Monday, August 25, 2008

Berita Pembawa Derita


Pada 23 April 2003, pagi, saya membaca koran di ruang keluarga di rumah peninggalan orang tua saya. Saat yang sama, kakak saya menonton reportase pagi dari sebuah stasiun televisi swasta, yang melaporkan aksi pengrusakan terhadap aset-aset milik jemaah Ahmadiyah. Saya sesekali berhenti membaca koran dan ikut menonton. Tayangan berita itu ternyata menebar amarah: pelaku yang diberitakan mengamuk, dan yang menonton berita ikut mengamuk, mengumpati pelaku pengrusakan. Saya kemudian mengabaikan semua itu: koran saya lipat, perhatian saya pusatkan pada makanan yang saya makan dan minuman yang saya minum, dan diri saya yang kemudian larut dalam keheningan.

Hingga saat itu, saya sudah berbulan-bulan tidak membaca, menonton, dan mendengar berita di koran, televisi dan radio. Saya hanya membaca artikel opini bertema sosial-kemasyarakat an, spiritualitas, dan temuan-temuan ilmiah, menonton HBO, Cinemax, Star Movie atau stasiun televisi swasta lokal yang menayangkan film bagus, serta mendengarkan program-program musik dari radio. Tidak pernah lagi saya berani melongok berita. Berita-berita dewasa ini hanya menayangkan derita dan membuat pemirsa juga menderita kecemasan, peningkatan emosi dan stres. Cengkeram media memang kejam. Etika jurnalistik serta aturan penyiaran seringkali dilanggar demi mencapai jumlah kepemirsaan (viewership) atau tiras, dan rating, mengabaikan tekanan psikis yang harus ditanggung penonton, yang menonton dengan sengaja maupun tidak sengaja.


Dahulu, sebelum berlatih kejiwaan Subud, saya juga berkepribadian destruktif, pemarah dan pendendam. Mendengar kata-kata 'bunuh', 'hajar' atau ancaman saja darah saya sudah mendidih, apalagi melihat langsung aksi kekerasan. Kini, terkadang amarah itu muncul, tapi segera redam setelah saya menenteramkan diri. Dendam kesumat membuat saya lelah, dada saya sesak dan menimbulkan insomnia sejenak. Karena itu, saya selalu berharap agar amarah tidak lagi menghinggapi saya.

Tapi, adakah manusia yang pernah mendapatkan momen perdamaian atau ketenteraman yang langgeng? Bukankah manusia selalu berada dalam cengkeraman konflik atau ketegangan? Pertanyaan-pertanya an ini diajukan Robert Leckie dalam bukunya, Warfare (Harper & Row, 1970). Menurut Leckie, perdamaian adalah mustahil selama manusia secara naluriah masih merupakan hewan yang agresif, yang terus-menerus berkonflik dengan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Bahkan, lanjut Leckie, seisi dunia ini pun berkonflik: angin melawan ombak, manusia melawan alam, melawan sesamanya serta melawan dirinya sendiri. Lagipula, tambah Leckie, pasifisme (cinta damai) bukanlah naluri seperti halnya agresivitas. Ia adalah suatu ideal, sebagaimana halnya sikap dermawan. Kesimpulan yang bisa diambil dari pernyataan Robert Leckie ini, barangkali, adalah bahwa dunia kita bisa terbebas dari konflik dan kekerasan, jika kita tidak lagi bertarung dengan diri sendiri.

Namun, apakah mungkin sisi gelap dari diri kita seluruhnya dihilangkan? Apakah wajar bilamana pertarungan sifat-sifat setaniah dan ilahiah kita mengalami gencatan senjata secara permanen? Sejak aktif berlatih kejiwaan Subud, saya pernah mengalami keadaan tidak bisa marah selama hampir setengah tahun. Pada mulanya, jika ingin marah saya redam dengan pemikiran bahwa amarah adalah dosa. Lama kelamaan, saya malah tersiksa karena tidak bisa marah. Ujung-ujungnya, saya jadi layu bak kembang yang tak pernah disiram air. Tanpa pernah marah, hilang pula keinginan-keinginan , dan bahkan kemudian mengganggu keseimbangan antara diri saya dengan lingkungan. Setelah hampir enam bulan, saya naik pitam, hanya karena seorang account executive di tempat saya bekerja dahulu belum mempersiapkan segala sesuatu untuk presentasi ke klien, sementara janji bertemu kliennya tinggal setengah jam lagi. Padahal, sebelum-sebelumnya saya pernah menghadapi keadaan yang lebih parah, seperti terserempet mobil, tapi saya tidak bisa marah.

Amarah saya segera reda setelah sang AE minta maaf dan berjanji lain kali ia akan mempersiapkan segala sesuatunya secermat mungkin sebelum bertolak ke klien. Dan, ajaibnya, selama sisa hari itu saya kembali tidak bisa marah lagi. Dari pengalaman ini, saya memperoleh pemahaman bahwa marah itu perlu jika keadaan memang mengharuskan, tapi jangan sampai berlarut-larut, apalagi sampai menimbulkan dendam.

Kata sementara orang, utamanya mereka yang menempuh jalan spiritual, amarah merupakan tanda kelemahan, suatu keadaan di mana kita didudukkan di tingkat yang sejajar dengan hewan atau setan. Padahal amarah adalah perangkat terpasang pada setiap diri kita, yang memicu daya dorong untuk bertindak. Tanpa unsur amarah, kita tak akan bisa mewujudkan kehidupan di muka bumi ini. Masalah baru muncul apabila kompor amarah bukannya diperciki air (ketenteraman) tapi malah disiram bensin (kekalutan pikiran).

Kemarahan yang melampaui batas, kebencian dan kekerasan membawa tekanan dan derita yang bahkan lebih besar, baik bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Masalahnya, amarah telah menjadi bagian yang menyatu dengan keseluruhan eksistensi kita, yang tidak bisa dimusnahkan, tapi dapat kita kendalikan, dengan mengajak diri kita sendiri menyeberangi sungai keheningan, menerima apa pun yang menghampiri kita, kebaikan maupun keburukan, dengan senantiasa berperasaan sabar, ikhlas dan tawakal, sebagaimana adanya. Dengan mempraktikkan pendekatan ini, saya kini tenang dan santai ketika membaca koran, mendengarkan atau menonton siaran berita di radio atau televisi. Memang benar, berita-berita dewasa ini mewartakan derita, tapi biang keladinya bukanlah berita itu, melainkan penerimaan kita terhadapnya. Berita-berita itu bahkan sesungguhnya tidak patut disalahkan; penyampai berita pun, seperti halnya kita, punya kepentingan perut. Adalah mungkin untuk memutus siklus derita dengan hanya melihat ke dalam diri kita sendiri: diri yang tenteram membuat kita bisa menerima segala sesuatu yang mendatangi kita, membuat kita bisa merasa tidak terganggu oleh apa pun, dan kedamaian batin pun selamanya menjadi milik kita.[]

No comments: