Thursday, December 11, 2008

Menjinjing Jimat

"Bahkan Al Qur'an ayat-ayat yang terang di dalam hati orang-orang yang diberi ilmu. Dan tiada yang mengabaikan ayat-ayat Kami melainkan orang-orang yang zalim."
--QS al-Ankabuut [29]: 49


ADA seorang kerabat saya, yang pada setiap acara arisan keluarga setiap awal bulan mewajibkan para peserta agar membaca Surat al-Fatihah terlebih dahulu sebelum memulai acara. Biasanya yang dianggap "fasih mendaraskan Al Qur'an" di antara para peserta arisan yang didaulat untuk memimpin pembacaan ulumul Qur'an tersebut. Saya merasa gerah dengan pembiasaan itu, dikarenakan tiga hal.

Pertama, di antara kerabat saya yang mengikuti arisan tersebut terdapat non-Muslim, sehingga, saya kira, pembacaan al-Fatihah tidak tepat--sebaiknya diganti dengan mengajak para peserta untuk berdoa menurut agama atau kepercayaannya masing-masing. Kedua, saya pikir, masing-masing peserta pasti punya keinginan/harapan sendiri-sendiri yang hendak disampaikannya kepada Tuhan, yang mungkin tidak terwakili oleh sekadar membaca al-Fatihah, sehingga, menurut saya, pembiasaan itu melanggar hak asasi. Ketiga, yang paling pokok, bagi saya lebih baik mengamalkan al-Fatihah ketimbang hanya membacanya. Ayat ke-5 surat tersebut berbunyi: "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." Namun, kenyataannya, pendarasan (reciting) ayat-ayat suci Al Qur'an maupun bentuk-bentuk ibadah lainnya telah menjadi tak lebih dari mantra dan jimat, bahkan semakin kentara bahwa umat cenderung mengagungkan ritual dan simbol agama, bukannya Tuhan. Pembiasaan untuk mendaraskan ayat-ayat Al Qur'an, tetapi mengabaikan arti (eksplisit) dan maknanya (implisit), dan bukannya mengamalkan dalam apa pun yang kita kerjakan, menjadikan bacaan suci tak lebih dari "ayat-ayat azimat".

Tanpa sadar, kebanyakan kita, umat beragama, telah memberhalakan kebendaan, menyembah ciptaan dan bukannya Sang Pencipta. Mantan bos saya di Surabaya dahulu adalah seorang haji yang ke mana-mana hampir selalu menjinjing kitab Al Qur'an. "Kitab ini bikin aku tenang, To," katanya pada saat ia menasihati saya agar rajin membaca Al Qur'an, seperti dirinya. Saya tertegun mendengar ucapannya dan membatin, "Lha kok Al Qur'an dijadikan jimat?!" Suatu saat, bos saya itu curhat ke saya tentang betapa berat cobaan yang tengah dihadapinya. Ia menggugat firman Allah bahwa Allah tidak akan menguji hambaNya melampaui kemampuan hambaNya. Tetapi, nyatanya, menurut mantan bos saya, ia tak sanggup memikul ujian dari Tuhan saat itu.

"Tuhan sudah kasih Bapak ujian yang masih bisa Bapak hadapi, tapi Bapak yang melebih-lebihkan. Tuhan tidak pernah menyiksa hambaNya, melainkan engkau yang menganiaya dirimu sendiri," tandas saya, yang membuat mantan bos saya itu bertanya surat mana dan ayat berapa yang menyebutkan hal itu."

"Saya tidak hafal, Pak, tapi ayat itu ada beberapa kali diungkapkan di kitab Al Qur'an. Lha, katanya Bapak rajin baca Al Qur'an? Kok nggak tau ayat itu?" Di situlah saya mendapat bukti betapa orang sekadar membaca aksara Arabnya saja, tanpa berusaha mencari tahu arti dan maknanya. Membaca Al Qur'an tetapi melalaikan makna dan tujuannya sama dengan mereduksi nilai kitab suci itu menjad jimat belaka.

Seorang ustadz yang juga saudara saya di jalan spiritual mengungkapkan bahwa apa yang tertulis di dalam kitab suci bukanlah ayat, melainkan bacaan. Ayat itu berarti "tanda" atau "bukti". Jika seseorang telah memperoleh bukti nyata dalam kehidupan sehari-harinya bahwa apa yang dituliskan di dalam kitab suci itu benar adanya, dan menyebabkan ia yakin akan kebenarannya (haqqul yaqin), barulah bacaan itu bertransformasi menjadi "ayat".

Saya perhatikan kebiasaan orang menaruh kitab Al Qur'an atau kalung tasbih atau kitab Surat Yasin, atau bahkan stiker atau ukiran bertuliskan aksara Arab dari "Allah" dan "Muhammad", di dekat bayi mereka yang sedang tidur atau di segala sudut rumah yang mereka huni. Padahal, berkat kesucian hatinya, bayi lebih berpotensi mengetahui keberadaan makhluk halus (dan tidak takut karenanya). Padahal pula, jin juga ciptaan Allah yang diberiNya izin untuk mengganggu kita, utamanya yang berjiwa lemah. Saya jadi teringat pada pengalaman saya lebih dari 20 tahun yang lalu.

Suatu malam, saya menunaikan salat Tahajud. Usai salat dan beristighfar sebanyak-banyaknya, saya mendaraskan Ayat Kursi 1.000 kali. Entah pada hitungan keberapa, di sebelah kanan saya muncul sesosok makhluk yang sekujur tubuhnya berwarna hijau, sedangkan kedua matanya yang membelalak ke arah saya merah menyala-nyala. Ia mengikuti ucapan saya, satu Ayat Kursi dari awal sampai akhir, sebelum akhirnya menghilang.

Pengalaman seram itu membuat saya bertanya-tanya, mengapa makhluk sebangsa jin yang datang untuk mengganggu kok tidak mempan dilawan dengan bacaan suci. Pengalaman sejenis terulang pada Maret 2005, yaitu ketika saya saling menempel kening dengan kuntilanak di salah satu ruangan dari rumah kontrakan saya di Surabaya, di mana saya menunaikan salat Hajat. Kuntilanak itu baru lenyap dari pandangan saya setelah saya berserah diri, memasrahkan nasib saya kepada pertolongan Tuhan, dan bukannya pada saat saya mengucapkan sejumlah doa berbahasa Arab!

Dari kedua pengalaman ini saya beroleh kepahaman bahwa mengamalkan jauh lebih bermanfaat daripada mendaraskan bacaan--apalagi dengan suara keras, mengingat Tuhan tidaklah tuli--yang bahkan belum tentu kita mengerti artinya. Si makhluk hijau itu bahkan lebih fasih mendaraskan Ayat Kursi dibandingkan saya yang terbata-bata, akibat ketakutan yang luar biasa. Saya juga memahami bahwa bila kita lebih takut pada sesama makhluk ketimbang pada Sang Khalik, maka celakalah kita.

Tujuh ayat yang terdapat dalam al-Fatihah, maupun seluruh isi kitab Al Qur'an, hakikatnya menyampaikan pesan-pesan yang kiranya lebih afdol jika diamalkan tinimbang sekadar didaraskan. Mendaraskannya saja tidak akan membawa kita ke mana-mana. Kita, akhirnya, malah hanya jalan di tempat, tidak beroleh pengetahuan apa pun, bukannya mengalami transformasi. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seorang munafik tetap keadaan agamanya selama 40 tahun. Seorang mukmin mengalami hijrah (transformasi diri) 40 kali sehari." Dengan kata lain, Anda belum beriman, walaupun Anda rajin membaca Al Qur'an, tetapi tidak memahami makna dan tujuannya.

Pengalaman saya berulang kali menuturkan bahwa harapan yang saya bisikkan di dalam hening ruang batin saya, di mana saja dan kapan saja, serta saya serahkan diri ke hadirat Tuhan Yang Maha Hadir di Mana Saja dan Kapan Saja membuatnya segera terwujud. Dengan demikian, saya bisa leluasakan kedua tangan saya, karena tak perlu menjinjing jimat ke mana-mana.©


Jakarta, 11 Desember 2008

No comments: