Wednesday, May 11, 2011

Menduga-duga yang Tidak Masuk Akal


“Saya terutama berminat pada bagaimana dan mengapa orang-orang biasa melakukan hal-hal yang tidak biasa, hal-hal yang asing bagi diri mereka. Mengapa orang-orang yang baik kadang bertindak jahat? Mengapa orang-orang cerdas kadang melakukan hal-hal yang bodoh dan tidak masuk akal?”

Philip Zimbardo



November 2010 lalu, ketika tengah disibukkan dengan penyusunan kerangka perencanaan strategis rebranding sebuah toko serba ada (department store) terkemuka di Jakarta, saya menerima kedatangan seorang saudara Subud yang hendak mengembalikan buku saya yang dipinjamnya, sekaligus memberi saya sebuah buku yang dibelinya di Times Bookstore, lantaran ia merasa bersalah atas keadaan buku saya yang agak rusak terkena cipratan air hujan. Ia berujar bahwa ia tidak tahu mengapa ia memilih buku itu untuk saya; ia hanya merasa buku itu cocok untuk saya.


Kebetulan, dalam rangka merancang rencana strategis rebranding toko serba ada itu, saya tengah meneliti motivasi apa yang mendorong orang membeli sesuatu. Jadi, tingkah laku saudara Subud itu memberi saya kesimpulan sementara, bahwa orang seringkali membeli tanpa alasan yang jelas, atau kadang hanya spontanitas saja. Uniknya, buku yang dibeli saudara Subud itu justru bertutur tentang fenomena ketidakrasionalan yang dapat diduga.


Buku Predictably Irrational: The Hidden Forces That Shape Our Decisions (New York: Harper, 2009) karya Dan Ariely menuangkan hasil penelitian penulisnya terhadap sikap dan perilaku orang dalam mengambil keputusan. Penelitiannya membuktikan bahwa pengambilan keputusan tak jarang dilakukan atas dasar yang tidak jelas, atau tanpa alasan yang masuk akal. Dalam halaman pendahuluan, Ariely mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik kesadaran kita -- dan juga membuat kita tersentil:


  • Tahukah Anda mengapa kita seringkali berjanji pada diri kita sendiri untuk berdiet, tetapi segera lupa ketika makanan penutup yang lezat lewat di depan kita?
  • Tahukah Anda mengapa kita kadang merasa sangat senang membeli benda-benda yang sebenarnya tidak kita butuhkan?
  • Tahukah Anda mengapa kepala kita tetap sakit setelah minum aspirin seharga satu sen, tetapi mengapa sembuh ketika aspirinnya berharga 50 sen?
  • Tahukah Anda mengapa orang-orang yang diminta untuk mengingat Sepuluh Perintah Tuhan cenderung menjadi lebih jujur (paling tidak segera sesudahnya) daripada mereka yang tidak mengingatnya? Atau mengapa kode-kode kehormatan benar-benar dapat mengurangi ketidakjujuran di tempat kerja?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan Anda temukan di akhir buku, tetapi saya tidak akan menjabarkannya di sini, karena untuk ‘alasan yang masuk akal’ saya sarankan Anda membacanya sendiri dan merenungkannya untuk kepentingan pribadi Anda. Buku ini memang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memiliki implikasi atas kehidupan pribadi kita, atas kepentingan bisnis, dan atas cara kita memandang dunia. Jawaban-jawaban itu tidak mengikat, tidak baku, tetapi paling tidak Anda akan terpicu dan terpacu untuk senantiasa merenungkan keputusan-keputusan yang pernah atau akan Anda ambil untuk kepentingan hidup Anda.


Keputusan Ariely untuk menulis dan menerbitkan buku ini saja tergolong unik. Kehidupan profesor di Universitas Duke yang memperoleh gelar doktornya di bidang psikologi kognitif dan administrasi bisnis ini berubah ketika ia berusia delapan belas tahun. Sebuah ledakan cerawat (flare) yang berisi banyak magnesium, yang biasa digunakan untuk menerangi medan tempur pada malam hari, membuat tujuh puluh persen dari tubuhnya mengalami luka bakar tingkat tiga. Selama tiga tahun berikutnya, Ariely terkapar di rumah sakit dengan sekujur tubuhnya diperban, yang membuatnya – sebagaimana yang ia paparkan dalam bukunya – tampak seperti Spidermen berantakan.


Lantaran tidak bisa beraktivitas seperti biasa, Ariely merasa diasingkan dan akibatnya ia mulai berefleksi atas tujuan-tujuan dari berbagai perilaku, dari dirinya maupun orang lain. Ia mencontohkan: Mengapa ia mencintai satu gadis tetapi tidak yang lainnya, mengapa rutinitas sehari-harinya dirancang agar nyaman bagi dokternya dan bukan bagi dirinya, mengapa ia suka panjat tebing ketimbang belajar sejarah, mengapa ia begitu peduli terhadap anggapan orang lain atas dirinya, dan terutama apa yang memotivasi orang dan menyebabkan kita berperilaku seperti yang kita lakukan.


Salah satu riset yang dilakukan penulis melibatkan 25 mahasiswanya di MIT (Massachusetts Institute of Technology), di mana mereka diminta untuk memilih di antara tiga foto pria tampan dengan tiga foto pria ‘kurang tampan’, padahal tiga yang tersebut terakhir adalah orang-orang yang sama dengan tiga yang pertama tetapi telah mengalami sedikit sentuhan dengan komputer sehingga telinganya tampak lebih panjang, hidungnya bengkok atau alisnya tipis. Para responden yang telah memilih tiga yang pertama, yang tampan, dalam urutan pemeringkatan – sangat tampan, tampan dan agak tampan – dengan mudah.


Tetapi begitu disodori pilihan pembanding tiga pria ‘yang kurang tampan’, para responden mengalami kesulitan. Mereka memerlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu, yang akhirnya malah mencuatkan ketidakrasionalan mereka dalam menentukan teman kencan – persentase terbesar dari para responden memilih pria yang ‘kurang tampan’. Secara agak bercanda, Ariely mengungkapkan bahwa kalau mau merebut hati orang yang Anda taksir atau kagumi, jangan bawa teman yang menurut Anda lebih atau kurang dari Anda dalam hal tampang, karena orang yang Anda tuju akan mengalami kebingungan dalam memilih.


Menutup Catatan ini, saya akan beberkan strategi rebranding dari toko serba ada seperti yang saya ceritakan di muka: Konsep department store yang telah dirangkulnya selama lebih dari duapuluh lima tahun supaya diganti dengan konsep mal. Pekerjaan itu waktu itu masih ditenderkan, dan saya dan perusahaan periklanan yang memakai jasa saya sebagai konsultan branding tidak berhasil memenangkan tender tersebut. Alasannya sederhana saja – sebagaimana perilaku manusia dan dunia di mana kita hidup: Tidak dapat diduga.Ó


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 21 April 2011

No comments: