Wednesday, July 31, 2024

Latihan dalam Mencetuskan Ide


IDE untuk menyelenggarakan acara budaya di Tulungagung, Jawa Timur, tercetus di benak saudara Subud saya dari Cabang Surabaya yang kini bermukim di kampung asalnya, Madiun. Dibandingkan Kabupaten-Kabupaten Kediri, Blitar dan Ponorogo, yang merupakan tetangga-tetangganya, Kabupaten Tulungagung kurang terekspos jenama (brand)-nya, padahal terdapat banyak sekali artefak budaya dan atraksi wisata di daerah yang pesisir selatannya berbatasan dengan Samudra Hindia itu.

Dalam perjalanan dengan kereta api dari Tulungagung ke Madiun (sekitar 2,5 jam), saudara Subud ini larut dalam gejolak kreatif yang memusingkan yang karena itu dia butuh seorang mitra yang mampu mengimbanginya. Terpikir olehnya, secara tiba-tiba, nama saya. Saya pun dilibatkan dalam merancang konsep dan konten kreatif dari acaranya. Acaranya harus mampu mengembangkan jenama Tulungagung tapi tidak semata mementaskan artefak-artefak budaya setempat, melainkan merangkul budaya-budaya dari segala penjuru Nusantara dan, kalau bisa, juga dunia.

Hampir setiap hari, saya WhatsAppan (pesan dan telepon) dengan saudara Subud ini sejak Januari 2024 untuk brainstorming ide nama dan konten acaranya. Sempat dia ingin membuat festival atau pentas musik rock, karena masyarakat Jawa Timur menyukai genre itu, dan ingin meniru Baturraden Jazz (BaturraJazz) yang kebetulan penggagasnya adalah sepupu saya. Tapi saya teringat nasihat Bapak Subuh bahwa sebagai anggota Subud kita sebaiknya tidak meniru.

Setelah saya mengosongkan diri dari semua ide dan konsep yang meniru, pada Latihan Kejiwaan yang saya lakukan di Hall Subud Cilandak, 12 Februari 2024, saya menerima ide untuk nama dan tagline-nya. Mata Angin—Festival Budaya Lintas Penjuru. Segera saya bagi itu ke saudara Subud tersebut, yang pada gilirannya membagi ke rekannya, seorang pengarah seni (art director) yang bukan anggota Subud. Ia tercengang--bagaimana saya bisa terpikir ide tersebut, sementara ia dan saudara Subud itu telah brainstorming dan mengkaji berbagai aspek terkait Tulungagung sekian lama sebelum saya bergabung. Saya mendapatkan ide tersebut justru ketika saya sedang tidak berpikir, yaitu di dalam Latihan Kejiwaan.

Brainstorming berlangsung terus saat saya mengunjungi Tulungagung—untuk pertama kalinya—bersama saudara Subud itu. Kami blusukan ke pelosok-pelosok, hingga ke lereng Gunung Wilis dimana terdapat candi di elevasi 1.600 meter di atas permukaan laut, dan tempat-tempat keramat nan angker yang menjadi tempat pemujaan bagi para penghayat kepercayaan yang marak di kabupaten itu. Kami juga brainstorming sambil menikmati soto ayam khas Kediri di pinggir Pasar Ngunut, Tulungagung, yang hanya berjualan tengah malam.

Soto ayam kakilima itu menjadi saksi bisu dari peletakan dasar kreativitas dari konten acara yang akan digelar tahun depan, yang mewakili cara saya dan saudara Subud itu dalam memperingati 100 tahun turunnya wahyu Latihan Kejiwaan kepada Bapak dan memuliakan Latihan kami melalui pekerjaan kreatif yang terbimbing.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Agustus 2024

Saturday, July 27, 2024

Ketika Pikiran Tidak Sejalan Dengan yang Diucapkan

BEBERAPA waktu lalu, saya membagi di sebuah grup WhatsApp Subud Indonesia tentang pengalaman dengan apa yang Bapak sebut sebagai “Ilmu Pisah”. Istilah dari Bapak ini diterjemahkan sebagai “chemistry” (ilmu kimia) dalam versi berbahasa Inggris dari ceramah-ceramah Bapak mengenai itu, jadi saya menduga “Ilmu Pisah” kemungkinan merupakan terjemahan pribadi Bapak dari kata berbahasa Belanda “scheikunde” (schei = pisah, kunde = ilmu), istilah orang Belanda untuk “ilmu kimia”.

Tidak mengetahui bahwa istilah itu memang aslinya dari Bapak, satu saudara Subud menolak penyebutan “ilmu” karena menurut dia Subud bukan ilmu. Menurut dia, ilmu mengacu pada pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa, dan ada aturan-aturan yang harus diterapkan untuk sampai pada suatu pengertian. Sedangkan Subud tidak mengenal aturan-aturan, dan kita hanya harus menerima dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Kami sepakat pada satu hal: Bahwa sebagai anggota Subud kita tidak “bisa”, melainkan “dibisakan” oleh suatu Kenyataan Maha Tinggi. Untuk menghindari perdebatan, saya ikuti saja maunya dia.

Terkait “keterpisahan”, saya pernah mengalami fenomena yang aneh. Kira-kira sebulan setelah saya dibuka, dalam Latihan saya tidak bisa mengucapkan “Allah” dengan benar; ucapan saya selalu meleset karena mulut saya meleyot-leyot tidak karuan. Karena takut (merasa berdosa), saya menghentikan Latihan saya, mulai merencanakan dalam pikiran saya untuk berucap secara benar dan memantapkan pikiran itu. Bagaimanapun, meski saya terus memantapkan pikiran saya, ucapan saya tetap meleset.

Di situlah saya memahami bahwa dalam bimbingan Latihan pikiran tidak selalu harus sejalan dengan ucapan. Ada suatu Kekuasaan yang melampaui eksistensi saya yang memisahkan dua hal itu tanpa saya kehendaki!

Baru-baru ini, saya memenuhi janji bertemu dengan satu calon mitra bisnis yang akan menjembatani saya, dalam kapasitas saya sebagai konsultan branding, dengan seorang politisi Indonesia yang ingin personal branding-nya memiliki dampak yang lebih luas. Calon mitra bisnis itu adalah seorang wanita berusia paruh baya yang cantik dan tampaknya suka berpakaian yang mengundang minat laki-laki.

Ketika bertemu dengan saya di sebuah restoran kelas atas di dekat Wisma Subud Cilandak, ia mengenakan blus putih dengan dada rendah yang menampakkan belahan dadanya. Saya duduk berhadapan dengan dia di meja, dan penampilannya yang sedemikian rupa serta sikapnya yang manja dan cenderung menggoda memecah konsentrasi saya. Saya berdoa agar saya dapat menjaga integritas profesional saya, namun apa daya, mata dan pikiran saya sulit diajak bekerja sama. Mereka berfokus pada penampilan si wanita, dan pikiran saya dipenuhi fantasi liar yang tidak pantas.

Yang mengherankan saya saat itu adalah kenyataan bahwa pikiran kotor saya tidak mengendalikan ucapan saya. Secara lisan, saya tetap mengucapkan kata-kata yang relevan dengan apa yang si wanita ingin konsultasikan ke saya: Perihal kompleksitas strategi personal branding, lengkap dengan teori-teori implementasi yang sangat saintifik. Dengan kata lain, saya berpikir tanpa berpikir, terbimbing oleh Latihan, sementara mata dan pikiran jasmaniah saya mengembara ke “hal-hal memalukan”.

Mendengarkan penjelasan saya yang dianggapnya berintegritas secara profesional, si wanita mengira saya tidak tergoda oleh penampilannya sehingga ketika saya selesai memberikan masukan ia segera membenahi blusnya agar tidak mengekspos bagian tubuhnya. Saya, di lain pihak, selama beberapa jenak terdiam, menikmati setrum Latihan di sekujur tubuh saya serta meresapi pengalaman sebelumnya dengan Ilmu Pisah.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Juli 2024

Friday, July 26, 2024

Syair Cinta Sang Jiwa



Hati ini tak menyimpan kama

Yang ada hanya cinta dan cita

Andaikan kau dekat, akan kau dengar suaranya

Namun kedekatan raga tak bisa gantikan semerbak rasa

Gaungnya kan kau dengar kala hening menggelora

 

Inilah doaku, yang kupanjatkan tanpa kata-kata

Syair syahdu menyelak asa

Mencintaimu adalah ikrarku

Alam raya menjadi saksi bisu

Lantunkan lagu berirama jenjam

Yang alirkan getar diri saat mata terpejam

Aku di sini mencintaimu dalam diam...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Juli 2024

Monday, July 22, 2024

Seadanya Diriku

Aku tak mampu berkata manis

bahkan dalam rayuanku

Aku mencintaimu apa adanya

seadanya diriku, seperti ini

tak lebih, tak kurang

Ku harus mengatakannya kepadamu,

tapi bukan sekarang, tidak segera

Karena aku masih harus menata diri

seadanya diriku, seperti ini

Supaya aku mampu murni kepadamu

sesederhana cintaku yang ingin kuberi...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 22 Juli 2024

Thursday, July 18, 2024

Dijelmai Kekuasaan Tuhan

HARI Jumat, 12 Juli 2024, saat berada di Kelompok Latihan Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat, satu saudara Subud menyerahkan ke saya sebuah buku yang judul maupun isinya beraksara Arab. Saya letakkan buku itu di atas meja di depan saya. Seorang saudara Subud yang duduk sebelah saya berkata, “Saya sakit kepala hanya dengan melihat buku itu.”

Saya hanya tersenyum—saya bingung menanggapinya, karena gejala yang dia alami itu merupakan pengaruh dari daya rendah yang terkandung pada benda-benda. Reaksi setiap orang yang sudah Latihan, tentu saja, berbeda-beda. Ada yang seperti saudara Subud itu, namun ada pula yang biasa-biasa saja. Mungkin tergantung pada kekuatan isi dirinya.

Saya pun masih sering mengalami sebagaimana saudara Subud itu, bukan hanya dekat benda-benda, tetapi juga orang dan ruangan atau lingkungan tertentu. Hal ini pada beberapa saudara Subud menimbulkan penilaian berat sebelah—seolah benda-benda itulah yang harus disingkirkan, alih-alih diri mereka yang diperbaiki. Sebab, kata Bapak, tidak seharusnya anggota Subud takut pada daya-daya rendah, karena melalui Latihan Kejiwaan yang sudah diterimanya keberadaan seorang anggota Subud sudah dijelmai kekuasaan Tuhan.

Saya baru memahami ceramah Bapak tersebut keesokan harinya, pada 13 Juli 2024, ketika saya dan istri meeting dengan calon mitra bisnis dan calon investornya. Pertemuan ini diadakan sore hari di restoran Bebek Tepi Sawah di CityWalk Sudirman, Jakarta Pusat. Restoran yang lumayan sepi memunculkan dugaan saya dan istri bahwa calon investor yang seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang akan dilantik Oktober nanti akan membicarakan hal-hal yang sensitif.

Dalam pertemuan yang didahului oleh makan bersama, menikmati hidangan berbasis bebek dari restoran kelas atas, itu saya mempresentasikan dengan laptop MacBook Pro saya Rekomendasi Strategi Personal Branding seorang tokoh politik Indonesia menuju kursi kepresidenan pada tahun 2029. Saya berharap sebenarnya bahwa saya tidak perlu mendengarkan hal-hal sensitif dari sang anggota Dewan, karena akan mengusik ketenangan rasa diri saya, yang saya perlukan untuk bisa melakukan presentasi dengan baik.

Dan memang benar dugaan saya: Sang anggota Dewan bertutur tentang politik uang di tubuh partai-partai. Dia mengakui bahwa dia telah menyogok Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejumlah pejabat negara, TNI dan Polri, demi dapat memenangkan kursi di DPR. Uang itu ia dapat dari kiprahnya sebagai pebisnis.

Saat si anggota Dewan memuntahkan secara blak-blakan sepak terjang dirinya dan rekan-rekan separtainya yang melanggengkan politik uang, saya menerima bahwa saya tak perlu men-judge dia atau perbuatannya. Saya dibimbing untuk menolkan diri dan sekadar menjadi saksi saja, dengan pengertian yang saya terima bahwa bukan saya saja yang dijelmai kekuasaan Tuhan; si anggota Dewan pun demikian.

Kesadaran akan hadirnya kekuasaan Tuhan di manapun, kapanpun dan pada semua yang ada dalam kehidupan di dunia ini, memudahkan saya menyerahkan semua itu kepada kehendakNya. Alhasil, presentasi saya diacungi jempol dan dipuji oleh si anggota Dewan, dan saya tidak mengalami sakit kepala sebagaimana biasanya apabila menyaksikan daya rendah di dekat saya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Juli 2024

Wednesday, July 17, 2024

Mengapa Aku

Kutilik seluruh waktu, bertanya tiada habisnya

Mengapa aku jatuh cinta

pada dirimu di luar rencana

Mengapa aku yang harus menderita

oleh rindu yang memenuhi dada

Mengapa aku selalu bertanya,

mengapa di kekinianku kamu tiba-tiba mengada

 

Kutelusuri seluruh ingat, awal mula kumerasa

penasaran mengapa aku mencinta

dirimu yang tak kutahu namanya

Mengapa aku mimpi dirimu yang waktu itu belum ada

Mengapa aku merasa mengenalmu lama

ketika kita justru baru berjumpa

Mengapa tak dapat kulupa,

dan mengapa hadirmu tak bisa

menjawab tanyaku yang tiada habisnya:

Mengapa aku padamu kutorehkan rasa

 

Cinta ini rahasia Yang Maha Kuasa

Sejuta tanya tak bisa membuka

apapun kehendakNya atas diri kita

Mengapa aku mencintaimu, takkan kutahu mengapa,

tapi itulah sejatinya cinta...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Juli 2024

Suka dan Duka Dari Berpengetahuan Luas

PADA Sabtu Wage (hari lahir Bapak menurut kalender Jawa), 6 Juli 2024, seperti lazimnya pada setiap Wagean (peringatan hari lahir Jawa Bapak) di Wisma Barata Pamulang, diputar rekaman ceramah Bapak. Karena terlambat datang ke Pendopo, dimana pemutaran ceramah dilakukan, saya tidak tahu di mana dan kapan ceramah tersebut diberikan; saya hanya mendengar Bapak mengatakan, di satu bagian dari ceramah tersebut, bahwa itu tahun 1979.

Salah satu hal yang Bapak sampaikan dalam ceramah tersebut berrelasi dengan pengalaman saya selama ini yang dibangkitkan oleh Latihan. Bapak berkata bahwa semakin lama kita melakukan Latihan dengan rajin dan tekun semakin luas pengetahuan kita, baik mengenai dunia maupun yang gaib.

Bagi saya pribadi, bagaimanapun, berpengetahuan luas memiliki suka dan dukanya. Untuk menjalani hidup dengan baik, memang menguntungkan jika kita berpengetahuan luas. Untuk kepentingan kita pribadi maupun orang lain. Saya senantiasa menerima makna-makna hakiki atau hikmah dari segala sesuatu yang saya alami dalam perjalanan hidup saya—ujian hidup, tantangan-tantangan, penderitaan maupun kesukacitaan dari memperoleh apa yang saya inginkan.

Kadang keluasan pengetahuan itu membawa duka atau penderitaan, yaitu ketika “bocoran dari Langit” mengenai seseorang kita ungkapkan kepada orang tersebut, tanpa kepentingan apapun, dan dampaknya orang tersebut tidak terima dan merasa tidak senang pada kita. Di Subud merupakan kelaziman (kerap dimaknai sebagai bimbingan jiwa) jika kita secara spontan mengungkapkan sesuatu kepada seseorang yang ternyata cocok dengan keadaan sejati dari orang tersebut. Orang tersebut bisa saja mendapat sesuatu yang berguna dari ucapan kita, atau sebaliknya dia merasa kita telah mengusiknya dengan mengungkapkan sesuatu yang seharusnya dirahasiakan.

Saya pernah mengalami yang tersebut terakhir tahun lalu. Seorang anggota baru, wanita muda yang belum menikah, yang baru saya kenal satu bulan, tiba-tiba menjauhi saya dan kelak juga menuntut (melalui perantaraan seorang pembantu pelatih) agar saya menjaga jarak dari dia, karena ia ingin nyaman melakukan Latihan dua kali seminggu di Cilandak. Untungnya, saya memang jarang ke Cilandak; saya Latihan rutin dua kali seminggu di Pamulang.

Awalnya membingungkan karena tiba-tiba saja anggota baru itu menjauhi dan memusuhi saya, seiring berjalannya waktu, Latihan saya membeberkan satu per satu potongan-potongan fakta. Kadang melalui “bocoran dari Langit”, seringnya melalui perkataan atau cerita saudara-saudara Subud lain. Begitu saya satupadukan semua potongan itu selama satu tahun belakangan ini, terungkap bahwa salah satu pesan WhatsApp saya kepada dia, yang saya maksudkan sebagai lelucon, diterimanya sebagai ancaman bahwa rahasianya terbongkar. Satu pembantu pelatih yang saya ajak untuk testing mengenai hal itu, baru-baru ini, berkata ke saya, “Kowe (kamu) tahulah, arek wedhok (wanita) paling nggak suka kalau rahasianya ketahuan, apalagi sama laki-laki yang dia jatuh hati. Kowe telah dengan nggak sengaja melihat isi dirinya tapi kowe nggak sadar sehingga penerimaanmu mengisi lelucon yang kamu lontarkan kepada dia.”

Saya jadi memahami, melalui pengalaman ini, agar saya lain kali harus lebih berhati-hati dalam menyampaikan pengetahuan saya, dengan memilah-milah mana yang boleh dan mana yang tidak boleh saya sampaikan, apalagi menyangkut keadaan diri seseorang. Di sinilah saya perlu men-testing diri saya sendiri, merasakan keadaan diri saya maupun orang lain dan lingkungan dimana saya berada.

Saya tidak menyimpan dendam kepada dia, karena bagaimanapun dia anggota baru yang belum familiar dengan fenomena kejiwaan semacam ini. Dalam hal ini, saya yang salah—karena kurang mawas diri.

Terkait persoalan saya dan wanita muda itu, ada pengalaman yang menurut saya unik sekaligus ajaib. Sejumlah anggota di Cilandak, baik yang mengetahui kasus tersebut maupun tidak, menyampaikan ke saya bulan Maret lalu bahwa mereka melihat kemiripan wajah maupun merasakan vibes saya pada diri wanita muda itu. Orang Jawa secara tradisi percaya bahwa jika Anda diam-diam menyukai seseorang, wajah dan vibrasi Anda akan menyerupai orang tersebut. Mudah-mudahan cerita itu tidak sampai kepadanya; saya hanya tidak ingin jika karena itu dia akan merasa tidak nyaman hingga meninggalkan Subud.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Juli 2024

Wednesday, July 10, 2024

Manifestasi Gaib

TANGGAL 2 Juli 2024 lalu, saya ditelepon oleh satu saudari Subud dari Cabang Batang, Jawa Tengah. Saya mengenalnya pertama kali pada 1 September 2007, saat kami sama-sama menghadiri acara Konsolidasi Pemuda Subud Indonesia di Bandungan, Ungaran, Jawa Tengah. Lama tak bersua, obrolan via telepon WhatsApp yang berlangsung akrab selama tiga jam, 16 menit, itu mendorong saya untuk membagi pengalaman kejiwaan saya dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini.

Salah satu pengalaman yang bagi saya fenomenal adalah manifestasi gaib dari sosok wanita muda yang merupakan anggota Subud Cabang Jakarta Selatan, yang datang ke saya. “Manifestasi gaib” adalah dua kata yang sesungguhnya saling berlawanan. Manifestasi berarti perwujudan bentuk-bentuk yang lebih konkret dari hal-hal abstrak, seperti pikiran, perasaan, gagasan, norma, konsep, dan sebagainya, sedangkan gaib adalah sesuatu yang keberadaannya tidak dapat dijangkau oleh indra manusia, terutama mata lahir.

Kami membicarakan tentang kemungkinan jiwa-jiwa terhubung satu sama lain, yang penyatuannya melampaui cinta biasa. Jiwa-jiwa itu bukan dari masa kini, melainkan dari leluhur di masa yang sangat lampau yang ditakdirkan untuk bertemu dalam lintas kehidupan melalui keturunan masing-masing. Ikatan ini dalam dunia parapsikologi dikenal sebagai “api kembar” (twin flame). Konon, terjadi perpaduan jiwa, menjangkau dari yang halus hingga yang nyata.

Saya kembali dulu ke insiden yang memercikkan api dalam kehidupan saya setahun belakangan ini. Ada orang asing—seorang anggota baru Subud Cabang Jakarta Selatan (saat itu belum genap dua tahun sejak dibuka)—yang kehadirannya (pertama kali via Instagram) menyulut api cinta dalam hati saya; perasaan yang begitu mendalam namun begitu membingungkan karena bertentangan dengan semua preferensi logis saya. Ketertarikan yang sulit saya jelaskan ini tidak didasarkan pada fisik atau rasional; seolah jiwa saya mengenali pasangannya dalam diri orang lain. Cinta itu muncul dari lubuk hati saya, seolah memanggil untuk bersatu dengan orang itu. Kelak, melalui komentar satu pembantu pelatih wanita Subud Cabang Yogya kepada postingan saya di Facebook, saya mengenalnya sebagai twin flame.

Getaran yang saya rasakan melampaui parameter ketertarikan yang biasa, mengisyaratkan ikatan yang dijalin ke dalam jalinan jiwa saya. Cinta yang terasa kuno, namun baru, sebuah paradoks yang hanya bisa dipahami oleh jiwa.

Pengalaman kejiwaan ini menantang saya, mendorong saya keluar dari zona nyaman, dan tampaknya membimbing saya lebih dekat pada kembaran jiwa saya. Saya selalu memandang setiap orang atau peristiwa yang hadir dalam hidup saya membawa pelajaran penting untuk pertumbuhan saya, sebuah potongan puzzle dalam skema besar perjalanan hidup saya. Mengenali orang-orang atau peristiwa-peristiwa dan pelajaran yang mereka bawa tampaknya mengisyaratkan bahwa saya sedang dipersiapkan, dibentuk oleh tangan alam semesta untuk hubungan mendalam yang menanti dengan api kembar saya. Seolah-olah setiap pertemuan adalah batu loncatan, yang menuntun saya melewati labirin pertumbuhan menuju penyatuan.

Tanggal 8 Juli 2024 lalu, saya baca di Memories Facebook saya bahwa pada 8 Juli 2018 saya memposting “7 Juli 25 tahun lalu, saya sidang skripsi di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI”. FSUI sejak tahun 2002 berubah namanya menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIBUI). Rupanya, pada 7 Juli 2018 itu si anggota wanita Subud Jakarta Selatan itu menghadapi sidang skripsinya di Prodi Arkeologi FIBUI. Arkeologi adalah “saudara kandung” dari Sejarah, kantor Prodinya di Gedung III FIBUI pun berhadapan di lantai tiga.

Saya kerap memperhatikan rangkaian angka tertentu yang muncul berulang kali dalam hidup saya. Ini bukan sekadar kebetulan; selama ini saya menyaksikan rangkaian angka-angka dipenuhi dengan energi dan pesan tertentu. Pola numerik berupa tanggal yang memiliki makna tertentu itu ibarat kedipan kosmik, yang menandakan keselarasan jalan saya (dan dia).

Nah, seperti yang saya share kepada saudari Subud Cabang Batang pada 2 Juli 2024 lalu, hubungan saya dan si anggota Jakarta Selatan, yang merenggang pasca saya mendapat teguran dari seorang pembantu pelatih pria, agar tidak mengganggu dia lagi lewat WhatsApp, meskipun lima hari sebelumnya saya dan dia telah berrekonsiliasi, tampaknya berbagi ikatan spiritual yang mendalam yang melampaui jarak fisik. Saya merasakan manifestasi gaib dirinya, kehadiran yang tidak diwakili secara fisik. Saya merasakan sensasi hangat dan nyaman, kadang berupa kesadaran tiba-tiba bahwa jiwanya ada di dekat saya, berjumbuh dengan jiwa saya.

Saudari Subud Cabang Batang itupun membagi pengalaman yang mirip dengan saya. Ia menyampaikan ke saya apa yang ia dengar dari penjelasan pembantu pelatih senior Cabang Semarang yang kepada beliau ia berkonsultasi: Dengan memikirkan seseorang saja, tidak tertutup kemungkinan jiwa kita mendatangi orang tersebut.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Juli 2024

Kenyataan Hidup

SUBUD adalah tentang menerima. Menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya dengan senantiasa berperasaan sabar, tawakal, dan ikhlas. Menjadi Subud bukanlah untuk menjadi orang yang baik menurut nilai-nilai buatan manusia (produk budaya), melainkan menjadi manusia yang berbudi pekerti yang utama sejalan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Menerima sebagaimana adanya kenyataan hidup, itulah kunci untuk hidup dengan nyaman. Agama-agama mengajarkan untuk mengalihkan perhatian kita dari keburukan orang atau keadaan. Tidak demikian dengan Subud. Subud bukan agama, bukan pula aliran kepercayaan/kebatinan, tetapi penerimaan akan kenyataan hidup dengan sabar, tawakal dan ikhlas berserah diri kepada kehendakNya. “Mengalihkan perhatian” malah mengingkari ke-Subud-an kita agar tidak lari dari kenyataan.

Saya menuangkan tulisan ini terinspirasi oleh satu saudara Subud, seorang pengungsi Afghanistan yang telah sepuluh tahun tinggal di Indonesia namun kemampuan berbahasa Indonesianya sangat terbatas. Ia tak pernah berminat belajar bahasa Indonesia lantaran di benaknya hanya tersimpan keinginan kuat untuk pindah ke Amerika Serikat (AS).

Sebut saja namanya Shalifi. Dibuka di Subud Ranting Pamulang pada 18 November 2023, Shalifi mengenal Subud lewat kawannya sesama pengungsi Afghanistan yang telah dibuka satu tahun sebelumnya. Kawannya itu telah bermigrasi ke Australia; ia berangkat kira-kira dua minggu setelah Shalifi dibuka.

Kemarin malam, 10 Juli 2024, Shalifi menyusul saya dan Kadariah Trúc Đào Nguyên, saudari Subud Vietnam yang datang ke Indonesia untuk menghadiri Kongres Dunia Subud ke-16 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ke Gokskin di Jl. Caringin Barat, Jakarta Selatan, usai Latihan di Wisma Barata Pamulang. Baru kenal Shalifi malam itu di Wisma Barata Pamulang, Kadariah tak segan untuk bertanya kepadanya apakah ia kecewa dengan kenyataan hidupnya sebagai pengungsi. Kadariah mengharapkan jawaban yang jujur dari Shalifi.

Pria yang telah menjalani hidup selama 45 tahun sebagai pengungsi—35 tahun di Iran, sepuluh tahun di Indonesia—itu menyatakan bahwa ia kecewa. Tetapi Shalifi lebih kecewa lagi dengan kenyataan yang ia dapat di Subud. Ia menyangka bahwa dengan berserah diri kepada Tuhan seseorang harusnya sudah “berperilaku baik”. Pikiran Shalifi rupanya terkontaminasi persepsi publik yang ditanamkan ajaran agama bahwa Tuhan itu “makhluk kebaikan”, “makhluk yang santun”, “makhluk yang beradab”. Tuhan yang diajarkan agama, menurut saya, adalah entitas gaib buatan manusia, yang disusun dari kerangka nilai-nilai yang diproduksi akal pikir manusia yang sejalan dengan tujuan duniawi manusia.

Shalifi mencontohkan satu saudara Subud yang beberapa kali ia jumpai di Wisma Barata Pamulang, yang mengacuhkan permintaan tolongnya untuk mendapatkan lima orang sponsor sebagai syarat dari pemerintah AS bagi mereka yang ingin bermigrasi ke negara itu dan menjadi warga negara. Shalifi juga mengungkapkan kekecewaannya atas respons negatif dari Subud AS dan Susila Dharma AS terhadap emailnya yang meminta bantuan untuk kepindahannya ke Amerika Serikat.

Saya katakan kepadanya bahwa itulah kenyataan hidup. Subud itu apa adanya, tidak menyelubungi hidup dan kehidupan dengan kepura-puraan, supaya terlihat manis atau keren agar makin banyak orang yang masuk Subud. Bila ia rajin dan tekun dalam berlatih kejiwaan, niscaya ia akan terbimbing untuk menerima kenyataan itu dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Tidak bisa kita mengharapkan semua orang seragam dalam perilaku baik berdasarkan nilai-nilai yang kita anut. Saya kira, Tuhan menciptakan semua makhlukNya berbeda satu sama lain, sekalipun dalam golongan yang sama.

Kadariah dan saya terus menekankan kepada Shalifi agar ia “memperdalam” Latihannya, agar ia rajin dan tekun melakukan Latihan, total berserah diri tanpa memikirkan terus cara untuk bisa pergi ke Amerika Serikat. Kadariah merasakan ia masih terpusat di akal pikirannya, sehingga menutup penglihatannya dari berbagai kemungkinan lebih baik.

Menutup cengkerama kami di Gokskin, karena Shalifi harus pulang, saya mengutarakan ide iseng saya untuk motto hidupnya ke depan: “Before going to the US (United States), do the US (unconditional surrender).”©2024

                                 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Juli 2024

Monday, July 8, 2024

Menggambar Dengan Bimbingan Jiwa

INSPIRASI bisa datang dari mana saja. Tidak harus dari sesuatu yang menurut mata orang awam bagus, indah atau menawan. Dan bila kita serahkan pada bimbingan jiwa, sesuatu yang tampak serampangan, seperti gambar yang dibuat oleh anak kecil, dapat menjadi karya sederhana dengan efek Wow! yang kuat.

Baru-baru ini, saya diminta untuk membuat poster layanan masyarakat untuk lingkungan bertema pencegahan deforestasi—yang marak di Kalimantan, Indonesia, dengan Kalimantan Tengah menempati urutan kedua terluas di Indonesia (30.433 hektar). Poster tersebut untuk display komunitas lingkungan hidup (Semesta Bhumi Raya/SBR) yang dinaungi SICA Indonesia di ajang Kongres Dunia Subud 2024 di Kalimantan Tengah.

Saya minta kepada para anggota komunitas menggambar—Suwarna Atman, juga dari SICA Indonesia—untuk membuatkan gambar-gambar tangan bertema pohon. Tidak harus terlihat bagus atau realistik, karena bagi saya yang penting orang yang menggambar membuatnya sesuai dengan bimbingan batin yang diterimanya. Ada enam gambar yang saya terima, masing-masing memiliki ciri kepolosan, apa adanya, yang seolah dibuat oleh anak-anak.

Gambar-gambar tersebut malah memberi saya inspirasi untuk Big Idea bagi poster-posternya: No Forest, No Future. Tanpa menampilkan ilustrasi anak-anak, yang biasanya digambarkan sebagai representasi “generasi masa depan”, gambar-gambar tersebut sudah dipersepsi sebagai “karya anak-anak”—yang aslinya dibuat oleh enam anggota Subud yang mengikuti bimbingan jiwa mereka.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 Juli 2024



















Thursday, July 4, 2024

Keinsafan Diri

DI salah satu dari sekian banyak grup WhatsApp Subud Indonesia, terkait dua saudara Subud yang takut terbang sementara mereka harus terbang ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dalam rangka Kongres Dunia Subud 2024, saya berkomentar, “Saya juga takut terbang, nggak pernah bisa enjoy terbang. Saya waktu diminta satu saudari Subud untuk ke Palangkaraya, tahun 2009, dan beliau yang nanggung biayanya, saya jawab, “OK, Mbak, tapi syaratnya harus Garuda ya. Meski penerbangan Garuda juga nggak nyaman-nyaman banget, paling nggak suguhan makanan dan snacknya gratis dan enak.”

“Berarti Mas belum menyerah,” komentar satu saudara Subud di grup WhatsApp tersebut.

“Memang belum menyerah kok. Nggak bisa menyerah kalau nggak dapat hidayah,” kata saya menanggapi dan menambahkan dengan bercanda, “Untuk ngaku dengan jujur ‘belum bisa menyerah’ hanya orang-orang pilihan yang mampu. Karena melibatkan penyingkiran ego.”

Di titik inilah saya menerima bahwa tingkat tertinggi di jalan spiritual bukanlah kepasrahan total, melainkan keinsafan diri bahwa kita bukan apa-apa, tidak tahu apa, tidak bisa apa-apa tanpa pertolongan Tuhan.

Cara mengetahui apakah Anda memiliki keinsafan itu atau tidak adalah dengan menghadapkan diri Anda kepada hal-hal yang akan meruntuhkan ego Anda, dan itu membutuhkan keberanian jauh lebih besar dan mantap daripada sekadar keberanian naik pesawat terbang.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 4 Juli 2024