Tuesday, June 21, 2022

Bapak Kejiwaan


SEBAGIAN anggota Subud dan warga non Subud (biasanya media pers) menganggap atau menyebut RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo sebagai “guru spiritual”. Saya pribadi lebih suka menganggap beliau “bapak kejiwaan” saya. Istilah “guru spiritual” terasa janggal, karena di Subud tidak ada ajaran maupun pelajaran, sehingga tidak diperlukan guru. Setiap orang menjadi guru bagi dirinya sendiri-sendiri.

Dilahirkan di Kedungjati, Karesidenan Semarang (dewasa ini, Kecamatan Kedungjati termasuk wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah), pada 22 Juni 1901, Pak Subuh berasal dari keluarga petani kecil, berayahkan Chasidi Kartodihardjo dan beribukan Raden Nganten Kursinah. Ibunda dari Pak Subuh merupakan keturunan dari Raden Syahid (Said) atau Sunan Kalijaga.

Pak Subuh awalnya diberi nama “Soekarno”, namun karena bertubuh lemah dan nyaris menemui ajalnya, sebagaimana lazimnya tradisi Jawa nama beliau diganti menjadi “Muhammad Subhi”, lantaran beliau dilahirkan pada waktu subuh. Sejak nama beliau diganti, Pak Subuh kecil pun tumbuh sehat. Karena orang Jawa pada umumnya kesulitan mengucapkan “Subhi” nama beliau pun lantas menjadi “Subuh”.

Pada usia masih belia, Pak Subuh telah memperlihatkan kemampuan mendapatkan informasi, energi atau kekuatan di dalam kesadaran kosmik, serta kemampuan untuk memanfaatkan informasi, energi atau kekuatan yang telah diperoleh secara gaib itu.

Di usia 16 tahun, karena merasa seakan mau mati, Pak Subuh meninggalkan bangku Hoogere Burgerschool (HBS) untuk mengembara mencari keterangan mengenai alam rohani dan ilmu hakikat. Beliau pun belajar kepada sejumlah guru agama dan spiritual. Salah satunya, yang terkemuka, adalah Kyai Abdurrachman, seorang ulama tasawuf dari Tarekat Naqshbandiyah.

Bagaimanapun, guru-guru itu menolak mengajari Pak Subuh. Ketika beliau mendesak mereka, para guru itu menjawab bahwa beliau akan menerima sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan beliau. Bukan dari manusia, melainkan dari Tuhan langsung. Hal ini tidak memuaskan Pak Subuh, dan di ambang keputusasaannya beliau mulai berfokus ke kehidupan duniawinya.

Menikah dengan putri seorang ulama dari Pamotan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, bernama Rumindah, pada tahun 1922, Pak Subuh menjalani hidup sebagai orang biasa, yang memperoleh nafkah dengan bekerja sebagai Asisten Kepala Perbendaharaan Gemeente (Kotapraja) Semarang. Dari perkawinannya dengan Ibu Rumindah, Pak Subuh dikaruniai tiga putra dan dua putri.

Pada suatu malam, di musim kemarau tahun 1925, di tengah malam yang tidak disinari bulan, Pak Subuh berjalan-jalan untuk rileks, lantaran lelah belajar tata buku di rumah beliau di Bergota Kalisari, Semarang. Di depan lahan proyek pembangunan rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ; kelak menjadi RSUP dr. Kariadi, Semarang), sebuah bola bercahaya seperti matahari turun dari angkasa dan menembus ubun-ubun beliau. Cahaya terang itu juga jatuh ke atas atap rumah tinggal Pak Subuh di Semarang, yang disaksikan oleh lebih kurang 100 orang.

Sejak malam itu, selama 1.000 hari dan 1.000 malam, Pak Subuh terus-menerus terjaga untuk “dilatih” dan dibimbing kekuasaan Tuhan. Selama itu, Pak Subuh dapat mengerti dan menyadari gerakan-gerakan beliau yang digerakkan oleh hati dan akal pikir dan penerimaan gerakan dengan kontak dalam Latihan Kejiwaan yang terbimbing oleh kekuasaan Tuhan. Beliau menjalaninya dengan perasaan sabar, tawakal dan ikhlas. Itulah pertama kalinya Latihan Kejiwaan turun ke umat manusia, dan kini dilakukan oleh semua anggota Subud di seluruh dunia.

Hari ini, 22 Juni 2022, adalah hari lahir Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo yang ke-121. Saya, yang masuk Subud bertahun-tahun setelah Pak Subuh wafat pada 23 Juni 1987, hanya dapat berterima kasih kepada Tuhan yang telah menurunkan Latihan Kejiwaan kepada beliau, yang selanjutnya beliau wariskan kepada siapa saja yang berminat.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 22 Juni 2022

No comments: