Tuesday, September 6, 2022

Primadona Pasukan Lintas Udara Sekutu Era Perang Dunia II


PERANG Vietnam (1965-1975) menyaksikan kebangkitan peran helikopter sebagai kendaraan pengangkut pasukan ke medan perang, yang mobilitasnya lebih cepat daripada kendaraan darat, apalagi melewati medan berbukit dan berhutan lebat seperti di Vietnam. Helikopter merupakan alat angkut yang fleksibel di medan yang berhutan karena tidak perlu mendarat untuk menurunkan penumpangnya; para prajurit dapat meluncur turun dengan tali.

Privilese yang diperoleh pasukan lintas udara (airborne) dalam Perang Vietnam, yaitu menunggangi helikopter ke dan dari medan tempur, tidak didapat rekan-rekan mereka di era Perang Dunia Kedua. Pada era itu, pesawat bersayap tetap (fixed wing aircraft) adalah satu-satunya yang bisa disediakan untuk menunjang penerjunan pasukan dalam operasi lintas udara. Ada berbagai jenis pesawat angkut pada zaman itu, tetapi yang menjadi primadona adalah Douglas C-47 Skytrain atau Dakota.

Douglas C-47 Skytrain atau Dakota (sebutan dari Angkatan Udara Kerajaan Inggris, Angkatan Udara Australia, Angkatan Udara Kanada, Angkatan Udara Selandia Baru, dan Angkatan Udara Afrika Selatan) adalah pesawat angkut militer yang dikembangkan dari pesawat sipil Douglas DC-3. Pesawat itu digunakan secara luas oleh Sekutu selama Perang Dunia II dan tetap digunakan di garis depan oleh berbagai operator militer di dunia selama bertahun-tahun.

C-47 dibedakan dari DC-3 sipil lewat berbagai modifikasi, termasuk dilengkapi dengan pintu kargo, katrol dan lantai yang diperkuat—bersama dengan kerucut pendek pada ekornya untuk menarik pesawat layang (glider), dan “astrodome” di atap kokpit. Astrodome adalah kubah transparan berbentuk setengah bola yang dipasang di atap kabin pesawat, yang memungkinkan navigator terlatih untuk melakukan astronavigasi dan dengan demikian memandu pesawat di malam hari tanpa bantuan referensi visual berbasis darat.

Selama Perang Dunia II, angkatan-angkatan bersenjata dari banyak negara menggunakan C-47 dan DC-3 yang dimodifikasi untuk pengangkutan pasukan, kargo, dan Medevac (medical evacuation; evakuasi medis). Lebih dari 10.000 pesawat diproduksi di Long Beach dan Santa Monica di California, dan Oklahoma City di Oklahoma, Amerika Serikat. Antara Maret 1943 dan Agustus 1945, pabrik Oklahoma City memproduksi 5.354 C-47 Skytrain.

Skytrain sangat penting untuk keberhasilan banyak kampanye Sekutu selama Perang Dunia II, khususnya di Guadalcanal dan di hutan Nugini dan Burma, di mana C-47 dan versi angkatan lautnya, R4D, memungkinkan pasukan Sekutu untuk melampaui mobilitas Angkatan Darat Jepang yang diperkuat pasukan dan persenjataan ringan. Skytrain digunakan untuk mengangkut perbekalan ke pasukan Amerika yang dikepung selama Pertempuran Bastogne (20-27 Desember 1944) di Belgia. Mungkin perannya yang paling berpengaruh dalam penerbangan militer, bagaimanapun, adalah menerbangi “The Hump” (punuk pegunungan, sebutan para pilot Sekutu untuk ujung timur Pegunungan Himalaya) dari India ke China. Keahlian yang diperoleh dari menerbangi “The Hump” kemudian digunakan dalam Jembatan Udara ke Berlin selama Blokade Berlin pada 24 Juni 1948-12 Mei 1949, di mana C-47 memainkan peran utama sampai pesawat itu digantikan oleh Douglas C-54 Skymaster.

 

Di Eropa, C-47 dan varian khususnya untuk pasukan payung, C-53 Skytrooper, digunakan dalam jumlah besar pada tahap akhir Perang Dunia II, terutama untuk menarik glider dan mendaratkan pasukan payung. Selama invasi Sisilia pada Juli 1943, C-47 menerjunkan 4.381 pasukan payung Sekutu. Lebih dari 50.000 pasukan payung diterjunkan oleh C-47 selama beberapa hari pertama kampanye D-Day yang juga dikenal sebagai invasi Normandia, Prancis, pada 6 Juni 1944. Dalam Perang Pasifik, dengan pemanfaatan secara hati-hati landasan-landasan di pulau-pulau di Samudra Pasifik, C-47 mengangkut tentara yang bertugas di mandala Pasifik kembali ke Amerika Serikat.

 

Sekitar 2.000 C-47 (diterima di bawah Kebijakan Lend-Lease/Pinjam-Sewa) yang berdinas untuk Angkatan Udara Inggris dan Persemakmuran memakai nama “Dakota”, mungkin terinspirasi oleh akronim DACoTA” (Douglas Aircraft Company Transport Aircraft).

 

C-47 juga mendapat julukan tidak resmi “burung albatros” di mandala operasi Eropa. Kabarnya, julukan ini terkait dengan pesawat C-47 pertama milik Korps Marinir AS, yaitu R2D—versi militer DC-2—yang menjadi pesawat pertama yang mendarat di Pulau Midway, yang sebelumnya merupakan rumah bagi albatros Pasifik Utara yang bersayap panjang, yang merupakan burung endemik Midway.

Berbeda dengan pesawat berrotor (rotary wing aircraft) atau helikopter dengan kemampuan melayang-layangnya (hovering), sehingga lebih fleksibel, pesawat bersayap tetap memiliki keterbatasan dalam hal menerjunkan pasukan payung. Untuk menghindari tembakan senjata penangkis serangan udara, ia hanya dapat menerjunkan pasukan lintas udara dari ketinggian tertentu, sehingga tak terhindarkan fakta bahwa pasukan mendarat seringkali jauh dari zona pendaratan (drop zone) yang sudah ditentukan, dan membuat pasukan tersebar secara acak. Hal ini dapat kita lihat pada operasi terjun payung dari Divisi Lintas Udara ke-82 dan ke-101 AS di Normandia, 6 Juni 1944.

Dalam misi pendaratan untuk menguasai sasaran berupa daerah terbuka, seperti lapangan terbang, pesawat bersayap tetap juga harus terbang rendah agar pasukan ketika terjun payung tidak tersebar acak, tetapi bisa terpusat di area yang disasar. Namun, konsekuensinya akan banyak prajurit mengalami kecelakaan pada terjun payung dalam ketinggian yang rendah.

Douglas C-47 Skytrain berkode VH-XUX mendarat di landas pacu Bandar Udara Internasional Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 8 Oktober 2016. Pesawat tersebut pada tahun itu mengadakan penerbangan nostalgia Perang Dunia II dari Bathurst, Australia, ke Guilin, China. Juanda tidak termasuk dalam daftar persinggahannya, tetapi terpaksa mendarat di bandara itu lantaran kerusakan mesin. (Foto oleh Muhammad Rizki/Jetphotos)

Segala keterbatasan yang dimiliki pesawat angkut pasukan bersayap tetap dijawab oleh kehadiran helikopter. Helikopter yang dimodifikasi untuk keperluan militer hadir ketika dunia menyongsong Perang Korea pada tahun 1950. Bagaimanapun, sang primadona pasukan lintas udara Sekutu semasa Perang Dunia II tidak lantas tersingkir. Douglas C-47 Skytrain nyatanya masih tetap digunakan pasca Perang Dunia II. Ia masih tetap terlihat di tengah hiruk-pikuk helikopter AS di Vietnam, dalam varian peperangan elektroniknya, yang terkadang disebut “albatros elektrik”. Varian HC-47 digunakan oleh Skuadron Operasi Khusus ke-9 untuk melaksanakan operasi perang urat saraf di Vietnam Selatan dan Laos.

Lebih dari 100 negara tercatat sebagai operator C-47 Dakota maupun versi sipilnya, DC-3. Indonesia termasuk di antaranya, bahkan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia diwarnai dengan gemilang oleh kehadiran C-47 Dakota RI-001 “Seulawah”, yang dibeli oleh masyarakat Aceh pada tahun 1948 dan diterbangkan antara Jawa dan Sumatera. Pasca Perang Kemerdekaan RI pada 1949, beberapa C-47 diambil alih dari inventaris Penerbangan Militer-Angkatan Darat Hindia Belanda (ML-KNIL) dan kemudian juga sejumlah C-47 bekas Angkatan Udara Australia diserahkan ke Indonesia sebagai bagian dari program bantuan luar negeri. Dalam operasi TNI ke Timor Timur tahun 1975, dua C-47 dikonversikan menjadi pesawat bersenjata berat (gunship) dengan tiga senapan mesin AN/M3 Browning berkaliber 12,7 milimeter.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 September 2022

No comments: