Monday, August 25, 2008

Suara yang Lain


“Berbicaralah dari hati; bila kamu tidak berbicara dari hati kata-katamu biasanya akan tidak punya arti dan terkadang kejam. Berpikir dan mendengarlah lebih banyak dengan hatimu dan kurangi dengan kepalamu; hati tidak bisa ditipu, tetapi kepala mudah dibingungkan oleh hal-hal yang kamu lihat dan dengar serta pendapat-pendapat orang lain. Kata-kata yang keluar dari hati mengandung cinta dan bersifat murni. Orang akan lebih suka mendengarkan kata-kata yang keluar dari hati ketimbang yang keluar dari kepala. Kata-kata dari hati selalu benar serta bercahaya dan penuh cinta.” (Buddha Gautama)


Beberapa bulan yang lalu, saya minta seorang kawan yang berprofesi sebagai desainer grafis, yang belakangan juga merambah bidang desain Web karena tuntutan kliennya, untuk membuatkan desain Web buat sebuah yayasan di mana saya bergiat di dalamnya. Entah karena selera artistiknya rendah atau memang pengetahuan teknis Web-design-nya belum luas, hasilnya tidak memuaskan saya maupun orang-orang lain yang kepada mereka saya perlihatkan hasil rancangan kawan saya itu.

Saya pun menjadi bingung, karena di satu sisi yayasan itu harus segera mempunyai situs Web sebagai sarana untuk mengomunikasikan visi dan misinya kepada publik sedangkan di sisi lain untuk menemukan perancang Web yang handal tetapi relatif murah tidak mudah. Suatu malam, dalam perjalanan pulang, usai berlatih kejiwaan di Kelompok Subud Sudirman (S. Widjojo Centre), saya, yang tengah memusatkan perhatian ke jalan dari sepeda motor yang saya kendarai, tiba-tiba mendengar suara di dalam diri saya. Suara itu demikian jernih, walau di sekitar saya begitu hiruk-pikuk oleh deru kendaraan bermotor. Suara itu ‘berbicara’ singkat saja: “Coba selidiki desain Web temanmu itu.”

Setibanya di rumah, buru-buru saya nyalakan komputer dan memasukkan compact disc bermuatan desain Web rancangan kawan saya itu. Suara itu kembali berbisik, “Jangan dibuka dulu. Lihat dulu file type-nya.” Saya tergolong orang yang gaptek (gagap teknologi); komputer saya pakai hanya untuk menulis dengan Microsoft Word dan menggambar dengan Paint serta main game. Jarang sekali saya terangsang untuk menjelajahi segala kemungkinan yang ditawarkan oleh perangkat-perangkat lunak lainnya. Kini, ‘suara yang lain’ itu menyuruh saya memeriksa file type dari desain Web kawan saya. Saya hanya melihat tiga file bertipe .psd yang bagi seseorang yang rada gaptek seperti saya tidak bermakna apa pun, tetapi suara itu terus menyuruh saya melihat, mengamati dan menyelidiki. Tiba-tiba suara itu menegaskan – mungkin karena dianggapnya saya telmi alias ‘telat mikir’ – bahwa ketiga file itu bertipe Photoshop document!

Sesuatu bergemuruh di dalam diri saya yang susah untuk dijabarkan bagaimana rasanya. Mungkin suatu ekstase, atau orgasme. Pokoknya, saat itu, saya langsung melompat dari kursi dan melonjak-lonjak kegirangan. Setelah kembali duduk di depan komputer saya klik salah satu file, yang terbukanya memang di Photoshop. Saya periksa seluruh menu yang tersedia, tetapi mengalami kesulitan untuk memahami bagaimana kawan saya itu dapat merancang Web dengan Photoshop CS2. Saya sempat mengeluh dan kemudian bergumam lirih, “O God, what did I miss – ya Tuhan, apa yang terlewat olehku?” Pada saat itulah, ‘suara yang lain’ mengarahkan saya ke jendela menu History-nya (yang saat itu juga baru saya pahami gunanya) yang merekam aktivitas apa saja yang telah dilakukan kawan saya ketika merancang tampilan halaman muka (homepage), yang dengan itu saya bisa merujuk pada toolbar serta mengurut prosesnya.

Setelah malam itu, beberapa kali saya menyampaikan keinginan untuk meminjam buku tutorial untuk desain Web – Macromedia Freehand MX dan Flash 8, serta Photoshop CS2 (kesemuanya makanan para perancang era digital) – kepada beberapa orang kawan yang berprofesi desainer. Tak satu pun mengabulkan permintaan saya, dengan berbagai alasan yang malah membuat saya menyimpulkan bahwa mereka khawatir tersaingi oleh saya. Satu orang bahkan blak-blakan mengatakan, “Wah, Mas Anto jangan ngerebut lahan kita dong.” Orang mau belajar kok malah dicemaskan…

Rupanya, Tuhan tidak membiarkan upaya saya berakhir begitu saja. Seorang saudara Subud, yang juga ingin agar situs Web yayasan itu terwujud, mengongkosi saya untuk membeli buku-buku yang saya butuhkan. Istri dan adik saya pergi membelinya. Mereka ‘salah beli’ satu buku, yaitu tentang Adobe Fireworks CS3, sedangkan komputer saya belum di-install dengan software itu. Namun, tidak lama kemudian, saya direzekikan oleh Tuhan dengan memperoleh program Fireworks dan Dreamweaver, yang ketika saya ceritakan ke para desainer kawan saya, mereka tambah khawatir! “Hah?! Itu kan software Web-design semua? Emangnya Mas Anto mau jadi Web-designer?” tanya satu orang dengan nada curiga.

Itu kisah tentang desain Web. Kisah kedua yang hendak saya sampaikan di sini adalah tentang ponsel CDMA yang baru-baru ini saya peroleh dari istri saya. Sejak dibeli hingga seminggu kemudian, baterenya cepat sekali habis, tidak sampai sehari, padahal jarang dipakai untuk menelepon maupun SMS. Suatu hari, ponsel itu benar-benar low-bat, tetapi karena sudah larut malam, istri saya mematikan ponsel tersebut. Saya men-charge baterenya keesokan paginya, masih dalam keadaan mati. Nah, besoknya lagi saya baru menyadari bahwa baterenya masih full. Saya cari informasi tentang hal itu di buklet petunjuknya, tetapi tak satu pun menjelaskan soal itu, sedangkan pemilik gerai yang menjual ponsel itu, yang sempat ditelepon istri saya berkaitan dengan batere itu, menjawab, “Ya, maklum Bu, kan HP murah. CDMA lagi. Baterenya emang nggak tahan lama.”

Dalam perjalanan ke perusahaan tempat saya bekerja sebagai freelance copywriter, di atas jembatan Semanggi yang sangat ramai, tiba-tiba terdengar di dalam diri saya gaung ‘suara yang lain’, yang mengajarkan kepada saya yang amat bodoh ini bahwa “lain kali kalau nge-charge batere CDMA kamu, matiin dulu.” Dengan cara itu, ternyata ponsel CDMA tidak low-bat sampai 4 hari berturut-turut, walaupun selama itu saya sering ber-SMS dan menerima telepon yang durasinya cukup lama. (Kalau saya ceritakan hal ini kepada penjualnya dia pasti menyesal karena telah menjualnya dengan harga sangat murah.)

Dua pengalaman tersebut di atas berkaitan dengan teknologi, yang merupakan bidang di mana saya gagap. Tetapi kenapa saya kok jadi paham dan menguasainya? Ini berkat ‘suara yang lain’ tadi. Kita semua memilikinya. Biasanya disebut ‘suara batin’ (inner voice) atau ‘suara hati’ atau ‘bisikan kalbu’. Menurut A. Reza Arasteh dalam bukunya, Growth to Selfhood: A Sufi Contribution (1998), semua orang paling tidak sekali dalam hidup mereka pernah mendengarkan suara batin mereka dan mengikuti petunjuknya. Saya tidak akan membahas di sini, apa atau siapa sebenarnya ‘suara yang lain’ itu, karena nantinya saya akan terjebak dalam upaya ‘mereka-reka Tuhan’ yang menurut saya konyol.

Dalam film Karate Kid yang pertama (1985), Sensei Miyagi (diperankan oleh Pat Morita) menyuruh murid karatenya, pemuda Daniel Larusso (Ralph Macchio), merancang tampilan tanaman bonsai. Daniel tidak mengerti bagaimana melakukannya, karena baginya tanaman bonsai saja merupakan sesuatu yang baru dilihatnya. Sensei Miyagi bilang, “Ikuti saja petunjuk dari dalam dirimu.”

“Dari mana saya tahu, kalau itu benar?” tanya Daniel, lugu.

“Yang berasal dari dalam selalu benar!” tandas Sensei Miyagi.

Dialog guru-murid itu kembali terngiang-ngiang di kepala saya sejak Karate Kid ditayangkan HBO baru-baru ini. Saya terkesan dengan ucapan Sensei Miyagi itu, terutama karena saya pernah dan sering mengalaminya sejak kecil. Waktu kecil hingga SMA, saya sangat introvert; karena itu, saat-saat berdialog dengan diri sendiri amat saya nikmati. ‘Suara yang lain dari diri saya’ menjadi sahabat dalam kesendirian. ‘Suara yang lain’ itu acap memberi saya solusi jitu, bahkan dalam hal-hal yang saya tidak punya pengetahuan mengenainya.

Di lingkungan PPK Subud Indonesia , saya sering dikritik (bahkan dicerca) terkait dengan tulisan-tulisan yang saya sebarluaskan lewat e-mail seperti tulisan yang sedang Anda baca ini. Tulisan saya dikritik sebagai ‘produk nafsu dan akal pikir’. Sebisa mungkin saya membela diri, tetapi selebihnya saya serahkan saja kepada Tuhan (mungkin kritikan itu memang wujud ujianNya bagi saya). Sebaliknya, ada juga yang memuji saya dan saya pun dianggap ‘ahli dalam tulis-menulis’. Anggapan itu justru membebani saya, karena selama ini saya menulis dengan didikte oleh ‘suara yang lain’ itu. Ada beberapa saudara Subud, termasuk yang akrab dengan saya, yang berpesan agar saya menulis tentang subyek-subyek tertentu. Saya tidak pernah berhasil melakukannya betapa pun kerasnya saya berusaha, karena rupanya ‘suara yang lain’ tidak bisa diperintah-perintah ; suara itu malahan memberi saya petunjuk untuk melakukan sesuatu yang lain – yang jauh lebih bermanfaat bagi diri saya.

Dalam berinteraksi dengan klien yang merupakan bagian dari dinamika profesi saya sebagai praktisi komunikasi pemasaran, mendengarkan ‘suara yang lain’ banyak membantu saya, utamanya saat saya bingung tentang apa sebenarnya yang dimaui klien. Suatu kali, ada klien yang bingung tentang apa yang akan dikemukakannya dalam profil usahanya. Dia saja bingung, apalagi saya! Tetapi ketika saya berada di rumah, merenung seorang diri, ‘suara yang lain’ dengan semangat bercerita bahwa “klien kamu itu pengen ngangkat layanannya yang unik sebagai tema utama company profile-nya!”. Klien bersangkutan kemudian tak henti-hentinya mengungkapkan kepuasannya atas konsep kreatif profil usahanya, utamanya naskahnya yang menurutnya berhasil menerjemahkan keinginannya yang semula sulit ia utarakan: Mengedepankan layanan uniknya!

Agar dapat menangkap ‘suara yang lain’ secara jernih dan jelas, Anda tidak perlu berlatih kejiwaan Subud, bertarekat Sufi atau bertapa sekian lama di tempat-tempat yang jauh dari keramaian – semua itu bahkan tidak ada manfaatnya jika Anda tidak mau berusaha menggali diri Anda sendiri. Dan tidak pula ada hubungannya dengan bawaan dari lahir. Hanya diperlukan kesediaan untuk bersabar, ikhlas dan yakin ketika mengheningkan diri. Mengheningkan diri bukan dengan duduk diam, tidak melakukan apa-apa, lho. Banyak yang salah kaprah mengenai hal ini. Konsep meditasi (dhyana) yang diajarkan oleh Sang Buddha ternyata bermakna ‘melakukan segala sesuatu secara sadar’, yaitu memusatkan perhatian pada apa yang kita lakukan, meredam ingar-bingar segala keinginan dan kembara pikiran (wandering thoughts) agar tersisa ruang yang lapang bagi bergaungnya ‘suara yang lain’.©


No comments: