Monday, September 15, 2025

Tigapuluh Kali

 





SAYA menemukan kartu absen kandidatan saya di Subud Cabang Surabaya pada Kamis, 11 September 2025. Tertera 30 tanda tangan pembantu pelatih di situ, karena masa kandidatan calon anggota Subud di Cabang Surabaya memang 30 kali, meskipun tetap dihitungnya tiga bulan, karena pertemuannya dua kali seminggu, pada hari-hari Latihan Cabang Surabaya yaitu Senin malam dan Kamis malam.

Membaca kartu absen kandidatan itu, terlintas di benak saya sejumlah obrolan saya, baik langsung maupun lewat WhatsApp, dengan kandidat-kandidat maupun peminat-peminat yang belum ngandidat di cabang-cabang Subud terdekat domisili mereka. Rata-rata mengeluhkan lamanya masa kandidatan itu, padahal tiga bulan kalau tidak ditunggu-tunggu atau dijalankan secara santai akan tidak terasa lamanya. Tau-tau sudah sampai momen untuk dibuka.

Kebanyakan yang mengeluh itu adalah mereka yang sedang atau akan menjalani masa kandidatan tiga bulan (three-month waiting period) mereka di cabang-cabang di Komisariat Wilayah III DKI Jakarta. Di Komwil III, masa kandidatan itu berlangsung tiga bulan sebanyak 12 kali pertemuan, sekali seminggu. Menjawab keluhan mereka, saya biasanya menyampaikan bahwa saya ngandidat di Cabang Surabaya itu 30 kali, dua kali dalam seminggu. Tetapi karena saya benar-benar menginginkannya, meniatkannya, maka hal itu tidak menjadi masalah bagi saya. Bahkan saya pernah dua kali menolak ketika ditawari untuk dibuka ketika masa kandidatan saya belum genap tiga bulan.

Kepada satu kandidat di Cabang Jakarta Selatan (sudah dibuka Februari 2025 lalu), saya ceritakan bahwa selama proses ngandidat itu saya melalui tiga tahap kejiwaan: (1) Ingin sekali dibuka karena merasa sudah sangat siap, (2) Menolak dibuka karena takut (karena mendengar satu kandidat saat dibuka menjerit dan berteriak seperti orang menghadapi suatu kengerian), dan (3) Terserah, mau dibuka atau tidak. Mendengar itu, si kandidat, yang tadinya emosi karena harus menjalani 12 kali kandidatan (saat itu sudah delapan kali), akhirnya menyatakan ingin melanjutkan hingga tuntas.

Masa kandidatan tiga bulan sebagai calon anggota Subud memang menguntungkan bagi saya, sehingga saya dapat melatih perasaan saya apakah saya serius atau tidak dengan keinginan saya masuk Subud, dan juga mengajarkan saya bahwa “hal-hal baik datang pada mereka yang mau menunggu (dengan sabar)” (good things come to those who wait).©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 September 2025

Friday, September 5, 2025

Perpisahan yang Layak

 

SEJUMLAH teman dan saudara Subud menganjurkan saya untuk mengirim “doa untuk Tera”, karena secara umum mimpi tiba-tiba itu (karena sebelumnya saya tidak pernah memikirkannya atau merindukannya, lantaran eksistensinya sudah benar-benar hilang sejak 35 tahun lalu) diartikan bahwa almarhumah minta didoakan.

Saya tidak tahu lagi cara mendoakan orang lain, baik masih hidup atau sudah mati, karena sebelum masuk Subud saya sudah berhenti beragama (dan kala itu, juga berhenti bertuhan), serta menafikan ritual-ritual atau tatacara agama. Sekarang saya hanya tahu Latihan, yang dalam sekuensnya akan membimbing saya untuk berdoa atau melakukan hal-hal lain sebagai sebentuk doa.

Nah, mumpung Rabu malam lalu, 3 September, merupakan jadwal Latihan di Pamulang, saya memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya kepada YM Bapak sebelum momen penenangan diri pra Latihan bersama, mengenai bagaimana “doa untuk Tera” yang sebaiknya saya lakukan.

Sepulang dari Wisma Barata, saya masih terpesona pada sangat kuatnya vibrasi yang saya rasakan, yang kemudian membawa saya ke suasana “menonton film” tentang masa lalu di kampus.

Baru keesokan harinya, jelang tengah malam, saya merasakan greget untuk menuangkan “doa untuk Tera”. Bukan dengan kedua tangan yang menengadah ke langit, bukan dengan komat-kamit dalam bahasa Arab atau serangkaian mantra sembahyang ala Hindu-Buddha. Melainkan dengan puisi, yang ketika menuliskannya terasa di saya seperti ucapan perpisahan yang layak dari seseorang yang berpuluh tahun tidak tahu bahwa perempuan, yang kepadanya dia memendam perasaan cintanya, telah pergi untuk selama-lamanya.

Usai menulis “Doa Untuk Tera”, saya merasakan kepuasan yang mendalam, seakan almarhumah benar-benar  berpamitan secara khusus ke saya. Puji Tuhan!


Doa Untuk Tera

 

Sayang, tidurlah dengan tenang

Dengarkan irama hatiku yang mengenang

masa lalu dimana kita bersua

Saling menyapa lewat mata

Kini, cintaku menemani istirahatmu

Karena kamu ada dalam diriku, jiwa menyatu

Kan kujaga kamu sepanjang waktu

 

Sayang, bagiku kamu tak berpulang

Hanya saja keberadaanmu tak terbilang

Kamu hanya melipir dari garis waktu

yang masih kususuri di setiap hariku

Ragamu telah larut dalam cahaya jiwa

yang menyinari jalanku ke Semesta,

dengan alunan kepasrahan sempurna

 

Sayang, tak usah lagi kamu ragu

Dalam tiadamu pun aku mencintaimu

Namamu terukir dalam baris tera

yang berjalin mesra takkan terlupa

Selamat tidur, Sayang, doaku takkan berhenti

mengiringi rehatmu yang abadi...

(Pondok Cabe, 4 September 2025, pukul 22.32 WIB)

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2025

Thursday, September 4, 2025

Angkatan Babat Alas

 


KEPADA para yunior saya dari era pasca Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), saya selalu memberi tekanan dengan kebanggaan tertentu ketika ditanya saya angkatan berapa di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI: “Maaf, saya generasi FSUI, bukan FIB. Saya angkatan pertama Kampus Baru UI Depok... 1987!”

Saya lulus SMA pada 28 April 1986, ikut ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) dan diterima di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta yang berkampus di Rawamangun, Jakarta Timur, bertetangga dengan Kampus UI Rawamangun. Jurusan Pendidikan Sejarah di FPIPS IKIP Jakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Jakarta/UNJ) merupakan pilihan kedua saya di Sipenmaru, sedangkan pilihan pertama adalah Sastra Cina FSUI. 

Sebagai pilihan kedua, saya sebenarnya ingin mengambil Hubungan Internasional di Universitas Gajah Mada atau Universitas Diponegoro, tetapi kedua orang tua saya tidak setuju, lantaran kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) di luar Jakarta menurut mereka biayanya akan sama saja dengan saya kuliah di perguruan tinggi swasta saat itu, dan orang tua saya tidak sanggup membiayainya. Jadi, tantangan saya untuk kuliah di PTN semakin berat karena kursi di dua PTN yang ada di wilayah Jabodetabek saat itu diperebutkan ratusan ribu peminat.

Karena saat itu saya mudah demam panggung bila harus bicara di depan umum, yang justru merupakan keharusan bagi guru, maka saya tidak betah kuliah di IKIP Jakarta. Selain itu, saya terdorong untuk ikut Ujian Masuk PTN (UMPTN) 1987 setelah melihat di buku Isian Rencana Studi (IRS) FSUI milik kakak saya (yang kuliah di Sastra Belanda FSUI Angkatan 1985) adanya matakuliah Sejarah Militer Dunia dan Sejarah ABRI di Jurusan Sejarah FSUI. Saya memang meminati sejarah militer sejak di bangku sekolah dasar.

Bila anak-anak UI sebelum Angkatan 1987 bedol desa dari Kampus UI Rawamangun ke Kampus UI Depok pada tahun 1987, saya malah lebih “sangar”: Pindah dari kampus IKIP Jakarta di Rawamangun ke Kampus Baru UI Depok. Karena saya berhasil lolos UMPTN 1987, diterima di pilihan pertama saya, Jurusan Sejarah FSUI. Jadilah saya bagian dari Angkatan 1987, angkatan babat alas Kampus Baru UI Depok yang diresmikan Presiden Soeharto pada 5 September 1987.

Tatkala saya menjejakkan kaki di Kampus Baru UI Depok untuk pendaftaran ulang mahasiswa baru pada 1987, saya mendapat kesan bahwa UI--yang dijenamai sebagai “Kampus Perjuangan Orde Baru”—saat itu sepertinya malah dianggap ancaman terhadap pemerintahan Orde Baru. Kesan itu timbul di diri saya setelah memperhatikan bahwa lokasi kampus barunya dikelilingi dalam radius tertentu oleh barak-barak TNI dan Polri.

Lokasi UI Depok kala itu juga mengesankan “terbuang” ke pinggir kota, di kawasan yang waktu itu lebih menyerupai kampung. Kos saya saja, yang berjarak sekitar 100 meter dari Jl. Margonda Raya, Depok, di tahun 1991-1993 masih dikelilingi kebun kosong dan jalan setapak yang malam hari rada gelap dan sunyi. Seingat saya, kali pertama UI memindahkan kampusnya ke Depok, sempat muncul kepanjangan plesetan dari DEPOK, yaitu DaErah Pinggiran Oentoek Kampoes.

Sekarang, di usianya yang 38 tahun Kampus UI Depok seperti kota mandiri dengan beragam fasilitas yang membuat mahasiswa betah di dalamnya. Tigapuluh delapan tahun yang lalu, meski menyandang nama besar UI, Kampus Depok seperti alas (hutan) yang baru dibabat—panas, berdebu, sedikit pohon dan kehijauan (karena itu, salah satu tugas mahasiswa baru FSUI saat itu adalah membawa bibit tanaman), sepi sekali saat malam serta angker. Kampus UI Depok selama masa kuliah saya di sana, tahun 1987-1993, lebih tepat disebut “tempat jin buang anak”.

Bagaimanapun, yang paling memberi kesan mendalam kepada kami Angkatan Babat Alas Kampus UI Depok, terutama Jurusan Sejarah FSUI, adalah kebersamaan yang solid, yang terawat hingga kini, baik melalui Grup WhatsApp maupun reuni luring berkala. Mungkin karena merasa senasib sepenanggungan sebagai kaum yang menghuni “tempat Soeharto buang anak perjuangan Orde Baru” di sebuah kawasan seluas 103 hektar yang tadinya perkebunan karet, kampung dan pemakaman umum itu.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2025

Pemahaman Saat Ini

MENGOMENTARI satu postingan saya di Grup Facebook “Subud Around the World”, seorang pembantu pelatih asal Inggris yang bermukim di Thailand menulis, “Maafkan saya, Arifin, tetapi saya rasa kamu salah memahami soal ini.”

Dalam jawaban saya terhadap komentarnya, saya menekankan bahwa mungkin saja saya salah memahami, tetapi itulah pemahaman saya saat ini.

Pengalaman melalui tindakan dan sekadar pengamatan saya menegaskan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang konstan; semua selalu berubah. Yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri. Apa yang kita pahami dahulu, pasti berubah pada suatu ketika. Tidak perlu menunggu selama bertahun-tahun hingga perubahan pemahaman itu terjadi, kita bisa saja berubah pemahaman kita dalam hitungan menit atau detik.

Adalah berbahaya bila kita sudah mematok suatu ketetapan hanya berdasarkan pemahaman kita pada suatu ketika, sedangkan pemahaman itu akan berubah seiring waktu. Dalam kaitan ini, termasuk ceramah Bapak dan Ibu Rahayu.

Sepengalaman saya, ceramah Bapak dan Ibu Rahayu bila didaulat sebagai ketetapan yang kekal malah akan menyesatkan atau membingungkan kita dalam mengamalkannya. Proses kehidupan membuat kita semua mengalami perubahan pola pikir dan cara pandang, dan ceramah “menyesuaikan” diri dengan hal itu, bukan sebaliknya. Fenomena inilah yang membuat Subud selalu relevan di segala zaman. Karena tidak ada ajaran yang bersifat sama turun-temurun.

Pernyataan bahwa pemahaman tidak ada yang statis adalah sangat akurat. Pemahaman kita tidak pernah statis, melainkan selalu dalam proses yang dinamis dan terus berubah. Berikut adalah beberapa alasan mengapa pemahaman itu selalu bergerak dan tidak pernah diam:

* Informasi Baru: Setiap hari, kita terpapar pada informasi baru, baik melalui pengalaman pribadi, membaca buku, berita, atau berinteraksi dengan orang lain. Informasi ini dapat memperkuat pemahaman yang sudah ada, mengubahnya, atau bahkan sepenuhnya menggantikannya.

 * Pengalaman Hidup: Pengalaman yang kita jalani—sukses maupun kegagalan, kebahagiaan maupun kesulitan—membentuk cara kita melihat dunia. Sebuah peristiwa penting bisa mengubah cara pandang kita tentang hubungan, pekerjaan, atau tujuan hidup.

 * Refleksi dan Kedewasaan: Seiring berjalannya waktu, kita sering merenung tentang apa yang telah kita pelajari. Refleksi ini memungkinkan kita untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda, menyadari bias yang mungkin kita miliki, dan menyusun kembali pemahaman kita agar lebih matang.

Singkatnya, pemahaman adalah sesuatu yang hidup. Ia tumbuh, beradaptasi, dan berevolusi seiring dengan pertumbuhan kita sebagai manusia.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2025

Monday, September 1, 2025

Natijah Mimpi

Mengenang Djahtera Nasution

                                 

Mimpi di akhir Juli, gelorakan masa lalu

Bertatap di selasar rindu, hati menyatu

 

Namun, kabar itu tiba, sang petandang yang muram

bahwa kamu telah bertolak ke peraduan akhir

 

Dan sekarang cinta ini, aku pikul sendiri

Hutang yang belum terbayar, benih yang belum ditabur

Kata-kata yang tak terucap, menyendatkan napas

 

Lara yang menetap di jiwaku

Aku menggenggam cinta ini, bejana yang rapuh

untuk terus mengenangmu...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 September 2025

Yang Bisa Dilakukan Anggota Subud untuk Orang yang Sudah Meninggal

SETELAH mendapat kabar bahwa perempuan dari masa lalu yang saya tiba-tiba mimpikan akhir Juli 2025 lalu, yang mendorong pencarian saya akan keberadaannya kini, ternyata telah meninggal sekitar 27 tahun yang lalu, saya melampiaskannya dengan menguras kesedihan saya. Hingga yang tersisa adalah kesadaran untuk apa yang selalu Bapak nasihati: “Latihan saja, Nak.”

Pengalaman saya dengan mimpi serta kerinduan saya pada perempuan itu telah mengajarkan ke saya mengenai hubungan jiwa ke jiwa. Bahwa jiwa-jiwa dapat saling membantu. Jiwa orang yang masih hidup dapat terkoneksi dengan jiwa orang yang sudah meninggal dan membantunya menemukan ketenangan di alam “sana” atau membimbingnya ke jalan kembali kepada Sang Pencipta.

Berikut tiga cuplikan dari ceramah-ceramah Bapak yang berbeda terkait apa yang bisa dilakukan anggota Subud untuk kerabat dan sahabat mereka yang sudah meninggal.


LATIHAN UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Cuplikan ceramah Bapak

“Tuan-tuan, nyonya sekalian. Memang tidak ada salahnya dan termasuk pekerjaan yang utama untuk menolong sesamanya. Tetapi perlu diingat, bahwa pertolongan yang diberikan kepada siapa yang diinginkan itu pertolongan apa sifatnya? Karena pertolongan yang diberikan—apa yang telah Bapak dengar di sini—ialah pertolongan, agar jiwa orang yang mati dapat naik ke atas atau dapat menemukan jalan yang utama. Itu tidak mungkin dapat dijalankan—dikerjakan—oleh seseorang yang dirinya sendiri belum sempurna. Sehingga pertolongannya kepada orang yang mati, yang diharapkan itu, tidak merupakan pertolongan malah merupakan kegelapan bagi yang mati itu. Jadi, mestinya menolong, malah sebaliknya membuntu jalannya, karena pertolongan yang diberikan itu belum pertolongan yang sempurna, belum pertolongan yang sunguh-sungguh diperlukan bagi menaikkan derajat jiwa manusia yang telah meninggal dunia itu. Hanya, dapat tidak merupakan memberi pertolongan, tetapi dimohonkan kepada Tuhan, entah bagaimana Tuhan akan kehendakNya tentang atas jiwa orang yang meninggal itu. Jadi, saudara hanya dapat memohonkan kepada Tuhan, agar Tuhan memurahi, memberi jalan kepada orang yang meninggal itu, agar dapat jalan yang baik, apabila Tuhan menghendakinya. Jadi, hanya memohonkan, bukan suatu pertolongan yang lancarkan kepada jiwa orang yang telah meninggal dunia itu. 

Dan dalam mengerjakan permohonan kepada Tuhan, juga sifatnya saudara-saudara berlatih, sehingga keputusan tentang diberkahi atau tidak itu tergantung kepada Tuhan sendiri. Dan saudara-saudara yang menjalankan Latihan yang demikian itu juga akan menerima sendiri bagaimana yang mesti diterima bagi dirinya sendiri. Artinya, meskipun dalam Latihannya itu tujuannya memohonkan ampun dosanya orang yang meninggal itu, tokh dengan sendirinya tidak akan merobah dirinya orang yang memohonkan itu, agar dirinya sendiri juga dapat menerima apa yang dibutuhkan bagi dirinya sendiri. Jadi, artinya, bukan hanya ke orang yang telah meninggal dunia saja, tetapi kepada dirinya sendiripun akan dapat menerima. Itu semuanya tergantung kepada kemurahan atau pemberian dari Tuhan sendiri. 

Dan itu dapat dikerjakan—umpamanya—tidak perlu dekat kepada jisim orang yang meninggal itu. Tidak perlu dekat, karena ke Tuhan dan dalam kejiwaan tidak ada batas tempat antara (tak jelas), sehingga meliputi seluruh—dapat dikatakan—seluruh dunia. Jadi, sifat yang demikian, artinya yang menyatakan kedekatan orang yang memohonkan kepada orang yang dimohonkan—yang meninggal itu—itu hanya untuk memperlihatkan kepada sesama manusia, untuk memperlihatkan kepada orang lain, bahwa yang dikerjakan itu sungguh-sungguh ditujukan kepada orang yang meninggal. Jadi, itu sifatnya hanya sifat di mata manusia, bukan di penglihatan Tuhan.”

Coombe Springs, Inggris, 27 Agustus 1959—59 CSP 15

 

MANUSIA TIDAK BISA MENGURANGI DOSA ORANG LAIN

Cuplikan ceramah Bapak

“Malahan ada pula, saudara, seorang pembantu pelatih yang bertanya kepada Bapak, bagaimana caranya berlatih untuk mengurangi dosanya fiancé -nya yang telah meninggal dunia sebelum dia kawin dengannya. Dan ada pula yang minta persetujuan Bapak, melatih dan berlatih untuk mengurangi dosanya suami yang telah meninggal dunia dan saudara yang telah meninggal dunia dan kawan-kawannya yang sehati ketika masih hidupnya, yang meninggal dunia. Yang demikian itu adalah sesuatu tindakan yang tidak pada tempatnya. Karena segala sesuatunya, seperti yang telah Bapak katakan tadi, harus dikiblatkan kepada Tuhan. Manusia tidak bisa, tidak dapat melakukan sesuatu sehingga mengurangi dosanya orang lain. Sedangkan dosanya sendiri-sendiri belum juga dapat diketahui apakah sudah diampuni apakah sudah dibersihkan dari rasa dirinya.

Karenanya, maka, apabila terjadi yang demikian, maka pesan Bapak atau anjuran Bapak, agar berlatih menyerahkan diri atau menyerahkan segala sesuatunya kepada kebesaran Tuhan. Jadi, terangnya, bahwa semuanya itu hanya Tuhan yang dapat melakukan. Dengan demikian sehingga caranya memohonkan pengurangan dosa dari siapa yang diingini, perlu dilanjutkan atau perlu diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jangan semata-mata saudara lantas berlatih untuk dapat mengurangi dosanya orang lain. Itu tidak mungkin terjadi. Karena saudara sendiri belum tahu bahwa saudara itu penuh dosa, dan dosa itu belum seluruhnya atau belum juga sudah dibersihkan dari rasa dirinya."

Auckland, Selandia Baru, 20 Mei 1968—68 AKL 4


CARA MENOLONG JIWA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Cuplikan ceramah Bapak

“Ada lagi soal yang, ya, Bapak rasa lucu sekali, tetapi ya memang biasa adalah menjadi persoalan hidup orang atau orang hidup di dalam dunia ini. Ada sesuatu wanita yang jatuh cinta kepada seorang pria dan pria itupun katanya juga cinta kepadanya. Sudah cinta begitu lama dan akhirnya belum sampai terjadi perkawinan, si laki-laki meninggal dunia. Ya, tentu saja saudara dapat merasakan sendiri, seorang yang kehilangan kecintaannya atau kehilangan seorang yang telah dicintai sungguh-sungguh, tentunya terasa benar-benar, sehingga menyurati kepada Bapak dan menanyakan: ‘Bagaimana caraku untuk dapat menolong jiwanya, karena aku cinta kepadanya, agar jiwanya bisa naik sorga dan tidak terkena dosa. Karena saya ini sudah masuk Subud, apa kiranya dengan Latihan Kejiwaan ini bisa mengangkat juga dia dari tempat yang tidak baik ke tempat yang baik?’

Ya, demikian saudara sehingga, ya, dapat saja Bapak jawab, dan jawaban Bapak kepada penanya itu tidak lain daripada: ‘Ya, segala sesuatu yang sukar dan sukar bagaimanapun, Tuhan dapat menyelesaikan, Tuhan dapat membikin baik. Karena itu, maka kalau sungguh-sungguh saudara memang cinta kepadanya, meskipun dia sudah meninggal dunia, baiklah saudara Latihan saja yang baik dan percaya kepada Tuhan, bahwa Tuhan mudah-mudahan dapat menolong kekasih saudara, sehingga kekasih saudara dapat terangkat dari tempat yang tidak baik.’”

Planegg, Jerman, 7 Agustus 1964—64 PLG 3

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 September 2025

 

Sunday, August 31, 2025

Menghadirkan Wajah Masa Lalu Dengan AI

 


SAYA pernah punya teman cewek, berpuluh tahun yang lalu, yang kemudian putus kontak sampai sekarang. Djahtera Nasution namanya, Tera panggilannya. Sudah 35 tahun kami tidak bersua, dan keberadaannya seperti hilang ditelan bumi. Tidak ada jejak digitalnya; saya mengubek-ubek Google, dan semua platform media sosial saya telusuri tapi hasilnya nihil. Fotonya pun tidak ada.

Sejumlah teman saya, yang saya perkirakan pernah berada di lingkaran kegiatan yang sama dengan dia dulu, saya tanya mengenainya. Sebagian besar merasa tidak pernah mendengar namanya, ataupun lupa. Ada yang familiar dengan namanya tetapi tidak ingat wajahnya. Tetapi mereka semua tidak tahu mengenai keberadaannya sekarang.

Selain kebaikan hatinya, perhatiannya yang tulus, keramahannya terhadap semua orang, bahkan yang baru dikenalnya (seperti saya saat saya bertemu dengannya dan diperkenalkan padanya pertama kali), yang saya ingat adalah sebagian wujud fisiknya, terutama di bagian kepalanya.

Karena fotonya tidak ada, saya buat prompt di Google Gemini AI hanya berdasarkan ingatan saya mengenai dia. Hasilnya membuat saya sampai terlonjak dari kursi yang saya duduki. Mendekati 100% mirip dengan dia saat berumur 24 tahun!©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 31 Agustus 2025