Saturday, October 25, 2025

Obituari: Harry N.P. Danardojo (8 November 1965-26 Oktober 2025)

 


DIBERITAKAN sebuah mobil mewah Lexus tertimpa pohon yang tertiup angin kencang pada siang hari sekitar pukul 14.15 WIB, 26 Oktober 2025. Pengendaranya tewas akibat kejadian itu. Belakangan saya mengetahui siapa korbannya, yaitu seorang saudara Subud Jakarta Selatan yang sudah lama tidak Latihan.

Saya mengenalnya pertama kali ketika saya balik ke kota kelahiran saya, Jakarta, pada bulan Juli 2005, setelah bergabung dengan sekelompok saudara Subud. Harry Nugroho Prasetyo Danardojo namanya, mantan managing director di PT Danareksa (Persero) saat itu dan juga anggota Subud yang tidak terlalu aktif.

Berusia dua tahun lebih tua dari saya, Mas Harry, begitu saya memanggilnya, memiliki “urat kaya”. “Apa saja yang disentuh Harry berubah menjadi emas,” kata almarhum Pak Mulyono Hardjopramono, pembantu pelatih yang membuka Mas Harry di Subud sekaligus rekan kerja di Danareksa. Bersama saya, almarhum Pak Mul, almarhum Pak Otjo Wiroreno, Armansyah, Achmad As’ad Luthfie, Agus Ichwanto, dan Nugroho Putut Wibowo (semuanya anggota Subud), Mas Harry pada 10 Desember 2005 di Ciganjur, Jakarta Selatan, mendeklarasikan berdirinya Yayasan Nurus Subhi Institute (NSI), sebuah wahana untuk menyebarluaskan mentalitas enterprise yang terbimbing Latihan Kejiwaan.

Kekayaannya membuat saya iri pada Mas Harry, hingga suatu hari di tahun 2006, saya memendam niat untuk menyampaikan kepada beliau betapa irinya saya pada beliau. Saat itu, para pendiri NSI akan bertemu untuk rapat, di kantor saya, Tiga PR, di kompleks Hanggar Teras Pancoran. Yang pertama tiba di Tiga PR adalah Pak Mul, Mas Harry dan saya. Kami menunggu yang lain di ruang rapat. Saat itulah saya mau mengungkapkan rasa iri saya kepada Mas Harry, tapi keduluan Mas Harry bicara ke Pak Mul: “Nyuwun sewu, Pak Mul, saya itu iri pada Mas Anto!”

Bercanda, Pak Mul bilang, “Lho, wong sugih kok iri pada wong kere?!”

Mas Harry berkata dengan serius, “Beneran, Pak. Saya serius. Saya iri pada Mas Anto. Saya lihat Friendster-nya, dia jalan-jalan ke Bali, ke mana-mana, dan dibayar pula! Nyuwun sewu, Pak Mul, saya sudah lima tahun tidak liburan! Saya hanya bekerja menimbun uang tapi tidak punya waktu untuk menikmatinya! Saya iri sama Mas Anto, waktu kerjanya adalah dengan jalan-jalan. Dia dibayar untuk liburan!”

Saya terenyak, tidak menyangka akan mendengar langsung dari seorang super kaya bahwa ia iri pada saya. Saya sepatutnya bersyukur bahwa kekayaan saya adalah waktu yang melimpah untuk menikmati hidup.

Malam ini, saya mendapat kabar bahwa Mas Harry telah dipanggil Sang Pencipta. Saya saksi bahwa almarhum adalah orang yang baik, kaya tetapi tidak sombong. Semoga arwahnya selalu dalam kemurahan Tuhan Yang Maha Esa.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 26 Oktober 2025

Komentar Terhadap Naskah Buku RM

Berikut ini adalah catatan komentar yang saya berikan untuk sebuah naskah buku yang berangkat dari sebuah disertasi dokt0ral yang ditulis oleh seorang wanita anggota Subud Vancouver, Kanada, berinisial RM.


SELAMA dua minggu ini saya mengerjakan penyuntingan dua bab naskah Anda, hanya sebatas membuat kalimat-kalimat panjang jadi singkat dan padat yang juga efektif (bagi pembaca), serta menambahkan keterangan yang saya ambil dari Kata Pengantar saya. Saya merasa naskah itu akan jauh lebih baik ditulis ulang dengan gaya yang “secara akademis populer” terutama bagi generasi pembaca dewasa ini, meski kalangan pascasarjana sekalipun.

14 Oktober lalu, saya diundang oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia untuk menjadi moderator dalam diskusi terpumpun (focus group discussion) antara para sejarawan akademik dengan para sineas, untuk mewujudkan perintah Presiden mengenai apa yang belakangan ini viral (dan cenderung dipelintir oleh pers lebih karena ketidaksukaan subjektif terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kebudayaannya): Penulisan ulang sejarah nasional.

Pada acara tersebut, Menteri Kebudayaan, yang kebetulan adalah yunior saya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan dia sendiri juga M.Sc dari London School of Economics and Political Sciences dan Ph.D dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia, dalam arahannya menyebutkan mengapa sejarah Indonesia kontemporer, di ranah akademik maupun publik/populer, harus ditulis ulang. Karena, menurutnya, penulisan/pengkomunikasian kajian sejarah warisan zaman Orde Baru penuh dengan glorifikasi tokoh, kelompok politik tertentu, atau gagasan, yang sekarang sudah tidak cocok, apalagi di kalangan generasi Milenial yang merasa buku-buku teks akademis SANGAT MEMBOSANKAN, penuh kalimat-kalimat yang tidak mengantarkan pada kejernihan serta tidak membangkitkan motivasi untuk pencarian referensi lebih lanjut.

Menteri minta kepada para sejarawan akademik yang hadir pada diskusi terpumpun itu (semuanya doktor ilmu sejarah dan humaniora) untuk belajar menulis laiknya para wartawan, yang mampu menulis secara populer tetapi tidak menghilangkan kaidah ilmiahnya. Limabelas tahun belakangan ini di Indonesia tren kajian sejarah dan ilmu sosial memang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang akademis dalam kedua disiplin ilmu itu, semata karena kalangan pembacanya tidak suka yang terlalu “berat” (termasuk para pembaca yang berstatus mahasiswa pascasarjana).

Saya amati adanya perkembangan-perkembangan terbaru di kampus-kampus terkemuka di Indonesia, dimana teknologi informasi memainkan peran yang signifikan. Dahulu, ketika saya masih kuliah, satu-satunya saluran penyampaian hasil penelitian akademis atau ilmiah adalah karya tulis (skripsi, tesis, disertasi, artikel di jurnal ilmiah). Kini, ada beberapa universitas di kota-kota besar di Indonesia yang membuka pintu lebar-lebar bagi kebebasan berkarya melalui multimedia: Hasil penelitian boleh dipublikasikan melalui film dokumenter pendek yang menghibur, presentasi audio-visual, animasi, novel, serta buku-buku nonfiksi yang dapat dibaca oleh berbagai kalangan—tidak berat bagi pembaca awam, dan tidak pula dianggap remeh oleh pembaca dengan aras pengetahuan setara pascasarjana.

Hari Jumat lalu (24 Oktober), saya bertamu ke rumah Stuart Cooke. Tanpa memberitahu nama Anda dan naskah yang Anda tulis, saya bercerita kepadanya masalah sebuah naskah yang sedang saya edit, dan penerimaan saya bahwa naskah tersebut harus ditulis ulang total dan ditulis dengan gaya yang akrab di pembaca dewasa ini.

Menanggapi cerita saya, Stuart pun menceritakan pengalamannya yang mirip dengan saya: Dia pernah diminta untuk mengedit naskah buku yang tebal karya seorang ahli ekonomi yang jenius. “Tulisan dia tidak fokus, penjelasannya lari ke mana-mana, seolah semua yang dia ketahui, meskipun tidak relevan, ingin dia paksakan untuk dimasukkan ke bukunya. Kalimat-kalimatnya juga bertele-tele. Tapi saya tidak peduli, saya buang semua yang tidak perlu. Alhasil, dari naskah yang sangat tebal tersisa hanya puluhan halaman. Teman saya, yang menjadi perantara saya dengan si penulis, bilang ‘Wah! Dia akan tidak suka bila karyanya kamu pangkas habis seperti ini.’ Saya katakan padanya, ‘Kalau begitu, biarkan saya yang tulis ulang.’,” tutur Stuart.

Menurut saya, R., kalau Anda tetap mempertahankan naskah itu dengan gaya seperti di disertasi Anda saya rasa Anda tidak perlu menerbitkannya sebagai buku, tetapi biarkan sebagai disertasi saja, toh akan disimpan di perpustakaan kampus dan pasti kelak menjadi referensi bagi peneliti-peneliti dengan subjek yang sama.

Saya perhatikan topik bahasan dalam naskah Anda bertitik tolak dari pertemuan yang diharmoniskan oleh Anda antara pemikiran Timur dan Barat. Bukankah itu sedikit banyak merepresentasi diri Anda yang melalui kedua orang tua Anda membentuk percampuran budaya (Eropa dan Masyarakat Adat)? Jika saya jadi Anda, saya akan menulis pembukaan buku saya dengan kisah hidup saya—bahwa keberadaan saya saat ini merupakan hasil dari proses pertemuan dua kutub dan percampuran budaya; bahwa sejarah telah membuktikan bahwa dua hal yang berlawanan prinsip bisa berjumbuh untuk mencapai kebermanfaatan. Sehingga sejatinya gagasan Timur bisa berkelindan dengan empirisme Barat.

Menurut hemat saya, tidak apa jika Anda menyebutkan bahwa familiaritas Anda dengan Zat, Sifat, Asma, Af'al (ZSAA) bertolak dari keterlibatan Anda di Subud. Ceritakan sedikit tentang Subud dan tentang Muhammad Subuh serta bahwa latar belakang beliau dengan Sufisme telah membuat sejumlah gagasan dan terminologi Sufisme “dipinjam dengan elaborasi tertentu” oleh Muhammad Subuh dalam ceramah-ceramah beliau, semata untuk menjelaskan yang tidak kasatmata, seperti energi keberadaan, misalnya, yang digunakan dalam konteks metafisika, spiritual, dan filsafat Timur untuk merujuk pada prinsip fundamental yang mendasari dan memberi daya pada semua realitas.

Dalam bab-bab selanjutnya, alangkah menariknya jika ditampilkan studi-studi kasus atau kisah pengalaman hasil pengamatan sehari-hari yang dapat membangun fondasi persepsi pada pembaca bahwa ZSAA memang dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan modern, termasuk pendidikan. Tidak perlu lagi bahasan panjang lebar dan bertele-tele yang teoritis. (Saya jadi ingat nasihat Bapak kepada Varindra Vittachi agar anggota Subud menuliskan pengalaman, jangan teori.)

Anda mencantumkan begitu banyak referensi yang menurut saya seharusnya dipindah ke halaman paling belakang dengan judul “Disarankan untuk Pembacaan Lebih Lanjut”. Tahukah Anda bahwa pembaca Milenial gampang sekali terdistraksi oleh teks yang bertele-tele? Akibatnya, mereka lebih suka visual dan karena itu kehidupan mereka didominasi oleh platform media sosial dan smartphone yang sarat interaksi visual ketimbang tekstual. Nah, generasi itulah yang sekarang mengisi semua level akademis di perguruan tinggi. Suka atau tidak suka, buku-buku sarat teks mulai diabaikan.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 26 Oktober 2025

Friday, October 24, 2025

Satu Aturan Emas

 


SAYA mengawali karir saya di periklanan pada 24 Oktober 1994—itu hari pertama saya menjejakkan kaki di kantor biro iklan terbesar kedua di Indonesia.

Bulan-bulan pertama saya lalui dengan nongkrong di perpustakaan biro iklan itu, yang memiliki koleksi lebih dari 7.000 buku—dia satu-satunya biro iklan di Indonesia yang memiliki perpustakaan yang dikelola oleh seorang pustakawan profesional dan kawakan. Di antara koleksinya terdapat buku di foto di atas, yang ternyata dijuluki oleh para senior saya sebagai “kitab suci”.

Gaya penulisannya sangat menarik, tetapi yang paling saya ingat adalah “10 Aturan Perak, 1 Aturan Emas”-nya. Saya tidak ingat apa saja 10 aturan peraknya, lantaran 1 aturan emasnya, yaitu “Lupakan semua aturan!” Prinsip itu kelak saya praktikkan bukan hanya dalam menciptakan iklan, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan saya. Setelah saya masuk Subud, saya baru paham mengapa melakoni 1 Aturan Emas itu penting dan berguna.

Sembilan bulan bekerja di biro iklan itu, dan berbekal pemahaman berbasis praktik terhadap kiat-kiat yang ditawarkan Alastair Crompton, saya memberanikan diri untuk mencoba peruntungan saya di biro iklan lain. Saya diterima bekerja di sebuah biro iklan multinasional di Jakarta setelah melalui serangkaian wawancara dan tes kemampuan yang kompetitif serta psikotes dan tes kesehatan, tak beda dengan yang dilalui para calon kadet akademi militer.

Saat itu, saya sulit mempercayai bahwa saya bisa diterima, mengingat para pelamar lainnya memiliki pengalaman minimal tiga tahun (sedangkan saya hanya sembilan bulan), mereka lulusan universitas-universitas ternama di luar negeri (sedangkan saya lulusan universitas top di dalam negeri), dan mereka berlatar belakang akademik Ilmu Komunikasi, Periklanan, Pemasaran atau Desain Grafis (sedangkan saya Sejarah, tidak ada hubungannya sama sekali dengan bidang pekerjaan saya).

Dari situ, mulailah saya menjadi “kutu loncat” yang rupanya lumrah di dunia periklanan. Bukan gaji yang dicari, melainkan kesempatan untuk mendapatkan merek-merek besar dan terkenal yang dapat memperindah portofolio para praktisi periklanan. Dalam 31 tahun karir saya, saya pernah bekerja di 13 biro iklan, satu organisasi non pemerintah dan satu firma kehumasan sebagai copywriter, strategic planner, branding strategist, editor, dan sustainability communication specialist. Terlebih setelah masuk Subud, berbagai bidang dapat saya rambah dan lakukan dengan baik. Berkat bimbingan Latihan Kejiwaan, alih-alih berkat membaca buku dan mempraktikkannya bertahun-tahun.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 25 Oktober 2025

Wednesday, October 22, 2025

Keinginan yang Sudah Luntur

 

Sumber: Instagram Universitas Indonesia  @univ_indonesia

SEPTEMBER tahun 2016 lalu, saat reuni Jurusan/Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra (FS)/Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) di kampus FIB UI Depok, saya berjumpa dengan yunior saya yang lulusan S2 di Pascasarjana Kajian Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Dia menganjurkan saya ambil S2 juga di Pascasarjana Kajian Ilmu Lingkungan UI, dimana kebetulan salah satu peminatannya sesuai pengalaman pekerjaan saya sejak 2012, yaitu Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan.

Saya tertarik dan mulai menabung dan mencari dukungan dana untuk itu. Tapi Tuhan berkehendak lain. Dia membimbing saya ke lebih banyak proyek komunikasi keberlanjutan (sustainability communications), yaitu bidang komunikasi dan branding dengan penekanan pada program-program corporate social responsibility (CSR) Community Development (Comdev) berbasis pengelolaan lingkungan, yang otomatis mempertemukan saya dengan banyak praktisi pembangunan berkelanjutan di lapangan yang mumpuni dalam praktik di atas teori, dan juga memberi saya kesempatan blusukan ke daerah-daerah binaan program pembangunan berkelanjutan dari perusahaan-perusahaan. Begitu banyak yang saya dapat dari mereka yang mungkin tidak akan saya dapatkan di bangku kuliah.

Kini, UI meningkatkan kajian pembangunan berkelanjutan dari sekadar peminatan menjadi Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan. Sayangnya, minat belajar terstruktur saya sudah luntur.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2025

Mimpi Melayat Ulama yang Meninggal

TADI malam, saya bermimpi, dimana saya bersama Pak Wardhana (saat ini Pembantu Pelatih Nasional Komisariat Wilayah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta) dan Pak Moel (Moelyono Hardjopramono, Pembantu Pelatih Cabang Jakarta Selatan yang wafat pada 2010) pergi melayat seorang anggota Subud yang meninggal. Dari luar, rumah dukanya tampak kecil, reyot dan sempit, tetapi bagian dalamnya ternyata sangat luas, yang ketika saya jelajahi tidak habis-habis ruangannya.

Di dalam banyak sekali anggota Subud, tetapi terutama dari Komisariat Wilayah VI Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, tetapi dari Surabaya hanya dari Kelompok Latihan Margodadi, sedangkan dari Cabang Surabaya di Manyar Rejo tidak ada yang datang. Terdengar suara-suara yang bertanya tentang anggota-anggota Manyar, dan ada suara-suara yang menjawab, “Manyar nggak ada yang datang!”

Saya disalami Adi Suhendro (wajahnya seperti di-Zoom in ke hadapan saya) tetapi saya lupa namanya, dan bertanya ke beberapa anggota lain; mereka menjawab, “Oh itu Mas Hendro, Subud Surabaya Margodadi.”

Kemudian saya mengambil makanan dan camilan, yang jumlahnya banyak sekali. Kemudian barulah saya memasuki kamar di mana jenazah disemayamkan. Kamarnya dipenuhi orang tetapi ranjang jenazahnya gelap, saya tidak bisa melihat jenazahnya. Yang kemudian muncul malah seorang kyai tua yang mengajak saya keluar kamar. Kyai itu mengatakan bahwa yang meninggal itu beliau sendiri, tetapi sebenarnya beliau tidak meninggal. Beliau menggiring saya keluar kamar dan menutup pintunya.

Lalu saya duduk di ruangan yang sangat luas yang lantainya beralaskan karpet hijau mirip rumput yang lembut. Banyak santri duduk di tepi ruangan. Pak Wardhana duduk di sebelah saya. “Rumahnya luas sekali ya, Pak,” kata saya. Pak Wardhana merespons, “Iya, Mas Arifin, almarhum itu kyai terkenal, ulama besar.”

Kemudian muncul Pak Moel yang mengajak saya dan Pak Wardhana pulang. Selesailah mimpi saya di situ.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2025

Monday, October 20, 2025

Kata Pengantar Skripsi

Berikut isi Kata Pengantar pada naskah asli skripsi (sebelum direvisi pasca sidang skripsi pada 7 Juli 1993) saya, yang saya salin dan memberikan sedikit perbaikan.


PUJI dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Betapapun skripsi ini secara tidak langsung merupakan hasil dari jerih payah penulis dalam mengenyam pendidikan sejarah di perguruan tinggi; hasil dari perasan otak yang terkadang melewati batas kemampuan, hasil dari membanjirnya keringat, air mata, dan tidak jarang pula kekecewaan di hati, serta hasil dari tempaan fisik yang meletihkan, adalah mustahil skripsi ini menjadi ujud yang konkret tanpa bantuan materiel dan dorongan moril dari banyak pihak, individu maupun kelompok. Paling sedikit, mereka menjadi tongkat penuntun bagi penulis untuk menelusuri garis panjang mencapai titik terang dalam karir kemahasiswaan penulis yang berawal dari sosok mahasiswa ingusan yang tidak tahu apa-apa hingga sosok calon sarjana yang dihadapkan ke “meja hijau” untuk mempertahankan skripsinya di hadapan penguji.

Oleh karena itu, adalah layak bagi penulis untuk mencurahkan balasan kepada pihak-pihak itu dalam ujud terima kasih dan penghargaan penulis kepada mereka. Pertama-tama dalam hal ini, terima kasih yang sedalam-dalamnya patut penulis persembahkan kepada dosen-dosen Jurusan Sejarah FSUI yang telah membimbing dan membentuk kepribadian ilmiah penulis hingga dapat menyelesaikan studi pada waktunya. Penulis usungkan penghargaan kepada Ibu Nana Nurliana, S.S., M.A., selaku Ketua Jurusan Sejarah FSUI yang dengan cara beliau yang khas membuat penulis terdorong untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Pula kepada Ibu MPB Manus, S.S., dan Mas Kasijanto, S.S., selaku Pembimbing Akademis penulis mencurahkan penghargaan yang sedalam-dalamnya. Sistem bimbingan akademis dalam bentuk diskusi, bukan hanya untuk urusan kuliah saja, tetapi juga tentang studi sejarah militer yang penulis dalami, dari mereka menjadi masukan yang berarti bagi penulis. Tanpa bimbingan dalam kaitan teknis, metodologis dan teoritis dari pembimbing skripsi penulis, Bapak Kolonel TNI (Inf.) Saleh A. Djamhari, S.S., tentunya skripsi ini menjadi tidak lebih dari sebuah karya sampah yang tidak patut disejajarkan dalam koleksi skripsi sarjana Jurusan Sejarah FSUI. Terima kasih dan penghargaan yang setulusnya, karena itu, patut dihaturkan kepada beliau.

Tidak lupa, penulis mengungkapkan rasa terima kasih kepada Mas M. Iskandar, S.S., M.A., yang mau meluangkan waktu sebagai pembaca skripsi penulis dan Mas Susanto Zuhdi, S.S., M.A., yang terkadang menyediakan waktu untuk diskusi tentang Sejarah Revolusi dengan penulis. Peran Mbak Dwi Mulyatari, S.S., Mbak Siswantari, S.S., dan Mas RediRahmat, S.S., terutama dalam membantu secara administratif “kelangsungan hidup” penulis sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI mendapat tempat tersendiri dalam daftar penghargaan penulis. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Richard H. Chauvel, Ph.D., atas perhatian beliau terhadap minat penulis dalam studi militer selama mengikuti kuliah-kuliah kajian Australia dari beliau.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada petugas-petugas Perpustakaan FSUI, seperti Mas Ade Dahlan den Mas Daksina, yang senantiasa sabar melayani penulis dalam mencari buku-buku yang penulis butuhkan untuk penyusunan skripsi ini. Di samping itu, penulis mohon maaf, karena kelalaian penulis mengembalikan buku-buku yang dipinjam merepotkan pekerjaan mereka. Turut menjadi penghargaan penulis adalah kesabaran dan kebaikan dari para petugas perpustakaan, arsip dan pusat dokumentasi lainnya yang meringankan beban penulis dalam menemukan sumber-sumber yang dibutuhkan. Dalam kaitan ini, penulis layak mengucapkan terima kasih, antara lain kepada Bapak Pramudjo dari Dinas Dokumentasi ABRI Satria Mandala, Bapak Sokiman dari Perpustakaan Museum Waspada Purba Wisesa, Mas TotoWidyarsono, S.S., Mas Oloan dan Mbak Ami dari Arsip Nasional Republik Indonesia.

Sejak menjadi mahasiswa Universitas Indonesia, penulis menyadari, bahwa konsep kesetiakawanan dan persahabatan merupakan unsur pokok dalam kehidupan di kampus. Oleh karena itu, penulis mengesampingkan sikap individualisme dan sikap sok mandiri. Tanpa kehadiran teman dan sahabat, kemungkinan besar penulis tidak akan pernah merasakan kebahagiaan dan kebanggaan sebagai mahasiswa Universitas Indonesia. Tanpa kehadiran mereka pula, dapat dipastikan, skripsi ini takkan pernah selesai pada waktunya. Sebab, bagaimanapun, rangkulan kesetiakawanan mereka menjadi tonggak penegak badan penulis untuk bersama-sama menghadapi perjuangan berat yang menanti di muka.

Adalah suatu kebahagiaan tersendiri untuk dapat mengenal sosok-sosok seperti Januar dan Adi Nusferadi dari Angkatan 1986 sebagai sahabat-sahabat sejati yang senantiasa bersedia membantu penulis selama menjadi mahasiswa sampai masa penyusunan skripsi ini. Keterbukaan mereka berdua yang secara tulus menghadapi kelakuan penulis yang sering tidak menentu, menjengkelkan dan konyol adalah bukti kesetiakawanan sejati mereka. Ungkapan terima kasih penulis terukir dalam kalimat berikut: “It’s been so nice to have friends like the two of you.”

Penulis berhutang budi kepada AdiPatrianto, Moh. Zain bin Junoh dan Arfandi Lubis, ketiga-tiganya dari Angkatan 1989, yang telah meminjamkan buku-buku yang penulis butuhkan. Tanpa mereka, barangkali penulisan skripsi ini menjadi tersendat-sendat. Dalam golongan ini, termasuk pula Ali Anwar, S.S., yang selain adalah senior penulis di Jurusan Sejarah juga merupakan kawan dan guru yang baik. Penulis banyak belajar dari dia, terutama tentang tata cara penelitian lapangan. Penulis berterima kasih kepadanya, karena telah diberi kesempatan, kepercayaan serta bantuan untuk mempopulerkan studi sejarah militer dalam wadah Divisi Kajian Militer dari Yayasan Historia Vitae Magistra (YAVITRA) yang diketuainya.

Tidak ketinggalan adalah teman-teman kuliah penulis dari Angkatan 1987, seperti Abdul Jalil, Dwi Puspitasari, Endah Sri Mulatsih, Esterlita Situmorang, Edi Sudarjat, Jaja Najarudin, Maftukhi, Nurlaelah, Pandji Kiansantang, Rasti Suryandani, Syamsul Bachri, Shita Purnamasari, Tien Hartati, Zaenal Abidin, Zainurlis dan Zali Abubakar. Kesempatan untuk mendapatkan teman-teman seperti mereka adalah saat-saat yang takkan terlupakan oleh penulis, karena “I know they are always there when I need them to help me.” Selain itu, kesempatan untuk mengenal Agus Syamsuddin, Arif Pradono, Ahmad Jamil S., Endri Gani, Helmy Arief, Herman Effendy, Indra Priamudi, Linda Sunarti, Lusy Wulansari, Niken Probosari, Sarwoto dan Sulardi dari Angkatan 1988 menjadi warna semarak dalam kehidupan penulis. Mereka semua memberi nafas bagi eksistensi penulis dalam lingkaran mahasiswa Jurusan Sejarah secara keseluruhan.

Penulis banyak mendapatkan gagasan-gagasan baru dan masukan-masukan yang turut menatahkan kata-kata dalam skripsi ini berkat diskusi-diskusi yang menarik di sekitar studi militer dengan Bingar Setiawidi (1989) dan R. Taufik (1990). “Thanks, guys.” Terima kasih penulis sampaikan pula untuk Martomo R. Hidayat (Perpustakaan 1987), Taufik (Jerman 1987), Sudirman (Arab 1987), Syarif Thoyib (Sejarah 1984), dan Urip Herdiman Kambali (Sejarah 1984) yang sering menjadi lawan dialog di luar urusan kuliah, yakni terutama obrolan di sekitar soal kaum Наwа.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan penghargaan secara khusus kepada sahabat pena tercinta Josephien Jolanda (Yola) di Surabaya. Surat-suratnya yang senantiasa memberi dorongan dan doa-doa telah mengiringi penulis dalam empat semester terakhir masa kuliah penulis di Universitas Indonesia. Penghargaan itu penulis berikan untuk pemahamannya atas konsep persahabatan sejati. Dalam keadaan-keadaan penulis di saat suka dan di saat duka, is menyempatkan diri untuk menelepon interlokal ke penulis.

Persiapan efektif menuju ke arah penulisan skripsi ini telah dilakukan sejak lebih dari dua tahun yang lalu. Persiapan itu antara lain mencakup kegiatan penulis dalam melakukan perjalanan guna mengadakan penelitian lapangan pada salah satu daerah yang turut menjadi pembahasan dalam skripsi ini, yakni Kabupaten Banyumas. Kiranya penulis akan menghadapi berbagai hambatan dalam kegiatan penelitian itu, seandainya penulis tidak memperoleh uluran tangan dari pihak-pihak yang berkepentingan langsung. Pertama-tama, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak pimpinan Bagian Hukum pada Kantor Kabupaten Banyumas, di Purwokerto, yang secara spesifik menjelaskan prosedur pengadaan penelitian di wilayah Kabupaten Banyumas. Tidak kurang perannya, dalam hal ini, adalah Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas yang “melicinkan” jalan bagi penulis dengan pemberian rekomendasi guna penelitian penulis. Karena itu, patut pula penulis berterima kasih kepada beliau. Tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada Komandan Resort Militer 071/Purwokerto atas kesediaan beliau memberi fasilitas kepada penulis selama melakukan penelitian. Secara khusus, penulis melimpahkan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Mayor TNI Purn. Pdt. Atmosugondo, Ketua Tim Penyusun Sejarah KOREM 071/Purwokerto, yang dengan ramah menyambut kedatangan penulis di rumah beliau di Berkoh, Purwokerto, untuk berdiskusi tentang sejarah Banyumas pada masa Revolusi.

Penulis berhutang budi kepada dewan redaksi majalah Teknologi & Strategi Militer (TSM) yang secara tidak langsung telah menumbuhkan kepercayaan diri penulis untuk menggeluti dunia tulis-menulis. Perluasan dari Bab I dan II skripsi ini pernah dimuat secara terpisah sebagai artikel dalam edisi September dan Oktober 1992 dari majalah itu.

Dari segi materiel dan moril, penulis sangat berhutang budi kepada Papa dan Mama tercinta. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada Papa tercinta, Mayor TNI Purn. Slamet, yang telah mengalirkan darah militer dalam tubuh penulis dan telah menanamkan semangat untuk mendalami studi militer. Juga untuk kakak dan adik-adik tersayang, RinaWidiyanti, S.S., Dini Triasrini dan Shanti Meiliasari, penulis sampaikan terima kasih dan cinta atas dukungan mereka selama penulis menyusun skripsi ini. Tidak luput dari rasa terima kasih penulis adalah sepupu penulis, Tris Feriatno, yang bandel namun dapat menghibur penulis di saat-saat kesuntukan menghadapi buku, kertas dan mesin tik. Semoga Allah SWT membalas jasa baik mereka dengan rahmat dan karunia-Nya.

Akhir kata, penulis berharap, bahwa skripsi ini akan memiliki manfaat bagi segenap mahasiswa, peminat dan pembaca sejarah Indonesia umumnya serta menambah khasanah sejarah militer khususnya. Amin.


Jakarta, Mei 1993

Anto Dwiastoro Slamet

Naskah asli skripsi saya saat diujikan oleh sidang penguji di FSUI pada 7 Juli 1993.



Bentuk skripsi saya pasca direvisi, dibuat sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah asli saya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia).






Sunday, October 19, 2025

Pada Akhirnya... Itulah yang Paling Penting

DELAPANBELAS Agustus 2025 lalu, bersama tiga saudara Subud dari grup Jakarta Selatan, saya menghadiri sebuah acara peluncuran buku kumpulan puisi esai. Penulisnya bukan anggota Subud, melainkan yunior saya di Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, tetapi ia bekerja di lembaga milik seorang anggota Subud.

Ada bedah buku di acara peluncuran yang berlangsung di sebuah kafe komunitas itu, yang dihadiri banyak pelaku sastra dan literasi. Dua pembedah bukunya pun merupakan sastrawan yang cukup kondang. Terungkap sesuatu yang menggelikan semua hadirin: puisi-puisi esai itu merupakan hasil kerja sama si penulis dengan mesin alias artificial intelligence (AI).

Lantas, satu saudara Subud saya, di sesi tanya-jawab, mempertanyakan sejauh apa ketergantungannya pada AI dan bagaimana bisa membangun rasa di kalangan pembaca jika yang membuat puisi-puisi itu adalah mesin? Si penulis membela dirinya bahwa meski ia menggunakan AI, bagaimanapun ia tetap melakukan penyuntingan terhadap hasilnya, dengan mengandalkan pikirannya sendiri.

Saudara Subud saya itu bersikukuh bahwa semua karya hanya dapat memiliki resonansi tertentu pada penikmatnya hanya bila murni berasal dari diri si pembuatnya. Selama ini, saya juga mempercayai hal itu, sampai suatu ketika saya menghadapi situasi dimana saya harus membuat suatu karya sastra fiksi di saat bersamaan begitu banyak pesanan pekerjaan saya terima. Saya ikhlas menyerahkan semua kepada bimbinganNya, tidak berusaha mengatur-atur prosesnya.

Satu dua pekerjaan (termasuk beberapa bagian dari karya tulis fiksi itu) dapat saya selesaikan dengan baik berkat bantuan AI. Yang membuat saya tercengang adalah reaksi klien-klien saya terhadap hasilnya: Mereka merasa puas dan menikmati vibrasi dari pekerjaan-pekerjaan itu, yang tidak ada bedanya dengan yang mereka rasakan ketika saya menyerahkan pekerjaan yang ide dan pengerjaannya orisinal dari diri saya.

Belakangan, dalam obrolan saya dengan satu teman saya (seorang praktisi kehumasan yang kini sedang melalui masa kandidatannya di Subud Cabang Jakarta Selatan), kami mendapat kepahaman: Bukan CARANYA yang penting dalam segala proses kehidupan kita—itu urusan dari Yang Maha Kuasa, Dia Yang Maha Mengatur itu semua.©2025


Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, 20 Oktober 2025