Sunday, December 14, 2008

Jauh-Dekat Sama Harganya

"Dan kepunyaan Allah Timur dan Barat, maka ke mana saja kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui."
--QS al-Baqarah [2]: 115


SUATU kali, saudara saya di jalan spiritual, yang sehari-harinya berprofesi dosen akidah akhlak dan tasawuf di sebuah perguruan tinggi swasta yang bernaung di bawah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, melontarkan sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab, melainkan direnungkan secara pribadi saja. "Kita salat kan menghadap Ka'bah, Mas. Seandainya kita mendapat kehormatan untuk memasuki Ka'bah dan salat di dalamnya, kita berkiblat ke mana, ya?" Bagi saya itu pertanyaan yang menyentak kesadaran, karena kebanyakan kita tidak pernah memikirkan "hal-hal sepele" semacam itu.

Beberapa tahun yang lalu, karena tidak tahu dan sedang tidak ada orang yang bisa dijadikan acuan, saya menunaikan salat Dzuhur di salah satu ruangan dari bangunan yang baru ditempati oleh perusahaan tempat saya bekerja di Surabaya. Usai salat, saya baru sadar bahwa seorang office-boy tengah memperhatikan. Rupanya dia sudah berdiri di situ cukup lama. "Mas Anto salah arah. Barat di sebelah sana," ujar office-boy itu sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dari posisi sajadah yang saya letakkan sebelumnya. "Aku mau ngasih tau tapi aku ndak mau ganggu. Mas salatnya khusyuk banget, sih."

Pengalaman tadi saya ceritakan ke seorang ustadz, yang kemudian menodong saya dengan pertanyaan, "Emangnya kita salat menghadap ke mana?"

"Ke Barat," jawab saya, yakin.

"Ngaco!" seru ustadz itu.

Saya terperanjat atas reaksi sang ustadz. "Oya--ke Ka'bah--" jawab saya, meralat dengan perasaan pasti. "Ngawur kamu! Kita salat menghadap ke Allah dan Allah ada di mana-mana," ujar ustadz itu dengan gemas. Selanjutnya, ia memperjelas "duduk perkaranya" mengapa umat Islam diperintahkan untuk menghadap Ka'bah saat salat berjamaah, yaitu untuk menjaga kerukunan dan persaudaraan muslim, serta melatih diri untuk hidup mengikuti norma-norma masyarakat. Ada unsur metafora dalam hal ini, agar umat dapat memahaminya dengan segera. "Tidak ada salahnya mengikuti aturan itu," kata ustadz itu menasihati saya, sambil menekankan agar hati dan pikiran saya "dirapatkan dan diluruskan" hanya kepada Allah, yang wajahNya ada di mana saja kita menghadap.

Tahun 2006, saya sempat diopname karena menderita sakit di perut, yang rasanya sungguh menyiksa. Setiap kali kambuh sakitnya, saya sampai berguling-guling di lantai rumah sakit sambil mengerang-erang. Istri saya lantas membimbing saya untuk mendaraskan "Allah" pada setiap hembusan napas. Dalam sekejap rasa sakitnya lenyap dan saya tenang kembali, sampai tertidur pulas. Dan hal itu terjadi bahkan sebelum perawat datang untuk menyuntikkan antibiotika ke dalam selang infus saya. Ketika sakitnya menyerang, rasanya Tuhan jauh di luar jangkauan saya. Begitu disebut namaNya, Dia bukan saja tiba-tiba dekat, tetapi juga menyembuhkan.

Tuhan ada di mana? "Di mana-mana!" jawab kita pada umumnya. Di Al Qur'an tertera ayat yang menegaskan bahwa Allah bahkan lebih dekat daripada urat leher kita. Sementara itu, seorang guru bijak mengatakan, "Tuhan tidak ada di mana-mana. Dia hadir jika hati kita membiarkanNya masuk."

Ada pula yang mengatakan bahwa Tuhan ada di atas, sehingga ungkapan "Yang Di Atas" pun dipakai untuk mengacu ke Tuhan. Padahal ungkapan itu berasal dari pernyataan "yang bersemayam di atas Arsy", sedangkan Arsy' sendiri mengacu kepada alam semesta, yang mencakup atas-bawah, jauh-dekat, luar-dalam, kiri-kanan, depan-belakang, utara-selatan-timur-dan-barat.

Suatu kali, saya menguping seseorang yang bertanya ke saudara saya di jalan spiritual, yang juga seorang ustadz--tetapi berbeda dari yang saya sebutkan di alinea pertama. "Katanya, kita nggak boleh ya membawa ayat-ayat suci ke tempat-tempat yang kotor, seperti WC misalnya?" tanya orang itu. Pertanyaan semacam itu kebetulan sudah lama pula menghuni pikiran saya, tetapi saya belum menemukan momen yang tepat untuk mengajukannya. Sang ustadz menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai pertanda gregetan. "Lha, apa dasarnya? Emangnya Tuhan ndak ada di WC? Kalau sampeyan kebelet, terus terlampiaskan di WC, bukankah sampeyan akan spontan berucap alhamdulillah? Dan juga, kalau memang begitu, boleh dong kita berbuat dosa di dalam WC, karena Tuhan toh dianggap tidak ada di situ?!" ucap si ustadz. Meski perkataan si ustadz tidak menyuratkan jawaban atas pertanyaan tadi, si penanya tertawa sambil mengangguk-angguk, puas. Mungkin pemikiran bahwa Tuhan tidak ada di WC-lah yang mendorong dua insan berlainan jenis kelamin untuk berzina di WC masjid, seperti yang diberitakan sebuah stasiun televisi swasta baru-baru ini.

Jauh tak berentang, dekat tak beraih; barangkali itu kalimat yang cukup mewakili untuk menggambarkan keberadaan Tuhan. Namun, jauh atau dekat sama saja harganya; Dia selalu hadir memberi pertolongan, menghadiahi keselamatan, membimbing dan menuntun kita. Adalah kesadaran kita yang adakalanya menjauh dari Dia. Namun, toh kuasaNya bisa memutar cikar hati dan pikiran kita untuk kembali menghadap kepadaNya. Eh, ke arah mana, ya?©



Jakarta, 14 Desember 2008

No comments: