BELAKANGAN, saya kesengsem pada kutipan ini: “No matter how good person you are, you’re always bad in someone’s story” (Sebaik apa pun Anda, Anda selalu buruk dalam cerita seseorang). Kutipan dari unknown author ini sejalan dengan pengalaman saya baru-baru ini maupun pengalaman-pengalaman yang telah lampau.
Pada 14 Februari 2018 lalu, saya menghadiri acara seminar sejarah yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) bekerja sama dengan Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Meskipun saya alumnus Departeman Sejarah FIB UI, yang mengundang saya adalah satu saudara Subud yang kebetulan aktif di IKPNI.
Di acara tersebut, juga hadir satu saudari Subud dari Bandung, Jawa Barat, bernama Ibu S, yang berprofesi dosen sejarah di Universitas Pendidikan Indonesia, sebuah perguruan tinggi negeri di ibukota Provinsi Jawa Barat yang berangkat dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung. Ibu S mengenal saya cukup baik, terutama setelah mengetahui bahwa latar belakang akademik saya sama dengan beliau. Beliau memandang saya sebagai seorang intelektual yang berkepribadian ilmiah, memiliki integritas sebagai sarjana lulusan sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia, dan, karena itu, beliau memandang saya merupakan orang yang genah.
Saat rehat makan siang, Ibu S minta waktu untuk berbicara empat mata dengan saya. Jadi, beliau berkisah, beliau baru bertemu dengan saudara Subud dari Cabang Surabaya yang juga mengenal saya dengan cukup baik, bernama B. Meskipun sama-sama berasal dari Cabang Surabaya dan saling mengenal, saya jarang sekali akur dengan B, karena kami sama-sama keras.
Ibu S bercerita bahwa beliau berdebat dengan B mengenai kepribadian saya. Di mata B, saya adalah orang yang brengsek, sangat menyebalkan, tukang bikin onar dan suka mengejek dengan kata-kata kasar atau vulgar. Ibu S membantah semua tuduhan B mengenai diri saya, dan berkomentar sebaliknya. Ibu S menyatakan dengan tegas bahwa beliau tidak percaya bahwa saya seperti yang dikatakan B, karena selama ini di mata Ibu S saya tidak pernah bersikap dan berperilaku sebagaimana yang dikatakan B.
Saat rehat makan siang dari acara seminar itu, saya pun menjelaskan duduk perkaranya. Singkat cerita, Ibu S menyatakan, “Benar kan, Mas Anto tidak seperti yang dituduhkan B. Saya kan sudah mengenal Anda lama, makanya saya tidak percaya kalau Anda seburuk yang dibilang B!”
Di lain kesempatan, dan terjadi baru-baru ini, satu saudara Subud bercerita ke saya melalui pesan WhatsApp bahwa istrinya sangat tidak suka pada saya; menurut istrinya, saya adalah sosok narsistik yang membuatnya muak, dengan postingan-postingan saya di media sosial. Tetapi, sebaliknya, sang suami amat menyukai saya, bahkan membela saya di hadapan istrinya dengan mengatakan bahwa “narsisme” saya itu merepresentasi rasa syukur saya terhadap Latihan Kejiwaan Subud. Sang suami juga mengaku dia seringkali terinspirasi oleh perkataan-perkataan saya yang di mata istrinya dipandang “berbalut keisengan yang menyebalkan”.
Sang istri menyukai postingan-postingan seorang saudara Subud dari Sleman, yang di media sosial justru sering saya komentari dengan bercanda—terutama karena dari sudut pandang Subud, yang dia sampaikan ke publik itu “sangat biasa”. (Dia pernah mengakuinya demikian ke saya via japri; bahwa apa yang biasa di Subud, dipandang luar biasa oleh orang-orang yang belum terbuka pengertiannya.)
Dari kedua cerita di atas, apa yang dapat kita simpulkan?
Kesimpulannya, kita tidak dapat mengontrol atau mengendalikan pandangan, pendapat atau penilaian orang lain terhadap kita. Masing-masing orang memandang, menilai atau mengomentari kepribadian kita sesuai pengalaman atau kesaksian pertama atau kepentingan pribadi mereka terhadap kita. Tidak ada gunanya, malah buang-buang waktu dan tenaga, bila kita berusaha menjelaskan ke semua orang bagaimana sejatinya kita. Karena, seperti dikatakan Ali ibn Abi Talib, “Jangan pernah menjelaskan dirimu kepada siapa pun, karena mereka yang menyukaimu tidak membutuhkannya, dan mereka yang tidak menyukaimu tidak akan mempercayainya.”
Kedua cerita di atas memberi saya kesadaran bahwa saya tidak akan pernah bisa mengontrol atau mengendalikan pendapat orang lain atas diri saya. Alih-alih saya tersinggung dan lantas berupaya keras untuk meluruskan pendapat atau pandangan orang lain mengenai saya, saya memilih untuk menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Mengatur. Seperti yang dikatakan Simon Masrani, CEO Jurassic World, yang juga merupakan kutipan favorit saya, “The key to a happy life is to accept you are never actually in control” (Kunci hidup bahagia adalah menerima bahwa Anda tidak pernah benar-benar memegang kendali).©2023
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 11 Oktober 2023
No comments:
Post a Comment