Tuesday, May 10, 2011

Tidak Asli Tidak Berarti Palsu

“Lebih baik dibenci karena siapa dirimu sebenarnya daripada dicintai untuk sesuatu yang bukan dirimu.”

—Andre Gide



Siang ini (29 Maret 2011), saya menghadiri pertemuan dengan calon klien, sebuah perusahaan pembuat bir yang berafiliasi dengan merek bir terkenal asal Negeri Belanda. Saya menemui sekretaris dari direktur keuangannya, yang lantas memperkenalkan saya kepada atasannya, seorang pria Cina Singapura. Sang direktur keuangan meminta saya mempresentasikan secara lisan kredensial saya dalam bahasa Inggris, yang dapat saya lakukan dengan baik dan fasih, hingga sang direktur keuangan tampaknya terkesan, sehingga ia hendak mempercayakan pekerjaan penyuntingan dan/atau penulisan ulang (rewrite) dari naskah laporan tahunan perusahaan itu.


Permasalahan yang sedang mereka hadapi adalah bahwa presiden direktur perusahaan itu, yang berkebangsaan Belanda, tidak puas dengan gaya tulisan versi bahasa Inggris dari naskah laporan tahunan yang sedang dikerjakan oleh sebuah perusahaan komunikasi korporat, baik desain maupun penulisannya. Alasan ketidakpuasannya terletak pada alur naskah yang tidak pas serta bahasa Inggris yang berkesan tidak berasal dari seorang penutur asli (native speaker). Jadi, bila nanti diminta menyunting naskah itu, saya harus membuat alurnya jadi ‘enak dibaca’ serta diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.


Beberapa saat kemudian, si direktur keuangan memerintahkan sekretarisnya untuk memanggil presiden direktur perusahaan. Setelah saya kembali mempresentasikan kredensial saya dalam bahasa Inggris yang fasih, si Belanda menjelaskan detil dari ketidakpuasannya. Tetapi suasana yang tadinya asik-asik saja tiba-tiba berubah menjadi tidak mengenakkan baik bagi si direktur keuangan dan sekretarisnya maupun saya, yaitu ketika si Belanda bertanya, apakah saya penutur asli atau bukan. Ia menolak menggunakan jasa saya, ketika saya menidakkan pertanyaannya, meski saya telah berpengalaman menangani berbagai proyek penulisan naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat dalam bahasa Inggris yang diakui oleh klien-klien saya sebagai ‘setara penutur asli’.


Saya pun diantar ke lobi kantor perusahaan itu oleh sekretaris direktur keuangan. Dalam perjalanan ke situ, saya mengusulkan bahwa saya akan tetap mengerjakan pekerjaan yang diorderkan ke saya itu oleh direktur keuangan, tetapi si sekretaris bisa melaporkan ke si Belanda bahwa yang mengerjakan adalah seroang penutur asli. Saya sudah pernah melakukan hal itu beberapa kali, dan menurut klien-klien saya mereka tidak melihat bedanya antara bahasa Inggris yang saya gunakan dalam penulisan naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat mereka dengan bahasa Inggrisnya penutur asli. Si sekretaris memahami usulan saya dan tampaknya ia akan menempuh cara itu. Yang penting kan hasilnya, bukan siapa yang mengerjakannya. Walaupun tidak asli, tidak berarti palsu kan?!


Gejala ‘tidak asli yang tidak palsu’ semacam ini seringkali terjadi dalam kehidupan kita, utamanya ketika orang masih saja suka mempertimbangkan siapa yang melakukan/mengatakan dan bukannya substansi dari perbuatan/perkataannya. Mentang-mentang orang berwajah kearab-araban atau memang berasal dari Saudi Arabia lantas dianggap paling pakar dalam soal agama Islam, sehingga tak mengherankan bila kini tak sedikit orang bermodal wajah itu serta atribut jubah dan sorban yang bernuansa padang pasir yang mengklaim kepakaran dalam agama Islam melampaui mereka yang ‘tidak berwajah maupun beratribut padang pasir’, utamanya untuk tujuan mencari pengikut sebanyak-banyaknya.


Kita tidak perlu menjadi ‘seasli yang asli’ untuk dapat mengungkapkan kebenaran. Kebenaran tidak memandang posisi geografis, lingkungan atau budaya. Siapa saja dapat mengungkapkan kebenaran itu. Berhubung kitab-kitab suci ‘telanjur’ mengajarkan bahwa yang bernubuat (prophecy, kemampuan memprediksi mengenai peristiwa-peristiwa yang akan datang, yang sering dipakai dalam lingkup perwahyuan) hanyalah para nabi dan utusan-utusan tuhan, dan mereka semua berasal dari negeri gurun, yang dianggap tidak masuk dalam golongan itu tetapi mampu bernubuat, yang membawa kebermanfaatan bagi orang banyak, sebaliknya, dianggap nabi-nabi palsu. Sehingga tak jarang, mereka ini menolak disebut nabi atau utusan tuhan—yang sebenarnya juga tidak penting, karena yang utama adalah substansi dari perbuatan/perkataannya, bukan gelarnya. Tetapi, amat disayangkan apabila yang mereka ungkapkan, yaitu cara atau metode untuk menghadirkan kebaikan dalam hidup manusia ditolak atau dibantah, semata-mata lantaran mereka (dianggap) bukan penerima wahyu.


Adalah lebih baik menjadi diri sendiri, yang menerima dengan rendah hati segala kekurangan dan kelebihan yang kita miliki. Hidup kita tentu akan menderita jika merasa diri sendiri selalu lebih rendah dan kecil, dibandingkan orang lain yang kita pandang lebih hebat. Lebih menderita lagi jika kita kemudian secara membuta mencoba menjadi orang lain—menjadi tidak asli dan juga palsu. Karena itu, bagaimanapun keadaan diri kita, kita harus senantiasa belajar mensyukuri dan tetap bangga menjadi diri sendiri. Selain itu, kita juga perlu melatih dan memelihara keyakinan serta kepercayaan diri. Dengan menyadari kekuatan dan kelebihan yang kita miliki, pastilah kemajuan dan kesuksesan yang lebih baik akan kita peroleh.©



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 29 Maret 2011, pukul 22.26 WIB

No comments: