Monday, August 25, 2008

Senandika


Lebih dari sepekan yang lalu (naskah asli tulisan ini saya tulis pada 10 Februari 2008), di tempat tatap muka pria, sisi selatan Hall Subud Cilandak, saya, yang agak lelah setelah menempuh perjalanan dari rumah, mengempaskan diri ke kursi. Selain saya, ada satu bapak yang sudah sepuh, yang duduk dekat saya. Saya sudah bertemu dengan bapak itu beberapa kali, tapi baru hari Minggu, 3 Februari itu saya berkenalan dengannya. Ketika sebelumnya saya memarkirkan sepeda motor di pelataran parkir Wisma Subud Cilandak, saya juga bertemu dengan beliau -- bahkan sepeda motor beliau bertengger di sebelah sepeda motor saya. Karena saat itu kami belum berkenalan, maka tegur sapa antar saudara sejiwa ini masih berupa anggukan kepala dan senyum.

Di sudut tempat tatap muka pria, usai berkenalan, si bapak yang masuk Subud sejak tahun 1987 itu mengutarakan kegembiraannya setelah seminggu sebelumnya ia mendapat sesuatu yang bernilai dari ucapan saya yang menurut bapak itu 'usil tapi berisi'. Saat itu, si bapak sedang berdiskusi dengan tiga bapak-bapak lainnya tentang alam gaib. Saya pun nimbrung dan merecoki keasyikan mereka membahas alam gaib dengan berucap, "Makhluk gaib kayak gitu nggak ada gunanya, Pak. Mending ngomongin makhluk gaib bernama peluang."

Ketiga bapak itu terperangah, tersenyum kecut. Mungkin mereka berpikir, "Kurang ajar, nih, anak muda, ngeganggu kesenangan orang aja." Tapi salah seorang di antara mereka ( yaitu bapak yang berkenalan dengan saya sepekan kemudian) berkata, "Setuju, Mas. Daripada ngomongin makhluk gaib yang nggak jelas-jelas, mending mikirin makhluk gaib bernama peluang."

Seminggu kemudian saya berkenalan dengan bapak itu. (Saya membatin, "Anto, Anto, kenapa perlu waktu lama sebelum berkenalan dengan sesama saudara Subud?!") Tatap muka yang hanya dihadiri kami berdua dan tanpa helper itu membuahkan diskusi yang mengasyikkan, ketika masing-masing dari kami mengalami 'kebetulan' (saya beri tanda petik karena kebetulan saya tidak percaya 'kebetulan') . Si bapak itu sudah pensiun; sebelumnya ia menggiatkan hidupnya dengan bisnis manajemen artis. Saya pun berseru, "Wah, 'kebetulan', Pak, saya ngajak Youth bikin enterprise penyaluran tenaga kreatif untuk komunikasi, broadcast dan entertainment. Kapan-kapan Bapak mau kan ngasih workshop manajemen artis untuk Youth?" Si bapak mengangguk-angguk sambil tertawa senang.

Lalu, si bapak berucap, "Saya juga 'kebetulan' ketemu Mas Anto. Saya tuh punya dorongan yang kuat untuk menulis -- menulis apa saja. Anda kan penulis, mungkin bisa bantu saya. Saya bingung memulainya." Saat itulah saya merasakan bahwa pertemuan kami itu sudah diatur oleh Gusti Allah. Saya lantas menjelaskan kepada bapak itu...

Menulis itu sebenarnya mudah. Mulailah dari menjadi diri sendiri; be yourself. Tulislah apa yang benar-benar keluar dari dalam, jangan takut salah. Bagi saya, menulis adalah sarana untuk senandika (soliloquy, 'percakapan dengan diri sendiri').

Karena merupakan senandika, saya menemukan kesenangan dan kepuasan saat menulis dan saat membaca serta membaca ulang tulisan saya. Di situlah saya menemukan kepahaman tentang diri saya, juga tentang berbagai hal. Menulis bagi saya merupakan uji-coba terhadap kepribadian saya sendiri. Melalui menulis saya bisa menjelajahi dunia yang tidak terjangkau atau terakses oleh saya secara fisik; menulis adalah ekspresi imajinasi paling dahsyat, karena mampu menerobos batas-batas realita sekehendak hati penulisnya. Waktu saya masih kuliah, dengan imajinasi seksual yang rada keterlaluan buat ukuran mahasiswa berumur 24 tahun, saya pernah menulis cerita bersambung yang saya jual ke kawan-kawan saya seharga Rp 1.000/episode. Gaya berceritanya sarat dengan kesopanan bahasa yang memukau, tapi muatannya menyamai Kama Sutra, membuat kalangan pembaca cerbung saya berkomentar, "Lu kan belon merit, kok ngerti sih seluk-beluk gituan?"

Dalam mengukur kecerdasan, ilmu psikologi membagi tipe orang menjadi tiga -- penulis, pendengar, dan pembaca. Orang yang bertipe penulis umumnya bodoh ketika sekolah, karena metode pendidikan biasanya memberi tekanan pada mendengar dan membaca. Tipe penulis baru bisa memahami sesuatu bila sudah menuliskan apa yang didengar dan dibacanya tentang sesuatu itu. (Mungkin itu sebabnya rapor saya dari SD sampai SMA banyak merahnya.)

Jika Anda 'kebetulan' tertarik untuk mencoba atau memang suka menulis, tulislah apa yang Anda suka, jangan memaksa diri menulis sesuatu yang bahkan otak Anda saja tidak dapat mencernanya. Kawan saya semasa kuliah mengeluh, karena artikel-artikelnya selalu ditolak media cetak. Dia membahas masalah ekonomi petani, dan di bawah setiap tulisannya selalu ia cantumkan identifikasi dirinya: "Penulis adalah peneliti masalah kawasan dan pedesaan", padahal saya tahu bahwa dia sama sekali tidak berminat pada subyek itu. Ya, dia memang mencantumkan kutipan dari buku-buku karya James C. Scott, Didiek J. Rachbini, atau Prof. Mubyarto, tapi karena dasarnya memang dia tidak minat, dia gagal menjahit kutipan-kutipan itu dengan keseluruhan muatan artikelnya. Editor yang cermat tentu saja bisa langsung menengarai ketidakcermatan kawan saya itu. Bagaimanapun, kawan saya itu tetap ngotot menulis artikel-artikel seputar ekonomi petani, semata karena tulisan-tulisan itu sejenis itu yang mudah mengakses rubrik opini koran nasional. Saya berkesimpulan bahwa ia menulis bukan untuk senandika, melainkan untuk menjadi terkenal!

Tahun 1999, ketika bekerja sebagai editor pada Yayasan Aksara -- sebuah organisasi nirlaba yang bermisi pendidikan dan penyebaran pengetahuan dan informasi mengenai demokrasi dan communal harmony kepada masyarakat madani, berbasis di bilangan Cipete, Jakarta Selatan -- saya berkesempatan menimba ilmu dari gawang lembaga itu: DR Nono Anwar Makarim, SH, LL.M., pakar hukum korporat dan politik ekonomi serta penulis esai andal jebolan Harvard Law School. Artikel saya mengenai konflik India-Pakistan di Kashmir dibedah habis-habisan oleh beliau. Terhadap penjabaran saya tentang kontak artileri antar kedua negara yang bertikai beliau berkomentar, "Anda harus memberi penawar kepada keingintahuan pembaca. Pembaca yang kritis akan segera bertanya-tanya, 'Kenapa bisa begini?' Di sini Anda tulis, 'Militer India membalas serangan Pakistan dengan tembakan howitzer selama tiga hari'. Anda tahu howitzer?"

Saya menjawab, "Iya, Pak. Howitzer adalah meriam besar anti-personil berlaras panjang yang mampu mencapai jarak tembak lebih dari 1.600 meter, yang dipakai untuk menghancurkan benteng dan kubu pertahanan."

"Cantumkan informasi itu di tulisan Anda," kata Pak Nono. "Nah, Anda tahu bagaimana topografi wilayah Kashmir?" Karena beliau melihat saya ragu menjawab, beliau menyuruh saya mengambil atlas di perpustakaan. Beliau menggelar peta India dan Pakistan dan meminta saya menunjukkan letak Kashmir. "Anda lihat sendiri kan, wilayah Kashmir itu berpegunungan. Coba Anda beri analisis dalam tulisan Anda tentang bagaimana howitzer yang besar dan berat itu dapat diangkut ke posisi-posisi serangnya di pegunungan yang sulit dilalui kendaraan." Saya seketika menyadari ketidaktelitian saya. Sejak hari itu, saya berusaha untuk seteliti dan serinci mungkin dalam menulis, karena tugas saya sebagai penulis adalah memberi penawar untuk keingintahuan pembaca.

Semasa kuliah hingga lulus, saya menulis tentang subyek yang saya minati, yaitu kemiliteran, meski sering dicemooh kawan-kawan saya, karena artikel-artikel semacam itu kurang mendapat tempat di media cetak umum. Ketika saya masih kuliah di UI, mahasiswa dianggap keren bila artikelnya berhasil dimuat di Kompas, Media Indonesia, atau Tempo. Saya rutin menulis untuk majalah Teknologi & Strategi Militer (kelompok Penerbit Sinar Harapan) dan Angkasa (Kelompok Kompas-Gramedia) yang pembacanya sangat tersegmentasi, tapi saya puas karena saya berhasil menyalurkan minat saya serta sukses menjadi diri sendiri. Dan kini saya masih tetap doyan menulis, terutama karena memang itu minat dan bakat pribadi saya serta karena termotivasi oleh kata-kata mutiara di bawah ini:

"Orang yang melihat keindahan tulisan seorang penulis, keindahan puisi seorang penyair, keindahan lukisan seorang pelukis atau keindahan bangunan seorang arsitek, pasti mengetahui -- lewat pekerjaan mereka membuat karya-karya yang indah itu -- bahwa mereka memiliki sifat-sifat batiniah yang indah." (al-Ghazali)

"Tiga orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah SWT, seorang penulis yang memberi penawar, dan seorang yang menikah demi menjaga kehormatan dirinya." (Hadis riwayat Thabrani)

"Dengan berkata-kata secara lisan, Anda hanya dapat membujuk dan memengaruhi orang lain sejenak. Ucapan Anda akan mudah terlupakan seiring berlalunya waktu dan peristiwa. Tak seorang pun mendengar apa yang pernah kita ucapkan. Jika kita dapat membujuk dan memengaruhi orang lain melalui kata-kata yang tertulis, kata-kata kita bisa diwariskan turun-temurun sebanyak ratusan generasi ke seluruh dunia. Karena itu, menulis dalam rangka mengangkat kebajikan merupakan penyampaian yang hebat dan merupakan amal yang amat luhur." (Amsal China)

"Tinta sarjana lebih suci daripada darah syuhada." (Nabi Muhammad SAW)

"Verba volant scripta manent -- yang diucapkan dengan kata akan lenyap; yang dituliskan akan tetap berlaku." (Latin)

"Penulis harus mencari uang agar ia bisa hidup dan menulis, tapi ia tidak boleh hidup dan menulis demi uang." (Karl Marx, Her Vogt, 1860)

No comments: