Monday, March 30, 2020

Catatan Perjalanan Arifin Dwiastoro di Sukoharjo Pada 11-12 Agustus 2018—Bagian 1: Menjaga Keseimbangan Alam

Jalan desa di sepanjang persawahan Dukuh Klurahan.

DIBILANG terpencil tidak juga. Nyatanya, Dukuh Klurahan, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dapat kita temukan dengan Google Street View, sehingga kita yang berada jauh di kota besar dapat menyusuri sebagian jalan-jalan di dukuh tersebut dari layar komputer atau telepon seluler kita. Yang membuat Dukuh Klurahan dapat ditelusuri di Google Street View adalah keberadaan makam bangsawan Kraton Surakarta bernama KGPH Haryo Suryobroto, yang lebih dikenal sebagai Kyai Langsur di kawasan yang dikelilingi persawahan itu. Makam putra dari Pakubuwono V itu dianggap keramat sehingga sering diziarahi banyak orang dari berbagai daerah di Sukoharjo, maupun dari tempat-tempat di luar kabupaten itu.

Dukuh Klurahan menjadi contoh sukses mengusir hama tikus menggunakan burung hantu Serak Jawa (Tyto alba). Setelah warga menggunakan  burung hantu buat menghalau hama tikus, produksi pertanian meningkat, pendapatan petani bertambah. Yang datang ke kampung tersebut pun makin ramai, dari yang sekadar jalan-jalan maupun belajar pada Kelompok Tani (Poktan) “Boga Tani” bagaimana memanfaatkan predator alami guna mengatasi hama tikus.

Persawahan di Dukuh Klurahan. Di tengah tampah sebuah rubuha.
Di musim penghujan, petani Dukuh Klurahan, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, mulai mencangkuli dan menggenangi ladang dengan air. Ladang-ladang siap diolah menjadi sawah, setelah sebelumnya ditanami palawija. Hujan juga penanda bakal datang hama tikus. Di musim tanam padi, para petani harus bersiap menghadapi populasi tikus yang membeludak. Ini mengancam tanaman petani. Guna menghadapi ancaman ini, petani Dukuh Klurahan punya cara jitu. Mereka memanfaatkan manuk dares Serak Jawa sebagai predator alami untuk memberantas tikus.

“Sebelum kami tahu bahwa burung hantu bisa digunakan untuk mengatasi hama tikus yang merusak sawah kami, kami menempuh berbagai cara, seperti gropyokan (ramai-ramai dan serempak memburu tikus di sawah), emposan (mengasapi sarang tikus dengan serbuk belerang), jebakan, menanam tanaman anti tikus seperti bintaro, dan lain-lain,” papar Pak Wied.

Di pematang sawah di dukuh yang berlokasi di pinggir Kota Sukoharjo tersebut, berdiri tiang beton setinggi sekitar lima meter. Tiang itu menopang rumah-rumahan mirip kandang merpati, yang biasa disebut rubuha (rumah burung hantu). Kala siang hari, “rumah” itu seperti tak berpenghuni. Menjelang petang, ada makhluk berwajah seperti jantung, berparuh bengkok, keluar dari rubuha, mencari mangsa.

Pak Widodo alias Pak Wied
dengan burung hantu Serak Jawa.
Minggu, 12 Agustus 2018, saya bertemu Pak Widodo, salah satu pengurus Poktan “Boga Tani” Dukuh Klurahan yang bertanggung jawab atas karantina burung hantu. Dia ditemani Pak Kardiman yang bertugas untuk pembuatan rubuha, Pak Subakdo selaku hubungan masyarakat (humas) “Boga Tani”, dan  Pak Sunarno yang juga humas kelompok tani peduli keseimbangan alam itu.

“Awalnya, PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) memberitahu ada penangkaran burung hantu Tyto alba di Tlogoweru, Demak yang memanfaatkan burung hantu untuk memberantas tikus. Enam tahun lalu kami belajar ke sana,” kata Pak Wied, panggilan akrab Widodo.

Sepulang dari Demak, mereka mencoba membuat rumah burung hantu sederhana secara swadaya. Rubuha itu bertiang bambu diberi takik. Bagian atas bertengger kotak dari papan, tempat burung hantu bersarang. Lalu, pada tahun 2012 pula datang bantuan dari sebuah perusahaan industri tekstil yang berbasis di Sukoharjo berupa tujuh rubuha dan dua ekor burung hantu berjenis kelamin jantan dan betina.

“Tapi itu bukan saya yang terima, tapi lurah Sukoharjo saat itu,” jelas Pak Wied. Ia menuturkan, cikal-bakal keterlibatan perusahaan tekstil itu dalam pelestarian burung hantu di Dukuh Klurahan bermula dari lurah Sukoharjo, yang mengetahui ada kegiatan penangkaran burung hantu jenis Tyto alba di Dukuh Klurahan, lantas meminta bantuan dari perusahaan tekstil itu untuk membuat rubuha. Pihak perusahaan tekstil pun memanfaatkan limbah kayu triplek dari pabriknya untuk membuat rubuha-rubuha yang kemudian diserahkan ke kelompok tani Dukuh Klurahan yang telah menginisiasi penangkaran burung hantu.

Ketujuh rubuha bantuan dari perusahaan tekstil itu ternyata tidak pas, burung tidak dapat memasukinya, sehingga para anggota Poktan saat itu kemudian membuatnya sendiri dari limbah kayu triplek yang diserahkan pihak perusahaan.

“Dua ekor burung hantu jenis Tyto alba juga diserahkan perusahaan tekstil itu, tapi tidak langsung ke sini, melainkan P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air),” kisah Pak Wied.

Perusahaan industri tekstil yang berlokasi di Kelurahan Jetis, Kecamatan Sukoharjo, itu memang telah sejak awal pendirian perusahaan memiliki program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility atau CSR) sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat. Untuk lingkungan masyarakat, perusahaan itu berkomitmen untuk ikut serta memajukan wilayah dan masyarakat di mana perusahaan itu melakukan kegiatan usahanya.

Perusahaan itu juga memiliki wilayah-wilayah binaan yang lokasinya bertetangga dengan pabrik-pabriknya. Pabriknya di Sukoharjo memiliki empat wilayah binaan, yaitu kelurahan-kelurahan yang masing-masing terletak di bagian utara, timur, barat, dan selatan pabrik. Sebagai binaan, keempat wilayah tersebut memperoleh pendampingan materiil dan moril di bidang pendidikan, kesehatan, sosial budaya, kemanusiaan, pertanian, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dukuh Klurahan di Kelurahan Sukoharjo, yang berada di satu kecamatan dengan kompleks pabrik, yaitu Kecamatan Sukoharjo, berlokasi di sebelah utara pabrik yang beralamat di Jl. KH Samanhudi, Jetis, Sukoharjo, itu.

Semakin ke sini, bantuan perusahaan tekstil itu untuk pengembangan pertanian di Dukuh Klurahan semakin kuat. Sebuah kawasan “Rumah Harmoni Alam” dibentuk di dukuh tersebut, terpusat di bagian kampung di mana terdapat karantina Tyto alba yang dilakukan Poktan “Boga Tani”, di samping sebuah greenhouse untuk pengembangan Pertanian Pekarangan Sehat sebagai demplot, dan Rumah Cacing di mana dilakukan budidaya cacing secara produktif sebagai upaya untuk mengelola sampah pekarangan dan sampah rumah tangga yang bersifat organik.

Di samping itu, tim CSR perusahaan tekstil itu membantu warga Dukuh Klurahan mengembangkan perikanan terpal dan peternakan, serta tim “Buserti” (buru sergap tikus), di mana warga yang peduli untuk menyediakan pakan bagi Serak Jawa yang dikarantina dapat menyalurkan hobi menembak hewan buruannya dengan menembaki tikus sawah. Semua kegiatan ini dirancang untuk menjaga keseimbangan alam, meningkatkan kualitas lingkungan, maupun untuk meningkatkan pendapatan petani. Rumah Harmoni Alam adalah atap bagi kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan berbasis masyarakat.

“Awalnya, tahun 2012 itu, burung hantu kami dapat secara swadaya. Ada dua anakan yang kami temukan di rubuha yang kami dirikan. Kemudian, perusahaan tekstil itu menyerahkan lagi dua burung hantu. Sampai Juni 2018 sudah berkembang biak menjadi 253 ekor,” jelas Pak Wied dengan pasti.

Serak Jawa hasil penangkaran Poktan “Boga Tani” kini sudah menyebar untuk menjalankan tugas mereka menjaga sawah-sawah di lima kelurahan. Pak Wied menerangkan, ada dua cara untuk menyebarkan manuk dares tersebut, yaitu dengan menempatkannya di rubuha-rubuha atau dengan melepasliarkannya begitu saja di tengah sawah. Serak Jawa yang dilepasliarkan biasanya tidur di dahan-dahan pohon terlebih dahulu, lalu mencari tempat permanen yang bebas di area di mana mereka dilepasliarkan. “Jadi, mereka tidak akan hilang atau pergi jauh-jauh dari sini. Mereka itu ingat rumahnya,” imbuh Pak Wied.

Keunikan Serak Jawa terletak pada sifatnya sebagai hewan yang betah di rumah, kata Pak Wied. Mereka akan tetap menempati rubuha sampai rubuha itu rusak. “Dia adalah hewan yang setia,” kata Pak Wied.

Para petani Dukuh Klurahan kini berharap adanya perhatian dari pihak pemerintah daerah yang dapat membuat peraturan yang melarang perburuan burung hantu. Untuk menjaga kelestarian dan melindungi keberadaan burung hantu, diperlukan payung hukum. Dengan payung hukum ini diharapkan warga dilarang menangkap, melukai, mengangkut, dan memperniagakan Serak Jawa hidup atau mati di seluruh wilayah Kabupaten Sukoharjo. Warga juga dilarang merusak bangunan tempat tinggal burung dan ekosistemnya.

Sambil menunggu diterbitkannya peraturan daerah yang melarang perburuan burung hantu, perangkat desa telah memasang papan-papan pengumuman larangan menembak burung hantu di pinggir sawah. Sosialisasi gencar dilakukan, baik lewat sekolah, karang taruna, maupun kegiatan warga seperti tahlilan. Sementara itu, Rumah Harmoni Alam juga menawarkan kegiatan Buserti seperti dijelaskan di atas.©2020



Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 30 Maret 2020

1 comment:

fitrah murgianto said...

selamat sore mas arifin, dengan fitra dari palangkaraya. boleh minta nomor kontak pak widodonya g ya?. berencana mau belajar ternak tyto alba juga. terimakasih