DALAM sejumlah obrolan saya dengan seorang pembantu pelatih (PP) Subud Jakarta Selatan yang berkewarganegaraan Amerika Serikat terungkap bahwa “mengosongkan pikiran” sebelum dan selama melakukan Latihan Kejiwaan itu tidak mungkin. Pikiran tidak mungkin dikosongkan. Ia bisa ditenangkan, karena sifat pikiran memang liar, seperti monyet yang melompat dari pohon yang satu ke pohon lainnya. Tetapi monyet bisa ditenangkan, antara lain dengan memberinya makanan kesukaannya.
Setelah menerima Latihan Kejiwaan, saya me-niteni dan mulai memahami bahwa pikiran saya suka sekali mengembara ke wilayah-wilayah yang tidak ia kenal, bahkan sesungguhnya tidak eksis. Pikiran kita suka sekali memikirkan hal-hal yang belum pasti, melampaui batas-batas yang seharusnya. Kita cenderung takut atau khawatir akan hal-hal yang belum terjadi atau tidak nyata. Takut adalah produk pikiran, yang tidak akan meruyak jika ia ditenangkan, dengan memberinya “makanan” berupa gagasan-gagasan yang menyenangkan.
Kalaupun “dikosongkan”, saya kira bukan dalam pengertian “tidak berisi” atau “tidak ada muatannya”, melainkan berarti “mengeluarkan anasir-anasir yang tidak diperlukan, untuk sementara atau selamanya”, yang jika dibiarkan mengendap akan membuat pikiran kita jauh dari kearifan. Saya memahami hal ini berdasarkan pengalaman saya sebagai copywriter.
Sebagai konsekuensi dari menekuni pekerjaan sebagai copywriter, saya selalu berhadapan dengan hal-hal baru. Klien-klien saya, sebagai pemilik merek atau produsen produk-produk yang termasuk kategori yang berbeda-beda, sering menyodorkan ke saya keadaan yang memaksa saya harus mempelajari hal-hal baru. Nah, untuk dapat cepat memahami sesuatu yang baru, saya harus mengosongkan ruang di pikiran saya dari hal-hal yang sudah usang atau berbeda, yang dapat menimbulkan kontradiksi yang mengganggu upaya saya memahami kebaruan.
Ketika saya menerima pesanan dari Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (Dispenal) Markas Besar TNI Angkatan Laut (Mabesal) untuk menggarap majalah bertema kemaritiman dan angkatan laut berbahasa Inggris, saya dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bidang-bidang tersebut. Bagi saya, strategi perang laut dan pertahanan maritim merupakan bidang yang sama sekali baru, meskipun saya cukup memahami ilmu militer. Spesialisasi saya sebelumnya adalah strategi perang dan pertahanan di darat—ada perbedaan mendasar antara perang di darat dan di laut; perang di darat mendayagunakan infrastruktur buatan manusia, sedangkan perang di laut sumber daya manusia diperkuat oleh kelebihan-kelebihan alamiah. Saya pun memohon kepada Tuhan agar diberi bimbingan dalam mempelajari bidang baru itu.
Saya ikhlaskan paradigma strategi perang darat pergi untuk sementara, agar ruangan di dalam pikiran saya bisa dimuati paradigma perang laut. Saya tidak tahu kiatnya selain belajar dengan senantiasa berperasaan sabar, tawakal dan ikhlas. Dalam keadaan pikiran yang sudah kosong, justru saya dapat merekam sekaligus menganalisis hal-hal baru.
Waktu belajar hal baru itu tergolong singkat, dan di luar dugaan saya, saya menguasainya dengan cepat. Setiap topik dalam literatur-literatur mengenai pertahanan maritim dan perang laut dapat saya serap dengan mudah, seolah saya adalah seorang kadet akademi angkatan laut atau komandan kapal perang. Sampai-sampai, laksamana pertama yang mengepalai Dispenal waktu itu berkomentar bahwa saya jenius, karena dapat menguasai suatu ilmu dalam sekejap.
“Mengosongkan pikiran”, menurut pengalaman saya, sejatinya adalah mengizinkan hal-hal baru atau menerima yang berbeda dengan apa yang kita ketahui selama ini untuk membantu kita menjalani hidup. Tidak sedikit orang yang membentengi diri dengan pengetahuan usang, karena pikiran mereka nyaman dengan hal itu, sehingga tanpa mereka sadari mereka berhenti tumbuh. Hidup ini dinamis dengan segala kemungkinan yang banyak di antaranya belum kita jelajahi dengan memanfaatkannya.©2022
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 29 Agustus 2022
No comments:
Post a Comment