Sunday, April 7, 2024

Apakah Perlu Masuk Subud?

BEBERAPA tahun lalu, seorang pembantu pelatih (PP) Subud Cabang Jakarta Selatan mengundang saya ke rumahnya. Dia meminta bantuan saya untuk berbicara dengan anaknya. Si anak, bungsu dari dua bersaudara, adalah satu-satunya penghuni di rumah si PP yang belum masuk Subud. Dia anak yang cerdas, intelek, dan karena itu ayahnya merasa dia akan sepemikiran dengan saya yang juga pembelajar.

Saya sempat menolak undangan itu, karena si ayah adalah seorang PP, yang salah satu tugasnya adalah memberi penerangan kepada calon anggota Subud. Namun si ayah mengatakan bahwa dia sendiri sudah berusaha memberikan penjelasan tentang apa itu Subud dan mengapa perlu anaknya masuk Subud. Si anak malah membantah semua alasan yang diberikan ayahnya.

Ketika akhirnya saya menyambangi rumah si PP, si anak datang menemui saya di teras. Dia langsung saja menembak saya dengan pertanyaan, mengapa saya masuk Subud dan apa manfaatnya bagi saya. Saya jelaskan apa adanya.

Saya dulu tidak pernah berminat dengan spiritualitas. Saya telah dibiasakan oleh orang tua saya sejak kecil untuk rajin beribadah menurut syariat agama saya, dan bagi saya itu sudah cukup. Memang, sepanjang perjalanan hidup saya hingga akhirnya menemukan Subud saya mengkritisi ajaran agama saya—kebanyakan saya anggap tidak masuk akal atau pembodohan. Tetapi mengapa saya terus saja beribadah, ya karena saat itu itulah satu-satunya cara saya berkomunikasi dengan yang Ilahi.

Sekitar dua tahun sebelum menemukan Subud, saya berhenti beragama dan menanggalkan kepercayaan saya pada Tuhan. Keputusan itu saya ambil lantaran begitu banyak kekecewaan yang saya alami dengan hanya bergantung pada syariat. Banyak pertanyaan saya tidak beroleh jawaban; yang paling membuat saya penasaran adalah bahwa saya tidak tahu bagaimana caranya pasrah dan ikhlas, sedangkan secara etimologis kata “islam” mengacu pada “menyerah” atau “berserah diri”.

Yang menyakitkan adalah ketika ibu saya koma di rumah sakit dan saya dihadapkan pada dilema: terus dirawat di rumah sakit atau dibawa pulang dan menunggu saat beliau tiba (meninggal). Kerabat dan sahabat semuanya menyarankan agar saya mengikhlaskan, namun tidak ada satupun dari mereka memberitahu saya caranya ikhlas.

Saya baru menemukan caranya hanya ketika Tuhan membimbing saya dalam suatu proses kehidupan yang membawa saya ke Subud.

Setelah saya menyudahi cerita saya, si anak tampak terkesan. Lalu, dia bertanya, “Menurut Om, apakah saya perlu masuk Subud?”

Saya tidak segera menjawab pertanyaannya, melainkan saya bertanya pada jiwa saya. Saya kemudian spontan berucap, “Tidak perlu!”

Si anak mengucapkan terima kasih dan mohon diri untuk meninggalkan teras rumahnya karena dia mau pergi ke masjid untuk menunaikan salat Magrib.

Tahun 2021, kembali saya menjawab “Tidak perlu!” atas pertanyaan seseorang mengenai apakah dia perlu masuk Subud—setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari dua saudara Subud saya yang tampaknya begitu bernafsu ingin mengajak orang itu masuk Subud. Lagi-lagi, saya spontan dalam memberikan jawaban. Saya sendiri saat itu tidak tahu mengapa saya memberikan jawaban itu.

Baru-baru ini, di penghujung Ramadan 1445 H./2024, bulan April, ketika melakukan Latihan duduk di depan rumah saya, pasca sahur, saya beroleh jawaban yang jernih: “Jika seseorang masuk Subud karena panggilan jiwanya, maka dia tidak akan lagi bertanya apakah dia perlu masuk Subud.”©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 April 2024

No comments: