AKADEMISI yang awam Subud menggelari Subud sebagai “gerakan spiritual” atau “gerakan mistik”. Saya pribadi merasa Subud lebih tepat disebut “gerakan kesadaran”. Karena, ketika dibuka di Subud, saya tiba-tiba menyadari keberadaan saya dalam hidup dan kehidupan saya. Tanpa saya menghendaki, tiba-tiba segala sesuatu pada diri saya maupun di luar keberadaan saya memiliki makna.
Wikipedia menyebut kesadaran identik dengan pikiran. Di masa lalu, kesadaran adalah kehidupan batin seseorang, dunia introspeksi, pemikiran pribadi, imajinasi dan kemauan. Sedangkan di hari ini, sering kali mencakup beberapa jenis pengalaman, kognisi, perasaan atau persepsi.
Bapak kerap menyebut “kesadaran” dalam sejumlah ceramah beliau. Dalam ceramah di Singapura, 24 Februari 1963, Bapak menyatakan: “...Tuhan menghendaki, agar kita dapat menerima apa yang telah diberikan kepada kita dengan kesadaran rasa diri. Artinya, dengan kesadaran jiwa, dengan kesadaran rasa yang mulai dibersihkan.” Dan lagi dalam ceramah di Miami, Amerika Serikat, 31 Juli 1969: “Dan apabila ini saudara, jiwa saudara telah terlatih, jiwa inilah nanti yang mengarungi, yang menjadi wadahnya pengertian kita. Jadi, pengertian saudara, kesadaran saudara, bewustzijn (Belanda: kesadaran) saudara waktu hidupnya di dunia, ini terbawa oleh jiwa. Terbawa.”
Mengenai kesadaran, Bapak mengacu pada pengetahuan atau pengertian kita. Tergambar pada cuplikan ceramah di Rio de Janeiro, Brazil, 13 Agustus 1969, berikut: “Jadi, jiwa itu adalah pengertian dan pengetahuan dan kesadaran, pribadi saudara. Dan kesadaran kepribadian saudara dan pengertian saudara itu adalah tingkat-tingkatan. Kalau pengertian kepribadian saudara itu masih bertingkat, umpama saja, kebendaan, ya saudara tidak akan lebih daripada itu. Artinya, saudara tidak akan, nanti kalau andaikata mati begitu, tidak akan dapat meninggalkan dunia ini; tidak dapat.” Simak pula cuplikan ceramah Bapak di Coombe Springs, Inggris, 13 Agustus 1959, ini: “Kita perlu berjalan dan bertindak dengan keadaan yang tidak perlu tergesa-gesa, tidak perlu dengan nafsu, akal-fikiran, tetapi dengan kesadaran.”
Cuplikan terakhir ini mengingatkan saya pada parabel yang dikemukakan Robert Frager dalam bukunya, Hati, Diri & Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi (Jakarta: Serambi, 1999). Frager, yang seorang syekh mursyid tarekat Sufi al-Jerahi dan profesor psikologi pada Institute of Transpersonal Psychology di California, AS, mengisahkan seorang pria yang ingin belajar tasawuf pada seorang sufi yang bertapa di pegunungan. Di bawah guyuran hujan, si pria, dengan berpayung dan membawa tongkat, mendaki gunung menuju pertapaan sang sufi.
Di ambang pintu gubuk yang merupakan pertapaan sang sufi, si pria menyandarkan payung dan tongkat pada masing-masing sisi pintu—payung di sisi kiri, dan tongkat di sisi kanan—sebelum ia mengetuk pintu. Sang sufi menyambutnya dan mempersilakan si pria masuk. Si pria menyatakan keinginannya untuk berguru pada sang sufi dalam mempelajari ilmu tasawuf.
“Tasawuf itu dasarnya hanya satu,” kata sang sufi. “Kamu hanya perlu sadar!”
“Saya sadar sepenuhnya,” jawab si pria.
“Benarkah?” ucap sang sufi, meragukan jawaban si pria. “Coba kamu beritahu saya, di mana kamu taruh payung dan tongkatmu?”
Si pria dengan sigap menjawab, “Saya taruh di samping pintu tadi!”
“Di sini mana dari pintu kamu sandarkan payungmu dan di sisi mana pula kamu sandarķan tongkatmu?” desak sang sufi.
Si pria terkejut dan lemas. Ia tak ingat detailnya. Sang sufi tersenyum dan dengan lembut ia menyuruh si pria pulang sambil berpesan, “Kamu tahu, kamu ingat, tapi kamu rupanya tidak sadar. Latih dulu kesadaranmu, saudaraku.”
Ada pula cerita Buddha Gautama mengenai kesadaran. Suatu hari, Buddha Gautama ditanya seseorang mengenai apa yang beliau dan para pengikut beliau lakukan. “Kami makan, minum, bekerja, tidur, berkeluarga—“
“Lho, itu kan sama saja dengan kita semua,” komentar si penanya.
“Berbeda! Kami melakukannya dengan sadar,” jawab Buddha Gautama.
Dari cuplikan-cuplikan
ceramah Bapak, parabel dari Robert Frager dan kisah Buddha Gautama di atas, saya
rasa yang dimaksud dengan “kesadaran” adalah perhatian penuh. Tahu dan ingat
belum tentu membuat seseorang sadar akan tindakannya, tetapi kesadaran sudah
pasti membuat orang tahu dan ingat. Inilah yang diperoleh seorang pelatih
kejiwaan, dan karena itulah Subud sejatinya adalah gerakan kesadaran.©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, dan Burger King Cinere, Depok, 15 April 2024
No comments:
Post a Comment