Sunday, August 28, 2022

Identitas Gerak

DALAM Latihan Kejiwaan, kita sering melakukan gerakan-gerakan spontan, kadang dalam pola yang menyerupai tarian atau jurus seni bela diri, gerak sembahyang secara Islam, dan lain-lain, yang tidak dapat kita rencanakan atau mengaturnya. Pola-polanya tidak beraturan, berbeda setiap kali melakukan Latihan, dan tidak dapat serta tidak perlu untuk kita coba pahami apa maksudnya. Ya sudah, sebagai pelatih kejiwaan, kita tinggal terima saja mau digerakkan seperti apa oleh “suatu eksistensi melampaui eksistensi kemanusiaan” kita.

Ketidakberaturan pola gerak dan/atau suara itu, bagaimanapun, dalam suatu pengalaman Latihan pada hari Kamis malam, 25 Agustus 2022 lalu, di Hall Cilandak, memberi saya pengertian bahwa mereka memiliki identitas; bisa diidentifikasi oleh diri kita mana gerakan yang milik kita dan mana yang milik orang lain. Dalam Latihan 25 Agustus itu, pada sekitar lima menit pertama, saya melalukan serangkaian gerakan tidak beraturan.

Anehnya, saya dapat merasakan bahwa itu bukan gerakan-gerakan asli saya. Selama bergerak itu, saya pun membatinkan pertanyaan, “Gerakan siapa ini?” dan segera pula saya mendapatkan jawaban dari dalam saya bahwa itu gerakan “milik” Hasmi (bukan nama sebenarnya), salah satu saudara Subud saya yang malam itu juga Latihan di Hall Cilandak.

Usai Latihan, saya menceritakan pengalaman itu kepada Pak Harris Roberts, salah seorang pembantu pelatih (PP) Subud Cabang Jakarta Selatan. Rupanya, Pak Harris, yang malam itu bertugas memberi aba-aba dalam Latihan bersama tersebut, juga melihat saya melakukan gerakan-gerakan yang beliau identifikasi sebagai khas Hasmi. Belakangan, ketika saya ceritakan pengalaman itu di sebuah grup WhatsApp Subud, si Hasmi pun mengaku bahwa ia juga sempat melihat saya melakukan gerakan-gerakan “milik”nya.

Terlepas dari gerakan-gerakan itu, perasaan saya saat melakukannya sangat tidak nyaman. Saya bahkan berperasaan sebal dan malu menjadi Hasmi. Saya merasa itu bukan sejatinya saya; menjadi diri Hasmi atau siapa pun orangnya, secara kejiwaan, tidak membuat diri sendiri nyaman.

Nah, pelajaran apa yang saya petik dari pengalaman tersebut? Sudah jelas bahwa sehebat-hebatnya orang lain, segemilang-gemilangnya kehidupan orang lain, yang kebanyakan dari kita melihatnya dari luar, dari yang tampak saja, tidaklah sebanding dengan kenyamanan yang dirasakan bila kita berada di sepatu kita sendiri. Meskipun pola gerak hidup kita terasa, sepertinya, berantakan, tetapi kalau itu memang asli dari kita sendiri itu jauh lebih membahagiakan daripada kalau kita hidup berdasarkan pola gerak hidup orang lain.

Ah, pantas saja Bapak Subuh selalu menekankan bahwa meniru adalah keliru.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 29 Agustus 2022

No comments: