SEORANG saudari Subud, dalam chat-nya dengan saya di FB Messenger, mengutarakan alasannya mengapa dia meninggalkan Subud dan bergabung dengan jalan spiritual lainnya, hanya setahun setelah dia dibuka.
“Saya mendapat pengalaman dalam Latihan dimana diri saya disinari cahaya putih yang membuat saya merasa di surga,” kata dia. “Saya merindukan pengalaman itu, tetapi saya tidak mendapatkannya lagi. Itulah alasan saya mengapa saya tidak mau lagi ikut Subud.”
Dengan polos (lebih karena pura-pura, dan hanya ingin mencandainya), saya berkata, “Wow! Berarti kamu pernah ke surga ya, kok tahu rasanya surga?!”
Saudari ini tidak mampu menjawab saya. Saya beri contoh ke dia dengan perumpamaan dari profesi saya sebagai copywriter periklanan. Ketika saya mempromosikan suatu tempat tujuan wisata, katakanlah Bali, selain saya pernah ke sana, saya juga bisa mempelajari keadaan Bali dari ratusan buku dan pamflet mengenai tujuan wisata itu. Bisa juga dari cerita orang lain yang pernah ke sana. Apa pun sumbernya, semua itu bersifat subyektif, karena bisa jadi pengalaman saya ketika saya mengunjungi Bali malah sangat berbeda dengan apa yang pernah ditulis atau dilisankan mengenainya.
Ketika saya diperkenalkan ke Subud dahulu—oleh rekan kerja yang juga pembantu pelatih di Subud Cabang Surabaya—saya tidak tahu apa-apa mengenainya. Waktu itu, rekan kerja ini mengajak saya ke Wisma Subud di Jl. Manyar Rejo No. 18-22, Surabaya, Jawa Timur, bertepatan dengan kunjungan Mas Adji. Saya diperkenalkan ke Mas Adji sebagai “orang yang ingin tahu tentang Subud”, dan Mas Adji bertanya ke saya, “Apa yang saudara ketahui tentang Subud?”
“Yang saya tahu, Mas, Subud itu perusahaan pertambangan,” kata saya, yang membuat Mas Adji tertawa terpingkal-pingkal. Saya menjawab begitu, karena lebih dari sepuluh tahun sebelumnya, saat berada di dalam angkutan umum bersama seorang teman kuliah, dari arah Blok M menuju Pondok Labu via Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan, ketika lewat depan gerbang Wisma Subud Cilandak, teman saya memberi tahu saya bahwa Subud itu perusahaan pertambangan. “Itu Subud perusahaan tambang, tau nggak lo?! Lihat saja banyak bulenya,” kata dia.
Saat itu, saya lihat tiga pria bule berjalan keluar gerbang Wisma Subud Cilandak. Pada saat itu, era Orde Barunya Soeharto, mayoritas perusahaan pertambangan memang milik asing, atau usaha patungan asing dan Indonesia.
Saya bertahan di Subud hingga hari ini karena saya mempertahankan segala sesuatu sebagai misteri, dan tidak ada keinginan yang terdorong oleh nafsu untuk mengetahui selekasnya. Saya menyukai bagaimana Latihan mengungkapkan misterinya satu demi satu, dan bukannya sekaligus. Greget atau ketegangannya seperti petualangan mengejar cewek cantik yang membuat saya tergiur untuk memilikinya—tetapi ia jual mahal.
Saya pernah mengungkapkan asumsi saya kepada seorang pembantu pelatih senior di Cabang Jakarta Selatan, bahwa para anggota Subud yang berawal dari ateisme atau agnotisme-lah yang cenderung bertahan di Subud, untuk jangka panjang, kalau tidak untuk selamanya. Saya kira karena mereka tidak pernah dicekoki ajaran tentang Tuhan dan ketuhanan yang berasal dari para guru agama, sehingga menerima dan mengikuti bimbingan dari kekuasaan Tuhan (atau apa pun yang mereka percayai) dalam Latihan dapat berjalan mulus karena tidak terjegal oleh gagasan-gagasan yang mengarah ke angan-angan bahwa Tuhan itu baik, maha memberi kebaikan, dan nilai-nilai positif lainnya yang sejatinya adalah ciptaan akal pikir manusia.
Ah, betapa nikmatnya ketidaktahuan itu. Tetapi, seperti kepada seorang pembantu pelatih senior, yang dengan lagak sombongnya berkata ke saya bahwa dia sudah di level tidak tahu apa-apa, saya merespons, “Saya tidak percaya, Pak, kalau Bapak tidak tahu apa-apa! Buktinya, Bapak masih tahu bahwa Bapak tidak tahu apa-apa!”©2023
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 18 Maret 2023
No comments:
Post a Comment