Tuesday, May 10, 2011

Gelombang Cinta



“Kebencian tidak dapat diakhiri dengan kebencian, tetapi hanya dengan cinta; inilah aturan abadinya.”
—Buddha


Saat ini, saya menempati pavilyun bekas garasi yang menempel pada rumah peninggalan orang tua saya di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pavilyun itu saya tata sedemikian rupa, sehingga saya bisa bekerja, beristirahat (tidur) dan merenung dengan tenang. Saya mengharamkan amarah dan emosi-emosi negatif lainnya memasuki pavilyun itu, sehingga ketika saya sedang marah saya biasanya akan duduk di teras rumah utama, mengheningkan pikiran atau bermeditasi. Hanya bila hati saya sejuk saya akan memasukinya.

Pavilyun itu tidak berpendingin udara (air conditioning, AC), karena saya pada dasarnya juga tidak suka tidur dengan udara yang kelewat dingin namun artifisial sebagaimana yang diproduksi AC. Namun, anehnya, semua orang yang pernah memasuki pavilyun itu mengatakan bahwa udaranya sejuk seolah ada pendingin udaranya. “Karena penghuninya berhati sejuk,” kata saya berseloroh, menanggapi perkataan mereka. Mereka juga menganggap bahwa pavilyun itu memberi mereka ketenangan. Dua orang bibi saya—keduanya adik kandung mendiang ibu saya—tiba-tiba berurai air mata saat mengobrol dengan saya di pavilyun itu. Mereka secara bersamaan mendadak terkenang pada mendiang ibu saya. Dan mereka merasakan pula kedalaman kasih sayang ibu saya di pavilyun itu, seperti yang berulang kali saya alami di tempat itu.

Dalam ajaran Buddhisme ada yang disebut metta, yang dimaknai sebagai ‘cinta kasih’, ‘kebajikan’ atau ‘suka cita’ yang timbul secara alami. Buddha Gautama pertama kali mengajarkan metta saat sekumpulan biksu sedang berlatih meditasi jauh di dalam hutan. Para biksu mengeluh mereka tidak dapat bermeditasi karena kehadiran macan dan singa. Mereka meminta Buddha untuk mengusir binatang liar tersebut.

Buddha menjawab, “Maaf, aku tidak dapat menyingkirkan binatang-binatang tersebut, namun apa yang dapat aku ajarkan padamu adalah bagaimana melindungi diri sendiri melalui praktik cinta kasih.” Buddha menjelaskan kepada para biksu bahwa setiap makhluk hidup di atas bumi menginginkan kebahagiaan dan kita bisa mendoakan mereka agar bahagia, tak peduli bagaimana takut atau jijiknya kita kepada mereka. Buddha pun mengajarkan praktik metta pada mereka. Setelah beberapa minggu berlatih, mereka tidak lagi takut pada binatang-binatang tersebut.

Meditasi metta menghasilkan suatu gelombang cinta kasih yang merupakan fenomena alamiah—yang tidak ada penjelasan teoritisnya, sebuah mekanisme alam, bahwa bila kita mencintai orang lain dengan tulus tak berpamrih, maka orang yang kita tuju, walaupun terpisah jarak yang jauh, atau tidak saling mengenal, akan mendapatkan perasaan cinta yang mendalam, kuat dan berjangka waktu tak terbatas.

Dalam buku Diana Winston, Wide Awake: A Buddhist Guide for Teens (Perigree Trade, 2005), saya temukan penjelasan tentang fenomena gelombang cinta ini. Winston menceritakan seorang temannya yang berlatih metta di dalam hutan Myanmar dan menemukan bahwa serangga, ular dan kalajengking jadi mendatanginya! Ia merasa mereka ‘jatuh cinta’ padanya karena ia memancarkan begitu banyak metta! Winston juga menjelaskan bahwa metta hanya dapat terjadi apabila kita berperasaan cinta tanpa pamrih. Sebagaimana yang saya alami dalam berbagai peristiwa yang melibatkan metta, Winston menjabarkan bahwa kita akan merasa lembut dan hangat dalam hati.

Gelombang cinta itu memancar dari diri yang tulus dan rendah hati mencintai sesama makhluk, tidak terpaku pada satu tempat. Artinya, bila kita mampu memancarkan metta tanpa batas, tempat di mana kita berada beserta makhluk-makhluk yang berada di sekeliling kita dapat menerima dan merasakannya. Makhluk di sini mencakup baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Saudara Subud saya di Surabaya memiliki aneka tanaman di sekitar rumahnya, yang semuanya tumbuh subur dan indah. Kabarnya, saudara Subud ini hanya ‘menyapa’ tanaman-tanaman itu dengan ramah setiap pagi dan mengajak mereka ‘berbicara’ dari hati ke hati.

Saya pernah pula mengalami dengan mesin cetak (printer) di kantor saya yang ngadat, tidak mau bekerja. Teknisi sudah didatangkan untuk memperbaikinya, tetapi tidak ada hasil. Akhirnya, iseng saya mengelus-elus mesin cetak itu sambil mengucapkan kata-kata manis penuh kasih sayang yang tulus. Alhasil, mesin berfungsi kembali seperti sediakala! Philip Toshio Sudo menjelaskan soal fenomena ini dalam bukunya, yang sayangnya hanya ada dalam bahasa Belanda, Zen en de Kunst van Computer Gebruik {Zen dan Seni Menggunakan Komputer} (Uitgeverij De Fontein, 2000). Sudo menyarankan agar kita senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik kepada komputer kita, dan niscaya komputer kita akan awet!

Gelombang cinta itu dapat kita alirkan pada satu orang saja dan kemungkinan orang itu akan mengembalikannya dalam arus cinta yang sama dalamnya, penuh kasih sayang, yang membuat jiwa kita serasa melayang, menyenangkan dan darinya tumbuh cinta yang sangat besar kepada semua orang dan segala hal. Metta menghasilkan gelombang cinta yang alami, luar biasa dan total, yang dapat ‘menyengat’ hati-hati yang mendambakan cinta kasih.

Jika demikian, sesungguhnya telah tampak di hadapan kita jalan terbaik ke arah perdamaian dunia. Tetapi, jalan itu hanya dapat kita tempuh apabila kita sudi membuka diri, membuka hati dengan lapang untuk memancarkan gelombang cinta yang bermula dari diri sendiri, terus ke lingkungan terdekat kita, dan, sebagaimana sifat gelombang, beriak-riak ke ranah yang lebih luas dan mendalam.Ó



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 16 April 2011


No comments: