Thursday, June 2, 2022

Wilayah Pribadi

SATU saudara Subud saya dari Surabaya baru-baru ini memosting di sebuah grup WhatsApp Subud, video berdurasi satu menit 18 detik yang menampilkan seorang berkulit hitam berceramah di hadapan sekian banyak orang. Ia berbicara tentang rusaknya kehidupan bermasyarakat karena dikotak-kotakkan oleh agama-agama. Ia mengajak audiens untuk meniadakan pengotakan itu dan hidup dalam harmoni.

Saudara Subud itu pun bertanya ke saya, “Lalu, ritual (syariat)-nya kayak apa, ya?”

Saya menjawab, “Ritualnya masing-masinglah. Ritual kan wilayah pribadi. Bahkan dalam agama Islam saja, gerak dan ucapan dalam salat tiap orang beda-beda. Beda-beda pula isi pikiran tiap muslim saat berritual.”

Jawaban yang saya ucapkan itu seolah datang dari ketiadaan – saya tidak memikirkannya, melainkan keluar begitu saja gagasan tersebut. Untuk saya sendiri, saya selanjutnya menerima pengertian dari dalam bahwa toleransi atau kerukunan (khususnya dalam hubungan antar umat beragama) hanya dapat tercapai apabila ada atmosfer saling menghormati (mutual respect) dan saling memahami (mutual understanding) wilayah pribadi tiap orang.

Saya teringat pada penjelasan dari satu saudara Subud di Jakarta Selatan, yang bekerja sebagai dosen, mengajar Akidah Akhlak di Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Sebagai ahli bahasa Arab dan mumpuni dalam kajian Qurani, beliau menjelaskan bahwa makna lakum dinukum waliyadin sejatinya bukan semata “bagimu agamamu, bagiku agamaku”, tapi juga bisa berarti “bagimu caramu, bagiku caraku”, sehingga ayat 6 dari Qur’an Surah Al-Kafirun itu juga berlaku dalam interaksi antar individu dalam kolektivitas umat (agama) Islam.

Saya menyaksikan bagaimana arti luas dari ayat ini hidup dan dijunjung di Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Subud. Mengapa di Subud tidak ada ajaran dan pelajaran yang diberi manusia kepada manusia lainnya adalah karena sifat kemanusiaan kita tidak seragam; kita masing-masing secara alami memang berbeda, dalam pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan kita. Perselisihan atau pertengkaran yang timbul di lingkungan PPK Subud biasanya disulut oleh pemaksaan kehendak oleh individu yang merasa paling benar, yang menyenggol wilayah pribadi dari individu lainnya.

Diri kita adalah wilayah pribadi kita, yang hanya dipahami oleh kita sendiri dan pencipta kita. Kita tidak mau, bahkan menentang keras intervensi apa pun dari luar terhadap wilayah pribadi kita. “Caraku bukan caramu, jangan kau ganggu caraku dengan memaksakan caramu,” kira-kira begitulah ekspresi orang yang mempraktikkan hakikat dari lakum dinukum waliyadin.

Dengan menghormati dan memahami batas-batas wilayah pribadi tiap individu, maka terbukalah jalan menuju toleransi yang hakiki dalam hubungan antar umat beragama. Kita bisa hidup rukun dalam semua aspek, selama tidak saling mengganggu wilayah pribadi masing-masing.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 Juni 2022 

No comments: