BEBERAPA hari yang lalu, dalam sebuah obrolan via WhatsApp dengan seorang pembantu pelatih dari Subud Cabang Jakarta Selatan, saya menceritakan pengalaman saya dalam beberapa tahun terakhir dengan sejumlah saudara Subud yang memblokir nomor WhatsApp saya karena mereka “baper” dengan apa yang pernah saya sampaikan kepada atau sikap dan perilaku saya di mata mereka. Mereka merasa tidak nyaman untuk terus berhubungan dengan saya.
Jika Anda telah menerima Latihan Kejiwaan, Anda semestinya tidak boleh “baper”, karena itu berarti Anda terpedaya oleh daya-daya rendah—itulah yang saya dan pembantu pelatih itu simpulkan. Kenyataannya memang demikian; “baper” dapat menodai Latihan, membuat Latihan Anda bergerak “ke lain jurusan” dan menghambat pertumbuhan jiwa Anda.
“Baper” adalah sebuah kata dalam kamus milenial Indonesia yang merupakan akronim dari “BAwa PERasaan”. Ada beberapa penggunaan kata “baper”, tergantung konteksnya, antara lain:
· Jangan baper
(don’t take it personally)
· Baperan (thin-skinned, brittle, tempered)
· Baper (terbawa suasana oleh lagu, film atau cerita) (feeling into it)
Saya pernah membuat grup WhatsApp (WAG) yang saya namai “Subud 4G—Anti Baper”, yang memiliki lebih dari 70 anggota dari seluruh Indonesia. “4G” adalah singkatan dari Guyub, Gayeng, Guyon, Gila, dan saya memilih nama tersebut karena pada waktu itu 4G, teknologi seluler generasi keempat, sedang tren.
Di mata para anggota senior dan pembantu pelatih, WAG itu paling kacau, paling tidak beretika, paling tidak sopan, mungkin di seluruh dunia Subud. Postingan-postingan bernada kasar bercampur aduk dengan nasihat-nasihat lemah lembut, para anggotanya saling mengejek, saling menyerang, saling melempar lelucon-lelucon jorok, saling menghina, bercekcok tiada akhir selama tahun-tahun pertama keberadaan WAG tersebut. Banyak anggota yang keluar dari WAG itu, tetapi tidak sedikit yang, karena penasaran, justru ingin bergabung. Sejak dibuat pada 2016, kini tinggal 65 partisipannya, dan hanya 20 persen yang masih tetap memposting secara aktif—terutama meme-meme lucu dan berita-berita terkini terkait penistaan agama yang kemudian dikritisi dari sudut pandang Subud.
Alasan utama saya membuat WAG itu adalah karena pada waktu itu saya tengah gencar mempelajari memetika dan bagaimana manusia dapat dipengaruhi sedemikian rupa oleh persepsi mereka sendiri. Saya seorang praktisi pengembangan merek (branding), dimana memetika dan persepsi merupakan ranah kajian saya untuk dapat menciptakan strategi komunikasi merek yang efektif.
Karena saya yang membuatnya, sayalah yang menjadi admin utamanya, dan mengangkat tujuh anggota lainnya sebagai admin. Enam di antaranya adalah pembantu pelatih dari cabang-cabang Subud di seluruh negeri. Sebagai admin, saya mencermati proses Latihan dalam mentransformasi setiap anggota WAG dari “sangat baper” menjadi “tidak baper”. Mereka yang tidak tahan terhadap “perang daya-daya” biasanya karena mereka tidak berpegang teguh pada bimbingan Latihan, suka menyalahkan orang lain atau keadaan, selalu mengedepankan hati dan akal pikiran mereka, atau masih suka melakukan mixing.
Pendekatan WAG Subud 4G membuktikan bahwa Latihan harus dipraktikkan melalui kenyataan hidup yang keras, dan bahwa proses pembersihan rasa diri tidak selalu menyenangkan, seperti yang dibayangkan kebanyakan anggota Subud. Persis yang dikatakan Bapak dalam ceramah di Cilandak, 9 November 1971 (71 TJD 20), “Tiada kebahagiaan tanpa didahului dengan penderitaan walaupun orang yang berbudi pekerti yang utama.”
Dewasa ini, WAG Subud 4G masih eksis, tetapi situasinya lebih ramah dan lebih damai ketimbang ketika pertama kali dibuat. Daya-daya rendah telah dijinakkan dan dikelola menurut kebutuhan dari setiap anggota. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, para anggotanya pun berhubungan dengan baik (kami sering bertatap muka di sebuah kafe milik seorang pembantu pelatih Subud Jakarta Selatan yang juga admin dari WAG tersebut), saling menyayangi dengan tulus, dan semua mengakui bahwa “proses penuh kekerasan” yang mereka lalui di Subud 4G telah menginspirasi mereka untuk dengan tenang dan ikhlas menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan mereka. Puji Tuhan.©2023
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 2 Agustus 2023
No comments:
Post a Comment