Monday, March 30, 2020

Membangkitkan Minat Kaum Muda Terhadap Pertanian



SEKTOR pertanian menjadi salah satu komponen pembangunan nasional dalam menuju swasembada pangan guna mengentaskan kemiskinan. Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional di antaranya adalah sebagai penyerap tenaga kerja, menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi lainnya.

Di era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam perumusan permasalahan dan kebijakan pembangunan pertanian. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pembangunan pertanian, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

Di era modernisasi saat ini, kebanyakan warga masyarakat pasti memilih jenis pekerjaan yang berprospek cerah bagi dirinya di masa depan. Ada yang bercita-cita menjadi dokter, guru, polisi, dan lain sebagainya. Berbeda halnya dengan petani; profesi sebagai petani dinilai sebagai profesi yang tidak cukup menjanjikan bagi masyarakat, sehingga sangat jarang ada orang yang benar-benar ingin menjadi petani. Akibatnya, jumlah orang yang terjun ke dunia pertanian semakin berkurang. Hal ini dapat dipahami, karena secara umum banyak petani yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Diakui atau tidak, selama ini pembangunan pertanian telah mengabaikan peranan pemuda. Akibatnya, jarak antara pemuda dengan lahan-lahan pertanian semakin jauh dan proses regenerasi petani pun sulit berjalan, sehingga pertanian tetap didominasi oleh generasi tua yang tentu mempunyai berbagai implikasi. Salah satu implikasinya adalah pertanian berjalan di tempat dan sulit melakukan perubahan yang mendasar. Mungkin ini salah satunya yang menyebabkan kondisi pertanian kita terus mengalami pengeroposan, renta dan “kurang darah”.

Padahal, dengan komposisi pemuda saat ini saja yang hampir dua per tiga dari total populasi, tentu ini sebuah potensi besar yang dapat dioptimalkan untuk membangun pertanian. Apalagi selama ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa agraris dengan dukungan iklim, sumber daya alam, dan sumber daya manusia yang melimpah. Tentu sangat ironis jika kondisi pertanian kita tetap seperti saat ini. intinya, melibatkan pemuda, atau dengan kata lain menyegerakan regenerasi petani, merupakan suatu hal yang sangat mendesak bagi bangsa agraris ini. namun, persoalannya, sejauh mana pertanian itu mampu menarik minat kaum muda?

Adanya kecenderungan para pemuda, terutama yang tinggal di kawasan pedesaan, yang kurang tertarik terhadap dunia pertanian tentu berakibat pada sektor ini hanya didominasi oleh generasi tua yang acapkali kurang responsif terhadap perubahan. Umumnya, dalam pandangan kaum muda, bertani adalah pekerjaan tradisional yang kurang bergengsi dan hasilnya di samping tidak segera dapat dinikmati juga jumlahnya relatif tidak memadai.

Pandangan tersebut tentu mempengaruhi minat orang-orang muda untuk mau menjadi petani. Ini didukung oleh budaya instan dan ingin cepat menghasilkan, sementara pertanian memerlukan proses panjang, keuletan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai risiko internal dan eksternal. Ditambah lagi dengan berbagai kebijakan yang tidak pro petani dan justru seringkali pertanian dipandang sebelah mata serta dijadikan komoditas politik tanpa mempedulikan nasib dan masa depan pertanian.

Di samping itu, kurangnya dukungan para orang tua baik secara mental maupun material terhadap anak-anak muda untuk menjadi petani juga menjadi penyebab pemuda tak tertarik menjadi petani. Alih-alih memberikan dukungan, justru orang tua acapkali menyurutkan semangat anak-anak muda yang ingin menjadi petani. Umumnya orang tua akan lebih bangga jika anak-anaknya menjadi dokter, pengawai negeri sipil, birokrat, pilot, dan profesi-profesi lainnya yang dianggap lebih prestisius. Indikasi untuk ini salah satunya dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah pertanian ataupun fakultas-fakultas pertanian, terutama di perguruan tinggi swasta, yang kekurangan siswa/mahasiswa.

Akhirnya, banyak pemuda, terutama yang tinggal di desa, lebih tertarik pada pekerjaan-pekerjaan non pertanian di kota-kota besar. Mereka bekerja di sektor non pertanian, semisal menjadi pegawai, buruh pabrik, buruh bangunan, jasa transportasi baik yang formal maupun non formal, yang menurut pandangan mereka lebih bergengsi. Jika mereka memiliki keahlian spesifik, tentu hal ini bukan masalah. Namun, nyatanya tak sedikit dari mereka yang tidak mempunyai keahlian spesifik dan keberuntungan justru menjadi beban di kota, karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.

Penurunan jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia berkonsekuensi positif dan negatif bagi pertanian. Konsekuensi positifnya, peningkatan luas lahan dan penurunan jumlah petani gurem. Hasil sensus pertanian menunjukkan rerata luas lahan bertani meningkat cukup signifikan. Rerata luas lahan pertanian pada tahun 2003 sebesar 0,35 hektar menjadi 0,86 hektar pada 2013. Jumlah petani gurem menurun dari 19,02 juta pada 2003 menjadi 14,25 juta pada 2013. Keadaan ini memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan pendapatan.

Konsekuensi negatifnya, ketahanan pangan terganggu di Indonesia. Meskipun secara kuantitas jumlah tenaga kerja di pertanian masih relatif besar, produktivitas lahan akan menurun. Pertama, sebagian besar petani di pedesaan umumnya sudah berusia lanjut. Meskipun jumlah mereka besar, produktivitas mereka sudah menurun. Kegiatan pertanian tidak bisa maju karena tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi pertanian.

Kedua, keturunan petani yang memilih bekerja di luar sektor pertanian umumnya adalah keturunan petani yang berhasil. Keberhasilan mereka ditunjukkan dengan kemampuan menyekolahkan anak sampai jenjang perguruan tinggi. Dengan pendidikan tinggi itu, anak-anak petani tidak mau lagi bertani dan memilih bekerja di sektor lain. Yang tetap menjadi petani, akhirnya, hanya mereka yang berpendidikan rendah dan kalah bersaing dalam mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian.

Pertanian dijadikan sebagai alternatif terakhir setelah seseorang tidak bisa mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung kemajuan di sektor pertanian menjadi penyebab utama mereka tidak lagi mau bekerja di sektor pertanian. Keengganan ini pun didukung orang tua yang sebagian besar bercita-cita agar anak mereka tak bekerja di sektor pertanian.

Ketiga, kegiatan pertanian bagi sebagian besar petani dianggap sebagai pekerjaan sampingan meski mereka mengaku bekerja sebagai petani. Alokasi waktu kerja sebagian besar digunakan untuk kegiatan non pertanian. Pada waktu panen, petani ini akan menggarap pekerjaan di lahan tani. Namun, pada waktu-waktu tertentu mereka memilih bekerja sebagai tukang bangunan, pedagang asongan, atau buruh harian di perkotaan. Pekerjaan yang tak fokus ini menjadi penyebab kurang terurusnya lahan pertanian, sehingga memiliki produktivitas yang rendah.

Masalah regenerasi dapat menjadi hambatan utama untuk implementasi program swasembada pangan di Indonesia. Masalah ini berpangkal pada tidak kompetitifnya upah dan pendapatan di sektor pertanian. Upah tenaga kerja di pedesaan tidak ada setengahnya dibandingkan dengan upah tenaga kerja non pertanian di daerah perkotaan.

Petani juga berhadapan dengan impor produk pertanian yang berharga lebih rendah. Tak ada perlindungan memadai terhadap kehidupan petani agar dapat bersaing dan menangkal membanjirnya produk pertanian dari luar. Petani seperti dibiarkan berjalan sendiri, bahkan subsidi bagi petani kian berkurang. Oleh sebab itu, kebijakan yang mendukung peningkatan kelayakan hidup bagi petani mutlak diberikan agar pertanian tetap menjadi pekerjaan yang menarik, khususnya bagi generasi muda. Perlindungan terhadap petani dari produk impor, permainan harga tengkulak, dan ketertinggalan teknologi juga perlu dilakukan. Tanpa regenerasi yang baik, program swasembada pangan yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia hanya akan menjadi wacana yang tak pernah terwujud.©2018


Ditulis ulang pada 30 Maret 2020. Naskah yang aslinya dibuat pada tahun 2018 dimaksudkan untuk buku Sang Penjaga Kearifan Lokal: Pergulatan Tradisi Bertani di Tengah Laju Modernisasi.

No comments: