EMPATBELAS tahun lalu, seorang konsultan kehumasan (public relations/PR) dikenalkan ke saya selaku konsultan kreatif. Si konsultan PR ini rupanya kehabisan ide untuk personal branding seorang pensiunan jenderal yang saat itu sedang mengetuai sebuah organisasi masyarakat. Tujuan personal branding itu adalah untuk memperkuat posisi sang purnawirawan seolah dia memang mumpuni dalam memimpin ormas tersebut.
Saat itu, saya sedang mempelajari memetika, sehingga saya buatkan rekomendasi strategi branding yang intinya adalah disseminasi isu berplatform inovasi terbaru di bidang yang dinaungi ormas tersebut. Tujuannya adalah menciptakan meme di benak publik bahwa sejak dipimpin sang purnawirawan, ormas tersebut lebih inovatif dan bersumbangsih bagi kemajuan bangsa.
Perlu diketahui, memetika adalah teori konten mental yang didasarkan pada analogi teori evolusi Charles Darwin, yang dipopulerkan oleh Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene (1976). Para pendukungnya menggambarkan memetika sebagai pendekatan untuk model evolusi terhadap transfer informasi budaya. Meme (dibaca “mim”), analog dengan gen, terkandung sebagai “unit budaya” (ide, keyakinan, pola perilaku, dan lain-lain) yang “diinangi” dalam pikiran satu atau lebih individu, yang dapat memperbanyak dirinya, sehingga mampu melompat dari satu pikiran ke pikiran lain. Jadi, ketika seorang individu dianggap berpengaruh terhadap orang lain yang mengadopsi keyakinannya, hal ini dipandang sebagai replikator-ide yang mereproduksi dirinya dalam inang baru. Sebagaimana halnya dalam genetika, khususnya dalam interpretasi Dawkinsian, kesuksesan meme mungkin disebabkan oleh efektivitas inangnya.
Si konsultan PR berkomentar bahwa dia khawatir bila strategi yang saya rekomendasikan itu dijalankan akan ketahuan bahwa itu tidak benar. “Sekarang kan masyarakat sudah pintar, Mas. Nggak gampang dibo’ongin,” kata dia.
Saya ngotot bahwa strategi itu akan berhasil, entah bagaimana. Tetapi si konsultan tidak mau mengambil risiko. Ya sudah, take it or leave it!
Pada suatu hari di bulan Agustus 2015, saya terkoneksi lagi dengan si konsultan PR. Dia menanyakan kabar saya, dan saya menjawab, “Sangat baik, Mbak. Apalagi saya jadi punya kesempatan untuk nyampein ke Mbak, bahwa masyarakat ternyata nggak jadi lebih pintar sekarang. Buktinya, itu berita-berita miring bin bo’ong di social media dengan gampangnya diterima sebagai kebenaran umum. Coba tujuh tahun lalu, Mbak terima rekomendasi saya...”
Pengalaman dengan fenomena “mendahului waktu” seperti kisah di atas kerap saya alami setelah menekuni Latihan Kejiwaan. Bukan sebagai bukti bahwa saya sakti atau memiliki kemampuan menerawang masa depan, tetapi semata karena begitulah bimbingan dari kekuasaan Tuhan yang saya terima. Hanya dibutuhkan kesabaran, ketawakalan dan keikhlasan saya, terutama dalam melihat kenyataan bahwa tidak semua orang siap atau mau menerima dan melakukan petunjuk Tuhan kepada orang tersebut yang disalurkan melalui eksistensi saya. Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa. ©2022
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 27 Agustus 2022
No comments:
Post a Comment