BARU-baru ini saya melihat video di akun Tiktok @jadimaukemana yang menggambarkan kiprah Ignasius Jonan selama menjadi Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero). Ingatan saya segera terlempar ke bulan Juni 1994 di Stasiun Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dimana saya dan almarhum paman saya (meninggal pada tahun 2007) menunggu kedatangan KA Gaya Baru Malam Selatan (GBMS). Saat itu, GBMS adalah satu-satunya kereta api kelas Ekonomi murah(an) yang diandalkan masyarakat Jakarta untuk ke Surabaya dan sebaliknya lewat Lintas Selatan Jawa.
Saya ke Surabaya saat itu karena hendak mengunjungi pacar (yang tiga tahun kemudian saya nikahi), sementara paman saya menemani demi saya bisa ditampung di rumah “saudara jauh” yang tinggal di Desa Pabean, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, lantaran saat itu saya tidak kenal siapapun di wilayah Surabaya yang bisa saya inapi rumahnya selama keberadaan saya di Kota Pahlawan.
Kereta Api GBMS yang akan saya dan paman saya tumpangi saat itu jauh sekali keadaannya dengan GBMS yang dikenal masyarakat setelah PT Kereta Api Indonesia (Persero) dipimpin Ignasius Jonan. GBMS pra Jonan tak ubahnya kereta pengangkut hewan dimana pengelola sama sekali tidak peduli pada kenyamanan penumpang. Penumpang pun sepertinya tidak peduli pada bagaimana badan usaha milik negara (BUMN) perkeretaapian Indonesia itu memperlakukan mereka; yang penting terangkut dan bisa sampai tujuan.
Kereta Api GBMS yang saya tunggu-tunggu tiba di Stasiun Purwokerto sekitar jam 12 malam. GBMS termasuk salah satu kereta api “langganan terlambat” saat itu, dengan jam kedatangan di dan keberangkatan dari Stasiun Purwokerto tidak jelas, karena sebagai kereta api Ekonomi PSO (subsidi) dan Lintas Selatan Jawa yang masih berjalur tunggal membuat GBMS harus rela mengalah untuk melancarkan jalan kereta api-kereta api kelas Bisnis dan Eksekutif di lintas tersebut.
Tiket GBMS yang saya beli secara go-show di Stasiun Purwokerto tidak menjamin saya mendapat kursi. Harga tiket GBMS masih sangat murah saat itu. Dengan Rp10.000, kita bisa sampai Surabaya dari Jakarta. Semua kereta di rangkaian GBMS terisi penuh, dipadati penumpang baik duduk maupun berdiri. Untuk bisa masuk ke dalam kereta, saya dan paman saya harus berdesak-desakan dengan penumpang yang memadati bordes. Begitu padatnya, sampai untuk duduk di lantai pun sangat sulit.
Saya berdiri di lorong kereta di dekat bordes, dengan badan saya ditahan oleh penumpang-penumpang lainnya yang juga berdiri di segala sisi saya. Meski kaki saya tidak kuat menopang badan saya sekian lama, toh saya tidak bisa roboh atau merosot ke lantai lantaran demikian padatnya kereta. Saya bahkan tidur dalam posisi berdiri!
Baru setelah GBMS tiba di Stasiun Madiun, sekitar jam tujuh pagi, banyak penumpang yang turun, sehingga lorong kereta melonggar dan saya bisa duduk di lantai dengan kaki terlipat di depan dada karena tidak ada ruang yang tersisa. Semua penumpang yang masih ada di kereta dan memegang tiket tanpa kursi juga merebahkan pantat mereka di lantai kereta. Saya kira tidak semua penumpang membeli tiket, dengan asumsi bahwa kondektur tidak akan memeriksa karena padatnya lorong kereta akan menghambat pergerakan kondektur dan polisi khusus kereta api (Polsuska) yang mendampinginya.
Saat itu, pedagang asongan masih merajalela di areal stasiun dan kadang nekat naik ke kereta meski dipadati penumpang. Stasiun Madiun saat itu masih diwarnai kekhasan yang sangat populer di kalangan penumpang kereta api: Penjual pecel.
Drama GBMS seperti yang saya alami ini sudah lumrah di perkeretaapian Indonesia pra Jonan, dan tidak hanya terjadi di GBMS. Semua kereta api kelas Ekonomi dan Bisnis mengalaminya, dan tidak hanya menjelang Lebaran atau libur Natal dan Tahun Baru. Kapan saja kereta bisa dijubeli penumpang. Karena sebelum Jonan menjadi Direktur Utama PT KAI, layanan BUMN itu berorientasi produk (product-oriented), sehingga yang dipentingkan adalah tingkat okupansi kereta, bukan kenyamanan penumpang.
Begitu Jonan menjadi Dirut
KAI, strategi pencapaian keuntungan usaha diubah menjadi berorientasi pelanggan
(customer-oriented). Bahkan istilah “penumpang”
oleh KAI era Jonan hingga kini diganti menjadi “pelanggan”, karena masyarakat
sudah paham bahwa pelanggan adalah raja, sehingga di kelas apapun di kereta
pembeli tiket berhak diperlakukan manusiawi.©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 23 April 2024
No comments:
Post a Comment