Monday, August 25, 2008

Gaung Fantasi di Negeri Isu


Menjadi terkenal di negeri ini rupanya jauh lebih mudah ketimbang menjadi kaya -- tetapi, umumnya, kemashuran dengan sendirinya juga membuka pintu rezeki. Cukup dengan menciptakan isu yang sensasional -- yang mengundang pikiran khalayak untuk menginterpretasi, manfaatkan media massa (suratkabar, radio, televisi dan internet) serta pemandu opini (opinion leaders), sangat besar kemungkinan Anda menggapai nama besar dalam waktu singkat.

Kasus lagu Jauh baru-baru ini, yang melibatkan ahli telematika ternama Roy Suryo segala serta tiba-tiba melambungkan nama sebuah grup musik yang tadinya tidak signifikan, ternyata memberi sinyal adanya upaya pemasaran dari-mulut-ke-mulut (word-of-mouth marketing, WOM) atau buzz (gaung). Dasar pemikirannya adalah bahwa lagu itu muncul dari ketiadaan, merebak begitu saja bak wangsit dari langit, yang memberi kesan kuat akan adanya romantisasi merek (romancing the brand) -- melalui kisah penyanyinya yang sudah meninggal. Jika lagu itu pernah populer sebelumnya, tudingan mendompleng ketenaran orang lain lebih pasti.

Di seputar lagu itu diciptakan atmosfer misteri melalui kisah tentang penyanyinya yang sudah meninggal. Lalu muncul sosok bernama Gaby alias Abe yang mengaku sebagai penyanyi asli -- dan masih hidup. Dua grup musik yang bernama sama berbarengan mengklaim hak cipta atas lagu tersebut. Ah, semuanya masih simpang-siur. Tetapi yang jelas Jauh kini Tidak Jauh dari tenar!

WOM adalah sebuah taktik komunikasi pemasaran yang sudah tua bangka tetapi masih terus diberdayakan mengingat kerentanan otak manusia yang mudah sekali termakan isu. Kalangan akar rumput, tulis Emanuel Rosen dalam Anatomy of Buzz: How to Create Word of Mouth Marketing (Doubleday Business, 2002), berpotensi untuk dipicu ketertarikannya lewat kelangkaan dan misteri, dan dari situ akan meluas wabah penularan secara nasional. Indonesia setelah terkena krisis multidimensi telah berubah menjadi negeri isu, di mana isu-isu yang tidak bertanggung jawab sekalipun berusaha menggaungkan fantasi di benak rakyat. Jadi, jangan heran bila WOM kerap disarankan kepada para pemasar merek.

WOM memang merupakan bentuk komunikasi pemasaran termurah, bahkan bisa cuma-cuma. Ketika harga media periklanan tradisional mengempiskan dompet perusahaan pemasar, WOM menjadi pilihan pertama. Efektivitasnya memang tidak mudah diukur, tetapi yang jelas di negeri isu seperti Indonesia ini efeknya dapat mengakar dan berjangka waktu lama. Menurut Rosen, WOM menyeruak dari loyalitas konsumen terhadap merek yang disebabkan oleh saran teman, rekan kerja, atau network hub (istilah untuk ‘pemandu opini’ dalam khasanah WOM) informasi terpercaya seperti Oprah Winfrey dan Rosie O’Donnell.

Jumlah pengunjung situs web BMW Amerika Serikat meningkat pesat pada tahun 2005 sejak pabrik mobil asal Jerman itu menggelindingkan WOM mengenai film-film berkualitas tinggi yang dibesut oleh sejumlah sutradara Hollywood terkemuka, dibintangi aktor ganteng Clive Owen, dan dapat diunduh dari situs tersebut. Film bergenre action gaya James Bond itu sesungguhnya iklan audio-visual ‘biasa’, yang mempromosikan kualitas mobil BMW Z3 Roadster tanpa banyak omong. Meskipun demikian, tak ayal iklan-iklan itu menjadi koleksi para penggila film.

Pada tahun yang sama penyanyi pop Britney Spears meluncurkan dan berhasil membuat parfum ciptaannya yang bermerek Curious meledak di pasaran tanpa iklan sama sekali! Para gadis ABG yang dianggap sebagai network hub di kalangan penggemar Britney Spears dikirimi SMS yang memberitahu bahwa mereka bisa bicara langsung dengan penyanyi idola mereka lewat ponsel.

Palm Pilot, novel Cold Mountain, iMac, Hotmail, FedEx, film The Blair Witch Project dan There’s Something About Mary, bagi Rosen semuanya sukses bukan berkat periklanan atau pemasaran tradisional, melainkan lantaran proses niskala (intangible) di mana informasi dan komentar melompat dari otak atau mulut yang satu ke yang lain. Perkembangan WOM kini banyak terbantukan oleh internet, apalagi dinamika bisnis dewasa ini memang berlangsung cepat.

Anehnya, WOM tidak dimanfaatkan optimal oleh para calon presiden kita, meski hanya sebagai ‘kampanye terselubung’ sekalipun. Secara umum, mereka terlalu gamblang dalam berpromosi, yang membuat nenek-nenek aja tau bahwa mereka memang sedang berpromosi.

Salah seorang di antaranya, Prabowo Subianto, yang juga ketua umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), ‘numpang lewat’ iklan layanan masyarakat HKTI di televisi, yang langsung ditilang para bloggers sebagai aksi terselubung untuk mendongkrak popularitasnya yang baru mencapai 1,5 persen dari total pemilih. Padahal organisasi yang dipimpinnya menyimpan isu-isu jitu yang relevan bagi pemulihan perekonomian nasional: pergeseran pola pertanian subsisten ke pertanian yang berorientasi pasar, memanfaatkan wacana pertanian untuk bahan bakar yang belakangan sedang tren.

Kesaktian WOM baru dapat mengemuka jika pemasar mampu meromantisasi mereknya. Dalam kasus capres yang juga ketua umum HKTI, yang bersangkutan tidak mengakar di benak publik sebagai pribadi yang ‘dekat dengan petani’, sehingga dirinya harus ‘dijauhkan’ dari ke-HKTI-an dan biarkan HKTI berbicara untuknya. Biarkan benak khalayak menginterpretasi sendiri, apakah sang tokoh memang layak menduduki kursi kepresidenan negeri agraris ini atau tidak.

Bentuk pemasaran paling kuat, sekaligus kurang dipahami (tampak, utamanya, dari upaya komunikasi dan pencitraan yang mengiringi kampanye-kampanye pilkada dan pilpres yang belakangan marak di negeri ini), saat ini adalah WOM, sementara produk baru dapat menyebar cepat ke publik konsumen hanya melalui komunikasi inter-personal. WOM bekerja secara misterius, sehingga sebenarnya kita kebanyakan buta tentang proses pemasaran yang sangat kuat ini. Tidak mengherankan, jangankan membangun citra positif, dalam menggaungkan fantasi di negeri isu ini saja para komunikator pemasaran maupun politik acap gagal. ©

No comments: