Thursday, February 22, 2024

Menyelami Dunia Penghayat Kepercayaan

TADI malam hingga jam dua dini hari, saya dan mitra kerja saya (yang adalah pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya) berdiskusi dengan para budayawan Tulungagung yang latar belakangnya rata-rata adalah penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pertemuan tersebut bertempat di rumah gubuk Mbak Prih dan Mas Prayit, pasangan penghayat, di kawasan Gunung Budheg, Kecamatan Campurdarat, Tulungagung.

Saya menjadi tahu bahwa banyaknya paguyuban penghayat di Kabupaten Tulungagung (ada 36 paguyuban saat ini) itu dikarenakan “kesamaan misi yang diberikan leluhur dari tiap penghayat”. Jadi, penghayat Sapto Darmo, misalnya, menerima tugas dari leluhurnya (yang disebut Mbah) bisa bekerja sama dengan penghayat Sangkan Paran atau Kapribaden yang menerima misi yang “sama” atau “saling melengkapi”.

Nah, mereka membuat paguyuban sendiri untuk pelaksanaan misi tersebut. Satu paguyuban bisa berisi 100an orang, tapi ada juga yang cuma lima orang, bahkan satu orang. Ini yang membuat jumlah paguyuban dengan laku “Perjalanan” (tidak sama dengan aliran kepercayaan Perjalanan di Subang, Jawa Barat yang wahyunya diterima Mei Kartawinata) banyak sekali di satu kabupaten.

Istilah Perjalanan bagi komunitas penghayat di kawasan Tulungagung, Blitar, Kediri, Ponorogo, dan Trenggalek, berlaku bagi penghayat manapun yang “diperjalankan” melalui tuntunan Tuhan atau leluhur untuk melaksanakan misi mereka masing-masing. Di antara mereka belum tentu saling kenal, tapi dipertemukan oleh “perjalanan” tersebut.

Saya bersama Milla, alumnus Desain Komunikasi Visual ISI Yogya, dan pembimbing spiritualnya, Mbah Par, di teras rumah tempat saya menginap di Dusun Baran I, Desa Pangerejo, Rejotangan, Tulungagung, pada 21 Februari 2024. Milla yang tinggal di Blitar "ditemukan" Mbah Par yang warga Talun, Blitar melalui tanda-tanda khusus dan menjadi bagian dari paguyuban "perjalanan" beranggotakan enam anak muda yang dibimbing Mbah Par.

Mereka berbagi ke saya dan Mas Heru tentang apa itu hakikatnya “budaya” (dan itu bukan kesenian belaka, yang adalah artefak budaya, bukan budaya dalam pengertian hakikinya) yang membuat saya memutuskan untuk membatalkan rencana saya kembali ke Jakarta pada 24 Februari, karena saya merasa membutuhkan waktu lebih lama di Tulungagung dan sekitarnya, lantaran banyak sekali aspek budaya yang mesti saya eksplorasi di daerah ini.©2024

 

Dusun Baran I, Desa Panjerejo, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, 22 Februari 2024

No comments: