PADA perhelatan Konsolidasi Pemuda Subud Indonesia, yang berlangsung di sebuah retret Katolik di Bandungan, Kabupaten Ungaran, Jawa Tengah, pada 1-2 September 2007, seorang pembantu pelatih senior dari Subud Denpasar, Bali, yang berjalan melewati meja di ruang makan dimana saya sedang mengobrol dengan beberapa anggota Subud dari sejumlah daerah, menyeletuk sambil menunjuk ke saya, “Hati-hati dengan Anto! Dia itu sangat usil! PP aja dia usilin.”
Saya menyambut celetukan sang pembantu pelatih dengan tertawa. Karena memang benar perkataannya—saya terkenal sangat usil di lingkungan Subud, terutama di cabang asal saya (Surabaya) dan cabang Jakarta Selatan. Korban keusilan saya sudah banyak; ada yang membiarkan, namun ada pula yang sampai memusuhi saya, karena baper.
Sifat usil dapat dipandang baik maupun buruk, tergantung sudut pandang orang yang menjadi korban dari keusilan. Usil adalah “kenakalan yang tidak jahat”, yang dilakukan oleh tua maupun muda, dewasa maupun kanak-kanak. Saya sulit menahan diri untuk tidak usil atau berusaha menghilangkan kebiasaan “buruk” itu. Hal itu disebabkan, terutama, karena lingkungan tempat kerja saya mensyaratkan keusilan.
Saya bekerja di bidang kreatif, sebagai copywriter dan creative director di perusahaan sendiri yang bergerak dalam industri komunikasi pemasaran, korporat dan keberlanjutan (sustainability communication) yang menopang program pengembangan merek (brand-building/branding) dari perusahaan-perusahaan klien-klien saya. Selama hampir 29 tahun karir saya di bidang ini, saya perhatikan makhluk-makhluk kreatif yang satu departemen dengan saya semuanya memiliki keusilan tingkat dewa. Keusilan bagi kami merupakan bumbu sangat penting dalam mengkreasi karya-karya komunikasi yang berbasis konsep kreatif yang sangat kuat. Bukan sesuatu yang aneh jika Anda menjumpai orang-orang yang memiliki profesi sejenis dengan saya yang usilnya (kadang) keterlaluan.
Psikolog anak-anak yang memeriksa saya, ketika saya berstatus murid sekolah dasar di sebuah sekolah umum di Den Haag, Negeri Belanda (1974-1978), mengatakan kepada ibu saya, yang mendampingi saya saat konsultasi, bahwa usil merupakan indikasi bahwa seorang anak itu memiliki kreativitas yang tinggi. Nyatanya, kesukaan saya berbuat usil membantu saya mengembangkan kreativitas saya dalam banyak hal, karena setiap kali saya usil, saya mendapatkan sesuatu atau pengalaman baru. Saya jadi mampu melihat sisi lain dari suatu keadaan dan mencoba menyelesaikan masalah dengan cara saya sendiri. Kemampuan problem solving ini saya peroleh pada saat saya aktif mengerjakan sesuatu.
Jadi, alih-alih saya menyesali kekurangan
saya ini (lagipula, orang Subud tidak boleh menyesal!), saya mengubah keusilan
sebagai kekuatan saya, yang berguna dalam membantu pekerjaan saya maupun
kehidupan saya secara keseluruhan.©2023
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 14 Agustus 2023
No comments:
Post a Comment