UNGKAPAN dalam bahasa Inggris “everything happens for a reason” (segala sesuatu terjadi karena suatu alasan) merupakan kalimat yang populer yang telah diterima secara umum di berbagai budaya.
Ungkapan ini menyampaikan keyakinan bahwa peristiwa dan pengalaman dalam hidup tidak terjadi secara acak atau serampangan, melainkan memiliki tujuan atau sebab yang mendasarinya. Hal ini menunjukkan bahwa ada rencana atau makna yang lebih tinggi dan telah ditentukan di balik kejadian yang kita temui.
Pendek kata, segala sesuatu dalam hidup kita, apakah eksistensi orang lain atau peristiwa, tidak ada yang percuma. Semua memiliki nilai kegunaan yang dapat memberi makna bagi hidup kita.
Pada 4 April 2024, Ketua Subud Ranting Pamulang mengirim pesan WhatsApp ke saya, yang intinya imbauan bernada teguran terkait postingan saya di linimasa Facebook saya pada 3 April 2024, dimana saya membagi cerita pengalaman saya dan foto-foto ketika mendapat kesempatan memasuki kamar tidur Bapak di Wisma Barata Pamulang. Bunyi imbauannya sebagai berikut (saya salin apa adanya):
“Kalo kamu mendapatkan suatu kebahagiaan di Subud gak usah dipamer2kan ke orang lain. Cukup dinikmati sendiri saja dan serahkan lagi ke Tuhan. Kalo kamu pamer2kan ke orang lain, itu percuma. Mereka belum tentu menerima yg sama seperti kamu atau bahkan malah jadi sebaliknya.”
Kata “percuma” menggugah saya untuk menuangkan tulisan ini. Saya menghargai imbauan beliau, dan bagi saya merupakan teguran yang mendidik serta mendewasakan saya secara emosional. Jika saya menuliskan pengalaman tersebut di blog saya ini bukanlah sebagai bentuk protes atau kritik saya terhadap imbauan tersebut. Saya memahami dengan baik bahwa imbauan beliau itu berangkat dari harapan agar Bapak dan artefak-artefak bersejarah (seperti yang mewarnai cerita pengalaman yang saya posting di Facebook itu, alih-alih pengungkapan pengalaman esoteris yang subyektif) tidak mengarah kepada pengkultusan atau pengkeramatan, yang nantinya akan mengundang pandangan negatif publik terhadap komunitas Subud.
Sekadar info, mengunjungi kamar tidur seorang tokoh bersejarah merupakan hal yang lumrah di kalangan pecinta sejarah, tidak harus berarti pengkeramatan suatu tempat. Komunitas pecinta sejarah tidak jarang mengunjungi kamar tidur Bung Karno, misalnya, di tempat pembuangannya yang telah dijadikan museum. Atau kamar tidur Napoleon Bonaparte di Istana Fontainebleau, 55 km sebelah tenggara dari pusat kota Paris, Prancis, yang pernah saya kunjungi semasa kanak-kanak saya.
Sebagian dari rumah Kho Ping Hoo di Tawangmangu, Jawa Tengah, yang saya kunjungi pada Juli 2009, bertepatan dengan Musyawarah Wilayah PPK Subud Komisariat Wilayah V Jawa Tengah-DIY, juga telah dijadikan oleh keluarga sang penulis cerita silat legendaris itu sebagai museum kecil, dimana para penggemar Kho Ping Hoo dapat berinteraksi dengan karya-karya dan pekerjaannya. Mendiang Kho Ping Hoo sendiri adalah anggota Subud Tawangmangu. Sebagai alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan history buff, saya memperlakukan artefak-artefak bersejarah peninggalan RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo dengan cara sebagaimana seorang pecinta sejarah memperlakukan benda-benda bersejarah: Dengan penuh hormat, tanpa niat menyakralkan atau mengkultuskan tokoh yang dengannya benda-benda itu pernah berinteraksi.
Kamar tidur Napoleon Bonaparte di Istana Fontainebleau. |
Kembali kepada gagasan “tidak ada yang percuma” yang mendasari tulisan ini. Saya menuliskan hampir semua kisah pengalaman saya sejak dibuka di Subud, yang saya mulai ketika saya pertama kali mengenal platform Blogspot pada tahun 2007. Saya sendiri dibuka tiga tahun sebelumnya. Saya menuliskannya bukan untuk mengekalkan pengalaman-pengalaman tersebut, karena pengalaman hidup dengan bimbingan Latihan Kejiwaan bersifat dinamis, berubah-ubah dalam gerak spiral yang sejalan dengan keadaan seorang pelatih kejiwaan pada suatu periode hidupnya.
Saya menulis hanya untuk menulis (writing for the sake of writing), yang dampaknya memperkaya keahlian saya dalam bidang tulis-menulis, terutama karena saya berkarir sebagai copywriter. Tanpa pernah saya rencanakan, tanpa pernah saya perkirakan, ternyata tulisan-tulisan perihal pengalaman-pengalaman kejiwaan saya (yang pernah dianggap oleh seorang pembantu pelatih senior di Bali sebagai sesuatu yang percuma, buang-buang waktu saja) tidak percuma. Tidak sedikit orang yang setelah masuk Subud berterima kasih ke saya karena merasa terbantu dalam memahami Subud. Semacam pengenalan (introductory) atau bahkan survival kit bagi mereka yang mulai menempuh perjalanan hidup yang telah terisi dengan bimbingan Latihan Kejiwaan. Bagi para pembaca blog saya, ternyata sharing pengalaman-pengalaman Subud saya tidak percuma!
Penyataan terima kasih mereka saya serahkan kepada Tuhan, tentu saja. Saya secara terbuka mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai “pelaku utama dan satu-satunya” dalam produksi tulisan-tulisan di blog ini maupun gagasan-gagasan yang mendasari tulisan-tulisan tersebut. Keinsafan ini membantu saya dalam menundukkan ego saya yang suka sekali menggerakkan kesombongan, seolah sayalah yang menyebabkan orang-orang untuk mau ikut Subud. Terlepas dari peringatan Bapak bahwa Subud tidak boleh dipropagandakan atau diiklankan, nyatanya Subud memang tidak bisa dipropagandakan. Penyaksian saya selama ini menegaskan bahwa seseorang masuk Subud karena panggilan jiwanya, dan bukan karena panggilan orang ke orang.
Di platform Facebook pun, postingan-postingan saya ternyata tidak ada yang percuma—bagi mereka yang secara sadar mengambil manfaat dari itu. Tidak seperti yang dikhawatirkan para anggota dan pembantu pelatih, bahwa keterbukaan mengenai Subud dan (pengalaman) Latihan Kejiwaan kepada publik merupakan sesuatu yang berrisiko, yang dapat menimbulkan pandangan-pandangan yang merugikan Subud, ternyata tidak pernah terjadi, paling tidak dalam kasus saya. Saya berpegang pada nasihat Bapak bahwa makin kita takut pada sesuatu maka sesuatu itu akan menjadi kenyataan! Lagipula, berkat pembiasaan bagi saya untuk “merasakan”, yang ditanamkan oleh para pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya yang mengasuh saya sejak saya menjadi kandidat hingga dibuka, membuat saya bijak dalam menentukan apa yang patut dan tidak patut saya tindakkan.
Saya ingat pada satu pengalaman unik saat menghadiri Kongres Nasional ke-30 Subud Indonesia di Surabaya, 3-5 Februari 2023. Seorang anggota wanita dari Cabang Denpasar membagi satu lembar fotokopi formulir pendaftaran untuk pembuatan kartu tanda anggota Subud pada stan yang diadakan di ajang Kongres Nasional untuk keperluan itu, ketika petugas di stan tersebut menyatakan bahwa formulirnya sudah habis dan belum ada ketersediaan baru dari panitia. Si anggota Denpasar itu segera mengenali saya dan memberi formulir yang telah ia gandakan, sebagai tanda apresiasinya ke saya karena postingan-postingan saya, tentang apa pun, di Facebook, yang telah membantunya menyelesaikan masalah apa pun yang dia hadapi dalam hidupnya.
Saya bingung dan bertanya padanya, “Postingan yang mana ya, Bu?”
“Semuanya, Pak Arifin. Semuanya memberi saya solusi atau hiburan yang membuat saya bisa tertawa di saat sedang susah,” jawabnya.
Saya makin heran; bagaimana bisa postingan saya di laman Facebook saya, yang sebagian besar bertema sejarah Perang Dunia II, teknologi dan strategi militer, dan kadang tentang perkeretaapian, dapat memberi solusi bagi masalah hidup seseorang yang belum tentu relevan dengan tema-tema yang saya posting? Pertanyaan yang saya batinkan ini mendapat jawaban dalam sekejap: “Yang dari bimbingan Tuhan tidak ada yang percuma!”©2024
No comments:
Post a Comment