Monday, March 30, 2020

Pergulatan Tradisi Bertani di Tengah Laju Modernisasi


SEIRING berlakunya pasar bebas atau globalisasi, arus barang termasuk produk pertanian, seperti halnya bahan pangan pokok akan semakin bebas dan mudah memasuki wilayah Republik Indonesia. Ini menjadi potensi ancaman bagi petani lokal dan berpotensi menimbulkan ketergantungan pangan kita kepada asing. Kunci menghadapi globalisasi tersebut adalah efisiensi usaha tani. Potensi ancaman tersebut dapat dihadapi dengan tiga langkah yang bersifat mikro, yaitu meningkatkan jumlah produksi sehingga tercapai kecukupan pangan nasional, meningkatkan efisiensi biaya produksi sehingga produk pertanian memiliki daya saing harga, dan meningkatkan kualitas sehingga produk pertanian memiliki daya saing kompetitif serta mengupayakan kontinuitas suplai pangan.

Secara makro, perlu regulasi sektor pertanian dan perlindungan yang lebih baik kepada petani, termasuk perlindungan dari serangan hama, bencana alam, serta pengembangan sarana dan prasarana pertanian, termasuk pengembangan alat mesin pertanian (alsintan) dalam negeri. Semua langkah tersebut tidak terlepas dari keberhasilan implementasi teknologi pertanian modern.

Melalui kebijakan pemerintah yang mengutamakan keberpihakan kepada petani, di antaranya dengan meningkatkan fasilitasi bantuan alsintan secara signifikan, telah menggeser kegiatan usaha pertanian dari sistem tradisional menuju pertanian yang modern. Modernisasi pertanian dapat dilihat pada penggunaan metode budidaya yang lebih baik dan efektif, penerapan alsintan dengan teknologi tepat guna, mulai dari pengolahan lahan, pemanenan, dan penanganan pasca panen, penggunaan benih unggul, pemupukan yang tepat guna dan mencukupi, penggunaan sumber daya manusia pertanian yang lebih berkualitas, serta efisiensi penggunaan sumber daya alam—terutama air irigasi, sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

Modernisasi juga melingkupi aspek pasca panen, seperti sistem panen, pengolahan hasil dan pembuatan kemasan modern dan aman, tata niaga yang efisien, serta terus-menerus menyempurnakan kebijakan pemerintah yang kondusif bagi kegiatan usaha pertanian.

Di satu sisi, modernisasi itu menguntungkan. Namun, dampak buruknya juga tak dapat dipungkiri. Modernisasi yang ditandai dengan penggunaan alat-alat modern dengan alasan efektivitas dan efisiensi dalam kehidupan masyarakat ini ternyata juga mempengaruhi pola pikir masyarakat. Salah satu efek negatif dari modernisasi adalah menyebarnya “racun” di tengah masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, bahwa segala hal yang berkaitan dengan masa lalu, seperti tradisi dan budaya, dianggap tidak layak lagi atau harus ditinggalkan. Sebaliknya, segala hal yang baru dan diimpor dari luar negeri, utamanya Barat, harus diterima dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Akibatnya, banyak tradisi bertani warisan leluhur yang lambat laun hilang tak tentu rimbanya. Kalaupun ada dan dapat dijumpai, hanya terbatas pada acara-acara seremonial kebudayaan yang diselenggarakan pada perhelatan-perhelatan tertentu, seperti perayaan panen atau sebagai bagian dari atraksi wisata. Mengemukanya realita ini tidak sepenuhnya dialamatkan kepada masyarakat sebagai pelaku degradasi budaya tersebut, tetapi dapat juga karena rendahnya kesadaran tokoh-tokoh masyarakat sendiri dalam melestarikan dan mengajarkannya.

Bagaimanapun, tidak sedikit petani yang tidak sepenuhnya bergantung pada pada metode-metode bertani modern, tetapi masih menerapkan pendekatan-pendekatan tradisional, yang kadang sulit dicerna logika, dalam bertani. Kearifan lokal ternyata cukup berakar kuat di sejumlah tradisi bertani di Jawa khususnya. Kearifan lokal dilestarikan karena terbukti telah menyelamatkan pertanian masyarakat selama berabad-abad.©2018


Ditulis ulang pada 30 Maret 2020. Naskah yang aslinya dibuat pada tahun 2018 dimaksudkan untuk buku Sang Penjaga Kearifan Lokal: Pergulatan Tradisi Bertani di Tengah Laju Modernisasi.

No comments: