Monday, March 30, 2020

Catatan Perjalanan Arifin Dwiastoro di Sukoharjo pada 5 April 2018


MELESTARIKAN tradisi di tengah modernisasi, bukan pekerjaan ringan. Dibutuhkan kesabaran dan keuletan untuk meyakinkan masyarakat bahwa tradisi juga merupakan bagian dari peradaban manusia yang tak bisa dilupakan begitu saja. Inilah yang mendasari para petani di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, banyak yang masih melakoni tradisi bertani warisan leluhur mereka. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa modernisasi pertanian mereka tolak. Dalam beberapa hal, kearifan lokal masih menyertai praktik pertanian di Sukoharjo, walaupun para petani menggarap sawah dengan menggunakan alat mesin pertanian modern. Pertanian modern yang dibarengi kearifan lokal memungkinkan terciptanya pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan, karena para petani selalu terdorong untuk menjaga keseimbangan alam.

Dalam pengertian kamus, “kearifan lokal” (local wisdom) terdiri dari kata “kearifan” (wisdom) dan “lokal” (local). “Lokal” berarti “setempat”, sedangkan “kearifan” sama dengan kebijaksanaan. Secara umum, kearifan lokal dapat dimaknai sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal juga merupakan identitas budaya suatu bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Persis yang dilakukan para petani Sukoharjo yang membarengi modernisasi pertanian dengan tradisi yang sudah mengakar di budaya pertanian setempat.

Kearifan lokal merupakan kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg di suatu daerah. Kearifan lokal memadukan nilai-nilai suci firman Tuhan dengan berbagai nilai yang ada, dan membentuk keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun nilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Di dalam tradisi bertani di Sukoharjo, kearifan lokal tetap dirangkul utamanya bertujuan untuk konservasi keanekaragaman hayati dan menjaga keseimbangan alam. Tanpa memperhatikan aspek keseimbangan alam dalam bertani akan berdampak buruk bagi petani sendiri maupun masyarakat dan lingkungan pada umumnya.

Secara umum, ada dua kearifan lokal dalam bertani yang dipraktikkan petani Jawa juga dilakoni para petani di Sukoharjo, selain sejumlah lainnya yang bersifat khas di satu daerah. Kedua kearifan tersebut adalah pranoto mongso dan tumpangsari.

Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para petani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah lahan pertanian. Pranoto mongso ini mengarahkan petani dalam bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri, meskipun prasarana mendukung, seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat terjaga keseimbangannya.

Dengan adanya fenomena pemanasan global sekarang ini, yang juga mempengaruhi pergeseran musim penghujan, tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian, pranoto mongso ini tetap menjadi pedoman petani dalam mempersiapkan diri untuk mulai bercocok tanam. Pemanasan global juga menjadi tantangan bagi petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal pertanian di Jawa.

Sistem tumpangsari merupakan praktik penanaman beragam biji-bijian sebagai bagian dari peladangan berpindah yang meniru kompleksitas dan keragaman sistem vegetasi wilayah sub-tropis dan tropis. Model pertanian ini dilakukan dengan cara menanam beberapa jenis tanaman yang berbeda dalam suatu areal atau petak tanah secara bersamaan. Pada awalnya, sistem pertanian ini dianggap ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kaidah pertanian modern karena tidak efisien secara kuantitas dan kualitas hasil yang akan didapatkan. Tetapi, terdapat tujuan yang baik dan penting dengan adanya kearifan lokal ini, yaitu untuk melindungi permukaan tanah, menjaga permukaan tanah dari proses erosi, penggunaan volume tanah secara efisien, dan mengurangi kerentanan tanah dari hama dan serangga perusak. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kecepatan tumbuh beragam tanaman tersebut membuat tanah menjadi permanen, di samping itu juga karena tanahnya selalu tertutupi oleh tanaman tersebut secara terus-menerus serta sistem akar tanaman tersebut yang bervariasi.

Modernisasi pertanian selama kurang lebih tiga dasawarsa telah gagal mengangkat harga diri, martabat, dan kesejahteraan petani. Kini sudah saatnya pemerintah mengakui hak-hak petani, seperti kebebasan menjual beras atau menyimpan gabah untuk benih. Peralatan petani Indonesia mungkin sebagian orang belum secanggih negara-negara maju, tetapi ada kalanya petani Indonesia juga memakai apa yang telah diwariskan turun-temurun sejak dahulu. Perlu dilakukan perbaikan dalam sistem budaya dengan lebih mengedepankan konsep kealaman dan berbasis kearifan lokal melalui pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan tetap menjaga kelestariannya. Lahan pertanian dimanfaatkan bukan hanya untuk jangka pendek tetapi juga untuk generasi yang akan datang, sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dan untuk mewujudkan hal itu perlu ada kesadaran dari masyarakat untuk mengubah perilaku dan juga dukungan dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan, serta bagaimana usaha kita untuk membuat petani lebih bersemangat dalam bertani untuk menghidupi negara agraris ini.©2020


Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 30 Maret 2020

No comments: