Tuesday, June 7, 2022

Menomorsatukan Tuhan

“Jadi, terang bahwa petunjuk dari Tuhan akan dapat diterima oleh umat manusia, apabila umat manusia benar-benar telah menyerahkan segala apa yang terasa dalam rasa pikirannya dan benar-benar bertawakal dan patuh atas perintah Tuhan kepadanya. Karena pemberian Tuhan dari kehendak Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dicampuri, juga tidak dapat dipersamakan dengan bagaimana kehendak dan kelanjutan akal pikiran dari manusia.” 

~Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (cuplikan ceramah kepada anggota wanita di Coombe Springs, Inggris, 19 Agustus 1057)


HARI Sabtu malam Minggu, 4 Juni 2022, di teras rumah seorang pembantu pelatih Subud Cabang Jakarta Selatan, saya bersama tiga saudara Subud lainnya, termasuk tuan rumah, mengobrol tentang aspek-aspek dari Latihan Kejiwaan Subud. Yang membuat obrolannya seru adalah ketika kami masuk ke topik mengenai perbedaan berserah diri menurut ajaran agama dan berserah diri ala Subud.

Menurut pengalaman kami masing-masing, agama mengajarkan “berusaha dulu sekeras mungkin, kemudian berserah diri kepada Tuhan”, sedangkan orang-orang Subud berserah diri dulu, yang akan membuat mereka menerima bimbingan Tuhan kepada rasa diri mereka ketika berikhtiar.

Bagi orang Subud, ikhtiar dan berserah diri berjalan bersamaan, berjumbuh bagaikan minyak dan air dalam satu wadah yang sama. Orang Subud menomorsatukan Tuhan, membiarkan Dia bekerja ketika ia belum, saat dan sesudah melakukan suatu kegiatan. Tuhan dulu dan Tuhan kemudian!

Ajaran agama terkait berserah diri membuat seolah Tuhan dinomorduakan. Saya mendapat informasi bahwa ajaran ini bukan asli dari para nabi pembawa agama, melainkan di satu titik dalam lini perkembangan suatu agama telah terjadi distorsi atau sengaja diputarbalikkan; barangkali karena para ulama saat itu telah menyaksikan dahsyatnya kekuatan yang dihasilkan dari sikap berserah diri dengan sabar, tawakal dan ikhlas, yang mungkin tidak bakal sanggup diterima orang awam.

Dalam tradisi agama-agama, Tuhan hanya dilibatkan ketika manusia sudah mengerahkan segenap tenaga, nafsu dan akal pikirannya dalam berusaha. Kalau Tuhan bisa ngomong seperti halnya manusia, mungkin Dia akan bilang, “Lah, lu yang melakukan, kok gue yang disuruh menanggung akibatnya?!”

Keesokan harinya, 5 Juni 2022, saat diskusi dengan satu teman seangkatan di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, di grup WhatsApp “Sahabat Sejarah 87 FSUI”, dia berprinsip bahwa hak manusia hanya berusaha, setelah itu diserahkan kepada Tuhan mengenai penentuan hasilnya. Kalimat “setelah itu” saja sudah membuktikan bahwa kalangan umat beragama menomorduakan Tuhan. Bagaimanapun, saya hentikan diskusi itu dengan alasan saling menghormati dan saling menghargai dalam berpendapat, karena kepala saya menjadi sangat sakit membaca lontaran-lontaran pendapat dari lawan diskusi saya.

Dengan menomorsatukan Tuhan, mendahulukan berserah diri kepadaNya alih-alih berusaha dahulu, hal itu mempertegas makna dari tawakal yang terdapat pada kredo sikap hidup orang Subud—sabar, tawakal dan ikhlas, yaitu mewakilkan atau menyerahkan diri dan peserta-pesertanya (hati, nafsu dan akal pikir) kepada Tuhan. Berserah diri adalah sikap orang Subud yang (diharapkan) mengisi semua ekspresi pikiran dan perasaannya, perkataan dan perbuatannya.

Dengan berserah diri secara sabar, tawakal dan ikhlas kepada kehendakNya, niscaya orang Subud mendapatkan bimbingan kekuasaan Tuhan untuk melakukan segala usahanya demi mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Memang tidak mudah—menurut akal pikir kita yang kepalang sudah “terkontaminasi” ajaran buatan manusia—karena bimbingan Tuhan tidak selalu sejalan dengan bayangan kita. 

Kebanyakan orang maunya yang enak-enak saja; ia terpengaruh ajaran agama pada umumnya bahwa Tuhan tidak akan mempersulit hambaNya. Jika bimbinganNya dirasa tidak enak, atau tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dianutnya, kebanyakan orang lantas beranggapan bahwa bimbingan itu bukan berasal dari Tuhan. Untuk itulah, dalam ceramah terakhir Bapak Muhammad Subuh, pada 26 Mei 1987 (kode rekaman: 87 CDK 05), beliau menambahkan kata “berani” dalam sekuens sabar, tawakal, dan ikhlas yang merupakan sikap hidup orang Subud.

Tanpa sikap berani menerima dan mengikuti bimbinganNya, kebanyakan anggota Subud “terpental” dari kemurnian Latihan Kejiwaannya, yang mensyaratkan berserah diri dengan sabar, tawakal dan ikhlas, menomorsatukan Tuhan.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 Juni 2022

No comments: