DUA musuh utama dalam profesi saya sebagai copywriter adalah “sindrom kertas putih” dan kejenuhan (burnout). Sindrom kertas putih (white paper syndrome) adalah keadaan yang biasanya menimpa para copywriter pemula, yang gugup menghadapi lembar putih Word.doc di layar komputer atau kertas fisik yang kosong, karena yang mereka harapkan adalah kucuran ide-ide tekstual sudah tersaji di atasnya. Hal ini tidak separah kejenuhan, sebenarnya, karena kini bertebaran templat-templat naskah iklan di internet, yang bolehlah sesekali disalin-tempelkan (copy-paste).
Tetapi, kalau sudah jenuh, jangankan salin-tempel, melihat tulisan saja kita muak. Kita akan merasa pening, marah, uring-uringan, sangat tertekan hingga membawa gejala depresi, mengantuk, malas bekerja, dengan memikirkan atau melihat tulisan, terutama yang terkait pekerjaan.
Baru-baru ini, saya mengalami burnout parah. Penyebabnya adalah pekerjaan penyuntingan 19 artikel untuk sebuah buku yang disyaratkan Dewan PROPER Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia bagi perusahaan-perusahaan peserta Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER). Perusahaan klien saya adalah salah satunya, dan buku yang saya sunting ini, dalam kapasitas saya sebagai penulis materi untuk komunikasi keberlanjutan (sustainability communication), adalah mengenai program-program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) unggulan dari masing-masing unit pembangkit listrik di bawah naungan perusahaan klien saya itu.
Saya senang menulis. Di samping sebagai sumber nafkah saya, menulis juga merupakan kegemaran saya. Belakangan, saya kerap menulis tema-tema sejarah Perang Dunia II, yang menumbuhkan perasaan “hidup” dalam diri saya karena sejarah adalah latar belakang kesarjanaan saya dan studi militer adalah hobi saya. Di sela-sela kesibukan pekerjaan saya, menulis artikel-artikel bertema Perang Dunia II atau kemiliteran—yang kemudian saya posting di Facebook, Twitter dan Blogspot saya, merupakan pelampiasan agar tidak jenuh dengan kegiatan menulis sebagai pekerjaan saya.
Namun, menyunting 19 artikel tersebut (saat menulis artikel blog ini, kegiatan tersebut masih berjalan, masuk tahap revisi) telah benar-benar menguras energi, waktu, dan semangat hidup saya. Sejak aktif berlatih kejiwaan Subud, diri saya seakan menjadi spons yang mudah sekali menyerap kekacauan pikiran orang lain yang mereka tuangkan dalam tulisan yang naratif atau sekadar data. Saya jadi tahu bagaimana keadaan pikiran orang yang menulis artikel yang saya sunting, dan itu sangat mengganggu.
Pada awal menyunting artikel-artikel tersebut, saya sudah dilanda sakit kepala yang parah, yang membuat saya sering harus mengambil jeda untuk mengistirahatkan akal pikir saya (penenangan diri) atau melakukan Latihan Kejiwaan seperti di hall Latihan. Proses penyuntingannya lebih dari dua minggu, tetapi sakit kepalanya lebih dari sebulan, yang baru benar-benar hilang setelah berlatih kejiwaan bersama saudara-saudara Subud lainnya di Cuko Coffee & Eatery, Jl. Kebagusan Gang Asem No. 11, Jakarta Selatan, pada 6 September 2022.
Berbagai artikel di media cetak atau dunia maya yang pernah mengkaji tentang kejenuhan dalam pekerjaan menggarisbawahi depresi sebagai akibat yang ditimbulkannya kemudian. Bekerja terlalu banyak dan mengambil banyak tanggung jawab tanpa bantuan yang cukup dari orang lain adalah salah dua dari sejumlah penyebab kejenuhan, dan kedua hal itu yang memang menjadi penyebab riil dari kejenuhan yang saya alami baru-baru ini.
Artikel-artikel tersebut rata-rata juga menawarkan kiat-kiat untuk mengatasi kejenuhan. Yang disarankan, antara lain dengan menyediakan waktu yang cukup untuk tidur atau meluangkan waktu sendirian. Dua itu saja sudah saya lakukan dan cukup sering karena saya gemar tidur (dan mudah tertidur), tetapi dalam kasus terkini dua cara itu tidak berhasil membantu saya mengatasi burnout.
Kemarin, 19 September 2022, kejenuhan saya telah mencapai titik kulminasi. Saya menenangkan diri dan menerima bahwa sebagai orang yang sudah menerima Latihan Kejiwaan “it’s okay not to be okay”, menjadi apa adanya, menerima semua perasaan yang muncul tanpa perlawanan serta rileks saja. Saya sempat WhatsAppan dengan satu saudara Subud untuk curhat mengenai perasaan saya. Ia memastikan bahwa “tidak baik-baik saja adalah baik” bila kita sudah berlatih kejiwaan. Perasaan itu akan berlalu, luruh bersama waktu, bila kita menerimanya dengan sabar, tawakal dan ikhlas.
Saya pun mengalihkan kesibukan saya terkait pekerjaan, bahkan dalam pikiran saya, dengan melakukan hal-hal yang tidak ada relevansinya dengan pekerjaan. Seperti mengirim PDF buku Kumpulan Surat-Surat Jawaban Bapak Atas Pertanyaan Para Anggota Subud ke satu saudari Subud yang sehari sebelumnya menanyakan saya via WhatsApp perihal ceramah Bapak Subuh terkait penyakit dan bagaimana anggota Subud yang sulit melakukan Latihan lantaran sakit. Setelah mengirimkan PDF buku tersebut melalui WhatsApp, saya meluangkan waktu membaca beberapa topik. Mata saya menangkap tentang Gambang Bapak. Tertangkap kalimat “Di Indonesia sendiri, dapat dikatakan jarang sekali tape gambang Bapak itu diputar kalau tidak sungguh-sungguh diperlukan, misalnya kalau kebetulan ada saudara yang hatinya tidak tenteram...”
Menyadari saya memiliki rekaman gambang tersebut, saya pun mendengarkannya. Tidak dengan serius atau fokus, hanya sambil lalu, disambi dengan melakukan hal-hal lainnya. Saya terkejut ketika sesuatu terjadi dalam prosesnya: Antusiasme saya kembali muncul, meliputi hati, diri dan jiwa saya! Kejenuhan saya terhadap pekerjaan saya mendadak lenyap, berganti dengan semangat bekerja yang menimbulkan perasaan senang.
Gambang Bapak menaklukkan kejenuhan saya. Puji Tuhan atas bimbingan itu! Terima kasih, Bapak, hanya itu yang bisa saya ungkapkan. Puji Tuhan! ©2022
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 20 September 2022
No comments:
Post a Comment