Wednesday, September 14, 2022

Kongkonane Wong Kesulitan

TANGGAL 14 September 2022, saya dan istri pergi ke sebuah mal di bilangan Blok M, Jakarta Selatan, untuk bertemu dengan satu klien LI9HT Brand yang sejak beberapa bulan lalu sudah mengajak saya ngopi-ngopi. Baru kemarin bisa terwujud. Kami bertemu di sebuah kafe dimana sebat (merokok) tidak dilarang, karena klien ingin tempat nongkrong di tempat dimana ia bisa leluasa merokok.

Klien rupanya iri melihat postingan kegiatan-kegiatan Subud saya di Facebook dan Instagram dan ingin mengetahui lebih banyak tentang Subud. Dia iri karena kehidupan saya di seputar Subud, dengan gathering sambil ngopi-ngopi dan merokok, tetapi heran setelah saya jelaskan bahwa komunitas Subud terdiri dari orang-orang dengan berbagai latar belakang kehidupan, agama, profesi, dan hobi.

Dia heran mengapa kok orang-orang dengan berbagai latar belakang bisa berkumpul dan saling cocok, sedangkan komunitas-komunitas yang dia ikuti semuanya beranggotakan orang-orang yang “berjenis” sama: teman kantor, teman bermain golf, komunitas gowes, dan teman alumni kampus . "Obrolan kami ya sama, Pak Arifin, yaitu seputar bidang yang kami geluti. Tapi orang-orang Subud kok ya bisa berkumpul dan akrab. Apa yang diobrolin sedangkan latar belakang orang-orangnya berbeda-beda?” katanya.

“Obrolannya sih pengalaman-pengalaman masing-masing dengan Latihan Kejiwaan di bidang kehidupannya masing-masing, yang ajaibnya bisa relevan dengan yang lain. Pengalaman satu saudara Subud bisa aja menjadi inspirasi atau jawaban bagi masalah yang sedang saya alami,” saya merespons keheranannya.

Dia menggeleng-geleng kagum sekaligus bingung, “Kok bisa ya?”

“Saya juga nggak ngerti, Pak. Semua terjadi spontan aja, otomatis. Saya kira, itu mungkin karena bekerjanya kekuasaan Tuhan atau apalah yang dipercayai,” kata saya. “Kita hanya menerima saja dengan sabar, tawakal, ikhlas.”

Selanjutnya, saya bercerita tentang sejarah Subud, Pak Subuh dan Latihan Kejiwaan. “Intinya sih, dalam menjalani hidup dengan bimbingan Latihan, Pak. Itu kayak yang dibilang si Rooster dalam film Top Gun: Maverick, ‘Come on, Mav. Don’t think, just do!’.                              

Klien mengatakan bahwa itulah yang dibutuhkan orang zaman sekarang. Dia bercerita bahwa di kantornya, banyak rekannya yang materialistis tapi tidak bahagia, terutama mereka yang di posisi seperti dirinya. Kehidupan mereka penuh stres. Klien ini pernah dirawat di rumah sakit karena asam lambung akibat stres, selain mengalami kesulitan tidur.

Dia blak-blakan bercerita tentang adanya permainan dari para komisaris yang berasal dari partai politik, yang menempatkan orang-orang yang tidak punya expertise di jabatan-jabatan strategis Perusahaan. Dia bercerita bahwa dirinya ditelepon seseorang dari salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang aktif di sebuah partai berbasis Islam, yang lewat jalur-jalur politiknya akan menjadikan klien itu sebagai salah satu direktur di perusahaan tempatnya berkarir, tetapi “ada maunya” (untuk mendapatkan proyek dari perusahaan itu buat orang-orang partainya).

“Yang gitu-gitu bikin saya ngeri, Pak Arifin,” katanya. “Bisa-bisa, nanti saya kena kasus, lha mereka enak-enak aja. Saya butuh ketenangan diri seperti Pak Arifin dan Bu Nana ini dan yang membentengi saya dari perbuatan busuk seperti itu.”

Setelah dua jam mengobrol, baik tentang pekerjaan maupun hal-hal lainnya, klien berpamitan, tetapi sebenarnya ia masih ingin mengobrol lebih lama lagi. “Next, kita nongkrong lagi ya, Pak Arifin, Bu Nana. Lain kali kita di kakilima ya, lebih santai.”

Saya dan istri tertawa setelah klien pergi; menertawakan “nasib” kami sebagai konsultan branding yang sering dimintai nasihat-nasihat spiritual oleh klien-klien kami. Tepatlah apa yang dikatakan satu saudara Subud di Surabaya ke saya perihal profesi kami sebagai konsultan: “Konsultan itu adalah kongkonane wong kesulitan—bantuan untuk orang yang kesulitan.”©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 September 2022

No comments: