Wednesday, May 11, 2011

Di Ruang Sepi Itu...


“Saya selalu berpikir bahwa pencarian akan kebahagiaan merupakan kekuatan yang mendasari hidup ini. Apa pun yang kita lakukan di dunia ini, dalam kehidupan kita, isinya selalu pencarian akan suatu kebahagiaan. Salah satu dari pengalaman-pengalaman awal di mana saya merasakan bahagia yang mendalam di dalam meditasi memberi saya rasa bahagia yang berasal dari luar dunia ini. Dan sekalinya Anda merasakan hal itu Anda akan melakukan pencarian lebih lanjut akan makna dari kebahagiaan.”

—Ajahn Brahmavamso



Tak sedikit orang yang menganjurkan maupun merayu saya untuk menerbitkan tulisan-tulisan saya dalam wujud buku, atau menulis buku yang kemudian diterbitkan, dibaca orang di seluruh negeri. Sebagai reaksi, saya selalu mengatakan, “Beri saya satu alasan kenapa saya harus melakukannya!” Tidak sedikit yang menganggap bahwa penerbitan buku karya sendiri merupakan representasi dari kesuksesan.


Anggapan keliru semacam ini sudah menyebar luas dan meruyak seolah tak dapat dibendung, hingga melarut dalam berbagai budaya, bukan hanya di perkotaan tetapi juga di pedesaan. Orang sukses sepertinya perlu atribut yang kasat mata, menurut anggapan tersebut. Padahal sukses tidak bisa diukur dari hal itu. Begitu pula dengan kebahagiaan.


Rasanya, semua orang mendambakan kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidupnya. Tetapi pendambaan tersebut cukup ajaib, lantaran yang didambakan merupakan sesuatu yang tak tampak, tak dapat disentuh, dicium baunya, apalagi disimpan. Segala sesuatu tentang kebahagiaan dan kesuksesan bersifat abstrak. Ada dan tiadanya hanya seputar rasa, atau refleksi dari hati, sebuah ruang sepi yang keberadaannya tak jelas di mana.


Untuk mudahnya, kita biasa menunjuk ke dada sebelah kiri, yang sesungguhnya tempat bersemayamnya jantung. Sedangkan hati fisik – yang tentunya berbeda dari yang dimaksud dengan ‘hati’ yang lokasinya tak jelas itu – merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh kita, yang letaknya di dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma.


Hati yang saya maksud dalam Catatan ini adalah yang di kalangan Sufi disebut ‘hati spiritual’. Tempatnya di mana saja yang kita yakini, tetapi yang jelas ia merupakan sebuah ruang yang sepi dari apa pun, selain Tuhan. Hati yang ini telah menjadi kajian dan telaah para cendekiawan agama dan pejalan spiritual sepanjang zaman. Robert Frager dalam bukunya, Heart, Self and Soul: The Sufi Psychology of Growth Balance and Harmony (New Age Books, 2005), menyebutnya sebagai ‘kuil Tuhan’.


Hati yang ini tetap misterius, lantaran keberadaannya yang ‘tidak jelas’ namun ada. Ruang sepi itu senantiasa menjadi fokus pembersihan dan purifikasi bagi mereka yang menghendaki kehidupan yang lebih tenang dan menyenangkan. Cara membersihkannya beragam; ada yang lewat meditasi, sembahyang, salat yang khusyuk, bertapa menjauhkan diri dari keramaian, dan lain-lain. Apa pun caranya, semua benar dan semua dapat membawa kita kepada aras bahwa sejatinya kita sesepi ruang sepi itu. Sepi dari apa pun. Kita dilahirkan ke dunia tanpa membawa apa-apa selain tubuh dan jiwa kita, dan meninggalkan dunia ini juga tanpa membawa apa-apa selain tubuh dan jiwa kita.


Konon, rasa bahagia atau rasa sukses berasal dari ruang sepi itu. Tidak ada yang tahu dengan pasti apakah benar demikian. Kata ‘rasa’ sendiri berasal dari bahasa Sansekerta ‘rahsa’, yang kemudian terserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi ‘rahasia’, karena sifatnya memang tidak jelas atau tidak diketahui. Tetapi kalau Anda merasa nyaman dengan anggapan itu, ya silakan saja. Ada yang bersikeras bahwa bahagia atau sukses berasal dari hati, bukan pikiran. Ada yang merasa sok benar sendiri, dengan menegaskan bahwa yang berasal ‘dari dalam’ lebih bermakna daripada yang berasal ‘dari luar’. (Tuhan ada di dalam atau di luar diri kita ya?) Ada jalan spiritual yang ‘mengharamkan’ penggunaan akal pikir dan menjunjung jiwa di atas segalanya.


Maka para bhiksu Buddhis pun ‘menantang’ mereka: Coba tunjukkan di mana letak pikiran itu? Kenyataannya, pikiran, hati, diri dan jiwa sama misteriusnya terkait dengan keberadaannya. Yang kita kenal sekarang hanyalah asumsi, bukan kebenaran mutlak! Seorang bijak mengatakan, “Jangan ragukan mereka yang mencari kebenaran. Jangan percayai mereka yang mengaku telah menemukannya!” Itu menegaskan bahwa kebenaran tidak ada yang mutlak; yang ada hanyalah kebenaran esoteris/subyektif, hanya berlaku bagi yang (merasa) menemukannya.


Kebahagiaan atau kesuksesan teragung kita, menurut saya, adalah apabila kita tidak lagi membutuhkannya, karena sejatinya keduanya hanya perasaan yang bisa ‘dimanipulasi’ – baik oleh diri sendiri maupun orang lain, sebagaimana yang saya alami di atas. Di aras kesejatian – yang dicapai dengan kita ‘meniadakan’ diri dari segala sesuatu yang bukan sejatinya kita, kita hanyalah kita, tanpa apa-apa, seperti kondisi di ruang sepi itu. Ah, bahagia akhirnya.Ó




Wisma Indonesia Lantai 2, Kompleks Wisma SUBUD Cilandak, Jakarta Selatan, 27 April 2011, pukul 18.41 WIB



No comments: