunya. Penulis usungkan penghargaan kepada Ibu Nana Nurliana, S.S., M.A., selaku Ketua Jurusan Sejarah FSUI yang dengan cara beliau yang khas membuat penulis terdorong untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Pula kepada Ibu MPB Manus, S.S., dan Mas Kasijanto, S.S., selaku Pembimbing Akademis penulis mencurahkan penghargaan yang sedalam-dalamnya. Sistem bimbingan akademis dalam bentuk diskusi, bukan hanya untuk urusan kuliah saja, tetapi juga tentang studi sejarah militer yang penulis dalami, dari mereka menjadi masukan yang berarti bagi penulis. Tanpa bimbingan dalam kaitan teknis, metodologis dan teoritis dari pembimbing skripsi penulis, Bapak Kolonel TNI (Inf.) Saleh A. Djamhari, S.S., tentunya skripsi ini menjadi tidak lebih dari sebuah karya sampah yang tidak patut disejajarkan dalam koleksi skripsi sarjana Jurusan Sejarah FSUI. Terima kasih dan penghargaan yang setulusnya, karena itu, patut dihaturkan kepada beliau.

Tidak lupa, penulis mengungkapkan rasa terima kasih kepada Mas M. Iskandar, S.S., M.A., yang mau meluangkan waktu sebagai pembaca skripsi penulis dan Mas Susanto Zuhdi, S.S., M.A., yang terkadang menyediakan waktu untuk diskusi tentang Sejarah Revolusi dengan penulis. Peran Mbak Dwi Mulyatari, S.S., Mbak Siswantari, S.S., dan Mas RediRahmat, S.S., terutama dalam membantu secara administratif “kelangsungan hidup” penulis sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI mendapat tempat tersendiri dalam daftar penghargaan penulis. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Richard H. Chauvel, Ph.D., atas perhatian beliau terhadap minat penulis dalam studi militer selama mengikuti kuliah-kuliah kajian Australia dari beliau.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada petugas-petugas Perpustakaan FSUI, seperti Mas Ade Dahlan den Mas Daksina, yang senantiasa sabar melayani penulis dalam mencari buku-buku yang penulis butuhkan untuk penyusunan skripsi ini. Di samping itu, penulis mohon maaf, karena kelalaian penulis mengembalikan buku-buku yang dipinjam merepotkan pekerjaan mereka. Turut menjadi penghargaan penulis adalah kesabaran dan kebaikan dari para petugas perpustakaan, arsip dan pusat dokumentasi lainnya yang meringankan beban penulis dalam menemukan sumber-sumber yang dibutuhkan. Dalam kaitan ini, penulis layak mengucapkan terima kasih, antara lain kepada Bapak Pramudjo dari Dinas Dokumentasi ABRI Satria Mandala, Bapak Sokiman dari Perpustakaan Museum Waspada Purba Wisesa, Mas TotoWidyarsono, S.S., Mas Oloan dan Mbak Ami dari Arsip Nasional Republik Indonesia.

Sejak menjadi mahasiswa Universitas Indonesia, penulis menyadari, bahwa konsep kesetiakawanan dan persahabatan merupakan unsur pokok dalam kehidupan di kampus. Oleh karena itu, penulis mengesampingkan sikap individualisme dan sikap sok mandiri. Tanpa kehadiran teman dan sahabat, kemungkinan besar penulis tidak akan pernah merasakan kebahagiaan dan kebanggaan sebagai mahasiswa Universitas Indonesia. Tanpa kehadiran mereka pula, dapat dipastikan, skripsi ini takkan pernah selesai pada waktunya. Sebab, bagaimanapun, rangkulan kesetiakawanan mereka menjadi tonggak penegak badan penulis untuk bersama-sama menghadapi perjuangan berat yang menanti di muka.

Adalah suatu kebahagiaan tersendiri untuk dapat mengenal sosok-sosok seperti Januar dan Adi Nusferadi dari Angkatan 1986 sebagai sahabat-sahabat sejati yang senantiasa bersedia membantu penulis selama menjadi mahasiswa sampai masa penyusunan skripsi ini. Keterbukaan mereka berdua yang secara tulus menghadapi kelakuan penulis yang sering tidak menentu, menjengkelkan dan konyol adalah bukti kesetiakawanan sejati mereka. Ungkapan terima kasih penulis terukir dalam kalimat berikut: “It’s been so nice to have friends like the two of you.”

Penulis berhutang budi kepada AdiPatrianto, Moh. Zain bin Junoh dan Arfandi Lubis, ketiga-tiganya dari Angkatan 1989, yang telah meminjamkan buku-buku yang penulis butuhkan. Tanpa mereka, barangkali penulisan skripsi ini menjadi tersendat-sendat. Dalam golongan ini, termasuk pula Ali Anwar, S.S., yang selain adalah senior penulis di Jurusan Sejarah juga merupakan kawan dan guru yang baik. Penulis banyak belajar dari dia, terutama tentang tata cara penelitian lapangan. Penulis berterima kasih kepadanya, karena telah diberi kesempatan, kepercayaan serta bantuan untuk mempopulerkan studi sejarah militer dalam wadah Divisi Kajian Militer dari Yayasan Historia Vitae Magistra (YAVITRA) yang diketuainya.

Tidak ketinggalan adalah teman-teman kuliah penulis dari Angkatan 1987, seperti Abdul Jalil, Dwi Puspitasari, Endah Sri Mulatsih, Esterlita Situmorang, Edi Sudarjat, Jaja Najarudin, Maftukhi, Nurlaelah, Pandji Kiansantang, Rasti Suryandani, Syamsul Bachri, Shita Purnamasari, Tien Hartati, Zaenal Abidin, Zainurlis dan Zali Abubakar. Kesempatan untuk mendapatkan teman-teman seperti mereka adalah saat-saat yang takkan terlupakan oleh penulis, karena “I know they are always there when I need them to help me.” Selain itu, kesempatan untuk mengenal Agus Syamsuddin, Arif Pradono, Ahmad Jamil S., Endri Gani, Helmy Arief, Herman Effendy, Indra Priamudi, Linda Sunarti, Lusy Wulansari, Niken Probosari, Sarwoto dan Sulardi dari Angkatan 1988 menjadi warna semarak dalam kehidupan penulis. Mereka semua memberi nafas bagi eksistensi penulis dalam lingkaran mahasiswa Jurusan Sejarah secara keseluruhan.

Penulis banyak mendapatkan gagasan-gagasan baru dan masukan-masukan yang turut menatahkan kata-kata dalam skripsi ini berkat diskusi-diskusi yang menarik di sekitar studi militer dengan Bingar Setiawidi (1989) dan R. Taufik (1990). “Thanks, guys.” Terima kasih penulis sampaikan pula untuk Martomo R. Hidayat (Perpustakaan 1987), Taufik (Jerman 1987), Sudirman (Arab 1987), Syarif Thoyib (Sejarah 1984), dan Urip Herdiman Kambali (Sejarah 1984) yang sering menjadi lawan dialog di luar urusan kuliah, yakni terutama obrolan di sekitar soal kaum Наwа.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan penghargaan secara khusus kepada sahabat pena tercinta Josephien Jolanda (Yola) di Surabaya. Surat-suratnya yang senantiasa memberi dorongan dan doa-doa telah mengiringi penulis dalam empat semester terakhir masa kuliah penulis di Universitas Indonesia. Penghargaan itu penulis berikan untuk pemahamannya atas konsep persahabatan sejati. Dalam keadaan-keadaan penulis di saat suka dan di saat duka, is menyempatkan diri untuk menelepon interlokal ke penulis.

Persiapan efektif menuju ke arah penulisan skripsi ini telah dilakukan sejak lebih dari dua tahun yang lalu. Persiapan itu antara lain mencakup kegiatan penulis dalam melakukan perjalanan guna mengadakan penelitian lapangan pada salah satu daerah yang turut menjadi pembahasan dalam skripsi ini, yakni Kabupaten Banyumas. Kiranya penulis akan menghadapi berbagai hambatan dalam kegiatan penelitian itu, seandainya penulis tidak memperoleh uluran tangan dari pihak-pihak yang berkepentingan langsung. Pertama-tama, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak pimpinan Bagian Hukum pada Kantor Kabupaten Banyumas, di Purwokerto, yang secara spesifik menjelaskan prosedur pengadaan penelitian di wilayah Kabupaten Banyumas. Tidak kurang perannya, dalam hal ini, adalah Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas yang “melicinkan” jalan bagi penulis dengan pemberian rekomendasi guna penelitian penulis. Karena itu, patut pula penulis berterima kasih kepada beliau. Tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada Komandan Resort Militer 071/Purwokerto atas kesediaan beliau memberi fasilitas kepada penulis selama melakukan penelitian. Secara khusus, penulis melimpahkan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Mayor TNI Purn. Pdt. Atmosugondo, Ketua Tim Penyusun Sejarah KOREM 071/Purwokerto, yang dengan ramah menyambut kedatangan penulis di rumah beliau di Berkoh, Purwokerto, untuk berdiskusi tentang sejarah Banyumas pada masa Revolusi.

Penulis berhutang budi kepada dewan redaksi majalah Teknologi & Strategi Militer (TSM) yang secara tidak langsung telah menumbuhkan kepercayaan diri penulis untuk menggeluti dunia tulis-menulis. Perluasan dari Bab I dan II skripsi ini pernah dimuat secara terpisah sebagai artikel dalam edisi September dan Oktober 1992 dari majalah itu.

Dari segi materiel dan moril, penulis sangat berhutang budi kepada Papa dan Mama tercinta. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada Papa tercinta, Mayor TNI Purn. Slamet, yang telah mengalirkan darah militer dalam tubuh penulis dan telah menanamkan semangat untuk mendalami studi militer. Juga untuk kakak dan adik-adik tersayang, RinaWidiyanti, S.S., Dini Triasrini dan Shanti Meiliasari, penulis sampaikan terima kasih dan cinta atas dukungan mereka selama penulis menyusun skripsi ini. Tidak luput dari rasa terima kasih penulis adalah sepupu penulis, Tris Feriatno, yang bandel namun dapat menghibur penulis di saat-saat kesuntukan menghadapi buku, kertas dan mesin tik. Semoga Allah SWT membalas jasa baik mereka dengan rahmat dan karunia-Nya.

Akhir kata, penulis berharap, bahwa skripsi ini akan memiliki manfaat bagi segenap mahasiswa, peminat dan pembaca sejarah Indonesia umumnya serta menambah khasanah sejarah militer khususnya. Amin.


Jakarta, Mei 1993

Anto Dwiastoro Slamet

Naskah asli skripsi saya saat diujikan oleh sidang penguji di FSUI pada 7 Juli 1993.



Bentuk skripsi saya pasca direvisi, dibuat sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah asli saya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia).






Sunday, October 19, 2025

Pada Akhirnya... Itulah yang Paling Penting

DELAPANBELAS Agustus 2025 lalu, bersama tiga saudara Subud dari grup Jakarta Selatan, saya menghadiri sebuah acara peluncuran buku kumpulan puisi esai. Penulisnya bukan anggota Subud, melainkan yunior saya di Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, tetapi ia bekerja di lembaga milik seorang anggota Subud.

Ada bedah buku di acara peluncuran yang berlangsung di sebuah kafe komunitas itu, yang dihadiri banyak pelaku sastra dan literasi. Dua pembedah bukunya pun merupakan sastrawan yang cukup kondang. Terungkap sesuatu yang menggelikan semua hadirin: puisi-puisi esai itu merupakan hasil kerja sama si penulis dengan mesin alias artificial intelligence (AI).

Lantas, satu saudara Subud saya, di sesi tanya-jawab, mempertanyakan sejauh apa ketergantungannya pada AI dan bagaimana bisa membangun rasa di kalangan pembaca jika yang membuat puisi-puisi itu adalah mesin? Si penulis membela dirinya bahwa meski ia menggunakan AI, bagaimanapun ia tetap melakukan penyuntingan terhadap hasilnya, dengan mengandalkan pikirannya sendiri.

Saudara Subud saya itu bersikukuh bahwa semua karya hanya dapat memiliki resonansi tertentu pada penikmatnya hanya bila murni berasal dari diri si pembuatnya. Selama ini, saya juga mempercayai hal itu, sampai suatu ketika saya menghadapi situasi dimana saya harus membuat suatu karya sastra fiksi di saat bersamaan begitu banyak pesanan pekerjaan saya terima. Saya ikhlas menyerahkan semua kepada bimbinganNya, tidak berusaha mengatur-atur prosesnya.

Satu dua pekerjaan (termasuk beberapa bagian dari karya tulis fiksi itu) dapat saya selesaikan dengan baik berkat bantuan AI. Yang membuat saya tercengang adalah reaksi klien-klien saya terhadap hasilnya: Mereka merasa puas dan menikmati vibrasi dari pekerjaan-pekerjaan itu, yang tidak ada bedanya dengan yang mereka rasakan ketika saya menyerahkan pekerjaan yang ide dan pengerjaannya orisinal dari diri saya.

Belakangan, dalam obrolan saya dengan satu teman saya (seorang praktisi kehumasan yang kini sedang melalui masa kandidatannya di Subud Cabang Jakarta Selatan), kami mendapat kepahaman: Bukan CARANYA yang penting dalam segala proses kehidupan kita—itu urusan dari Yang Maha Kuasa, Dia Yang Maha Mengatur itu semua.©2025


Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, 20 Oktober 2025

Alasan Sederhana

“SEGALA sesuatu ada alasannya,” kata sebuah ungkapan. Kadang, alasannya sederhana saja: Anda hanya perlu bersenang-senang.

Seperti pengalaman saya kemarin. Beberapa hari sebelum kemarin, saya menerima bahwa saya harus ke Wisma Subud Bogor pada hari Minggu pagi, 19 Oktober 2025. Saya bertanya-tanya, untuk apa gerangan saya ke sana. Diri saya berkata, “Jalani saja, nanti kamu akan tahu.”

Malam sebelum hari Minggu, saya mengalami kesulitan untuk tidur. Saya membatin bahwa kalau saya besoknya saya mengantuk berat saya akan urungkan niat saya untuk bermotor ke Bogor. Jarak dari rumah saya ke Wisma Subud Bogor adalah 33 kilometer. Saya akhirnya tertidur sekitar pukul 03.30 pagi, tapi dua jam kemudian saya dibangunkan oleh putri saya agar saya membuatkan sarapan buat dia dan ibunya. Dibangunkan mendadak seperti itu, saya merasa sakit kepala, tetapi sambil menggerutu saya paksakan diri untuk meninggalkan ranjang dan menyeret kaki saya ke dapur. Dalam keadaan sangat mengantuk, saya memasak hidangan sarapan untuk putri saya, istri saya dan saya sendiri.

Saat menyantap sarapan, saya memutuskan untuk membatalkan rencana saya ke Bogor, tetapi segera diri saya mengkritik saya, “Kamu tidak cukup berserah diri karena kamu tidak percaya pada bimbinganNya. Abaikan kantukmu dan pergi sana ke Bogor!”

Rute jalan ke arah Bogor dari kawasan tempat tinggal saya cukup ramai pada hari Minggu, karena pada akhir pekanlah keluarga-keluarga Indonesia biasanya melakukan perjalanan dengan berkendara menuju tempat-tempat berdaya tarik wisata atau bertamu ke kerabat atau kenalan mereka. Karena kantuk tidak mau berkompromi dengan keadaan, saya menjalankan sepeda motor saya dengan santai saja, tidak terburu-buru, dan sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Saya berangkat dari rumah pukul 09.15, perjalanan biasanya memakan waktu satu jam dengan keadaan jalan yang cukup ramai dengan kendaraan. Saya berharap saya tidak terlambat untuk Latihan bersama di Hall Bogor.

Yang saya dambakan di Hall Bogor bukan semata Latihan bersamanya, melainkan, yang paling utama, pertemuan dengan para anggota Bogor yang asyik dan seru dan juga kocak dengan cerita-cerita pengalaman hidup mereka dengan Latihan. Saya me-niteni apa “hal penting” yang akan saya alami selama di Hall Bogor, sehingga saya menerima harus ke sana. Hingga saya mengendarai motor saya meninggalkan pekarangan Wisma Subud Bogor, menurut saya tidak ada yang signifikan dari kunjungan dan perjalanan 66 km (pergi pulang) saya. Baru pagi ini, ketika terbangun dari tidur, saya disadarkan oleh serangkaian kalimat yang muncul di benak saya: “Segala sesuatu ada alasannya, dan kadang alasannya sederhana: kamu hanya perlu bersenang-senang.”©2025


Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, 20 Oktober 2025

Tuesday, October 14, 2025

Pengalaman Kejiwaan Sebagai Moderator






TANGGAL 14 Oktober 2025 malam, bertempat di Sapphire Room, lantai 3 Fairmont Hotel Jakarta, saya menjadi moderator dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Direktorat Film, Musik dan Seni (FMS) dari Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan Kebudayaan (P3K), Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dalam rangka pelaksanaan perintah Presiden RI untuk membuat film-film seri bertema kepahlawanan perjuangan kemerdekaan Indonesia.                                                       

Saya diposisikan untuk memoderatori tiga sejarawan akademik (diwakili oleh dosen-dosen Program Studi Ilmu Sejarah dari Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Gajah Mada) dan dua sejarawan publik dalam diskusi rintisan dengan para sineas. Hasil FGD akan dijadikan rujukan untuk pembentukan Kelompok Kerja untuk pelaksanaan proyek yang diperintahkan Presiden.

Saya baru pertama kali menjadi moderator dalam diskusi berskala kementerian itu, sehingga saya sempat tidak percaya diri. Apalagi secara keilmuan (Sejarah), saya sudah banyak lupa, sementara para sejarawan akademik yang hadir semalam ada satu profesor dan dua doktor. Tetapi saya ingat saran dari Pembantu Pelatih Subud Cabang Jakarta Selatan, Harris Roberts: “Don’t be overprepared!” (Jangan terlalu mempersiapkan diri!).

Ya sudah, sejak berangkat dari rumah saya sudah rileks saja; saya bernyanyi sepanjang jalan (dari rumah saya ke Fairmont sekitar 16 kilometer). Dan begitu giliran saya berbicara, saya seperti bendungan jebol, nyerocos secara intelek yang ternyata mengimbangi arahan dari Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang hadir, dan sukses membawa acara (saya jadi merangkap MC juga akhirnya), dimana para sejarawan, Direktur Jenderal (P3K), Pak Ahmad Mahendra, dan Direktur FMS, Pak Syaifullah Agam, sangat puas dengan presentasi saya yang mereka nilai profesional. Padahal saya hanya bermodalkan rileks—seperti dalam Latihan Kejiwaan.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 15 Oktober 2025

Thursday, October 9, 2025

Makna Kesuksesan Bagi Saya

 


MANTAN bos saya dulu di Surabaya, Jawa Timur, bila menelepon saya, setelah saya kembali ke Jakarta, selalu menutup pembicaraan dengan kata-kata “Semoga sukses ya!”

Saya pun selalu menjawab, “Sudah sukses, Pak.”

Jawaban saya membuat beliau tertawa di seberang sambungan, barangkali beliau mengira saya bercanda. Padahal saya menjawab dengan nada serius. Jelas, pemahaman kami berbeda mengenai makna kesuksesan.

Bagi saya, sukses sebenarnya sangat pribadi, subjektif, dan terus berkembang. Kesuksesan sejati bersifat internal, bukan eksternal. Ini yang dimaksud oleh banyak orang ketika mereka mengatakan bahwa “Sukses adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan.”

Masih bisa bangun pagi dan tersenyum, duduk sejenak di tepi kasur sambil merenungkan hari-hari yang telah lewat, memaknai penderitaan dan ujian yang telah dilalui, lalu berucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kemudian, keluar dari kamar saya membuat teh melati panas, yang aromanya menyeret imajinasi saya ke masa lampau, ketika orang tua saya masih ada dan saya menemani mereka menikmati teh di teras rumah setiap pagi.

Lalu, peluang untuk membaca buku apa saja yang bisa saya dapatkan, dan kemudian berkhayal.

Kemudian, bercengkerama dengan putri saya, Nuansa Biru Oceania, yang berceloteh tentang teman-teman sekolahnya, tentang kucing jalanan yang ingin ia piara (meski hanya boleh di teras rumah kami), tentang gambar-gambar anime yang ia buat tanpa mencontoh, tentang boneka-bonekanya.

Semua itu adalah kesuksesan saya. Sudah ada di sini, saat ini. Bagaimana dengan Anda?©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Oktober 2025

Wednesday, October 8, 2025

Bersyukur Dengan Masa Lalu dan Masa Kini

 


BELAKANGAN, mungkin karena algoritma, akun-akun media sosial saya (Facebook, Instagram, Thread, X, dan Tiktok) kebanjiran postingan tentang era 80an dan 90an. Generasi X seperti saya tahu bedanya suasana kehidupan di era itu dan era sekarang, bahkan tanpa harus menonton visualisasinya melalui video hasil olahan AI.

Video-video itu mengajak siapa saja yang hidup di saat ini untuk "kembali" ke era kejayaan Generasi X, yang makmur secara ekonomi maupun mental-spiritual. Saya kalau bisa kembali ke saat itu dengan keadaan saat ini (baca: sudah dibuka di Subud), saya mau sekali! Saat itulah saya sebenarnya butuh sekali dengan bimbingan dari jiwa saya, tapi nyatanya saya tidak dipandu ke Subud saat itu. Tampaknya Yang Maha Kuasa tahu bahwa justru di kehidupan saat inilah saya paling perlu Latihan, yang dapat membimbing saya untuk mensyukuri masa lalu maupun masa kini saya.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 Oktober 2025

Tuesday, October 7, 2025

Pucuk Dicinta, Ulam Tiba

 


SAAT ini, saya sedang membantu satu saudari Subud dari Vancouver, Kanada, dalam mengedit disertasinya di Universitas British Columbia untuk dijadikan buku teks akademik. Disertasinya, sebagai syarat perolehan gelar Doktor dalam Kajian Kurikulum, membahas tentang sekuens proses dari pandangan dunia (weltanschauung) yang dipetik dari ajaran tasawuf ‘Abd al-Karim al-Jili melalui karya tulisnya yang berjudul Insan al Kamil (Universal Man) atau “Manusia Seutuhnya”.

Karena ketiadaan literatur terkait sekuens “Zat, Sifat, Asma, Af’al” (ZSAA) di kalangan akademik Barat, sedangkan saudari Subud itu hanya mengetahuinya dari ceramah-ceramah Bapak Muhammad Subuh, saya pun menelusurinya dengan bertanya kepada dua wartawan NU Online yang kebetulan sedang aktif mengikuti sesi percakapan bahasa Inggris di kompleks Wisma Subud Cilandak.

Salah satu dari mereka adalah jebolan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, yang sangat familiar dengan sekuens ZSAA, dan melalui dia saya sampai pada karya tulis Syekh al-Jili, tetapi saya tidak dapat mengaksesnya karena harganya, di Amazon, cukup mahal bahkan bagi saudari Subud Kanada itu. Sedangkan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah tidak memiliki salinan kerasnya di koleksinya.

Puji Tuhan, malam ini, wartawan NU Online itu mengirimi saya via WhatsApp PDF buku tersebut. Gratis! Dia imbuhi dengan pesan: “Sebagai akademisi prekariat yang fakir, saya punya banyak cara mengakses PDF-PDF gratisan.”©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Oktober 2025

Berkat Melimpah Dari Hobi Membaca

 

Saya berpose di lantai 2 Perpustakaan FSUI pada 1992.

HARGA buku tidak seberapa jika dibeli satu per satu, namun tumbuh dalam rumah tangga dengan koleksi buku yang melimpah—atau orang tua yang menjadikan membaca sebagai kebiasaan—memberikan pengaruh yang sangat besar.

Adalah ayah, ibu dan satu paman saya yang selalu mendorong saya untuk rajin membaca. Terlebih ketika saya berkuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sebuah fakultas yang tumpat dengan pustaka, yang memaksa mahasiswa meluangkan lebih banyak waktu untuk membaca.

Awalnya memang saya merasa tertekan dengan pembiasaan membaca yang dilakukan orang tua dan paman saya terhadap saya, namun lambat laun saya memang jadi terbiasa. Awalnya, paman saya memberi saya insentif: Rp10.000 (kala itu, tahun 1990an, nilainya sama dengan Rp100.000 saat ini) untuk setiap buku yang saya baca. Setiap kali saya berkunjung ke rumah paman saya, di kawasan Kalibata Tengah, Jakarta Selatan, biasanya untuk mengantarkan masakan atau kue buatan ibu saya, beliau akan menagih saya untuk menceritakan tentang buku yang sedang saya baca. Kefasihan saya dalam bercerita tentang isi buku dan analisis atau kesimpulan pribadi saya, menjadi bukti bagi beliau bahwa saya memang benar-benar membaca bukunya.

Alhasil, berkat dorongan orang tua dan paman saya, saya tumbuh menjadi pribadi yang kaya pengetahuan, yang menjadi bekal ketika saya berkarir sebagai ahli strategi branding dan copywriter.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Oktober 2025

Mengapa Saya Berkacamata


SAYA pertama kali mengenakan kacamata ketika duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Disarankan oleh wali kelas kepada orang tua saya agar saya diperiksakan ke dokter spesialis mata, karena sang wali kelas—di SD Belanda saya, Diamanthorst Lagere Basisschool di Mariahoeve, Den Haag—melihat bahwa saya kerap harus menunduk terlalu dalam ketika menulis atau membaca. Saya melakukan hal itu karena mata saya sulit mencermati huruf dan tulisan di buku yang saya baca dalam jarak yang standar.

Sebagai anak SD kelas 3, bagaimanapun, saya merasa kacamata tidaklah keren, sehingga saya jarang mengenakannya ketika di sekolah dan saat bermain dengan teman-teman di luar jam sekolah. Apalagi bingkainya menyentuh kulit wajah saya di bawah mata, yang terasa mengganggu, terutama saat berkeringat. Alhasil, saya masih tetap harus menundukkan kepala dalam-dalam ketika menulis atau membaca, yang akibatnya membuat minus saya bertambah.

Sepanjang masa SMP dan SMA, saya tidak mengenakan kacamata meski kegiatan baca-tulis saya meningkat. Saya hobi membaca dan menulis. Mengawali masa kuliah saya di Universitas Indonesia, September 1987, saya meniru senior saya di Jurusan Sejarah FSUI, Soe Hok Gie, dengan menulis tangan jurnal harian, yang biasanya saya tulis sebelum tidur malam, dengan penerangan kamar yang tidak terlalu mendukung untuk membaca dan menulis. Tetapi saya mengabaikan kenyataan bahwa huruf-huruf yang saya baca atau tuliskan terlihat dobel garis-garisnya.

Di tahun-tahun terakhir saya berkuliah di UI, 1991-1993, saya mulai sering mengenakan kacamata, terutama karena cewek yang sedang saya dekati menyukai cowok berkacamata. Tetapi kalau kini saya tidak bisa lepas dari kacamata adalah karena teknologi terkini telah mampu membuat kacamata yang tidak saja tampak keren tetapi juga nyaman dikenakan.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Oktober 2025

Monday, October 6, 2025

Pembukaan Sekeluarga

SATU saudara Subud menyampaikan kepada saya bahwa ia berharap semua saudara-saudara kandungnya maupun orang tuanya masuk Subud, agar ia tidak perlu sendirian menanggung “warisan” leluhurnya yang harus ia bersihkan. Saya pun memiliki harapan yang sama, tetapi kami menyikapi harapan itu sebagai sebuah lelucon belaka. Karena “pembersihan diri ditanggung bersama oleh seluruh anggota keluarga” tidak ada dalam kamus Subud.

Di Indonesia, kekeluargaan sangat kuat. Terlihat salah satunya dari kebiasaan mudik (pulang kampung) yang demikian marak menjelang Idulfitri, hingga pemerintah pun secara serius membuat strategi penyediaan sarana transportasi yang memadai untuk itu. Budaya Indonesia sangat menekankan pentingnya kekeluargaan, yang terlihat dari sistem kekerabatan yang erat dan nilai-nilai seperti kepedulian serta keinginan untuk berbagi dengan sesama.

Dalam berbagai hal, seluruh anggota keluarga Indonesia terlibat meskipun untuk kepentingan perorangan. Prinsip hidup yang dianut orang Indonesia pada umumnya adalah “Keluarga adalah tempat seorang individu berpulang”. Sehingga, meski terkesan tidak mandiri, satu anggota keluarga ketika menghadapi masalah akan mendapat dukungan penuh, baik moril maupun materi, dari seluruh anggota keluarga lainnya.

Hubungan kekeluargaan di Indonesia penting karena berfungsi sebagai fondasi pembentukan karakter dan pendidikan nilai-nilai moral, sosial, dan agama, serta sebagai tumpuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, memberikan rasa aman, dan memastikan kesejahteraan anggota keluarga. Selain itu, keluarga merupakan pilar utama pembangunan bangsa dan ketahanan nasional, di mana keluarga yang kuat akan membentuk masyarakat yang kokoh dan penerus generasi yang berkualitas. 

Hubungan kekeluargaan di Indonesia sangat kuat karena dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang erat, nilai-nilai budaya seperti gotong royong dan rasa kepedulian, serta dukungan dari lingkungan masyarakat desa yang interaktif. Warisan budaya dan kebiasaan berbagi serta bekerja sama ini membentuk ikatan kuat antar anggota keluarga dan komunitas, yang menjadi fondasi ketahanan sosial masyarakat. 

Banyak masyarakat Indonesia, terutama di desa, hidup dalam komunitas yang relatif kecil dengan pola pemukiman berdekatan. Hal ini memungkinkan interaksi yang lebih intens dan sering kali mempererat hubungan kekerabatan antar warga, karena mereka biasanya memiliki keturunan yang sama atau hubungan keluarga.

Keterlibatan keluarga besar dalam menopang proses kehidupan anggota individunya dapat dipahami kalau kita menghayati hubungan kekerabatan di Indonesia. Yang menjadi keheranan saya adalah bagaimana keluarga pun dapat terlibat secara penuh dalam aktivitas spiritual salah satu anggotanya, sementara spiritualitas bersifat pribadi, dimana setiap individu memiliki pengalaman, keyakinan, dan cara sendiri untuk mencari makna, tujuan hidup, serta hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, seperti alam semesta atau kekuatan yang lebih tinggi. Tetapi di Subud Indonesia dalam 15 tahun terakhir muncul fenomena yang unik, dengan bergabungnya satu keluarga secara bersama-sama ke Subud. Mereka melalui masa kandidatan tiga bulan mereka secara berbarengan, dan pembukaannya pun bersifat “pembukaan sekeluarga” pada tanggal dan jam yang sama, hanya berbeda ruangan karena perbedaan jenis kelamin dari ayah, ibu dan anak-anak mereka.

Sebagai sesama generasi pertama Subud di keluarga, saya dapat memahami harapan saudara Subud yang saya ceritakan di atas. Di Subud Indonesia ada lelucon mengenai Subud Turunan (Downhill Subud) yaitu anggota Subud yang berasal dari keluarga Subud, mulai dari kakek-neneknya ke ayah-ibunya, dan Subud Tanjakan (Uphill Subud) yaitu mereka yang merupakan generasi pertama Subud di keluarga masing-masing, seperti saya. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dari momen-momen berbagi kami dari kaum Subud Tanjakan terungkap bahwa mereka yang berasal dari Subud Turunan sungguh beruntung, karena kejiwaan mereka “ditopang” oleh para pendahulu mereka yang sudah dibuka dan menerima Latihan. Sedangkan kami yang merupakan generasi pertama mengalami proses kejiwaan yang berat, layaknya mengayuh sepeda di tanjakan yang curam dengan kaki yang belum terlatih untuk itu.

Meskipun bukan sesuatu yang baru, keberadaan anggota bersama sebagian atau seluruh keluarganya tetap menimbulkan kekaguman. Dan meskipun kenyataan itu tidak bisa menjadikan mereka dapat “menanggung bersama” pembersihan leluhur, keanggotaan secara keluarga menciptakan suasana yang berbeda di dalam keluarga serta memperkuat kekerabatan mereka.

Yang saya maksud dalam tulisan ini adalah keluarga yang bukan dari golongan Downhill Subud, melainkan satu keluarga yang kesemuanya masuk Subud pada saat yang sama, dibuka bersamaan waktunya, dan termasuk generasi pertama Subudnya. Di grup Jakarta Selatan khususnya kecenderungan ini cukup signifikan dalam tiga tahun belakangan ini. Saya mengenal secara dekat dua keluarga seperti itu, salah satunya—ayah, ibu dan putri semata wayang mereka—dibuka pada 21 September 2025. Si ayah adalah kakak kandung dari seorang anggota dari Cabang Semarang di Jawa Tengah yang dibuka bertahun-tahun lalu dan merupakan generasi pertama Subud di keluarganya. Sedangkan saat ini, bukan saja si ayah, tetapi juga si ibu dan putri mereka menjadi generasi pertama di keluarga inti mereka.

Menurut cerita Toto (bukan nama sebenarnya), si ayah yang berusia 45 tahun itu, adalah putrinya yang pertama kali minta untuk masuk Subud. Toto sendiri awalnya tidak tertarik, karena dia merasa sudah memahami dunia spiritual melalui pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini dan menyamakan Subud dengan teknik-teknik yang dipraktikkannya selama ini. Ketertarikan putrinya pada Subud menyeret keluarga kecil itu kepada seorang pembantu pelatih muda pria dari Cabang Jakarta Selatan, yang memiliki usaha kuliner. Di kafe sang pembantu pelatih, yang terletak 1,1 km dari Wisma Subud Cilandak itu, keluarga kecil yang dikepalai Toto itu kerap melewati waktu luang mereka dengan mengobrol santai dengan sang pembantu pelatih, yang akhirnya semakin menguatkan tekad putri semata wayangnya Toto untuk masuk Subud. Dengan bercanda, si pembantu pelatih mengatakan bahwa ada baiknya Toto dan istrinya mengikuti masa kandidatan tiga bulan itu untuk menemani anak mereka, sekalian mengalami “masa orientasi” bagi calon anggota Subud.

Dalam masa kandidatan itu, terbukalah pikiran Toto bahwa Subud memang benar-benar berbeda dari jalan spiritual yang diakuinya pernah ditempuhnya. Akhirnya, Toto ketularan putrinya dan terus antusias menanti momen pembukaannya. Ia sangat bahagia ketika akhirnya dibuka, pada tanggal dan jam yang sama dengan istri dan putrinya. Kini ia semakin antusias untuk mengetahui lebih banyak tentang Subud melalui pengalaman-pengalaman dengan bimbingan Latihan Kejiwaan.

Kisah sejenis juga diceritakan ke saya oleh kepala keluarga kecil yang dibuka pada tanggal dan jam yang sama. Sang ayah mengetahui tentang Subud dari tetangganya yang sudah dibuka lebih dari satu tahun sebelumnya. Putri mereka pernah secara bercanda berkata ke saya bahwa tiap kali keluarga kecil itu datang ke Wisma Subud, terutama hari Minggu siang, rasanya seperti piknik keluarga.

Mudah-mudahan ke depannya, semakin marak keanggotaan Subud dengan keluarga sebagai platformnya, sehingga dapat diharapkan terjadi saling memotivasi di dalam keluarga untuk rajin Latihan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 Oktober 2025

Spiritualitas Media Sosial

 




HARI Minggu pagi, 5 Oktober 2025, saya pergi ke Wisma Indonesia, di dalam kompleks Wisma Subud Cilandak dimana setiap hari Minggu menjadi tempat bagi para kandidat. Kemarin itu, saya sengaja ke sana karena janjian dengan teman saya dulu di universitas, yang seusia dengan saya, yang sejak September lalu memulai masa penantian tiga bulannya sebagai calon anggota Subud.

Saya tidak ikut masuk ke ruangan di mana para kandidat mendapatkan penerangan dari para pembantu pelatih yang ditugasi untuk itu, melainkan menunggu di lobi dimana meja administrasi pendaftaran dan pencatatan calon anggota dilakukan. Saya mengamati orang-orang jenis apakah yang di era sekarang mau bergabung dengan perkumpulan spiritual yang di mata Gen Z dipandang “ketinggalan zaman” itu.

Ternyata, teman saya justru yang paling tua. Dia dari Gen X, sedangkan semua peminat lainnya yang mendatangi meja pendaftaran kandidat adalah kaum Gen Z. Tren itu tentu saja menarik bagi saya. Karena penasaran, saya menanyai mereka satu per satu atau secara berbarengan, apa yang mendorong mereka masuk Subud dan dari mana mereka mendapat informasi pendahuluan mengenai Subud.

Dua tiga kandidat memang berasal dari keluarga Subud (apakah ayahnya saja, atau ibunya saja, atau kedua orang tuanya, atau kakek-neneknya atau salah satu saudara kandungnya). Tetapi rata-rata datang karena kesadaran sendiri—bagaimanapun, mereka kebingungan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan alasannya; rata-rata hanya bilang “Dorongan dari dalam!”.

Sementara itu, media sosial menjadi acuan mereka untuk mendapatkan informasi pendahuluan. Uniknya, rata-rata para Gen Z kebetulan saja menemukan informasi tentang Subud, dan bukan hasil dari pencarian yang disengaja. Informasi yang disajikan, meminjam bahasa pergaulan Gen Z, “relate dengan mereka”. Saya jadi menyaksikan kenyataan langsung dari temuan lapangan oleh tim periset Indonesia Millenial and Gen Z Report 2026.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 Oktober 2025

Sunday, October 5, 2025

Mewujudkan Khayalan Menjadi Perwira Angkatan Laut

 


ALMARHUM ayah saya adalah seorang purnawirawan perwira menengah Angkatan Darat Indonesia. Beliau pun memiliki harapan agar putra satu-satunya, yaitu saya, mengikuti jejaknya dengan menjadi perwira TNI Angkatan Darat. Ya, sejak kecil saya memang bercita-cita menjadi tentara Angkatan Darat, tetapi ketika SMA saya berubah pikiran dan ingin menjadi perwira angkatan laut.

Ayah saya heran, tentu saja, mengapa setelah sekian lama beliau mencekoki saya dengan kisah-kisah pertempuran darat yang beliau alami sebagai serdadu Angkatan Darat saya kok malah ingin menjadi anggota Angkatan Laut. Pendorong perubahan cita-cita saya itu adalah film perang Tora! Tora! Tora! produksi Hollywood tahun 1970 yang mengisahkan serangan Jepang atas pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, 7 Desember 1970. Tetapi ketika ayah saya menanyakan mengapa saya ingin masuk angkatan laut, saya menjawab bahwa pakaian seragam dinas upacaranya, yang putih-putih dengan kerah tinggi, sangat keren!

Meskipun cita-cita saya untuk menjadi tentara tidak pernah terwujud secara kenyataan, tetapi berkat Google Gemini AI khayalan saya bisa divisualkan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 Oktober 2025

Tuesday, September 30, 2025

Akibat Terlalu Fokus

DUAPULUH enam September 2025, saya ada janji ketemuan dengan satu teman di apartemennya di kawasan Cipete Selatan, Jakarta Selatan, pukul 14.00 WIB. Selain itu, satu saudara Subud, yang juga sudah saling mengenal satu sama lain dengan teman saya di Jurusan Sejarah FSUI itu, akan bergabung dengan kami.

Saya berangkat dari rumah saya di Pondok Cabe Ilir pada pukul 13.30, dan harus mampir di Jl. Pluto Dalam I Gang Nasir untuk mengambil pesanan istri saya. Seharusnya, dari Jl. Mercurius Timur—jalan yang biasa saya lalui bila ingin ke Jl. Karang Tengah, Lebak Bulus—saya tinggal lurus saja, karena jalan itu bersambung dengan Jl. Pluto Dalam. Tetapi, saya malah dengan santai membelok ke Jl. Mars yang menuju Jl. Karang Tengah. Jalan Mars berada di pertigaan pertemuan Jl. Mercurius Timur-Jl. Pluto Dalam. Setelah perjalanan bermotor saya telah mencapai sekitar 1 km, saya baru tersadar bahwa saya lupa untuk mengambil pesanan istri saya di Jl. Pluto Dalam I Gang Nasir. Saya pun memutar balik sepeda motor saya untuk kembali ke tujuan semula.

Setelah mengambil pesanan istri saya, saya kembali melaju menuju apartemen teman saya. Hikmah apa yang saya dapat dari pengalaman sepele ini? Saya disadarkan oleh diri sendiri bahwa saya terlalu fokus pada tujuan, alih-alih rileks menjalani prosesnya menuju segala sesuatu yang ingin saya capai.

Saudara Subud yang saya jumpai di apartemen teman saya, yang kepadanya saya ceritakan pengalaman itu juga berpendapat yang sama. Saya terlalu terpaku pada tujuan yang ingin saya capai, sehingga mengabaikan jalan yang harus saya lalui untuk sampai kepada tujuan itu. Tujuan itu sendiri sejatinya tidak seberapa bernilai dibandingkan perjalanannya. Sama seperti yang saya rasakan ketika naik kereta api—moda transportasi favorit saya sebagai seorang pehobi kereta api, perjalanannya yang kadang memakan waktu lebih dari sepuluh jam lebih mengasyikkan daripada ketika sampai di tujuan.

Banyak hal yang bisa dipetik dari perjalanan/proses, tetapi yang pasti proses membentuk kepribadian kita; kita menjadi lebih mengenal siapa diri kita. Tanpa perjalanan/proses, kita cenderung terlena sehingga tidak menyadari keadaan ketika sesungguhnya kita telah sampai pada tujuan, sehingga pula kita tidak mensyukuri pencapaian itu.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Oktober 2025

Friday, September 26, 2025

Bagaimana Hobi Membawa Saya Pada Penemuan Diri

 


BAGI saya, dunia berubah seketika peluit kereta membelah udara. Ketenangan saya biasanya langsung mencair, tergantikan oleh kekaguman yang nyaris seperti anak kecil. Ini terjadi secara instan: saya melihat kereta, atau bahkan hanya mendengarnya dari kejauhan, dan saya seperti terangkut ke dunia lain.

Ini bukan sekadar nostalgia; ini adalah gairah yang berakar dalam untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan perkeretaapian. Kunjungan ke stasiun tua yang megah, detail rumit dari set kereta api miniatur di toko hobi, atau bahkan foto lokomotif uap yang memudar, semuanya bisa membangkitkan antusiasme yang sama tak terbatasnya dalam diri saya. Saya menyebutnya sebagai “momen anak usia lima tahun saya”.

Saya adalah seorang railfan, seorang penggemar berdedikasi yang menemukan kegembiraan dalam mengamati, mendokumentasikan, dan mempelajari kereta api dan sistem perkeretaapian. Selama bertahun-tahun, saya melihat hobi ini sebagai pelarian pribadi yang unik. Namun, apa yang dimulai sebagai minat sederhana berangsur-angsur berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih mendalam: sebuah perjalanan penemuan diri.

Saya dulu mengira ini hanyalah soal mekanika, kekuatan, dan sejarah. Dan itu jelas merupakan aspek-aspek yang saya hargai. Tetapi, seiring saya mendalaminya, terhubung dengan sesama railfan, menghabiskan waktu berjam-jam di tepi rel, saya mulai memperhatikan bagaimana perasaan saya. Yaitu rasa gembira murni dan tak tercemar yang jarang saya rasakan dalam kehidupan dewasa saya.

Melalui railfanning, saya telah menemukan jalan unik untuk melakukan introspeksi. Derap ritmis kereta barang, buramnya layanan kereta api penumpang berkecepatan tinggi, kemegahan tenang dari mesin uap yang dilestarikan—setiap perjumpaan menawarkan momen untuk berpijak, kesempatan untuk melepaskan diri dari tekanan hidup sehari-hari dan terhubung kembali dengan bagian diri saya yang lebih sederhana dan lebih autentik.

Kesabaran dibutuhkan dalam railfanning. Kita sering harus menunggu berjam-jam demi mendapatkan bidikan yang sempurna, demi lokomotif tertentu itu. Dalam penantian itu, saya telah belajar banyak tentang melambat, tentang penghargaan, tentang keindahan dalam penantian. Saya juga telah menemukan komunitas yang luar biasa, beragam kelompok individu yang dipersatukan oleh gairah bersama mereka. Ini adalah tempat di mana usia, profesi, dan latar belakang mencair. Kita semua hanyalah anak-anak di toko permen, berbagi penglihatan terbaru kita dan mendiskusikan rute-rute bersejarah.

Pengalaman saya sebagai seorang railfan adalah bukti nyata akan jalur tak terduga yang dapat ditempuh oleh penemuan diri. Apa yang di permukaan mungkin tampak sebagai hobi yang tidak biasa bagi seorang pria dewasa, bagi saya, telah menjadi hubungan penting dengan jiwa saya, sumber kebahagiaan sejati, dan pengingat yang tenang bahwa, terkadang, wawasan paling mendalam dapat ditemukan hanya dengan menonton kereta api melintas.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 September 2025