Thursday, July 31, 2025

Mendidik Melalui Hukuman Fisik

Gagasan saya yang pernah saya posting di Linimasa Facebook saya, 1 Agustus 12 tahun lalu, ini muncul di Kenangan Facebook saya hari ini. Saya tulis ulang bersama dengan komentar Hannah Lee dari Subud Perth, Australia, dan komentar balik saya terhadapnya.


KEKERASAN dalam pelatihan dasar militer di Amerika Serikat dilarang; instruktur latihan sekarang hanya diperbolehkan membentak para rekrutan. Begitu pula dengan perpeloncoan di universitas-universitas di Indonesia, yang kini sudah dilarang (namun masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi).

Saya menyayangkan masyarakat saat ini yang tidak tegar menghadapi kesulitan hidup karena dimanjakan semasa kecil. Sebagai anak sekolah, saya dicambuk dengan penggaris kayu atau dijemur di lapangan karena tindakan indisipliner.

Tahukah Anda apa yang dialami rata-rata anak sekolah di Indonesia setelah mengalami nasib serupa? Mereka jatuh sakit, bahkan ada yang meninggal! Saya pikir sakit atau matinya bukan disebabkan oleh hukuman fisik, tapi lebih disebabkan oleh tekanan karena rasa malu.

Saya ingat suatu kejadian ketika saya masih menjadi mahasiswa senior di Universitas Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan, saat Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) bagi mahasiswa baru. Ada seorang anak muda laki-laki yang datang terlambat. Saya berteriak dan membentaknya di depan para mahasiswa baru lainnya dan menyuruhnya melakukan push-up sebanyak 25 kali. Yang mengejutkan saya adalah dia menangis dan menuduh saya telah mempermalukannya.

“Tidak seorang pun, bahkan orang tua saya tidak pernah memarahi saya!” katanya. Ya ampun! Apakah ini generasi sekarang? Tak heran jika semakin banyak remaja yang melakukan bunuh diri ketika mengalami kegagalan atau kekecewaan.

Meskipun demikian, diperlukan beberapa bentuk tindakan disipliner, namun harus ada batasannya agar tidak berlebihan, sehingga mudah menimbulkan kebingungan. Tapi kita sebagai orang tua, saya yakin, merasakan lebih banyak kesakitan daripada anak yang kita hukum, tapi itu perlu. Hal ini menanamkan cara kita memandang kehidupan dan juga membuat kita lebih tangguh! Tempatkan seorang remaja sekarang dan kita ketika kita remaja di pulau terpencil, menurut Anda siapa yang cenderung memimpin dan sintas?!

Anak-anak zaman sekarang lebih baik di sekolah dibandingkan di kehidupan nyata. Keponakan saya pernah mengejek saya karena saya tidak pandai matematika (dia mengetahuinya dari kakak saya yang adalah ibunya). Dia memberi saya soal matematika dengan rumus “n” (ini ditambah n sama dengan ini, berapa n?) dan yakin saya tidak bisa menyelesaikan soal tersebut. Dia tertawa terpingkal-pingkal ketika saya ternyata membuktikan apa yang dia yakini sebelumnya.

Kemudian tibalah giliran saya untuk memberinya soal: “Kamu berada di dalam pesawat yang jatuh ke hutan dimana tidak ada orang di sekitarnya dan ada hewan-hewan berbahaya yang akan memakanmu. Sekarang, jelaskan pada Om bagaimana kamu menggunakan ‘n’ untuk menyelamatkan dirimu!” Dia hanya mengangkat bahu dan mengatakan bahwa saya gila!©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Agustus 2013

35 Tahun Kemudian

LIMA hari lalu, saya bermimpi saat tidur malam. Dalam mimpi itu, saya berada di dalam Kereta Rel Listrik (KRL) tujuan ke Jakarta atau Bogor dari Stasiun Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat. Bersama saya ada cewek hitam manis yang di kampus Fakultas Sastra/FS (sejak 2002 menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB) Universitas Indonesia merupakan mahasiswi Program Studi (Prodi) Jerman Angkatan 1985. Saya sendiri waktu itu (1987-1993) berstatus mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI Angkatan 1987. Dari segi usia, cewek itu 18 bulan lebih tua dari saya (dikonfirmasi di Riwayat Hidup dalam skripsinya, dia kelahiran Bogor, 2 Juni 1966). Dengan kata lain, di lingkungan FSUI dia adalah senior saya.

Mimpi yang menurut saya sangat aneh, karena saya dan cewek itu sudah putus kontak selama 35 tahun, dan bahkan teman seangkatan saya di Jurusan Sejarah yang bertetangga dengan si cewek tidak pernah mengabarkan apapun tentang dia.

Dalam mimpi itu, saya bersikap mesra terhadap cewek itu. Kami berdiri berhadapan, berpegangan pada tali di atas kami karena tidak mendapat tempat duduk. Tampaknya kami berpacaran dalam mimpi itu. Dalam kehidupan nyata, dulu, 35 tahun lalu, tepatnya tahun 1990, kami memang pernah sangat dekat. Dia selalu penuh perhatian dan saya pernah tak sengaja mencuri dengar dia bicara dengan teman seangkatan saya di Jurusan Sejarah, yang sama-sama dengan dia tinggal di Bogor, bahwa dia jatuh cinta pada saya. Tapi saya rasa, “sepasang kekasih” bukanlah kata yang tepat untuk mendefinisikan kedekatan kami. Kami tidak pernah saling terbuka mengungkapkan perasaan kami. Hanya tindak tanduk kami yang berbicara kenyataannya.

DN inisial nama lengkapnya, Tera panggilan akrabnya. Dia pernah bercerita ke saya di awal perkenalan kami bahwa selain berstatus mahasiswi Sastra Jerman FSUI, dia juga kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia kampus Cawang, Jakarta Timur, di Angkatan 1984.

Saya mengenal Tera ketika kami menjadi anggota panitia pelaksana penyelenggaraan Penataran 100 Jam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) bagi mahasiswa baru UI tahun 1990, yang Gugus 07-nya bertempat di kampus FSUI Depok, selama hampir sebulan. Tera muncul di kampus di hari kedua atau ketiga Penataran P4, untuk urusan skripsinya, tidak menyangka bahwa ia sebenarnya anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07. Adalah Annt, gadis kurus dan jangkung, berkacamata dan rambut panjangnya dikepang, yang memberi tahu Tera tentang hal itu. Annt teman seangkatan Tera di Prodi Jerman.

Setelah diberi tahu Annt, Tera pun bergabung dengan para anggota Panpel lainnya, yang berkumpul di teras Gedung I FSUI. Pos Koordinasi (Posko) Panpel Penataran P4 Gugus 07 menempati dua ruangan di sebelah Auditorium Gedung I. Saya sedang duduk di bangku kayu panjang di depan ruangan sebelah Auditorium; ruangan itu selama semester perkuliahan merupakan salah satu kelas yang digunakan untuk pertemuan interaktif dosen dan mahasiswa.

Tera duduk di sebelah saya dan memperkenalkan dirinya. Dari perjumpaan pertama itu saya sudah mendapat kesan bahwa gadis itu ramah ke semua orang dan supel. Sungguh kontras dengan saya yang pendiam dan pemalu, dan kerap dianggap sombong dan kaku. Dari perkenalan itu berkembanglah obrolan yang akrab antara saya dan Tera. Meski cantik, dengan model rambut bob layer sebahu, berkulit gelap, dan berkacamata, saya tidak segera naksir pada Tera. Perasaan saya biasa saja.

Obrolan kami kian akrab setelah dipicu oleh insiden lucu. Saat masih duduk di teras Gedung I, satu anggota Panpel, mahasiswa Sastra Prancis Angkatan 1987, yang saya lupa namanya, berteriak dari arah teras Gedung II. Gedung II adalah pusat Badan Administrasi Pendidikan (BAP) FSUI, dimana Dekan dan para Pembantu Dekan (Pudek) FSUI berkantor, serta loket-loket pengurusan segala keperluan akademik mahasiswa berada. Dia melambai-lambaikan sebuah amplop putih ke saya. “Surat cinta nih untuk lo, To!” teriaknya, lalu membaui amplop itu. “Hmmm, wangi!”

Saya pun bergegas ke teras Gedung II untuk mengambil amplop itu. Gedung I dan II terhubung dengan selasar pendek. Setelah menerima amplop itu, yang berisi surat dari pacar saya yang sedang kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, saya kembali ke teras Gedung I, dan duduk kembali di sebelah Tera. Dia bertanya mengapa surat buat saya dialamatkan ke kampus FSUI.

Saya pun bercerita kepadanya bahwa hubungan saya dengan pacar saya di Yogya, Evi namanya, ditentang orang tua saya, karena kami memiliki hubungan kekerabatan yang di adat Jawa Tengah tabu untuk menjalin asmara. Namun, kenyataan itu baru disampaikan ke saya ketika masa pacaran saya dengan Evi sudah berjalan dua tahun. Daripada bubaran, saya memilih untuk melanjutkan, tetapi secara backstreet.

Tera tampaknya terkesan dengan kejujuran saya. Ia terus mendengarkan cerita saya dengan penuh minat. Saya bercerita apa adanya tentang hubungan saya dengan Evi, sampai detail kelakuan saya menyimpan kondom di dompet sebagai persiapan kalau Evi mau saya “begitukan”. Hari itu menandai keakraban saya dan Tera. Tera berubah menjadi pribadi yang selalu tulus memberi perhatian kepada saya, misalnya mengambilkan kopi dan kue buat saya, tanpa saya minta, saat rehat kopi Penataran P4. Tindakannya memancing ES, rekan seangkatan saya di Jurusan Sejarah, untuk menggoda kami seolah kami sepasang kekasih. “Ter, lo pacaran ya sama Anto? Kok Anto doang lo bawain kopi dan kue? Gue kan tetangga lo, masak lo cuekin,” goda ES. Atau ketika Tera menderita sariawan di bibirnya, kontan digoda ES, “Makanya kalau ciuman sama Anto jangan kelewat hot.”

Digoda begitu, Tera tidak mengamuk, tapi malah menanggapi dengan balas meledek ES. ES dan Tera memang bertetangga di Jl. Pakuan, Bogor.

Secara terpisah, ES bilang ke saya bahwa Tera suka pada saya. “Lo itu blak-blakan, man, terus terang. Cewek suka sama cowok yang terbuka kayak lo.” Entah mengapa, perasaan saya biasa saja, tidak GR, mendengar ucapan ES mengenai perasaan Tera terhadap saya.

Selama sebulan menjalankan tugas sebagai anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07 FSUI, hubungan saya dan Tera menjadi kian akrab. Tidak pernah ada rasa tertarik terhadapnya muncul di diri saya, tetapi saya senang dan merasa nyaman dengan kehadirannya. Kami nyambung di segala topik obrolan. Dan Tera selalu tertawa dan suka bercanda, terlebih bila digoda ES bahwa dia dan saya berpacaran. Saat itu, saya merupakan pribadi yang pemalu, dan mudah segan terhadap para senior. “Berpacaran dengan kakak senior” tidak ada dalam kamus saya saat itu. Meskipun perbedaan usia bukan masalah bagi saya dalam hal asmara, tetapi ibu saya sangat menentang hal itu.

Pernah sekali waktu, ketika para peserta Penataran P4 Gugus 07 dipecah menjadi kelompok-kelompok diskusi, Tera spontan mengajak saya buat menemani dia bertugas di kelompok yang menempati Gedung VIII. Saat itu, Gedung VIII berada di paling belakang kampus FSUI, di pojok dekat hutan dan terpencil, terhubung dengan Gedung VII (Perpustakaan) oleh selasar yang panjang. Saya mengerti mengapa Tera minta saya menemaninya—karena banyak cerita horor beredar mengenai Gedung VIII. Dengan senang hati saya menerima ajakannya.

Keakraban kami makin kuat dan dalam di Gedung VIII. Tera sempat bilang ke saya bahwa dia belum punya pacar, tapi saya masih terlalu polos untuk mengerti bahwa itu kode keras buat saya, sehingga saya tidak terdorong untuk menyatakan cinta. Lha, karena memang saya tidak memiliki perasaan spesial terhadapnya, selain merasa nyaman jika berada di dekatnya.

Pasca menjadi anggota Panpel Penataran P4 Gugus 07, saya masih sering berjumpa dengan Tera. Dia selalu menyapa saya, yang saya sambut dengan tersenyum. Tapi saya paling malu membalas sapaannya bila dia sedang bersama teman-teman seangkatannya. Saya merasa tatapan teman-temannya seolah menganggap saya yunior yang kurang ajar, berani-beraninya menyukai kakak senior.

Suatu hari, terjadi sesuatu yang membuat hati saya deg-degan. Saat itu, siang hari, saya baru tiba di kampus FSUI, dan saya berjalan dari arah pelataran parkir mobil di samping Gedung III (gedung yang mengatapi kantor jurusan dan program studi), menuruni tangga yang membawa saya ke emperan Gedung III, dan terus berjalan ke selasar tepat di seberang pintu akses Gedung III. Saya memergoki Tera sedang mengobrol dengan ES di tengah selasar dengan posisi memunggungi saya sehingga mereka tidak menyadari kehadiran saya. Jarak saya dengan mereka agak jauh tetapi saya dapat mendengar setiap ucapan mereka. Saya sengaja tidak mau mendekat dan menyapa mereka, terutama karena saya malu sekali jika dijadikan bahan candaan Edi bahwa saya dan Tera berpacaran. Saya berpura-pura melihat-lihat majalah dinding di sisi selasar.

Obrolan mereka saat itu adalah tentang saya dan bagaimana perasaan Tera terhadap saya. “Aduuh, E, lo jangan bikin Anto malu doong. Kasihan dia. Gue tuh sayang banget sama Anto. Gue kok jatuh cinta sama Anto ya, E. Gue bingung!” ucap Tera.

“Ah, lo biasa aja napa. Anto tuh santai aja kok, emang orangnya cuek banget, tapi gue tau si Anto... kayaknya dia suka juga sama lo, Ter. Jadiin aja,” kata ES menanggapi Tera.

Akhirnya, saya memberi tahu ES dan Tera akan keberadaan saya di selasar itu, namun saya memberi kesan ke mereka seolah saya baru tiba. Tera berbinar-binar melihat saya, dia blushing seperti gadis remaja yang terpergok pria pujaannya. “Hai Anto,” sapanya.

“Hai, Tera,” balas saya sambil melempar senyum. Saya tidak menyempatkan diri untuk berbicara lebih lama dengan dia di selasar itu, dan terus melangkah ke kantin di Gedung IV. Saya sempat mendengar ES menggoda lagi, “Udahlah, lo berdua emang jodoh.” Tera memukul bahu Edi, mungkin karena malu.

Perasaan saya senang ketika tak sengaja mencuri dengar pengakuan Tera ke ES di selasar Gedung III. Tetapi yang saya rasakan aneh, jika mengingat hal itu sekarang, hati saya tidak berbunga-bunga. Biasa saja. Lalu, mengapa saya memimpikan Tera dan saya berpacaran? Justru 35 tahun kemudian.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Agustus 2025

Saturday, July 26, 2025

Soto Pak Jutek

 


KETIKA saya masih tinggal di rumah kontrakan di Jl. Petemon Barat, Surabaya, tahun 2001-2003, ada satu penjual soto ayam Lamongan langganan saya di Jl. Petemon V. Jualan secara gerobakan tapi mangkal di sudut perempatan Petemon V-VI di kawasan Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya.

Karena gerobaknya tidak memiliki nama, saya pribadi memviralkannya sebagai “Soto Pak Jutek”, karena tampang si bapak penjual soto Lamongan yang sangat enak dengan kuah kaldu bandengnya yang gurih selalu terlihat suntuk, jutek, tidak pernah tersenyum, bahkan ketika sudah menerima uang pembayaran soto yang saya pesan. Kadang saya minta tambah daging ayam suwirnya, atau kuahnya atau uritannya, dia menampakkan wajah yang kian jutek tapi tetap memenuhi permintaan saya.

Pak Jutek dengan wajah tak ramahnya bagaimanapun membuat saya kangen, terutama setelah saya kembali ke tanah kelahiran, Jakarta, Juli 2005. Ingatan akan penjual soto ayam Lamongan di Jl. Petemon V itu kembali mengisi kepala saya ketika menemukan depot soto Lamongan dengan nama “Pak Jutek”, di Jl. Cabe I, Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Juli 2025

Menyogok Nafsu

SEJAK pertengahan tahun lalu hingga saat ini, saya mulai merasakan “krisis paruh baya” dalam kehidupan Subud saya. Tandanya, saya kehilangan dorongan untuk Latihan yang rajin seminggu dua kali. Biasanya saya merasa rugi sekali kalau kehilangan satu kesempatan Latihan bersama di hall, kini saya “ah... peduli amat”. Dan kalau sebelum-sebelumnya, saya bisa tiga-empat kali Latihan dalam seminggu, kini tidak Latihan dalam seminggu saya merasa biasa saja. 

Sebelumnya, hujan badai saya terjang demi bisa ke Latihan terjadwal di hall manapun, kegelapan malam dan jarak yang jauh saya terobos meski mata hanya sanggup melihat sejauh 5 meter. Kini, saya hanya berpikir betapa gilanya saya kalau melakukan itu semua.

Bagaimanapun, saya tetap merasakan vibrasi Latihan dalam keseharian saya, bimbingan yang terus-menerus dalam segala hal yang saya lakukan, baik dalam wujud gerak, merasakan, maupun sekadar pengertian.

Baru-baru ini, di tengah sesi percakapan bahasa Inggris SPEC di Rumah Wing Bodies Subud Indonesia pada hari Selasa, 22 Juli 2025, saya ceritakan ke Pak Harris Roberts apa yang tengah saya alami. Beliau berbagi kiatnya, mengenai bagaimana tetap rajin datang Latihan bersama di hall. Beliau menyebutnya “bribe my nafsu” (menyogok nafsu saya). Pak Harris menyogok nafsunya dengan ketersediaan kopi dan rokok.

Saya pun blak-blakan merespons usulan beliau, “Really? That’s what I do almost all the time. That’s the sole reason why I do Latihan in Pamulang... For the food and the great tasting coffee!” (Benarkah? Itu yang saya hampir selalu saya lakukan. Itulah satu-satunya alasan mengapa saya Latihan di Pamulang... Demi makanannya dan kopinya yang berasa sangat nikmat!).©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Juli 2025

 

Thursday, July 24, 2025

Orisinalitas Ide

 



MELIHAT logo 80 tahun Indonesia Merdeka yang baru diluncurkan dan kemiripan dengan yang ada di koleksi VectorStock, saya teringat pengalaman pribadi saya ketika masih berkiprah sebagai Senior Copywriter di Rama & Grey (PT Rama Perwira) tahun 1995-1997.

Creative Director saat itu, seorang Australia peraih Clio Award untuk iklan Coca Cola ketika ia berkarir di Madison Avenue, New York, Amerika Serikat, Neal Weeks namanya, mengomentari salah satu dari lima alternatif ide saya untuk iklan televisi (television commercial/TVC) Wrigley Chewing Gum.

Ia bertanya ke saya apakah saya pernah melihat TVC dari minuman ringan bersoda “Big Cola”. Saya jawab, belum. Karena TVC-nya memang tidak ditayangkan di Indonesia. Namun saya jadi kecewa, karena merasa ide saya jadi tidak orisinal.

Neal Weeks pun menghibur saya: “Jangan kecewa, Anto. Tuhan menurunkan ide-ide ke semua copywriter di muka bumi, dan kadang ada ide-ide yang mirip satu sama lain. Kalau penggunaannya untuk produk yang sama, memang jadi tidak orisinal. Tapi dalam kasus kamu, idenya kan untuk permen karet, bukan minuman sejenis Big Cola. Ide kamu tetap orisinal, jangan khawatir.”©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Juli 2025


Anggukan Tersenyum

 


GRUP Jakarta Selatan memiliki lebih dari 540 anggota aktif—berdasarkan laporan pertanggungjawaban dari Ketua Grup pada Rapat Cabang Jakarta Selatan, 11 Mei 2025 lalu. Rata-rata kita tidak mungkin dapat mengenal mereka semua. Tetapi menjaga kebersamaan sekaligus kerukunan bukanlah hal yang sulit. Budaya Indonesia memiliki metode sapaan tertentu, yang saya kira bisa dilakukan semua orang, tak terkecuali latar belakangnya.

Sesama orang Indonesia, saling mengenal maupun tidak, akan memberi “anggukan tersenyum” jika berpapasan. Kadang ditambah dengan sapaan lisan “Dari mana?” atau “Mau ke mana?”, bila mereka saling mengenal. Sebuah pertanyaan yang sifatnya sekadar basa-basi, tidak memerlukan jawaban.

Saya sudah Latihan di Hall Cilandak selama lebih dari 19 tahun, saya bertemu dengan banyak sekali orang dengan berbagai perangai dan masalah. Mereka datang dan pergi di Subud. Yang saya jumpai belasan tahun lalu kadang tidak saya jumpai lagi saat ini, atau kalaupun saya menjumpainya bisa jadi dia tidak ingat saya atau sakit hati pada saya. Apapun alasannya, sekalinya berpapasan saya pasti akan memberi mereka anggukan tersenyum. Saya tidak mengharapkan balasan dengan sikap yang sama (biasanya mereka membuang muka atau “berwajah lempeng” seolah tidak melihat saya).

Saya pernah diajak seorang pakar komunikasi multibudaya ke pembekalan para ekspat yang bekerja di Indonesia. Di acara itu, sang pakar membagi sejumlah kiat tentang bagaimana orang-orang asing yang bekerja di Indonesia—semuanya di level manajerial atau direksi—dapat disukai oleh anak buah mereka. Penekanannya adalah pada bahasa tubuh. Sekadar tersenyum sambil mengangguk pelan dan sigap dapat berdampak sangat positif dalam hubungan atasan dengan bawahan.

Sang pakar komunikasi multibudaya tersebut juga menyarankan para peserta pembekalan agar tidak melipat kedua lengan di depan dada atau berkacak pinggang saat berbicara kepada bawahan, karena orang Indonesia menganggap sikap itu sebagai arogansi, yang dipengaruhi oleh trauma sejarah dengan orang-orang Eropa yang pernah menjajah Indonesia.

Berbicara mengenai budaya Indonesia tidak akan pernah ada habisnya. Indonesia bukan hanya dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak keanekaragaman suku, agama, dan pemandangan indah. Indonesia juga memiliki beragam budaya. Salah satu budaya Indonesia yang menonjol di mata dunia adalah keramahtamahan masyarakatnya. Jika berkunjung ke Indonesia, hal pertama yang menjadi perhatian semua orang dari berbagai belahan dunia adalah senyum dan sapa masyarakat. Bagi warga Indonesia sendiri, hal ini adalah hal lumrah yang biasa dilakukan. Namun, bagi orang yang memang bukan berlatar belakang budaya Indonesia, pasti terkejut saat pertama kali berkunjung.

Budaya tegur sapa di Indonesia memang menjadi salah satu alasan kuat mengapa negara ini dianggap sebagai salah satu negara paling ramah di dunia. Tegur sapa, yang dalam bahasa Jawa sering disebut “salam”, merupakan suatu tindakan sederhana yang dilakukan dengan menyapa atau menyambut orang lain dengan ramah dan sopan.

Di Indonesia, tegur sapa bukanlah hal yang asing. Bahkan sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, semua diajarkan untuk menyapa dengan ramah kepada siapa pun yang mereka temui. Tegur sapa ini tidak hanya dilakukan kepada keluarga dan teman-teman, tetapi juga kepada orang asing yang baru dikenal.

Nilai Kekeluargaan

TEGUR sapa menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Saat kita bertemu dengan orang yang belum kita kenal, kita akan menyapa dengan kata-kata seperti “selamat pagi”, “selamat siang”, atau “selamat malam”, tergantung pada waktu pertemuan. Selain itu, kita juga dapat menggunakan kata-kata seperti “apa kabar?” atau “bagaimana keadaanmu?” untuk menunjukkan minat kita terhadap keadaan orang tersebut.

Bukan hanya itu, tegur sapa di Indonesia juga melibatkan kontak fisik yang lembut. Misalnya, ketika kita bertemu dengan orang yang lebih tua, kita biasanya memberikan salam dengan merengkuh tangan mereka dan menempelkan tangan kita di dada sebagai tanda penghormatan. Hal ini menunjukkan rasa hormat dan penghargaan kita terhadap orang yang lebih tua.

Tegur sapa juga mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan yang kuat di Indonesia. Saat kita bertemu dengan saudara atau kerabat, kita tidak hanya menyapa dengan kata-kata, tetapi juga memberikan pelukan atau cium pipi sebagai tanda kasih sayang dan keakraban. Hal ini menunjukkan bahwa kita peduli dan menghargai hubungan keluarga yang erat. Di Subud Indonesia, kebiasaan seperti itu sudah lama dilakukan, biasanya di antara para anggota yang sudah saling mengenal.

Budaya tegur sapa di Indonesia juga berdampak positif pada sektor pariwisata. Banyak wisatawan yang datang ke Indonesia terkesan dengan keramahan dan kehangatan penduduk setempat. Mereka merasa diterima dengan baik dan merasa nyaman selama berada di Indonesia. Tidak jarang mereka kembali lagi untuk mengunjungi Indonesia karena kesan positif yang mereka dapatkan dari interaksi dengan penduduk setempat.

Percakapan Praktis

DALAM rangka mengembangkan kemampuan anggota Subud Indonesia, khususnya saat ini masih sebatas di Grup Jakarta Selatan, seorang anggota baru mengusulkan diadakannya sesi percakapan dalam bahasa Inggris, yang dipandu oleh seorang penutur asli. Sesi Subud Practical English Conversation (SPEC) tersebut, yang pertama kali digelar pada 8 Juli 2025, diadakan sesudah Latihan pada hari Selasa, mulai pukul 12.00 a.m., dan bertempat di Rumah Wing Bodies Subud Indonesia.




Ide mengenai SPEC tercetus dari Amir Hadad, anggota baru yang dibuka di Cilandak pada Februari 2025, karena keprihatinannya pada rendahnya keterlibatan anggota Subud Indonesia dalam interaksi-interaksi positif dengan kalangan anggota luar negeri yang bertempat tinggal di kompleks Wisma Subud Cilandak atau para tamu asing yang menginap di Wisma Subud. Jadi, bukan hanya berhenti pada anggukan tersenyum dan bersalaman, tetapi juga membangun komunikasi yang langgeng untuk memperkuat kerukunan antar anggota.

Objektif taktisnya adalah mempersiapkan anggota Indonesia yang ingin menghadiri Kongres Dunia Subud ke-17 di Fàtima, Portugal, pada 2028, tetapi tujuan utama penyelenggaraan SPEC (yang akan diasuh oleh SICA Indonesia) adalah untuk memperkuat eksposur internasional dari para anggota Subud Indonesia.

 


Dipandu Harris Roberts, warga kompleks Wisma Subud asal Amerika Serikat yang juga seorang helper dari Grup Jakarta Selatan, peminat SPEC ternyata cukup signifikan dan berdampak dengan orang-orang yang sebelumnya tidak mampu berkomunikasi aktif dalam bahasa Inggris menjadi tidak malu-malu lagi. Susasana sesi SPEC kondusif dengan imbauan agar siapapun, meski fasih berbahasa Inggris, tidak menertawakan atau mengejek mereka yang kurang fasih dan pengucapannya belepotan—yang, sayangnya, lumrah terjadi di masyarakat Indonesia—tapi sebaliknya ikut membimbing mereka.

Di setiap sesi, Harris dan para peserta berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang beragam budaya. Hal ini seringkali mengejutkan bagi sebagian anggota Indonesia yang masih memegang teguh ajaran dan adat istiadat agama mereka. Harapannya, melalui diskusi ini, gegar budaya tidak lagi menghalangi terjalinnya hubungan yang harmonis saat berinteraksi dengan orang asing.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 24 Juli 2025

Wednesday, July 23, 2025

Perbedaan Krusial: “Councillor” dan “Counselor” di Subud

PAGI ini, saya mendapat pertanyaan dari seorang pembantu pelatih di Madiun via WhatsApp: Apa bedanya WSA dan ISC?

Dalam penjelasan saya yang cukup panjang mengenai organisasi internasional Subud, saya tiba-tiba tersentak menyadari adanya dua kata dengan ejaan dan pengucapan hampir serupa, tetapi memiliki arti yang berbeda. Kesalahpahaman ini telah menimbulkan kekeliruan di kalangan anggota, pengurus, maupun pembantu pelatih. Kedua kata tersebut adalah councillor dan counselor. Karena kemiripannya, maknanya sering dianggap sama. Bahkan Google Translate pun menyamakannya, sehingga saya merasa perlu memberikan umpan balik agar diperbaiki. Untuk memastikan, saya memeriksa situs web World Subud Association (WSA), dan memang kata yang digunakan adalah councillor untuk konteks organisasi dan kejiwaan, bukan counselor. Terjemahan Indonesianya adalah “konsilor”.

Councillor merujuk pada “anggota dewan” atau “anggota majelis”. Sementara itu, counselor berarti “penasihat”, seperti dalam marriage counselor (penasihat perkawinan), atau “pejabat senior korps diplomatik”.

Konsilor-konsilor, baik Organisasi maupun Kejiwaan, adalah anggota Dewan Subud Dunia (World Subud Council/WSC). Mereka mewakili Pengurus Nasional masing-masing negara anggota WSA, layaknya seorang Menteri Luar Negeri. Oleh karena itu, cukup aneh jika seseorang yang tidak mampu berbahasa Inggris atau berbahasa asing secara aktif dijadikan Konsilor Organisasi. Tugas utama mereka adalah berkomunikasi dengan pihak luar negeri, yaitu dengan pengurus WSA (International Subud Committee/ISC), Perwakilan Zona (Zone Representatives), pengurus lembaga-lembaga (wing bodies), serta pengurus nasional dari setiap negara anggota WSA.

Saat ini, Konsilor Organisasi PPK Subud Indonesia justru lebih banyak mencampuri urusan organisasi dalam negeri. Kata “konsilor organisasi” inilah yang menyebabkan kesalahpahaman. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah committee councillor, atau “konsilor pengurus”, bukan organization councillor. Selain itu, di PPK Subud Indonesia, kata councillor juga disamakan dengan counselor yang berarti “penasihat”, sehingga yang terjadi adalah sang Konsilor Organisasi selalu tampil memberi nasihat dan masukan kepada kalangan pelaksana dan pelaksanaan kiprah organisasi Subud secara keseluruhan, bukan hanya pengurus.

Karena penasihat atau konsultan umumnya adalah orang yang berpengalaman panjang di bidangnya, “konsilor organisasi” versi salah kaprah ini sering kali dijabat oleh orang yang memiliki pengalaman profesional di organisasi di luar Subud. Padahal, Bapak sendiri menyatakan bahwa organisasi Subud berbeda dengan organisasi pada umumnya. Tidak mengherankan jika Perkumpulan Subud saat ini “ke sana ke mari”, kehilangan arah, dan cenderung menyimpang dari garis yang telah ditetapkan oleh Bapak.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Juli 2025