Sunday, September 18, 2022

Pemberontak yang Pasrah

BEREAKSI atas cerita saya mengenai masa ngandidat saya di Subud Cabang Surabaya, yang dalam hitungan bulan berlangsung selama tiga bulan tetapi dalam jumlah kali pertemuannya adalah 30 kali, satu saudara Subud asal Cabang Jakarta Selatan baru-baru ini berkomentar, “Pemberontak kayak kamu kok betah ngandidat 30 kali?”

Pertanyaan bernada heran itu dapat saya maklumi. Pasalnya, setahu saya, di cabang-cabang Subud lainnya, bahkan yang terdekat dengan Surabaya, masa kandidat yang juga tiga bulan itu diisi dengan pertemuan hanya sebanyak 12 kali. Saya tidak mengerti, dan juga merasa tidak perlu mempersoalkan, mengapa Cabang Surabaya menerapkan masa orientasi calon anggota Subud itu sebanyak 30 kali pertemuan, karena saya toh sangat menikmati momen-momen yang berlangsung dua kali dalam satu minggu, yaitu tiap Senin malam dan Kamis malam, bertepatan dengan jadwal Latihan Kejiwaan di Wisma Subud Surabaya, Jl. Manyar Rejo No. 18-22, Surabaya Timur, Jawa Timur.

Seingat saya, pada kurang lebih 20 kali pertemuan pertama saya banyak bertanya, dan sering kali satu pertanyaan yang sama saya ajukan ke pembantu pelatih (PP) berkali-kali. Satu PP teringat bahwa saya tak bosan-bosannya bertanya, “Bagaimana caranya berserah diri?”

Proses-proses saya (dan juga semua orang lainnya) tidak dapat saya pahami dan tidak juga dapat saya terangkan, karena bukan saya yang mengupayakannya. Ketika nafsu hati dan akal pikir kita lerem, saat itulah kekuasaan Tuhan diberi jalan untuk bekerja.

Setelah 20 kali, saya mulai jarang bertanya. Tak jarang satu hari ngandidat hanya saya lalui dengan merokok dan menyeruput kopi tubruk sambil menikmati suasana tenteram yang ditawarkan Hall Latihan Subud Surabaya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ketika ditanya PP, apakah masih ada yang ingin saya tanyakan atau ceritakan, saya menggeleng pelan. Satu PP dari Cabang Surabaya pernah menuturkan kepada seorang kandidat, ketika saya duduk di dekat mereka, bahwa saya datang ke Subud Surabaya dengan segudang masalah, tetapi setelah beberapa kali ngandidat saya lupa masalah-masalah hidup saya. Bukan karena saya berusaha melupakan, tapi energi penyerahan diri yang berseliweran di Wisma Subud Surabaya membuat saya lupa atas masalah-masalah saya tanpa saya mengerahkan daya upaya apa pun. Saya menjadi pemberontak yang pasrah mau diapakan juga.

“Pemberontak”, itulah diri saya di mata orang lain. Memang seperti itulah saya, yang saya sadari dan termanifestasikan setelah saya dibuka di Subud. Saya sudah memberontak sejak dahulu, sedari kecil, tetapi waktu itu saya cenderung tidak melampiaskannya, karena saya introvert dan pendiam. Latihan Kejiwaan telah membuka kepribadian saya itu, terutama lewat kata-kata yang saya tulis, karena menulis memang merupakan bakat saya. Kadang, saya berusaha meredamnya, tetapi jiwa saya mendorong saya untuk mengungkapkannya—ia seperti guru yang terus menyemangati saya untuk menjadi diri sendiri. Bukan untuk unjuk diri, melainkan untuk menjadi saksi atas bekerjanya kekuasaan Tuhan dalam menjadikan saya sejalan dengan rencanaNya.

Lambat laun, seiring Latihan saya dari waktu ke waktu, sisi pemberontak itu meluruh. Memang tidak benar-benar lenyap, karena sifat pemberontak itu adalah bekal dari Tuhan untuk kesintasan saya di dunia. Saya mendapat kepahaman dari pengalaman ini, bahwa perubahan pribadi seseorang bukanlah lantaran usahanya, tetapi merupakan kehendak Tuhan. Puji Tuhan atas Latihan Kejiwaan ini.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 September 2022

No comments: