LIMA hari lalu, saya bermimpi saat tidur
malam. Dalam mimpi itu, saya berada di dalam Kereta Rel Listrik (KRL) tujuan ke
Jakarta atau Bogor dari Stasiun Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat.
Bersama saya ada cewek hitam manis yang di kampus Fakultas Sastra/FS (sejak
2002 menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB) Universitas Indonesia
merupakan mahasiswi Program Studi (Prodi) Jerman Angkatan 1985. Saya sendiri
waktu itu (1987-1993) berstatus mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI Angkatan 1987.
Dari segi usia, cewek itu 18 bulan lebih tua dari saya (dikonfirmasi di Riwayat
Hidup dalam skripsinya, dia kelahiran Bogor, 2 Juni 1966). Dengan kata lain, di
lingkungan FSUI dia adalah senior saya.
Mimpi yang menurut saya sangat aneh, karena
saya dan cewek itu sudah putus kontak selama 35 tahun, dan bahkan teman
seangkatan saya di Jurusan Sejarah yang bertetangga dengan si cewek tidak
pernah mengabarkan apapun tentang dia.
Dalam mimpi itu, saya bersikap mesra terhadap
cewek itu. Kami berdiri berhadapan, berpegangan pada tali di atas kami karena
tidak mendapat tempat duduk. Tampaknya kami berpacaran dalam mimpi itu. Dalam
kehidupan nyata, dulu, 35 tahun lalu, tepatnya tahun 1990, kami memang pernah
sangat dekat. Dia selalu penuh perhatian dan saya pernah tak sengaja mencuri
dengar dia bicara dengan teman seangkatan saya di Jurusan Sejarah, yang
sama-sama dengan dia tinggal di Bogor, bahwa dia jatuh cinta pada saya. Tapi
saya rasa, “sepasang kekasih” bukanlah kata yang tepat untuk mendefinisikan
kedekatan kami. Kami tidak pernah saling terbuka mengungkapkan perasaan kami.
Hanya tindak tanduk kami yang berbicara kenyataannya.
DN inisial nama lengkapnya, Tera panggilan
akrabnya. Dia pernah bercerita ke saya di awal perkenalan kami bahwa selain
berstatus mahasiswi Sastra Jerman FSUI, dia juga kuliah di Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia kampus Cawang, Jakarta Timur, di Angkatan 1984.
Saya mengenal Tera ketika kami menjadi
anggota panitia pelaksana penyelenggaraan Penataran 100 Jam Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) bagi mahasiswa baru UI tahun 1990, yang Gugus
07-nya bertempat di kampus FSUI Depok, selama hampir sebulan. Tera muncul di
kampus di hari kedua atau ketiga Penataran P4, untuk urusan skripsinya, tidak
menyangka bahwa ia sebenarnya anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07. Adalah Annt,
gadis kurus dan jangkung, berkacamata dan rambut panjangnya dikepang, yang
memberi tahu Tera tentang hal itu. Annt teman seangkatan Tera di Prodi Jerman.
Setelah diberi tahu Annt, Tera pun bergabung
dengan para anggota Panpel lainnya, yang berkumpul di teras Gedung I FSUI. Pos
Koordinasi (Posko) Panpel Penataran P4 Gugus 07 menempati dua ruangan di
sebelah Auditorium Gedung I. Saya sedang duduk di bangku kayu panjang di depan
ruangan sebelah Auditorium; ruangan itu selama semester perkuliahan merupakan
salah satu kelas yang digunakan untuk pertemuan interaktif dosen dan mahasiswa.
Tera duduk di sebelah saya dan memperkenalkan
dirinya. Dari perjumpaan pertama itu saya sudah mendapat kesan bahwa gadis itu
ramah ke semua orang dan supel. Sungguh kontras dengan saya yang pendiam dan
pemalu, dan kerap dianggap sombong dan kaku. Dari perkenalan itu berkembanglah
obrolan yang akrab antara saya dan Tera. Meski cantik, dengan model rambut bob layer sebahu, berkulit gelap, dan
berkacamata, saya tidak segera naksir pada Tera. Perasaan saya biasa saja.
Obrolan kami kian akrab setelah dipicu oleh
insiden lucu. Saat masih duduk di teras Gedung I, satu anggota Panpel,
mahasiswa Sastra Prancis Angkatan 1987, yang saya lupa namanya, berteriak dari
arah teras Gedung II. Gedung II adalah pusat Badan Administrasi Pendidikan (BAP)
FSUI, dimana Dekan dan para Pembantu Dekan (Pudek) FSUI berkantor, serta
loket-loket pengurusan segala keperluan akademik mahasiswa berada. Dia
melambai-lambaikan sebuah amplop putih ke saya. “Surat cinta nih untuk lo, To!”
teriaknya, lalu membaui amplop itu. “Hmmm, wangi!”
Saya pun bergegas ke teras Gedung II untuk
mengambil amplop itu. Gedung I dan II terhubung dengan selasar pendek. Setelah
menerima amplop itu, yang berisi surat dari pacar saya yang sedang kuliah di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, saya kembali ke teras Gedung I, dan duduk
kembali di sebelah Tera. Dia bertanya mengapa surat buat saya dialamatkan ke
kampus FSUI.
Saya pun bercerita kepadanya bahwa hubungan
saya dengan pacar saya di Yogya, Evi namanya, ditentang orang tua saya, karena
kami memiliki hubungan kekerabatan yang di adat Jawa Tengah tabu untuk menjalin
asmara. Namun, kenyataan itu baru disampaikan ke saya ketika masa pacaran saya
dengan Evi sudah berjalan dua tahun. Daripada bubaran, saya memilih untuk
melanjutkan, tetapi secara backstreet.
Tera tampaknya terkesan dengan kejujuran
saya. Ia terus mendengarkan cerita saya dengan penuh minat. Saya bercerita apa
adanya tentang hubungan saya dengan Evi, sampai detail kelakuan saya menyimpan
kondom di dompet sebagai persiapan kalau Evi mau saya “begitukan”. Hari itu
menandai keakraban saya dan Tera. Tera berubah menjadi pribadi yang selalu
tulus memberi perhatian kepada saya, misalnya mengambilkan kopi dan kue buat
saya, tanpa saya minta, saat rehat kopi Penataran P4. Tindakannya memancing ES,
rekan seangkatan saya di Jurusan Sejarah, untuk menggoda kami seolah kami
sepasang kekasih. “Ter, lo pacaran ya sama Anto? Kok Anto doang lo bawain kopi
dan kue? Gue kan tetangga lo, masak lo cuekin,” goda ES. Atau ketika Tera
menderita sariawan di bibirnya, kontan digoda ES, “Makanya kalau ciuman sama
Anto jangan kelewat hot.”
Digoda begitu, Tera tidak mengamuk, tapi
malah menanggapi dengan balas meledek ES. ES dan Tera memang bertetangga di Jl.
Pakuan, Bogor.
Secara terpisah, ES bilang ke saya bahwa Tera
suka pada saya. “Lo itu blak-blakan, man,
terus terang. Cewek suka sama cowok yang terbuka kayak lo.” Entah mengapa,
perasaan saya biasa saja, tidak GR, mendengar ucapan ES mengenai perasaan Tera
terhadap saya.
Selama sebulan menjalankan tugas sebagai
anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07 FSUI, hubungan saya dan Tera menjadi kian
akrab. Tidak pernah ada rasa tertarik terhadapnya muncul di diri saya, tetapi
saya senang dan merasa nyaman dengan kehadirannya. Kami nyambung di segala topik obrolan. Dan Tera selalu tertawa dan suka
bercanda, terlebih bila digoda ES bahwa dia dan saya berpacaran. Saat itu, saya
merupakan pribadi yang pemalu, dan mudah segan terhadap para senior. “Berpacaran
dengan kakak senior” tidak ada dalam kamus saya saat itu. Meskipun perbedaan
usia bukan masalah bagi saya dalam hal asmara, tetapi ibu saya sangat menentang
hal itu.
Pernah sekali waktu, ketika para peserta
Penataran P4 Gugus 07 dipecah menjadi kelompok-kelompok diskusi, Tera spontan
mengajak saya buat menemani dia bertugas di kelompok yang menempati Gedung
VIII. Saat itu, Gedung VIII berada di paling belakang kampus FSUI, di pojok
dekat hutan dan terpencil, terhubung dengan Gedung VII (Perpustakaan) oleh
selasar yang panjang. Saya mengerti mengapa Tera minta saya menemaninya—karena
banyak cerita horor beredar mengenai Gedung VIII. Dengan senang hati saya
menerima ajakannya.
Keakraban kami makin kuat dan dalam di Gedung
VIII. Tera sempat bilang ke saya bahwa dia belum punya pacar, tapi saya masih
terlalu polos untuk mengerti bahwa itu kode keras buat saya, sehingga saya
tidak terdorong untuk menyatakan cinta. Lha, karena memang saya tidak memiliki
perasaan spesial terhadapnya, selain merasa nyaman jika berada di dekatnya.
Pasca menjadi anggota Panpel Penataran P4
Gugus 07, saya masih sering berjumpa dengan Tera. Dia selalu menyapa saya, yang
saya sambut dengan tersenyum. Tapi saya paling malu membalas sapaannya bila dia
sedang bersama teman-teman seangkatannya. Saya merasa tatapan teman-temannya
seolah menganggap saya yunior yang kurang ajar, berani-beraninya menyukai kakak
senior.
Suatu hari, terjadi sesuatu yang membuat hati
saya deg-degan. Saat itu, siang hari, saya baru tiba di kampus FSUI, dan saya
berjalan dari arah pelataran parkir mobil di samping Gedung III (gedung yang
mengatapi kantor jurusan dan program studi), menuruni tangga yang membawa saya
ke emperan Gedung III, dan terus berjalan ke selasar tepat di seberang pintu
akses Gedung III. Saya memergoki Tera sedang mengobrol dengan ES di tengah
selasar dengan posisi memunggungi saya sehingga mereka tidak menyadari
kehadiran saya. Jarak saya dengan mereka agak jauh tetapi saya dapat mendengar
setiap ucapan mereka. Saya sengaja tidak mau mendekat dan menyapa mereka,
terutama karena saya malu sekali jika dijadikan bahan candaan Edi bahwa saya
dan Tera berpacaran. Saya berpura-pura melihat-lihat majalah dinding di sisi
selasar.
Obrolan mereka saat itu adalah tentang saya
dan bagaimana perasaan Tera terhadap saya. “Aduuh, E, lo jangan bikin Anto malu
doong. Kasihan dia. Gue tuh sayang banget sama Anto. Gue kok jatuh cinta sama
Anto ya, E. Gue bingung!” ucap Tera.
“Ah, lo biasa aja napa. Anto tuh santai aja
kok, emang orangnya cuek banget, tapi gue tau si Anto... kayaknya dia suka juga
sama lo, Ter. Jadiin aja,” kata ES menanggapi Tera.
Akhirnya, saya memberi tahu ES dan Tera akan
keberadaan saya di selasar itu, namun saya memberi kesan ke mereka seolah saya
baru tiba. Tera berbinar-binar melihat saya, dia blushing seperti gadis remaja yang terpergok pria pujaannya. “Hai
Anto,” sapanya.
“Hai, Tera,” balas saya sambil melempar
senyum. Saya tidak menyempatkan diri untuk berbicara lebih lama dengan dia di
selasar itu, dan terus melangkah ke kantin di Gedung IV. Saya sempat mendengar ES
menggoda lagi, “Udahlah, lo berdua emang jodoh.” Tera memukul bahu Edi, mungkin
karena malu.
Perasaan saya senang ketika tak sengaja mencuri dengar pengakuan Tera ke ES
di selasar Gedung III. Tetapi yang saya rasakan aneh, jika mengingat hal itu
sekarang, hati saya tidak berbunga-bunga. Biasa saja. Lalu, mengapa saya
memimpikan Tera dan saya berpacaran? Justru 35 tahun kemudian.©2025
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 1 Agustus 2025