Tuesday, May 10, 2011

Berani Menghadapi Takut

“Lakukan apa yang paling Anda takuti dan rasa takut pun pasti akan berakhir.”

—Mark Twain



Ketakutan terbesar saya adalah jarum suntik. Fobia saya terhadapnya sudah berada di aras tertinggi, di mana bila saya harus menerima suntikan, dampak yang terparah adalah saya bisa stres berat berminggu-minggu. Saya bahkan tidak tega melihat orang lain disuntik; saya cenderung mengalihkan pandangan saya dari layar televisi bila ada adegan orang yang disuntik. Kawan saya secara bercanda pernah bilang ke perawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta—di mana saya dirawat selama delapan hari akibat infeksi lambung—yang keheranan melihat tingkah saya yang begitu ketakutan ketika akan disuntik, “Itulah sebabnya, Suster, teman saya ini tidak pernah terlibat narkoba.”


Tidak sedikit orang yang menyarankan saya agar menghadapi rasa takut itu dengan ‘hidup bersama sesuatu yang ditakutkan’ tersebut. Mengikuti saran mereka, karena itu saya menempelkan jarum suntik dan jarum infus di masing-masing dari kedua sisi layar komputer saya, untuk membiasakan diri saya agar sanggup berlama-lama bersama kedua benda yang menakutkan itu di dekat saya.


Saya mempunyai ketakutan lainnya, yang tak jarang menyebabkan saya menderita sakit perut dan mual, yaitu terbang dengan pesawat terbang. Tetapi fobia yang satu ini belakangan sedikit banyak dapat saya atasi lantaran saya harus sering terbang ke berbagai tempat di Indonesia terkait pekerjaan saya sebagai penulis wisata atau penulis naskah audio-visual yang pembesutannya harus dilakukan di lokasi yang dijabarkan dalam naskah tersebut.


Intinya adalah pembiasaan, agar kita berani menghadapi takut. Lakukanlah apa yang Anda takutkan (do what you fear). Memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, terlebih-lebih bagi orang-orang seperti saya yang sumber ketakutannya adalah jarum suntik. Kecuali saya pecandu narkoba—yang suka menyuntik diri berulang kali, bagaimana lagi saya dapat membiasakan diri dengan jarum suntik, selain sebagaimana yang saya ceritakan di atas? Sumber ketakutan saya adalah jarum yang disuntikkan ke anggota tubuh saya, dan bukan sekadar melihat alat suntiknya.


Namun, terkait hal itu, saya punya pengalaman yang berkesan. Ketika dirawat di RSPP, saya harus melewati momen mengerikan di mana seorang perawat pria hendak mengganti jarum infus saya dengan yang baru, serta memindahkannya dari tangan kiri ke kanan. Saya meminta si perawat agar saya diberitahu bilamana jarum akan ditusukkan, supaya saya bisa mempersiapkan diri (bagaimanapun, saya tidak pernah benar-benar siap menghadapi jarum suntik). Si perawat mengajak saya mengobrol dan ia menceritakan kisah-kisah lucu yang membuat saya terpingkal-pingkal. Merasa bahwa proses persiapan penusukan jarum ke tangan saya kelewat lama, saya pun bertanya, “Mas, belum ya? Kok lama banget?”


“Apanya yang lama? Ini udah lho,” kata si perawat dengan santainya sambil menaruh tangan saya yang telah ditanami jarum infus di muka saya. Saya terperangah. Lha, sudah toh?!


Pengalihan perhatian dengan menciptakan kondisi yang berlawanan dengan keadaan yang sebenarnya; itulah salah satu cara untuk berani menghadapi takut. Di bidang pekerjaan saya yang acap berisikan tekanan lantaran tenggat waktu yang ketat serta sikap klien yang emosional atau seenaknya, alih-alih terbawa suasana, saya dan tim saya cenderung menghidupkan atmosfer yang sarat kejenakaan dan kesantaian. Hidup terlalu singkat untuk dianggap terlalu serius—demikian prinsip saya dalam menghadapi tekanan hidup. Bukannya mengabaikan, tetapi lebih untuk hidup secara harmonis bersama tekanan-tekanan itu. Seluruh dunia boleh saja mengecam Anda, tetapi tetaplah menjadi diri sendiri, dengan mengikuti kata hati Anda. Bagaimanapun, adalah diri Anda sendiri yang mengarahkan hidup Anda. Tak terhitung jumlah orang yang menghujat saya lantaran saya berpindah keyakinan, tetapi mengingat betapa mereka tidak peduli pada derita perasaan saya, lha buat apa saya peduli pada hujatan mereka?


Takut, dalam situasi tertentu, lebih sering mendatangkan kesia-siaan yang mengendala. Lantaran pengaruh ajaran tertentu, tak sedikit orang yang menahan diri mereka dari pikiran dan perasaan serta tindakan yang sesungguhnya akan memberi mereka banyak pelajaran tentang hidup. Belum apa-apa, sudah takut. Tidak ada yang salah sampai itu salah (nothing is wrong until it’s wrong), dan kita tidak akan tahu tentang benar-salahnya sesuatu jika tidak dihadapi dan dikerjakan. Dan sejatinya tidak ada benar-salah, melainkan cocok-tidak cocok. Gurubesar filsafat di almamater saya pada tahun 1986, IKIP Negeri Jakarta, berujar dalam rangka menukas pernyataan seorang mahasiswa bahwa berciuman di depan umum itu merupakan budaya yang negatif, “Anda tanyakan deh orang Barat yang suka berciuman di depan umum, apakah itu budaya yang negatif.” Si mahasiswa pun tak berkutik.


Takut, sejatinya, merupakan bayangan cermin dari berani. Takut mendorong kita untuk berusaha bertahan. Tanpa rasa takut, saya kira tidak akan pernah ada upaya untuk sintas (survive) dalam hidup ini, yang pada gilirannya akan mendayai kita untuk melahirkan gagasan-gagasan yang kreatif dan inovatif. Seperti saya, yang sampai sekarang masih memikirkan cara agar pemberian obat atau pengambilan darah tak perlu ditempuh dengan menggunakan jarum suntik.(AD)



Bandung, 2 April 2011

Rancangan naskah ditulis di tengah Sharing Session "Communication & Media Megatrends 2011" di Hotel Topas Galeria, Jl. Dr. Djundjunan 153, Bandung, tatkala menunggu giliran tampil sebagai pembicara.


No comments: