Wednesday, August 13, 2008

Hanyut dan Mengalir

“Hidup itu ibarat sekotak permen cokelat – Anda tak akan pernah tahu apa yang bakal Anda dapatkan.”

—Forrest Gump

Pekan lalu, saya tuntas membaca novel karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi (Yogyakarta: Bentang, 2006). Secara keseluruhan, novel itu memikat hati dan membuka pikiran. Bagi saya, novel itu juga menegaskan pemahaman bahwa hidup ini sulit diduga arah dan tujuannya. Saudara Subud saya di Surabaya baru-baru ini mengatakan kepada saya melalui SMS – setelah saya kabari bahwa saya kok bisa memenangkan tender walaupun saya tidak serius mengupayakannya, sementara yang upayanya sungguh-sungguh malah acap gagal: “Hanyut dan mengalir saja, To.”

Laskar Pelangi memang hanya sebuah karya fiksi, tetapi setting dan gambaran manusia dan peristiwa yang melingkupinya memberi kesan non-fiksi. Novel itu memaparkan bahwa nasib itu sungguh aneh. Di sini seakan ditegaskan bahwa kita hanya bisa berusaha, sedangkan ketentuan akhir ada di tangan Tuhan. Tokoh-tokohnya, yang diceritakan kisahnya ketika mereka menjadi murid SD Muhammadiyah yang miskin di pulau timah Belitong, menjalin persahabatan khas anak-anak yang sarat petualangan, kesetiakawanan maupun permusuhan, seperti mewakili keseharian kita.

Mungkin terkesan agak tidak masuk akal ketika membaca perbedaan kehidupan tokoh-tokohnya yang bagaikan langit dan bumi waktu mereka masih kanak-kanak dan kemudian saat mereka telah dewasa. Tokoh Lintang yang jenius di bidang ilmu pengetahuan, menjuarai lomba ilmiah, dan bisa memberi solusi bagi semua permasalahan yang dihadapi teman-temannya, tidak bisa menyelesaikan sekolahnya karena ayahnya meninggal dan sebagai anak tertua ia terpaksa bekerja untuk menghidupi ibu dan saudara-saudaranya serta paman-pamannya yang tidak berdaya, dan ketika dewasa malah menjadi pekerja kasar di kapal keruk milik PN Timah – amat kontras dengan kemampuan jenialnya dalam memberi solusi permasalahan orang lain serta mengesankan seolah ilmu pengetahuan tak dapat mengatasi persoalan hidup.

Mahar, anak yang waktu sekolah lebih suka klenik dan pedukunan sehingga pelajarannya sempat terbengkalai, ketika dewasa menjadi narasumber budaya yang dihormati. Pada halaman 477, Andrea menulis, “Dalam kasus Mahar nasib adalah setiap deretan titik-titik yang dilalui sebagai akibat dari setiap gerakan-gerakan konsisten usahanya dn takdir adalah ujung titik-titik itu.” (Ingat kiat ‘menghubungkan titik-titik’-nya Steve Jobs dalam tulisan saya yang lalu, “Rahasia Kegagalan”?)

Tokoh Syahdan yang semasa sekolah dianggap pecundang dan gagap teknologi, saat dewasa malah menjadi salah satu dari segelintir orang Indonesia yang memiliki sertifikat Cisco Network Expert dan bekerja sebagai IT Manager di sebuah perusahaan multinasional. Kucai, anak yang dahulunya otaknya paling lemah, ketika dewasa menyandang gelar S1 dan S2 serta menjadi anggota DPRD Belitong. Tokoh A Kiong, ‘si kepala kaleng’ yang semasa sekolah bermusuh-bebuyutan dengan Sahara yang cantik dalam balutan jilbabnya, saat dewasa mengalami pergolakan batin, menjadi agnostik, insaf lalu masuk Islam dan menikah dengan musuh bebuyutannya.

Aneh, bukan? Sebagian orang menganggap kisah para anggota Laskar Pelangi itu hanya eksis dalam romantika novel dan film. Tetapi Laskar Pelangi justru menyingkap deretan memori di kepala saya ketika membaca bab-bab terakhir novel setebal 534 halaman itu. Saya teringat pada kawan sebangku saya – sebut saja AS – di SMP. Saya dan dia ibarat pungguk dan bulan; dia pintar sedangkan saya bodohnya minta ampun. Wali kelas sengaja ‘mendudukkan’ saya sebangku dengan AS, supaya saya ketularan pintarnya – tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Mungkin saya satu-satunya murid yang dalam menyelesaikan soal matematika di papan tulis mesti dipandu oleh murid yang lain, utamanya AS. AS adalah anak emas hampir semua guru, juga digilai murid-murid perempuan. Sedangkan di mata guru, teman-teman dan orang tua, saya ini a total loser, pecundang sejati.

Lulus SMP, saya jarang hingga tak pernah lagi bersua dengan AS, karena kami tidak satu SMA. Kala saya menjadi mahasiswa tingkat skripsi di UI, sekali saya berpapasan dengan AS di jalan. Saya sedang duduk di boncengan ojek, sedangkan AS, bertelanjang dada dan banjir peluh, sedang menarik gerobak sampah. Mungkin karena malu, AS menundukkan kepalanya ketika kami berpapasan.

Ada pula kawan-kawan sekolah lainnya yang dahulunya gilang-gemilang prestasi sekolahnya, tetapi kini keadaan mereka mengenaskan. Apakah faktor keberuntungan, nasib, atau hukum alam yang bermain dalam hal ini? Bagi mereka yang meyakini eksistensi Tuhan menganggap fenomena ini sebagai takdir atau kehendakNya. Namun, pada saat yang sama kaum pemercaya Tuhan ini juga sulit menerima kenyataan, sehingga Sesembahan mereka pun kerap dikambinghitamkan sebagai Maha Penyebab di balik kenyataan mereka menjadi yang tidak sesuai cita-cita atau kemampuan intelektual mereka.

Agama-agama ternyata menandaskan bahwa Tuhan ‘tidak terlibat’ dalam penderitaan kita. Buddhisme mengedepankan karma sebagai latar belakang dari keadaan seseorang dewasa ini dibandingkan keadaannya di masa lalu; keadaan seseorang sekarang adalah buah dari perbuatannya dahulu maupun perbuatan para pendahulunya. Islam pun memberi tekanan bahwa derita yang dialami seseorang bukan disebabkan oleh aspek Ilahiah, karena “…sekali-kali Aku tidak pernah menyiksamu, melainkan engkau yang menganiaya dirimu sendiri!”

Kepada beberapa orang baru-baru ini saya ceritakan tentang seorang pengusaha Indonesia, pendiri perusahaan yang penulisan naskah profil usahanya tengah saya garap. Saya kagum padanya, karena ia berhasil membuat bisnisnya menjadi besar tak kepalang di Indonesia dan produk-produknya berhasil menjangkau seantero dunia. Perusahaan itu dirintisnya di Batam, pulau yang ketika ia mengawali usahanya 25 tahun yang lalu itu masih berupa hutan dengan infrastruktur yang sangat tidak memadai. Salah seorang pendengar cerita saya bertanya, “Dia lulusan mana?” Waktu saya jawab “University of London”, dia mencela, “Pantas aja sukses, lulusan luar negeri sih.” Spontan saya menyahut, “Itu pandangan yang tolol!”

Menjadi apa seseorang sekarang ternyata tidak mesti ada keterpautannya dengan latar belakang pendidikan, derajat intelektualitas, letak geografis atau pun kekayaan harta keluarga, melainkan bertolak dari mentalitas yang bersangkutan. Orang-orang berprestasi akademik yang saya kenal waktu SD, SMP dan SMA sebagian besar tidak sejahtera secara ekonomi, atau menjadi sampah masyarakat, yang sama sekali tidak mencerminkan kualitas intelektual mereka semasa sekolah. Hal itu disebabkan oleh ketiadaan mentalitas wirausaha – yang kreatif, lincah dan fleksibel – pada diri mereka. Orang yang sepanjang hidupnya jarang tersentuh kegagalan/penderitaan memang cenderung kurang inspiratif sehingga tidak kreatif, serta tidak peka sehingga tidak mampu mendeteksi peluang.

Sayangnya, pendidikan di negeri ini kurang memberi tekanan pada upaya-upaya yang dapat menghidupkan mentalitas wirausaha; siswa hanya dituntut untuk meningkatkan prestasi yang tolok ukurnya adalah angka-angka di rapor. Yang diutamakan adalah hasil, bukan prosesnya, sehingga sebenarnya anak-anak sekolah tidak belajar apa pun. Makanya, tidak mengherankan, biarpun anak-anak Indonesia banyak yang berjaya di olimpiade sains internasional, namun hal itu tidak memberi kontribusi yang berarti bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat.

Kebanyakan kita pun, kalau mau jujur, lebih memilih menjadi Oprah Winfrey sekarang (terkenal, orang Afrika-Amerika terkaya di abad ke-20 dan satu-satunya miliarder kulit hitam di dunia, disanjung publik) ketimbang melewati pengalamannya dahulu (lahir dari kandungan ibu yang tidak menikah, diperkosa pada umur 9 tahun dan pada umur 14 melahirkan anak yang kemudian mati, hidup melarat). Atau menjadi seperti pengusaha, yang saya ceritakan di atas, sekarang (konglomerat, salah satu orang terkaya 2007 versi majalah Forbes Asia, pemilik lebih dari 30 perusahaan, berpredikat CEO of the Year 2007 versi harian Bisnis Indonesia) ketimbang nasibnya dahulu (bertahun-tahun tinggal di peti kemas, merintis usaha di lokasi yang serba kekurangan, pinjam uang sana-sini, menawarkan produknya dari pintu ke pintu dan selalu ditolak). Hanya orang-orang yang bermental wirausaha yang mampu (dan mau) melewati perjuangan semacam itu.

Bagi orang yang bermental wirausaha, kegagalan menjadi bahan bakar untuk terus berproses. Dalam proses itu, secara sadar maupun tidak ia mengalami tumbuh-kembang berkelanjutan, baik dalam keahlian teknis (technical know-how) maupun kepribadiannya. Bagi dirinya, hidup itu ibarat sekotak permen cokelat. Kita memang tak ‘kan pernah tahu apa yang bakal kita dapatkan di dalam sekotak permen cokelat yang menyediakan berbagai pilihan bentuk dan isi, tetapi bukankah permen cokelat bagaimanapun bentuk dan isinya tetap lezat disantap? Karena itu, hanyut dan mengalir sajalah…©2008


Jakarta, 13 Agustus 2008

No comments: